Share

Bab 6

Dengan wajah merah padam penuh kemurkaan, Lastri berjalan tergopoh-gopoh menggendong anaknya menghampiri kami. Yang membuatku miris, Lastri datang ke toko grosir Mas Wijaya hanya menggunakan baju daster yang terlihat tak enak di pandang mata.

Pantas saja Mas Wijaya mudah berpaling pada wanita lain, sebab Lastri tak bisa merawat diri. Melihat penampilan Lastri, aku jadi berkaca pada diriku sendiri saat masih menjadi istri Mas Wijaya dulu. Sebab seperti itulah penampilanku dulu.

Wajar saja jika aku dulu tak bisa merawat diri, sebab Mas Wijaya hanya seorang pengangguran. Aku tak memiliki banyak uang untuk membeli kebutuhan pribadi. Jangankan untuk kebutuhan pribadi, untuk makan saja kami susah. Itulah mengapa aku akhirnya memutuskan untuk pergi bekerja ke luar negeri.

Sebenarnya, Ibuku melarang keras aku untuk bekerja di luar negeri dan menyuruhku untuk menjual sebagian sawah milik Ibu. Tapi aku menolak, aku tak ingin menjadi beban untuk Ibuku. Apalagi kalau sampai Ibu mertuaku tahu Ibuku memiliki banyak sawah. Aku yakin, Ibu mertua pasti akan memaksaku untuk menjual sawah milik Ibuku. Sebab, Ibu mertua memang mata duitan.

Yang menjadi pertanyaanku saat ini adalah, kenapa Lastri tak bisa merawat dirinya? Sedangkan dari cerita Mas Wijaya, Lastri selalu minta uang banyak padanya. Harusnya, ia bisa menggunakan uang dari mas Wijaya untuk merawat dirinya. Tetapi, aku juga tak boleh terlalu percaya dengan omongan Mas Wijaya. Sebab, bisa saja Mas Wijaya membohongiku.

Aku tak menyangka, penampilan Lastri justru berubah drastis setelah menikah dengan Mas Wijaya. Wajah Lastri tampak kering dan juga kusam tak terawat. Bahkan tubuhnya terlihat sangat kurus. Terlihat tulang-tulang di tubuhnya menonjol. Padahal, dulu Lastri terlihat cukup cantik dengan badan yang cukup berisi.

Sebenarnya, Lastri dulu adalah tetangga baru kami. Aku tak pernah sedikitpun curiga padanya meskipun ia sering datang kerumah kami. Dan setelah aku memutuskan untuk bekerja ke luar negeri, aku tak tahu lagi apa yang terjadi diantara Mas Wijaya dan Lastri.

Hingga kepulanganku satu tahun lalu secara diam-diam untuk memberikan kejutan pada Mas Wijaya, nyatanya malah aku yang dikejutkan dengan perselingkuhan mereka berdua. Aku memergoki Mas Wijaya dan Lastri sedang ena-ena di rumah kami. Jika mengingat itu, dada ini kembali sesak. Bara api dendam semakin berkibar untuk dituntaskan.

"Mas Wijaya!" Lagi-lagi, Lastri berteriak memanggil Mas Wijaya meskipun ia kini telah berdiri di antara aku dan Mas Wijaya.

Meskipun wajah Lastri terlihat sangat garang seperti seekor singa yang siap menerkam mangsanya, aku tak merasa takut sedikitpun. Aku masih bersikap tenang. Aku ingin tahu, apa yang akan dilakukan Lastri padaku.

Aku menoleh ke arah Mas Wijaya, wajah Mas Wijaya terlihat biasa saja. Seperti tak ada takut-takutnya dengan Lastri. Malahan, Mas Wijaya terlihat mendesah kesal melihat kehadiran istrinya itu.

"Keterlaluan kamu, Mas! Aku suruh kamu jemput ke rumah, kamu malah asyik-asyikan dengan janda gatel ini!" oceh Lastri lalu menunjuk wajahku.

"Kamu ini kenapa lagi sih, Las? Tiap hari kerjaannya marah-marah terus. Gak capek?" tanya Mas Wijaya dengan nada kesal.

"Kenapa kamu bilang? Kamu yang kenapa, Mas! Kamu bilang gak bisa jemput aku karena sibuk. Nyatanya kamu malah asyik ngobrol sama janda gatel ini," ucap Lastri sengit.

"Kamu jangan asal nuduh ya, Las? Aku memang sibuk. Lagian, kamu ngapain ke sini siang-siang begini bawa Zea? Kasian Zea kepanasan begitu!" ucap Mas Wijaya tak kalah sengit. Terlihat wajah polos anak perempuan mereka yang tertidur lelap di gendongan Lastri.

"Ini semua kan gara-gara kamu, Mas, Zea jadi kepanasan. Coba kalau kamu mau jemput aku, gak mungkin aku datang ke sini sama Zea naik angkot!" kata Lastri makin sengit.

"Lagian, siapa yang nyuruh kamu datang kemari? Aku tuh lagi kerja cari uang, bukan lagi santai-santai!" ucap Mas Wijaya membela diri.

"Kerja apa? Jelas-jelas kamu lagi asyik ngobrol sama Alma!" Lastri menoleh ke arahku dengan mata melotot tajam.

"Mas, tolong kamu jelaskan sama Lastri. Aku gak mau terus-terusan dituduh yang enggak-enggak sama istri kamu ini," ucapku dengan wajah dibuat sendu. Aku sengaja, agar Mas Wijaya merasa iba padaku.

"Iya, Al. Maaf ya, Al, atas sikap Lastri yang diluar kendali?" kata Mas Wijaya.

"Kamu ini apa-apaan sih, Mas! Kok malah minta maaf sama dia?"

"Cukup ya, Las, aku benar-benar capek menghadapi sikap egois kamu. Sedikit-sedikit cemburu. Mending sekarang kamu pulang. Jangan kamu buat keributan di toko aku. Itu sama saja kamu mencoreng wajah aku di depan para pelanggan dan karyawan aku!" ucap Mas Wijaya tegas tapi dengan suara pelan. Mungkin takut di dengar oleh karyawan-karyawan dan para pelanggannya di dalam toko.

Terlihat Mas Wijaya yang sepertinya malu dengan sikap istrinya itu. Jika dipikir, Lastri memang terlalu arogan. Ia tak memandang tempat untuk membuat keributan. Meskipun di tempat ramai sekalipun, ia tak mempunyai rasa malu.

"Makin hari kamu makin keterlaluan, Mas! Semenjak kehadiran Alma, kamu jadi berubah seperti ini!"

"Cukup, Las! Ini semua gak ada hubungannya sama Alma. Pulang kamu sekarang, kalau kamu gak mau menuruti perintahku, aku gak akan segan-segan menceraikan kamu!" ucap Mas Wijaya pelan namun penuh penekanan.

Mata Lastri terlihat membulat sempurna seolah benar-benar terkejut. Bibirnya pun terlihat sedikit terbuka. Pun dengan diriku. Tak sangka Mas Wijaya bisa mengancam Lastri sesadis itu.

"Ce-rai," gumam Lastri yang masih bisa aku dengar. Wajah Lastri tampak pucat dan juga pias.

"Pulanglah. Jangan buat kesabaran aku habis!" ucap Mas Wijaya.

"Maaf, Mas, aku permisi dulu," selaku. Sepertinya, sudah cukup melihat adegan keributan hari ini.

"Iya, Al. Maaf, kamu jadi harus melihat masalah rumah tangga aku dan Lastri," kata Mas Wijaya dengan wajah tak enak.

Aku mengangguk pelan dan menarik tangan Nana yang sedari tadi diam ikut menyaksikan keributan ini. Aku dan Nana segera masuk ke dalam mobil. Dari kaca spion mobil, aku melihat Mas Wijaya langsung masuk kembali ke dalam tokonya tanpa memperdulikan Lastri. Sedangkan Lastri masih berdiri mematung dengan menggendong anaknya.

Sambil menyalakan mesin mobil, netra ini masih memperhatikan keberadaan Lastri. Aku melihat wajah Lastri berubah sedih. Tak lama, air mata jatuh dari sudut matanya. Entah mengapa, bukannya senang, justru aku merasa iba padanya. Sebagai seorang wanita, tentu saja aku tahu apa yang

dirasakan oleh Lastri saat ini. Apalagi, sudah ada anak dari hasil buah cinta mereka. Pastilah, anak itu akan menjadi korban apabila orang tuanya sampai benar-benar berpisah.

Aku menggeleng cepat dan mulai menyadarkan diri. Aku tak boleh larut dengan perasaan iba. Sebab, apa yang dirasakan oleh Lastri saat ini tak sebanding dengan apa yang aku rasakan dulu.

Aku segera memacu mobilku dengan kecepatan sedang menuju pulang ke rumah. Tak kupedulikan Lastri yang masih berdiri di depan toko Mas Wijaya. Sebenarnya, bisa saja aku memberikan tumpangan padanya. Tapi melihat sikap buruk Lastri, aku tak sudi mobilku dikotori oleh perempuan laknat seperti dirinya.

"Bu, mereka tadi itu siapa? Apa Bu Alma kenal?" tanya Nana yang membuatku tersadar dari lamunan.

Nana memang belum mengenal Mas Wijaya dan Lastri. Sebab, Nana baru sehari tinggal di rumahku. Aku juga bingung harus menjelaskan tentang mereka pada Nana. Nana masih terlalu muda untuk mengetahui permasalahan pelikku di masa lalu.

"Mereka tetangga kita, Na," jawabku singkat.

"Sepertinya, wanita itu membenci Bu Alma?"

"Entahlah, Na. Saya juga gak ngerti," jawabku pelan.

Nana langsung terdiam dan tak banyak bertanya lagi. Mungkin Nana tak enak padaku sebab aku lebih banyak diam. Biarlah, tanpa perlu banyak bercerita, suatu saat, Nana pasti akan mengetahui permasalahan ini.

********

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status