Dengan wajah merah padam penuh kemurkaan, Lastri berjalan tergopoh-gopoh menggendong anaknya menghampiri kami. Yang membuatku miris, Lastri datang ke toko grosir Mas Wijaya hanya menggunakan baju daster yang terlihat tak enak di pandang mata.
Pantas saja Mas Wijaya mudah berpaling pada wanita lain, sebab Lastri tak bisa merawat diri. Melihat penampilan Lastri, aku jadi berkaca pada diriku sendiri saat masih menjadi istri Mas Wijaya dulu. Sebab seperti itulah penampilanku dulu.Wajar saja jika aku dulu tak bisa merawat diri, sebab Mas Wijaya hanya seorang pengangguran. Aku tak memiliki banyak uang untuk membeli kebutuhan pribadi. Jangankan untuk kebutuhan pribadi, untuk makan saja kami susah. Itulah mengapa aku akhirnya memutuskan untuk pergi bekerja ke luar negeri.Sebenarnya, Ibuku melarang keras aku untuk bekerja di luar negeri dan menyuruhku untuk menjual sebagian sawah milik Ibu. Tapi aku menolak, aku tak ingin menjadi beban untuk Ibuku. Apalagi kalau sampai Ibu mertuaku tahu Ibuku memiliki banyak sawah. Aku yakin, Ibu mertua pasti akan memaksaku untuk menjual sawah milik Ibuku. Sebab, Ibu mertua memang mata duitan.Yang menjadi pertanyaanku saat ini adalah, kenapa Lastri tak bisa merawat dirinya? Sedangkan dari cerita Mas Wijaya, Lastri selalu minta uang banyak padanya. Harusnya, ia bisa menggunakan uang dari mas Wijaya untuk merawat dirinya. Tetapi, aku juga tak boleh terlalu percaya dengan omongan Mas Wijaya. Sebab, bisa saja Mas Wijaya membohongiku.Aku tak menyangka, penampilan Lastri justru berubah drastis setelah menikah dengan Mas Wijaya. Wajah Lastri tampak kering dan juga kusam tak terawat. Bahkan tubuhnya terlihat sangat kurus. Terlihat tulang-tulang di tubuhnya menonjol. Padahal, dulu Lastri terlihat cukup cantik dengan badan yang cukup berisi.Sebenarnya, Lastri dulu adalah tetangga baru kami. Aku tak pernah sedikitpun curiga padanya meskipun ia sering datang kerumah kami. Dan setelah aku memutuskan untuk bekerja ke luar negeri, aku tak tahu lagi apa yang terjadi diantara Mas Wijaya dan Lastri.Hingga kepulanganku satu tahun lalu secara diam-diam untuk memberikan kejutan pada Mas Wijaya, nyatanya malah aku yang dikejutkan dengan perselingkuhan mereka berdua. Aku memergoki Mas Wijaya dan Lastri sedang ena-ena di rumah kami. Jika mengingat itu, dada ini kembali sesak. Bara api dendam semakin berkibar untuk dituntaskan."Mas Wijaya!" Lagi-lagi, Lastri berteriak memanggil Mas Wijaya meskipun ia kini telah berdiri di antara aku dan Mas Wijaya.Meskipun wajah Lastri terlihat sangat garang seperti seekor singa yang siap menerkam mangsanya, aku tak merasa takut sedikitpun. Aku masih bersikap tenang. Aku ingin tahu, apa yang akan dilakukan Lastri padaku.Aku menoleh ke arah Mas Wijaya, wajah Mas Wijaya terlihat biasa saja. Seperti tak ada takut-takutnya dengan Lastri. Malahan, Mas Wijaya terlihat mendesah kesal melihat kehadiran istrinya itu."Keterlaluan kamu, Mas! Aku suruh kamu jemput ke rumah, kamu malah asyik-asyikan dengan janda gatel ini!" oceh Lastri lalu menunjuk wajahku."Kamu ini kenapa lagi sih, Las? Tiap hari kerjaannya marah-marah terus. Gak capek?" tanya Mas Wijaya dengan nada kesal."Kenapa kamu bilang? Kamu yang kenapa, Mas! Kamu bilang gak bisa jemput aku karena sibuk. Nyatanya kamu malah asyik ngobrol sama janda gatel ini," ucap Lastri sengit."Kamu jangan asal nuduh ya, Las? Aku memang sibuk. Lagian, kamu ngapain ke sini siang-siang begini bawa Zea? Kasian Zea kepanasan begitu!" ucap Mas Wijaya tak kalah sengit. Terlihat wajah polos anak perempuan mereka yang tertidur lelap di gendongan Lastri."Ini semua kan gara-gara kamu, Mas, Zea jadi kepanasan. Coba kalau kamu mau jemput aku, gak mungkin aku datang ke sini sama Zea naik angkot!" kata Lastri makin sengit."Lagian, siapa yang nyuruh kamu datang kemari? Aku tuh lagi kerja cari uang, bukan lagi santai-santai!" ucap Mas Wijaya membela diri."Kerja apa? Jelas-jelas kamu lagi asyik ngobrol sama Alma!" Lastri menoleh ke arahku dengan mata melotot tajam."Mas, tolong kamu jelaskan sama Lastri. Aku gak mau terus-terusan dituduh yang enggak-enggak sama istri kamu ini," ucapku dengan wajah dibuat sendu. Aku sengaja, agar Mas Wijaya merasa iba padaku."Iya, Al. Maaf ya, Al, atas sikap Lastri yang diluar kendali?" kata Mas Wijaya."Kamu ini apa-apaan sih, Mas! Kok malah minta maaf sama dia?""Cukup ya, Las, aku benar-benar capek menghadapi sikap egois kamu. Sedikit-sedikit cemburu. Mending sekarang kamu pulang. Jangan kamu buat keributan di toko aku. Itu sama saja kamu mencoreng wajah aku di depan para pelanggan dan karyawan aku!" ucap Mas Wijaya tegas tapi dengan suara pelan. Mungkin takut di dengar oleh karyawan-karyawan dan para pelanggannya di dalam toko.Terlihat Mas Wijaya yang sepertinya malu dengan sikap istrinya itu. Jika dipikir, Lastri memang terlalu arogan. Ia tak memandang tempat untuk membuat keributan. Meskipun di tempat ramai sekalipun, ia tak mempunyai rasa malu."Makin hari kamu makin keterlaluan, Mas! Semenjak kehadiran Alma, kamu jadi berubah seperti ini!""Cukup, Las! Ini semua gak ada hubungannya sama Alma. Pulang kamu sekarang, kalau kamu gak mau menuruti perintahku, aku gak akan segan-segan menceraikan kamu!" ucap Mas Wijaya pelan namun penuh penekanan.Mata Lastri terlihat membulat sempurna seolah benar-benar terkejut. Bibirnya pun terlihat sedikit terbuka. Pun dengan diriku. Tak sangka Mas Wijaya bisa mengancam Lastri sesadis itu."Ce-rai," gumam Lastri yang masih bisa aku dengar. Wajah Lastri tampak pucat dan juga pias."Pulanglah. Jangan buat kesabaran aku habis!" ucap Mas Wijaya."Maaf, Mas, aku permisi dulu," selaku. Sepertinya, sudah cukup melihat adegan keributan hari ini."Iya, Al. Maaf, kamu jadi harus melihat masalah rumah tangga aku dan Lastri," kata Mas Wijaya dengan wajah tak enak.Aku mengangguk pelan dan menarik tangan Nana yang sedari tadi diam ikut menyaksikan keributan ini. Aku dan Nana segera masuk ke dalam mobil. Dari kaca spion mobil, aku melihat Mas Wijaya langsung masuk kembali ke dalam tokonya tanpa memperdulikan Lastri. Sedangkan Lastri masih berdiri mematung dengan menggendong anaknya.Sambil menyalakan mesin mobil, netra ini masih memperhatikan keberadaan Lastri. Aku melihat wajah Lastri berubah sedih. Tak lama, air mata jatuh dari sudut matanya. Entah mengapa, bukannya senang, justru aku merasa iba padanya. Sebagai seorang wanita, tentu saja aku tahu apa yangdirasakan oleh Lastri saat ini. Apalagi, sudah ada anak dari hasil buah cinta mereka. Pastilah, anak itu akan menjadi korban apabila orang tuanya sampai benar-benar berpisah.Aku menggeleng cepat dan mulai menyadarkan diri. Aku tak boleh larut dengan perasaan iba. Sebab, apa yang dirasakan oleh Lastri saat ini tak sebanding dengan apa yang aku rasakan dulu.Aku segera memacu mobilku dengan kecepatan sedang menuju pulang ke rumah. Tak kupedulikan Lastri yang masih berdiri di depan toko Mas Wijaya. Sebenarnya, bisa saja aku memberikan tumpangan padanya. Tapi melihat sikap buruk Lastri, aku tak sudi mobilku dikotori oleh perempuan laknat seperti dirinya."Bu, mereka tadi itu siapa? Apa Bu Alma kenal?" tanya Nana yang membuatku tersadar dari lamunan.Nana memang belum mengenal Mas Wijaya dan Lastri. Sebab, Nana baru sehari tinggal di rumahku. Aku juga bingung harus menjelaskan tentang mereka pada Nana. Nana masih terlalu muda untuk mengetahui permasalahan pelikku di masa lalu."Mereka tetangga kita, Na," jawabku singkat."Sepertinya, wanita itu membenci Bu Alma?""Entahlah, Na. Saya juga gak ngerti," jawabku pelan.Nana langsung terdiam dan tak banyak bertanya lagi. Mungkin Nana tak enak padaku sebab aku lebih banyak diam. Biarlah, tanpa perlu banyak bercerita, suatu saat, Nana pasti akan mengetahui permasalahan ini.********"Permisi, Mas, maaf numpang tanya," kataku pada seorang pria yang baru turun dari motor yang ia kendarai. Pria itu memarkirkan motornya di depan kost-kostan ini."Iya, Mas, tanya apa ya?""Apa Mas tinggal di kostan ini?""Iya, Mas, saya tinggal di sini," jawabnya."Saya mau tanya, siapa yang menghuni kost-an lantai dua yang pintunya nomor empat itu?" tunjukku ke atas."Oh, nomor 4 ya? Kamar itu sih dihuni sama Ferdy, Mas. Kebetulan dia teman kuliah saya," jawabnya."Teman kuliah?""Iya, Mas, dia kuliah bareng saya. Tapi beda jurusan. Mas ada urusan apa sama Ferdy?" tanyanya seolah penasaran."Gak ada, Mas. Kebetulan dia mirip saudara saya. Namanya juga sama. Kalau boleh tahu, dia tinggal sama siapa ya, Mas?" jawabku beralasan dan bertanya."Dia tinggal sendiri kok. Tapi ... sekarang dia lagi sama pacarnya, Mas," jawabnya sambil menggaruk kepala yang sepertinya tak gatal."Pacar?""Iya, Mas. Jadi kalau nanti Mas ketemu Ferdy jangan kaget. Ya udah ya, Mas, saya mau masuk dulu. Masih ada
Aku masih memperhatikan Lastri dan pria yang naik motor bersamanya. Terlihat mereka begitu akrab. Seperti orang yang sudah kenal sangat lama. Anak kami Zea juga sepertinya begitu mengenal pria itu. Terlihat saat ini Zea berganti posisi dari duduk lalu berdiri dan berpegangan pada pundak pria itu. Sedangkan Lastri memegangi tubuh Zea. Jika dipikir, tak mungkin juga pria itu saudara Lastri. Sebab, aku tak pernah melihat pria itu sebelumnya.Ketika lampu hijau mulai menyala, semua kendaraan mulai melaju ke arah lurus. Begitu juga motor yang dikendarai oleh Lastri dan pria asing itu. Aku sendiri langsung tancap gas untuk mengikuti mereka. Aku tak ingin kehilangan jejak mereka. Apa lagi, mereka pergi membawa anakku Zea. Aku ingin tahu, siapa pria itu sebenarnya. Berbagai pikiran buruk langsung melintas di kepalaku.Untung saja, pria itu mengemudikan motornya dengan kecepatan sedang. Dengan begitu, aku bisa mengikuti mereka dengan mudah. Apa lagi, melihat arus lalu lintas yang cukup padat s
Pagi ini, aku terbangun dengan kepala sedikit berat. Sebab, aku hampir tak bisa tidur semalaman. Mbak Rossi semalam kembali mengamuk. Hingga membuat aku dan Ibu tak bisa beristirahat dengan tenang. Setelah Mbak Rossi diberi obat penenang, ia akhirnya tertidur. Tetapi setelah Mbak Rossi tertidur, justru malah Ibu yang tak tidur karena menangis semalaman. Berulangkali aku mencoba menenangkan Ibu, tapi Ibu tetap saja menangis.Aku merasa keadaan Mbak Rossi benar-benar sudah parah. Jiwa Mbak Rossi benar-benar sudah terguncang. Semalam, Mbak Rossi berteriak-teriak menyebut nama Adit. Seolah Mbak Rossi ingin Adit ada di sini bersamanya. Jujur saja, aku sangat muak ketika mendengar Mbak Rossi menyebut Nama Adit. Entah apa lagi yang Mbak Rossi harapkan dari pria brengsek itu.Ketika aku telah selesai mandi dan berganti pakaian, aku mendapatkan sebuah pesan dari Alma. Pucuk dicinta, tanpa perlu aku mendekati Alma, ia malah lebih dulu mengirim pesan padaku. Tetapi, aku sedikit terkejut ketika m
POV WijayaAku mencoba menghubungi nomor Lastri. Tapi sialnya, nomor ponsel Lastri tak aktif dan tak bisa dihubungi. Entah kemana perginya istri tak berguna itu. Aku benar-benar sangat kesal padanya. Lihat saja, jika sampai ia pulang nanti, aku akan memberinya pelajaran. Selama ini, aku terlalu memberikan kebebasan untuk Lastri. Hingga ia bisa bertingkah sesuka hatinya. Dan kini, aku tak akan membiarkan Lastri bersikap semaunya sendiri. Sudah cukup rasa sabarku padanya! Lihat saja, jika aku bertemu dengannya nanti, aku akan memarahinya habis-habisan. Bila perlu, aku akan menceraikannya secara langsung. Agar ia sadar, hidupnya tak akan ada artinya tanpa diriku. Jika dipikir, memiliki seorang istri seperti Lastri tak ada untungnya untukku. Yang ada, uangku semakin habis terkuras untuk memenuhi keinginannya yang entah untuk apa. Rasanya, aku benar-benar menyesal menikah dengannya."Bu, Aminah. Saya minta tolong sama Ibu. Saya titip keponakan saya —Vira di rumah Ibu dulu. Soalnya, di rum
Aku segera berjalan menuju mobilku. Aku harus segera pulang. Aku harus mencari bukti lain tentang Nana dan Mas Adit. Aku yakin, Mas Adit dan Alma memiliki niat terselubung padaku. Apa lagi mengingat kejadian saat ia mencoba masuk ke dalam kamarku.Aku merasa diriku begitu bodoh karena terlalu percaya pada Nana. Bahkan pernah ada niat untuk menganggap Nana sebagai anakku sendiri. Tapi nyatanya, aku malah memasukkan orang yang salah ke dalam rumahku. Mungkin, aku harus meminta pertanggungjawaban pada Rumi, sebab ia lah yang awalnya membawa Nana masuk ke rumahku.Ting!Sebuah pesan masuk ketika aku baru mulai menghidupkan mesin mobil. Aku segera meraih tas kecil yang berada di dasbor mobil untuk mengambil ponsel. Ternyata, ada sebuah pesan masuk dari Mas Wijaya.["Al, uangnya sudah aku transfer barusan.] Isi pesan dari Mas Wijaya.Aku langsung membuka aplikasi m-banking milikku untuk mengecek saldo rekening. Ternyata benar, uang seratus juta rupiah yang aku minta pada Mas Wijaya telah me
Setelah ibunya Nana cukup tenang, polisi menyuruh mereka semua untuk duduk. Sepertinya, polisi akan mengintrogasi mereka. Aku tak melihat ada tanda-tanda kehadiran keluarga Mas Adit. Mungkin, mereka sedang sibuk mengurus Mbak Rossi di rumah sakit. Setelah kami memberikan bukti yang cukup, aku bersama Bu RT dan Pak RT memutuskan untuk pulang ke rumah. Polisi bilang, kami akan dipanggil kembali untuk dijadikan saksi dalam kasus ini jika sudah tiba waktunya. Sebenarnya, aku ingin berbicara dengan orang tua Nana sebentar. Tetapi, melihat situasi dan kondisi sepertinya tak memungkinkan.Sebelumnya, polisi memberikan pilihan pada kami untuk melanjutkan kasus ini atau diselesaikan secara damai dan kekeluargaan. Tetapi, aku dan Pak RT tetap bersikukuh untuk melanjutkan kasus ini. Aku tak rela jika Mas Adit bisa berkeliaran dengan bebas. Setelah ini, aku juga akan mencari bukti-bukti lainnya untuk memberatkan hukuman Mas Adit. Setelah sampai di rumah nanti, aku akan masuk ke dalam kamar Nana.