Share

Bab 4

Aku kembali masuk ke dalam rumah untuk mengeringkan rambut yang masih basah. Kejadian pagi ini benar-benar membuat kepala ini sedikit sakit. Meskipun aku senang melihat keributan antara Mas Wijaya dan Lastri, tapi aku juga merasa malu karena pagi ini aku harus menjadi pusat perhatian orang-orang di sekitar rumahku. Ini semua terjadi karena kecerobohanku yang lupa mengunci pintu pagar rumah.

Bagaimanapun juga, aku harus menjaga nama baikku di kampung ini. Aku yakin, saat ini aku pasti sedang menjadi pusat pergunjingan warga sekitar. Apalagi, warga sekitar rumahku pasti tahu betul bahwa aku adalah mantan istri Mas Wijaya.

Maka dari itu, aku harus tetap menjaga nama yang selama ini tak pernah tercoreng sekalipun. Sebab selama menikah dengan Mas Wijaya dulu, aku tak pernah membuat masalah apapun di kampung ini.

Sebelum memulai usaha membuka toko sembako, aku harus segera mencari asisten rumah tangga untuk membantu pekerjaan rumah sekaligus menemaniku di rumah ini. Jika perlu, hari ini juga aku harus mendapatkan asisten rumah tangga. Aku jadi teringat pada sahabatku Rumi. Siapa tahu, ia bisa membantuku. Aku segera mengambil ponselku yang tergeletak di atas tempat tidur dan langsung mencari nomor Rumi dan langsung menghubunginya.

"Hallo, Rum," ucapku, setelah panggilan terhubung.

["Iya, Al, ada apa? Oh ya, gimana, Lo jadi tinggal di depan rumah si pria tengik itu?"]

Pria tengik yang Rumi maksud adalah Mas Wijaya. Rumi adalah temanku satu-satunya yang selalu menjadi tempatku berkeluh kesah. Aku mengenal Rumi saat kami sama-sama tinggal di penampungan sebelum berangkat bekerja ke luar negri. Sayangnya, negara tujuan kami berbeda. Namun komunikasi kami tetap berjalan baik hingga kini.

Rumi juga telah pulang ke Indonesia bulan lalu. Ia baru pulang tahun ini karena ia menambah kontrak masa kerjanya. Dan yang membuatku senang, ia tinggal tak jauh dari perkampungan ini. Dengan begitu, aku bisa sering-sering bertemu dengannya.

"Iya, Rum, gue jadi tinggal di sini."

["Terus, gimana reaksi pria tengik dan selingkuhannya itu?"]

"Ya gitulah. Mereka semua terkejut. Terutama si Lastri. Kasian si Lastri, kayaknya cemburu banget sama gue."

["Wah, bagus dong. Oh ya, Lo tadi mau minta tolong apaan sama gue?"]

"Iya, Rum. Gue mau minta tolong sama Lo, Rum. Tolong carikan art buat gue," kataku.

["Dih gegayaan Lo, Al, pakai art segala! Udah kayak nyonya aja,"] ucap Rumi sambil tertawa kecil.

Rumi memang tipe orang yang suka ceplas-ceplos jika berbicara. Karena sudah tahu sifat dan wataknya, aku tak merasa sakit hati atau tersinggung dengan ucapannya. Rumi juga tipe orang yang supel dan suka bercanda. Itulah yang membuat ia pintar bergaul dengan semua orang. Diusia Rumi yang sudah menginjak dua puluh delapan tahun, ia belum juga menikah. Tetapi, ia terlihat enjoy dan menikmati hidupnya. Mungkin itu lebih baik, dibandingkan diriku yang justru malah mengalami kegagalan rumah tangga.

"Bukan gitu, Rum. Gue nyari art tuh niatnya buat nemenin gue tinggal di rumah. Lo tahu gak, baru semalam gue tinggal di rumah baru ini, pagi-pagi buta Mas Wijaya udah dateng nyamperin gue," jelasku.

["Hah, seriusan? Wah, dasar laki buaya buntung! Gue yakin, si pria tengik itu tergoda sama kecantikan Lo."]

"Sepertinya sih gitu, Rum. Makanya gue takut kalau sendirian di rumah."

["Iya juga ya. Ya udah, Lo tenang aja. Entar gue cari art yang bisa tinggal di rumah Lo."]

"Jangan entar-entar dong, Rum. Kalau bisa mah, hari ini juga."

["Lah, Lo kira nyari art kek nyari tahu bulet, digoreng dadakan? Gak semudah itu, Marimar!"]

"Duh, udah deh gak usah kebanyakan drama. Lo mau nolongin gue gak, Maemunah?"

["Iya iya, entar gue cari deh."]

"Tapi inget, Lo harus cari art yang kudu orangnya baik, rajin, pengertian, bertanggung jawab, dan ...."

["Tunggu-tunggu ... Lo nyari art, atau pendamping hidup? Banyak mamat kriterianya?"] potong Rumi cepat.

"Hehe, ya kan kalau ada. Intinya, gue mau art yang baik."

["Oke deh, entar gue cari. Gue juga jadi takut Lo diapa-apain sama pria tengik itu."]

"Nah itu. Makanya Lo harus bantuin gue cari art. Pokoknya, gue tunggu secepatnya ya?"

["Oke, Al ...."]

Aku menutup panggilan telepon Rumi. Untuk sementara waktu, sepertinya, aku harus berdiam diri di dalam rumah. Takut jika Mas Wijaya datang kemari lagi.

******

Sore ini, sebuah ketukan pintu terdengar dari depan rumah. Aku yang merasa takut karena kejadian pagi tadi tak mau gegabah langsung membukakan pintu. Aku takut, Mas Wijaya yang datang ke rumahku. Aku mengintip dari balik tirai gorden jendela rumah. Aku merasa lega, sebab yang datang ternyata adalah Rumi. Segera aku membukakan pintu untuknya.

"Lama amat sih, Al, buka pintunya?" oceh Rumi dengan wajah kesal. Di belakang Rumi, terlihat seorang perempuan muda yang tersenyum ramah padaku.

"Maaf, Rum, gue pikir siapa. Sini masuk," ajakku.

Rumi ternyata datang membawakan seorang art bernama Nana. Tak sangka, Rumi bisa mendapatkan art secepat ini. Usia Nana baru menginjak delapan belas tahun, wajahnya manis khas wanita Jawa. Entah mengapa, aku langsung suka padanya. Nana masih gadis dan ternyata tinggal tak jauh dari rumah Rumi.

Perjalanan kisah hidup Nana yang ternyata cukup berat membuat aku merasa iba. Nana memiliki seorang Ayah tiri yang mesum dan sudah beberapa kali berusaha untuk memperkosanya. Ia sering mengadu pada Ibunya, tapi Ibunya seolah tak percaya dengan cerita Nana. Karena sebab itulah, Nana memutuskan untuk langsung bekerja setelah lulus sekolah.

Nana bilang, ia tak masalah jika harus menjadi art. Setidaknya, ia bisa tinggal menginap di rumahku tanpa harus pulang ke rumahnya. Dengan begitu, ia bisa merasa aman tanpa perlu takut lagi pada Ayah tirinya.

Aku merasa miris dengan sikap Ibunya Nana yang kurang peduli pada keselamatan putrinya. Bahkan, ia sama sekali tak percaya dengan ucapan putrinya sendiri. Ini salah satu pelajaran berharga untukku. Seandainya aku menjadi seorang Ibu nanti, aku akan selalu melindungi anakku. Apalagi seorang anak perempuan yang memang harus bisa menjaga mahkota berharganya. Aku merasa bersyukur, dari cerita Nana, Ayah tirinya tak pernah berhasil memperkosanya. Setidaknya, Nana masih memiliki masa depan.

Nana juga terlihat sangat sopan saat berbicara. Terlihat bahwa Nana adalah gadis yang baik. Tanpa banyak pertimbangan, akhirnya aku menerima Nana untuk bekerja di rumahku.

******

"Na, siang nanti temenin saya belanja ya?" kataku pada Nana.

Aku dan Nana saat ini sedang memasak untuk sarapan pagi bersama. Aku membuat bumbu masakan, sedangkan Nana memotong sayur mayur dan membersihkan ikan yang akan kami masak nanti.

"Iya, Bu. Oh ya, Bu, maaf mulai besok, biar saya aja yang memasak. Saya malah gak enak kalau Ibu ikutan memasak di dapur. Ini kan tugas saya, Bu," kata Nana.

Aku memang menyuruh Nana untuk memanggilku Ibu. Sebab, meskipun ia hanya seorang art, aku ingin menganggap Nana sebagai seorang anak. Apalagi, perbedaan usia kami yang berbeda dua belas tahun. Aku juga sengaja memakai bahasa baku jika berbicara dengan Nana. Agar Nana lebih menghormatiku sebagai orang tua.

"Kalau kamu ngerjain semuanya, terus saya ngapain, Na?"

"Bu Alma gak perlu ngapa-ngapain. Biar saya saja yang kerjakan."

"Saya gak biasa menganggur, Na. Bahkan, dulu saya juga sama seperti kamu. Saya pernah kerja di luar negri jadi TKW dan jadi art."

"Hah, yang benar, Bu?" Nana bertanya dengan wajah terkejut.

"Benar, Na. Masa' saya bohong."

"Apa Ibu bisa punya rumah sebagus ini karena bekerja di luar negri? Kalau iya, saya juga mau kerja di luar negeri, Bu," kata Nana dengan wajah tersenyum polos.

"Bukan, Na. Ini rumah saya beli dari uang Ibu saya. Kamu masih terlalu muda, Na. Lagipula, untuk apa kamu jauh-jauh kerja di luar negri?"

"Saya ingin jadi orang sukses, Bu. Biar gak jadi beban buat Ibu saya," kata Nana dengan wajah sendu.

Nana bercerita padaku bahwa ia ingin melanjutkan pendidikannya. Ia ingin kuliah seperti teman-temannya yang lain. Jujur saja, aku merasa iba. Sebenarnya, aku bisa saja menguliahkan Nana, tapi, aku baru mengenal Nana. Aku tak bisa sembarang langsung percaya begitu saja padanya. Aku masih merasa trauma. Teringat akan masa lalu yang dikhianati oleh Mas Wijaya. Aku yang bekerja menjadi TKW di luar negri selama tiga tahun, nyatanya, uang yang aku kirim malah disalahkan gunakan untuk bersenang-senang dengan selingkuhannya.

*****

Siang ini, aku mengajak Nana untuk pergi berbelanja kebutuhan toko sembako milikku, yang rencananya besok akan mulai aku buka. Aku dan Nana pergi ke pasar terbesar di kampung ini. Tujuanku hanya satu, yaitu datang ke toko grosir milik Mas Wijaya. Ia memang membuka toko grosir sembako besar di pasar itu. Untuk itu, aku akan memanfaatkannya. Aku bersyukur, hari ini tak melihat keberadaan Mas Wijaya di sekitar rumahku. Mungkin, Lastri melarang keras Mas Wijaya untuk kembali datang ke rumahku.

Setelah tiba di depan toko grosir milik Mas Wijaya, aku memarkirkan mobil yang aku kemudikan. Aku menyuruh Nana untuk menungguku di luar toko saja. Sebab, aku tak ingin Nana tahu apa yang akan aku lakukan di dalam sana. Nana masih terlalu muda untuk mengetahui permasalahan hidupku.

Suasana toko grosir milik Mas Wijaya tampak ramai. Pantas saja, ia terlihat semakin sukses saat ini. Ada rasa sesak di hati ini, aku yakin, toko grosir ini dibangun menggunakan uang yang aku kirim setiap bulan dari hasilku bekerja di luar negeri. Aku berjanji pada diriku sendiri, aku akan mengambil semua hakku yang ia curi dengan cara licik. Jika ia bisa bisa berbuat licik, kenapa aku tidak?

******

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status