Home / Rumah Tangga / Pembalasan Dendam Istri Lugu / BAB 9| SEMBILU PESTA PERNIKAHAN

Share

BAB 9| SEMBILU PESTA PERNIKAHAN

Author: Wini Latte
last update Huling Na-update: 2023-08-03 00:51:09

Akhir pekan. Terasa seperti surga bagi Flora setelah hari-harinya dipenuhi dengan omelan dan tingkah semena-mena Abraham. Malam ini, keriuhan memenuhi telinga Flora, banyak orang berpakaian formal hilir-mudik, musik romantis mengalun sejak acara dimulai. Sembari memeluk lengan suaminya, Flora banyak tertawa, mengobrol ringan dengan kenalan. Mereka kini tengah menghadiri pesta pernikahan sahabat baik Sakha, bergabung dengan para tamu undangan.

“Akhir-akhir ini Flora tampak cantik sekali, bukan? Badannya semakin bagus. Kamu melakukan diet, Flo?” Salah satu teman Sakha, Arina, bertanya ringan.

Flora membalasnya dengan tawa kecil yang sedikit hambar. Ya, berat badannya memang sedikit turun, namun bukan karena melakukan diet, olahraga, atau semacamnya. Pengkhianatan, kehilangan, dendam kesumat, membuatnya kehilangan selera untuk menyantap makanan. Ditambah seminggu terakhir, menjadi sekretaris Abraham benar-benar menguras tenaganya dan pikirannya penuh dengan segala hal yang membuat stres. Berat badan Flora otomatis turun. Sepertinya jika Abraham membuka jasa penurunan berat badan, dia akan sukses besar.

“Aku menyesal telah membawa istriku ke sini. Sejak tadi banyak pria yang tidak lepas menatapnya.” Sakha pura-pura berdecak sebal, merapatkan badannya pada Flora.

“Aduh, apa-apaan itu, membuat orang ingin muntah saja.” Arina mengernyit geli menatap Sakha. “Aku akui kamu beruntung, Flo. Suamimu ini meskipun sering membuat mual, dia setia. Jangankan berselingkuh, aku yakin dia bahkan tidak berani dekat-dekat dengan kucing betina sekalipun. Takut kamu marah.”

Gelak tawa Sakha terdengar seperti penghinaan untuk Flora. Di belakang punggungnya, Flora mengepalkan tangan, muak sekali harus pura-pura bertingkah seperti biasa. Sejujurnya dia bahkan merasa amat jijik ketika harus bersentuhan dengan Sakha seperti saat ini.

Dan saat Flora hendak menimpali ucapan Arina, sudut matanya menangkap sosok yang belakangan ini mulai familiar. Luna. Dia juga datang ke pesta pernikahan ini, melangkah anggun bersama salah seorang temannya. Dalam sekejap mereka menjadi pusat perhatian. Kecantikan Luna memang sangat mendominasi.

Sebuah kesadaaran mendarat di pikiran Flora ketika Luna terlihat akrab dengan mempelai pria. Flora tertawa miris. Tentu saja, mempelai itu sahabat baik Sakha. Dia tentu mengetahui rahasia suaminya sekelam apa pun itu.

“Flora? Hei, saya tidak menyangka kita bisa bertemu di sini.”

Lamunan Flora mengabur ketika sapaan yang terdengar ramah itu menelusup telinganya. Dia menoleh, mendapati Luna yang telah bergabung dengannya, menatap dengan raut seolah terkejut. 

Sungguh pertunjukan yang memuakkan. Besok-besok, boleh jadi Luna menjadi aktris yang amat berbakat.

“Oh, Luna? Kebetulan sekali.” Flora memaksakan seulas senyum sembari melirik Sakha sekilas. “Ah, kenalkan dia Luna, Mas. Rekan kerjaku.”

Gemuruh yang tidak pernah diperkirakan Flora akhirnya kembali datang saat Sakha mengulurkan tangannya ke arah Luna seraya menyeringai tipis. Flora pikir, dia sudah baik-baik saja. Namun setelah menyaksikan dalam jarak dekat seperti ini, rasa sakit itu datang berkali-kali lebih kejam. Tangan Flora yang bergetar cepat-cepat ia sembunyikan di belakang punggung.

“Sakha. Senang berkenalan dengan Anda, Nona Luna.”

Hebat sekali. Mereka memainkan peran dengan sangat baik.

Tepat setelah Sakha dan Luna melepaskan jabatan tangan mereka, Flora tidak kuat lagi. Gejolak mual yang seperti mengaduk perutnya tidak lagi tertahankan. Flora buru-buru izin ke toilet. Sedetik lagi berada di sana, dia tidak bisa menjamin kedua orang itu bisa keluar dari gedung pesta pernikahan dengan harga diri yang utuh.

***

Sembari mengelap tangannya dengan tisu, Flora membujuk hatinya agar bertahan sebentar lagi. Ia berhenti sejenak, menarik napas panjang beberapa kali sambil menepuk dadanya. Setelah mengangguk sekali, lantas berderap kembali ke kerumunan, saat itulah Flora menyaksikan Sakha yang diam-diam menyusupkan selembar tisu ke telapak tangan Luna.

Pandai sekali mereka melakukannya. Tidak ada seorang pun yang menaruh perhatian pada gelagat mereka yang tampak normal, namun menyimpan seribu kebusukan. Gigi Flora bergemeletuk, rasa ingin membalaskan dendam berkali-kali lebih menyakitkan kembali membumbung tinggi.

“Sudah selesai? Aduh, padahal aku baru ingin menyusulmu, Flo. Sepertinya aku kebanyakan makan, perutku rasanya sakit. Aku ke toilet sebentar, ya.” Sakha menepuk perutnya dua kali, meringis seperti menahan sakit, untuk kemudian berlalu setelah Flora mengangguk singkat. 

Sambil menyesap soda, Flora melirik Luna yang kini tengah berbincang dengan temannya, sesekali tertawa. Satu menit, Luna menjauh dari kerumunan setelah melambaikan tangannya. Flora menyeringai masam, tahu apa yang akan dilakukan wanita itu.

Setelah Luna lenyap dari kerumunan, Flora juga undur diri sekali lagi, bilang pada Arina bahwa sejak tadi perutnya terasa tidak nyaman. Dia mempercepat langkahnya, membuntuti Luna dengan jarak aman.

Awalnya, Flora kira Luna akan menuju toilet tempat dia memuntahkan makanan beberapa saat yang lalu. Namun ternyata perkiraan Flora melesat, Luna berbelok, lurus melewati lorong panjang. Tiba di ujung lorong, Luna mendorong pintu. Flora baru menyadari jika di gedung pernikahan itu ada toilet tidak terpakai di ujung lorong, terdapat peringatan bahwa toilet rusak yang ditempel di pintu.

Flora mengendap-endap, melepas heels-nya agar tidak ada suara ketukan sepatu yang menarik perhatian. Dengan jantung bertalu, Flora mendekati pintu, mencoba mendengarkan pembicaraan dua sejoli yang dimabuk cinta terlarang itu.

“Cantik ... sungguh cantik. Para pria hidung belang itu beruntung, aku tidak langsung meremukkan tulang mereka. Sekali lagi mereka menatapmu seperti tadi, aku tidak yakin bisa menahan diri.”

Suara Sakha terdengar samar, namun bisa langsung membuat Flora terhuyung, segera bertumpu pada dinding sebelum tubuhnya benar-benar ambruk.

“Oh ya? Bukankah istrimu juga cantik? Aku lihat dia sudah lebih baik dari pertama kali aku melihatnya.”

“Hm ... hm.” Meskipun tidak melihatnya secara langsung, Flora tahu jika Sakha sedang menggelengkan kepalanya. “Tidak ada yang bisa menyaingi kecantikanmu, Luna. Tidak untuk hari ini atau esok lusa. Kamu akan selalu menjadi yang terbaik, yang paling sempurna.”

“Benarkah? Kalau begitu kamu akan segera memenuhi janjimu untuk menceraikannya?”

Pertanyaan menantang Luna itu turut serta membawa keheningan setelahnya. Flora membeku. Kepalanya sedikit menengadah dengan mata terpejam erat, mati-matian menahan tangis.

“Aku akan melakukannya. Tapi, kamu tahu sendiri, Luna, perusahaanku sedang tidak baik saat ini. Aku butuh Flora untuk membantuku bertemu dengan Abraham. Mengingat posisimu sekarang, kamu tidak akan bisa mempertemukanku dengannya. Setelah perusahaanku baik-baik saja, aku akan mewujudkan semua mimpimu, Luna, termasuk yang paling mustahil sekalipun. Aku janji.”

Air mata Flora luruh seketika. Dia merasa lorong itu mengimpitnya, sesak luar biasa. Tertatih-tatih Flora berusaha menjauh, menyeret kakinya yang terasa seperti kehilangan tulang-tulang penyokongnya.

Baru lima meter, Flora berhenti. Keheningan mendera telinganya, menyelimuti lorong penuh luka itu. Napasnya berubah memburu, lantas dengan kasar Flora menyeka air matanya yang turun. Tidak, mana boleh air matanya turun untuk dua keparat memuakkan itu. Mereka sama sekali tidak pantas menikmati kekalahannya.

Flora membalikkan badan, menemukan sapu dengan gagang tinggi yang diletakkan di pojok dinding. Segera Flora menyambarnya, melintangkannya melewati dua handle pintu yang memanjang, membuat pintu akan susah dibuka dari dalam.

Flora tersenyum puas, berucap tanpa suara, “Semoga kalian membusuk di dalam, berselimut dingin dan bau kotoran. Sampai jumpa di neraka.”

Tepat ketika Flora berderap pergi empat langkah, ponselnya bergetar, nama yang tertulis di layar membuatnya buru-buru menjauh.

“Ke rumah saya sekarang, Flora. Ada hal yang harus kamu lakukan.”

Ah, kali ini bos menyebalkan itu secara tidak langsung telah menyelamatkan kewarasan Flora.

***

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Yanti Keke
fighting Flora.....
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Pembalasan Dendam Istri Lugu   BAB 38| UCAPAN SELAMAT TINGGAL

    Nadine berada di mejanya, sedang fokus pada layar komputer ketika Flora mendorong cepat pintu studio. Mata perempuan itu terbelalak seiring ia yang spontan bangkit berdiri dengan punggung menegak. Gesturnya menjadi waspada.“Kairo—di mana dia?” Flora langsung bertanya, keadaan saat ini mendesak, ia tidak punya waktu untuk berbasa-basi.“Eh, saya akan menanyakan dulu—”“Aku akan ke atas.” Tanpa menunggu persetujuan Nadine terlebih dahulu, Flora berderap ke arah tangga lantai dua.“Tidak bisa begitu!” Nadine nyaris melompat untuk menghentikan. Ia tergopoh berlari untuk menghalangi, merentangkan tangannya di depan Flora.Flora baru ingin membuka mulut ketika suara dari belakang sana menghentikannya, juga membuat Nadine menoleh.“Biarkan dia, Nadine.” Kairo berdiri di anak tangga paling bawah, memakai pakaian santai, dan melemparkan tatapan tajam pada Flora. “Kamu boleh pulang. Aku akan selesaikan sisanya.”Dari air muka Nadine, bisa Flora pastikan perempuan itu agak kurang setuju. Ia men

  • Pembalasan Dendam Istri Lugu   BAB 37| RAHASIA YANG TERKUAK

    Sudah nyaris lima belas menit Flora bergeming di meja kerjanya dengan pandangan yang nanar dan menerawang. Deretan tulisan di layar komputer menjadi terasa jauh sekali, seolah-olah kisah yang tertulis di sana milik seseorang dari antah-berantah yang tidak ia kenal.‘Istri Rowan Ganendra Ditemukan Meninggal di Halaman Belakang Rumah, Diduga Melompat dari Lantai Empat.’Itu adalah artikel ketujuh yang Flora baca mengenai dugaan bunuh diri ibu Abraham, membacanya berkali-kali dengan harapan apa yang dibacanya tidak benar. Namun, segala yang tertulis dalam artikel-artikel itu nyaris semuanya sama: Elsie Ganendra melakukan bunuh diri dengan melompat dari lantai empat rumahnya pada tengah malam, dua puluh tahun silam.Punggung Flora yang menegang, perlahan mengendur saat ia bersandar pada kursi dan mengembuskan napas panjang. Ia melirik ke arah ruangan Abraham yang terlihat melalui kaca, menemukan pria itu yang sedang melakukan pembicaraan dengan salah satu kepala departemen. Flora memandan

  • Pembalasan Dendam Istri Lugu   BAB 36| PENAWARAN

    ‘Aku akan pulang terlambat, Flo.’Flora menyandarkan punggungnya ke kursi sembari menghirup uap cokelat hangat ketika ia membaca pesan itu, dari Sakha. Ia segera menutup pesan tanpa membalas, lantas kembali menyesap cokelatnya.“Aduh, manis sekali.” Flora melemparkan tatapan tenang pada langit senja. “Tentu saja kamu harus menghibur pacarmu yang sedang sedih.”Seluruh kejadian di kantor kembali berputar di kepala Flora, lalu sebentuk seringaian terbit di bibirnya. Hari ini ia berhasil membuat topeng samaran Luna perlahan retak. Itu yang ingin ia tunjukkan pada rekan-rekan kerja wanita itu. Perlahan-lahan, dan dengan cara yang menyakitkan.Telepon semalam yang berisi kemesraan Flora dengan Sakha hanya alat untuk membuat emosi Luna menjadi tidak stabil. Ketika seseorang dalam kondisi seperti ini, cukup beri sedikit saja tekanan, maka ia akan kehilangan kendali dengan mudah. Sisi Luna yang temperamental telah Flora pertontonkan kepada rekan-rekan kerjanya, memperkecil kemungkinan ia akan

  • Pembalasan Dendam Istri Lugu   BAB 35| PENGHAKIMAN DALAM SENYAP

    “Untuk makan siang.” Flora meletakkan paper bag di meja Abraham. “Sama seperti Bapak, saya juga tidak suka berutang budi.”Abraham mengalihkan pandangan dari layar komputer, melirik paper bag. “Ini bukan rendang varian depresi, kan? Saya sedang tidak berminat memakan sesuatu yang dibumbui keputusasaan.”Flora membalasnya dengan cibiran tanpa suara. “Tahu tidak, demi memasak ini saya bangun pagi-pagi buta sekali, tidur hanya beberapa jam saja. Dan setelah ini harus mengerjakan tugas yang seperti tumpukan dosa itu. Setidaknya beri saya ucapan terima kasih.”Salah satu alis Abraham terangkat, menilai penampilan Flora. “Tapi kamu tidak terlihat seperti orang yang kurang tidur.”Oh, tentu saja Abraham tidak akan menemukan kesuraman di wajah Flora. Pesta besar baru saja ia gelar dengan meriah, mana mungkin ia akan menyia-nyiakan kesempatan ini untuk murung dan meratapi nasib.“Yah, tidak ada gunanya juga bertingkah menyedihkan. Saya tidak ingin menjadi pecundang yang pantas dikasihani.” Flo

  • Pembalasan Dendam Istri Lugu   BAB 34| PERMAINAN DALAM SAMBUNGAN TELEPON

    Mobil sedan hitam Abraham merapat taman depan rumah Flora. Sunyi mengungkung sekitar, hanya derik samar serangga dari kejauhan yang terdengar. Lampu penerangan di jalan setapak yang membelah taman sudah menyala, tanda Sakha sudah pulang. Tanpa sadar Flora mendengus masam, sejujurnya ia sedang tidak ingin berhadapan dengan wajah memuakkan pria itu.“Jangan lakukan hal bodoh. Kalau tiba-tiba kamu ingin sekali memukul kepalanya, bergegas pergi ke ruangan lain dan tenangkan diri kamu.”Wejangan dari Abraham itu akhirnya membuat Flora tertawa, sebagian kekesalannya mulai mencair. “Tenang saja, malam ini saya menjadi anak baik. Mereka tidak boleh mati semudah itu.” Ia mengerlingkan matanya. “Mau masuk dulu? Saya cukup pandai membuat teh yang enak.”“Sudah cukup ‘karma’ yang harus saya terima hari ini. Terlalu lama bersama kamu akan membuat saya ikut tidak waras.” Abraham menyugar singkat rambutnya. “Masuklah. Istirahat dengan baik.”Flora menarik napas panjang, mengangguk. “Terima kasih unt

  • Pembalasan Dendam Istri Lugu   BAB 33| MENARI SEPERTI IBLIS

    Dingin yang disalurkan lantai butik terasa lebih menggigit, keheningan pekat menyelimuti Abraham dan Flora yang masih bersembunyi di balik punggung sofa. Suara Sakha sudah tidak lagi terdengar, sepertinya dia sudah selesai memilih sepatu dan sekarang sedang menuju kasir.Sudut mata Abraham menangkap seorang pegawai yang tampak terkejut melihat mereka duduk di lantai, hendak berjalan mendekat. Namun, baru selangkah, tangan Abraham terangkat untuk menghentikannya. Pegawai itu sedikit membungkuk, sebelum menjauh dari sana.Flora masih menunduk muram, bergeming seolah satu-satunya hal yang paling menarik baginya hanya lantai marmer butik. Abraham memandangnya lama, bertahan tidak bersuara. Sejujurnya, ia tidak pandai menghibur orang lain. Abraham selalu merasa canggung tiap kali mencoba berinteraksi layaknya orang awam, ia kurang mengerti caranya.“Mereka sudah kembali bersama rupanya ....”Gumaman Flora membuat Abraham mengerjap beberapa kali. Ia baru ingin mengajak Flora pergi dari sana

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status