“Hentikan helaan napasmu itu, Flora. Kamu menganggu makan siang saya.”
Suara yang lebih terdengar seperti menghardik itu membuat Flora melipat bibirnya seketika. Ia diam-diam melirik sinis Abraham yang tengah menikmati steiknya. Ah, lihat itu. Setelah mempermalukannya, bisa-bisanya Abraham makan dengan damai, sementara Flora harus merasa khawatir tentang masa depannya.
Bertepatan dengan pelayan yang selesai menyajikan dessert, Flora meletakkan sendoknya. Bulat sudah tekadnya untuk meminta pertanggungjawaban Abraham. Dia sudah terlanjur terjerembab ke kubangan lumpur, maka Flora memutuskan sekalian mandi di sana.
“Maaf jika saya lancang mengatakan ini, Pak. Tapi untuk selanjutnya, mohon sekali Bapak memberikan instruksi yang jelas dan lengkap sehingga kejadian seperti hari ini tidak terjadi di masa depan.” Flora mencoba menekan kekesalan yang sudah mengendap di hatinya sejak hari pertama menjadi sekretaris Abraham, sehingga suaranya menjadi sedikit bergetar. Kalau menuruti kata hatinya, sudah pasti Flora akan meraih gelas berisi jus alpukat di depannya, lantas melemparkannya kepada bosnya.
Abraham mengangkat wajahnya, menatap lurus ke manik mata Flora. “Sebagai sekretaris CEO, bukankah seharusnya insting kamu lebih tajam, Flora? Semestinya kamu sudah harus bisa memperhitungkan mana kolega yang sebatas hubungan kerja dan kolega yang dekat layaknya keluarga. Jadi itu salah kamu sendiri, jangan coba-coba mengalihkan kesalahan pada saya.”
Tidak perlu dijelaskan lagi kalau sekarang Flora sedang memaki-maki Abraham dalam hati. Enak sekali menjadi atasan, bisa mencari-cari argumen untuk melimpahkan segala kesalahan pada bawahan.
Mereka sedang membicarakan tentang insiden di perusahaan Djaya beberapa saat yang lalu, di mana Flora dengan gagah berani menghalangi Stella yang mencoba menggapai lengan Abraham. Flora sudah percaya diri sekali jika tindakannya benar, hingga saat Stella menyingkirkannya dengan kasar dan langsung memeluk lengan Abraham, Flora tahu jika dia telah membuat kesalahan.
Yang membuat Flora melongo, Abraham seperti tidak merasa keberatan Stella menyentuh setiap jengkal lengannya, seakan sosok Abraham Ganendra yang alergi terhadap sentuhan manusia itu tidak pernah ada. Baru kemudian Flora tahu, mereka masih kerabat, bisa dikatakan Stella adalah sepupu jauh Abraham.
Itu masih belum apa-apa dibandingkan saat Stella membisikkan kata-kata horor sebelum Flora keluar dari ruangan.
“Jangan harap bisa hidup dengan tenang setelah ini.” Begitu kata Stella, dan jantung Flora seperti langsung melebur begitu melihat ulah gila Stella yang dimuat di beberapa surat kabar online. Penyerangan fisik hingga membuat patah hidung korban, tekanan mental yang membuat korban depresi, dan dari sekian banyak kasus yang ditimbulkan, Stella sama sekali tidak menunjukkan penyesalan. Bagaimana Flora tidak cemas luar biasa?
“Bapak tidak akan tinggal diam jika Nona Stella melakukan sesuatu yang buruk terhadap saya, bukan?” Meski kecil kemungkinannya, Flora mencoba peruntungannya. Siapa tahu masih ada setitik nurani dalam hati Abraham.
“Tidak. Pekerjaan saya banyak, mana sempat saya mengurus kamu, Flora. Nanti bisa-bisa semua karyawan akan meminta bantuan saya jika sedang kesusahan.”
Apa kata yang lebih buruk dibanding sialan, berengsek, dan keparat? Flora bersumpah akan menggunakan kata-kata itu untuk mengumpat pada Abraham.
“Ah, buat informasi saja, tahun lalu Stella hampir tidak bisa diselamatkan setelah memukul kepala salah satu musuhnya dengan botol bir, membuatnya gegar otak.” Dengan santai Abraham mengatakan hal itu sembari memasukkan potongan steik ke mulutnya.
Flora jadi bertanya-tanya, kiranya dia menyambit Abraham sekarang, pasal apa yang telah menunggunya.
Yang tidak Flora dan Abraham sadari, terpaut lima meja dari meja mereka, Luna tengah mengepalkan tangan melihat pemandangan yang membuat dadanya bergemuruh hebat. Bukan saja karena Abraham yang terlihat nyaman berbincang dengan sekretarisnya, melainkan juga karena wanita itu adalah Flora. Perasaan jemawa telah merebut Sakha bisa menjadi tolak ukur dirinya lebih baik dari Flora, namun kejadian ini benar-benar menghantam kepalanya dengan keras.
Setahun sudah dia melakukan segala cara untuk menarik perhatian Abraham. Berpenampilan cantik, membangun citra sempurna, pun sekuat tenaga melakukan pekerjaan dengan baik dan tepat. Semuanya percuma. Jangankan menaruh perhatian, Abraham bahkan sama sekali tidak meliriknya.
Luna mendengus keras, menggumamkan sumpah serapah dan tekad untuk menghancurkan hidup Flora lebih dahsyat lagi.
***
Ketukan heels yang terdengar semakin dekat membuat Flora menoleh, menemukan Luna yang melangkah dengan anggun ke mejanya. Sejenak Flora mengamati penampilan wanita itu yang terlihat berbeda dari biasanya. Riasannya terlihat lebih wah, dan kemeja yang dipadu rok pendek memperlihatkan bentuk tubuhnya yang sempurna.
“Siang, Flora. Saya mau bertemu dengan Pak Abraham untuk menyerahkan laporan. Beliau ada di ruangannya, bukan?” Sambil bertanya pada Flora, kepala Luna melongok ke arah ruangan Abraham yang terlihat sedikit melalui kaca yang tidak tertutup. Ia tersenyum senang kala melihat pria itu berada dalam ruangannya, sibuk dengan berkas-berkas di meja.
“Serahkan saja kepada saya, Luna. Nanti akan saya sampaikan.”
“Tidak, harus saya serahkan sendiri sekalian membahas sesuatu dengan Pak Abra.”
Tanpa perlu bertanya, Flora tahu maksud Luna, bisa menebak tujuan dari penampilan yang berbeda itu. Luna jelas ingin menggoda Abraham, menarik perhatian pria itu sebanyak mungkin.
“Baik, biar saya tanyakan dulu.” Flora menekan tombol interkom yang langsung terhubung dengan ruangan Abraham. “Selamat siang, Pak. Luna dari Departemen Marketing ingin menemui Bapak untuk menyerahkan laporan dan membahas masalah pekerjaan.”
Tidak langsung ada jawaban dari Abraham. Pria itu sejenak mengalihkan pandangannya dari berkas-berkas ke arah meja Flora, melihat Luna yang berdiri di sana.
“Biarkan dia masuk, Flora.”
Dapat Flora lihat wajah Luna yang bersemu senang setelah mendengar ucapan singkat Abraham.
“Silakan masuk.”
“Terima kasih.”
Tepat di ujung kalimatnya, Luna berlalu. Ketukan hak sepatu kembali terdengar. Dia mendorong pintu ruangan Abraham dengan senyum merekah dan tentu saja sikap anggun yang setia menempel untuk menaikkan citranya. Kalau saja Flora tidak mengenal Luna sebelumnya, dia juga pasti akan tertipu dengan keanggunan yang tampak alami itu.
Mata Flora tidak lepas mengamati segala pergerakan Luna melalui kaca. Wanita itu berdiri di depan meja Abraham setelah menyerahkan laporan. Meski hanya bisa melihat dari belakang, Flora tahu Luna tengah tersenyum lebar sembari mengatakan sesuatu terkait pekerjaan atau apalah, karena atensi Abraham tengah tertuju padanya. Ah, dan lihat itu. Luna sengaja menelusupkan anak rambut ke belakang telinga dengan gerakan sensual. Flora menjadi tidak tenang, khawatir Abraham benar-benar akan jatuh ke pesona Luna, dan semua rencananya akan hancur.
Tiga menit berlalu, kekhawatiran Flora menemukan jawabannya. Abraham keluar terlebih dahulu dari ruangannya dengan wajah sedatar papan, Luna mengikuti di belakangnya dengan raut tertekuk. Gagal rupanya.
“Umumkan jadwal rapat dengan Departemen Humas diajukan tiga puluh menit, Flora. Ayo kita makan siang dulu sebelum itu.” Abraham berhenti sejenak di depan meja Flora, berucap datar.
“Baik, Pak.”
Dan ketika Flora hendak melangkah keluar dari mejanya, Luna yang kesal melakukan hal tak terduga. Dia sengaja menyandung kakinya sendiri hingga membuatnya kehilangan keseimbangan dan mengarahkan badannya kepada Abraham.
“Eh ... akh!”
Dapat Flora lihat dengan jelas ketika badan Luna yang limbung terarah pada Abraham. Jika refleks Abraham bagus, dia pasti akan menangkap Luna atau dirinya akan berakhir tertubruk dengan keras. Yang tidak pernah Flora duga, sepersekian detik sebelum Luna mengenai Abraham, pria itu menggeser badannya ke samping kiri, membuat Luna mengenai udara kosong, jatuh berdebum ke lantai dengan bunyi retakan renyah.
Flora tercengang di tempat, menatap Luna yang terkapar di lantai, untuk kemudian mengalihkan pandangannya pada Abraham dengan raut tidak percaya.
“Ah ... lain kali kamu harus lebih berhati-hati. Bagaimana saya bisa menyerahkan pekerjaan jika berjalan saja tidak bisa kamu lakukan dengan benar?” Tanpa belas kasih seujung kuku pun, Abraham mengeluarkan kata-kata tajamnya, menatap sambil lalu Luna yang teronggok tidak berdaya.
Rahang Flora seperti ingin menggelinding. Ia jadi amat yakin jika Abraham masih berkerabat dekat dengan iblis.
“Dan kamu, Flora.” Ucapan itu membuat Flora tersentak, langsung memusatkan perhatian pada Abraham. “Apa yang kamu lakukan, heh? Ada seseorang yang mau menyentuh saya, tapi kamu hanya diam berdiri di sana? Hari ini jam kerja kamu bertambah satu jam!”
Dasar bos sialan!
***
Nadine berada di mejanya, sedang fokus pada layar komputer ketika Flora mendorong cepat pintu studio. Mata perempuan itu terbelalak seiring ia yang spontan bangkit berdiri dengan punggung menegak. Gesturnya menjadi waspada.“Kairo—di mana dia?” Flora langsung bertanya, keadaan saat ini mendesak, ia tidak punya waktu untuk berbasa-basi.“Eh, saya akan menanyakan dulu—”“Aku akan ke atas.” Tanpa menunggu persetujuan Nadine terlebih dahulu, Flora berderap ke arah tangga lantai dua.“Tidak bisa begitu!” Nadine nyaris melompat untuk menghentikan. Ia tergopoh berlari untuk menghalangi, merentangkan tangannya di depan Flora.Flora baru ingin membuka mulut ketika suara dari belakang sana menghentikannya, juga membuat Nadine menoleh.“Biarkan dia, Nadine.” Kairo berdiri di anak tangga paling bawah, memakai pakaian santai, dan melemparkan tatapan tajam pada Flora. “Kamu boleh pulang. Aku akan selesaikan sisanya.”Dari air muka Nadine, bisa Flora pastikan perempuan itu agak kurang setuju. Ia men
Sudah nyaris lima belas menit Flora bergeming di meja kerjanya dengan pandangan yang nanar dan menerawang. Deretan tulisan di layar komputer menjadi terasa jauh sekali, seolah-olah kisah yang tertulis di sana milik seseorang dari antah-berantah yang tidak ia kenal.‘Istri Rowan Ganendra Ditemukan Meninggal di Halaman Belakang Rumah, Diduga Melompat dari Lantai Empat.’Itu adalah artikel ketujuh yang Flora baca mengenai dugaan bunuh diri ibu Abraham, membacanya berkali-kali dengan harapan apa yang dibacanya tidak benar. Namun, segala yang tertulis dalam artikel-artikel itu nyaris semuanya sama: Elsie Ganendra melakukan bunuh diri dengan melompat dari lantai empat rumahnya pada tengah malam, dua puluh tahun silam.Punggung Flora yang menegang, perlahan mengendur saat ia bersandar pada kursi dan mengembuskan napas panjang. Ia melirik ke arah ruangan Abraham yang terlihat melalui kaca, menemukan pria itu yang sedang melakukan pembicaraan dengan salah satu kepala departemen. Flora memandan
‘Aku akan pulang terlambat, Flo.’Flora menyandarkan punggungnya ke kursi sembari menghirup uap cokelat hangat ketika ia membaca pesan itu, dari Sakha. Ia segera menutup pesan tanpa membalas, lantas kembali menyesap cokelatnya.“Aduh, manis sekali.” Flora melemparkan tatapan tenang pada langit senja. “Tentu saja kamu harus menghibur pacarmu yang sedang sedih.”Seluruh kejadian di kantor kembali berputar di kepala Flora, lalu sebentuk seringaian terbit di bibirnya. Hari ini ia berhasil membuat topeng samaran Luna perlahan retak. Itu yang ingin ia tunjukkan pada rekan-rekan kerja wanita itu. Perlahan-lahan, dan dengan cara yang menyakitkan.Telepon semalam yang berisi kemesraan Flora dengan Sakha hanya alat untuk membuat emosi Luna menjadi tidak stabil. Ketika seseorang dalam kondisi seperti ini, cukup beri sedikit saja tekanan, maka ia akan kehilangan kendali dengan mudah. Sisi Luna yang temperamental telah Flora pertontonkan kepada rekan-rekan kerjanya, memperkecil kemungkinan ia akan
“Untuk makan siang.” Flora meletakkan paper bag di meja Abraham. “Sama seperti Bapak, saya juga tidak suka berutang budi.”Abraham mengalihkan pandangan dari layar komputer, melirik paper bag. “Ini bukan rendang varian depresi, kan? Saya sedang tidak berminat memakan sesuatu yang dibumbui keputusasaan.”Flora membalasnya dengan cibiran tanpa suara. “Tahu tidak, demi memasak ini saya bangun pagi-pagi buta sekali, tidur hanya beberapa jam saja. Dan setelah ini harus mengerjakan tugas yang seperti tumpukan dosa itu. Setidaknya beri saya ucapan terima kasih.”Salah satu alis Abraham terangkat, menilai penampilan Flora. “Tapi kamu tidak terlihat seperti orang yang kurang tidur.”Oh, tentu saja Abraham tidak akan menemukan kesuraman di wajah Flora. Pesta besar baru saja ia gelar dengan meriah, mana mungkin ia akan menyia-nyiakan kesempatan ini untuk murung dan meratapi nasib.“Yah, tidak ada gunanya juga bertingkah menyedihkan. Saya tidak ingin menjadi pecundang yang pantas dikasihani.” Flo
Mobil sedan hitam Abraham merapat taman depan rumah Flora. Sunyi mengungkung sekitar, hanya derik samar serangga dari kejauhan yang terdengar. Lampu penerangan di jalan setapak yang membelah taman sudah menyala, tanda Sakha sudah pulang. Tanpa sadar Flora mendengus masam, sejujurnya ia sedang tidak ingin berhadapan dengan wajah memuakkan pria itu.“Jangan lakukan hal bodoh. Kalau tiba-tiba kamu ingin sekali memukul kepalanya, bergegas pergi ke ruangan lain dan tenangkan diri kamu.”Wejangan dari Abraham itu akhirnya membuat Flora tertawa, sebagian kekesalannya mulai mencair. “Tenang saja, malam ini saya menjadi anak baik. Mereka tidak boleh mati semudah itu.” Ia mengerlingkan matanya. “Mau masuk dulu? Saya cukup pandai membuat teh yang enak.”“Sudah cukup ‘karma’ yang harus saya terima hari ini. Terlalu lama bersama kamu akan membuat saya ikut tidak waras.” Abraham menyugar singkat rambutnya. “Masuklah. Istirahat dengan baik.”Flora menarik napas panjang, mengangguk. “Terima kasih unt
Dingin yang disalurkan lantai butik terasa lebih menggigit, keheningan pekat menyelimuti Abraham dan Flora yang masih bersembunyi di balik punggung sofa. Suara Sakha sudah tidak lagi terdengar, sepertinya dia sudah selesai memilih sepatu dan sekarang sedang menuju kasir.Sudut mata Abraham menangkap seorang pegawai yang tampak terkejut melihat mereka duduk di lantai, hendak berjalan mendekat. Namun, baru selangkah, tangan Abraham terangkat untuk menghentikannya. Pegawai itu sedikit membungkuk, sebelum menjauh dari sana.Flora masih menunduk muram, bergeming seolah satu-satunya hal yang paling menarik baginya hanya lantai marmer butik. Abraham memandangnya lama, bertahan tidak bersuara. Sejujurnya, ia tidak pandai menghibur orang lain. Abraham selalu merasa canggung tiap kali mencoba berinteraksi layaknya orang awam, ia kurang mengerti caranya.“Mereka sudah kembali bersama rupanya ....”Gumaman Flora membuat Abraham mengerjap beberapa kali. Ia baru ingin mengajak Flora pergi dari sana