LOGINTampan.
Luar biasa tampan. Bahkan, Arthur yang kurang ajar itu pun kalah tampan dengan sosok pria bertubuh kekar yang memesona di hadapan Selena saat ini. "Siapa kau?" tanya pria itu lagi. Selena tersadar, lantas berdiri sambil merapikan debu yang tertinggal pada gaun kurang bahannya. Melihat bagaimana penampilan Selena saat ini, pria itu membuang muka sembari mendecih pelan. "Ah, jangan bilang kalau kau adalah salah satu gadis panggilan dari Rumah Bordil Beruna? Kau ingin menggodaku? Percuma saja kau melakukan semua ini. Keluar dari tendaku, Nona." Selena mendongak, memberanikan diri menatap sepasang mata biru pria di hadapannya itu. "Permisi, tapi ... apakah kau tidak mengingat saya, Tuan Grand Duke?" tanya Selena pelan. Alis kanan pria itu meninggi, lantas memberi tatapan meremehkan yang sudah membuat Selena kesal duluan. Kalau saja dia tidak sedang dalam keadaan terjepit, mungkin dia akan melempari Jeffrey dengan sesuatu. Sayangnya, dia harus menahan keinginan tersebut untuk saat ini. "Kita ... pernah bertemu sebelumnya, Tuan Grand Duke ...." "Di rumah bordil? Maaf saja, tapi aku tidak tertarik untuk menyewa jasamu. Biarpun kau memang mempunyai tubuh yang seksi—ya aku mengakuinya, tapi aku tidak tertarik untuk melakukan hal semacam itu sekarang ini." "O-oh?" Sempat-sempatnya Selena salah tingkah. "Aku terlihat seksi ya?" Jeffrey mengernyit, lantas mendesah lelah. "Apa ini? Kalau kau datang ke tenda ini hanya untuk bermain-main, cepat pergi saja sana! Aku mau beristirahat." "Eh!" Selena tersadar. Gadis itu mendekat dua langkah. "Tuan Grand Duke, saya ... begini, saya ... saya adalah putri tunggal dari keluarga Marquees Douglass. Perkenalkan, nama saya Selena Douglass." Mendengar nama keluarga tersebut, Jeffrey memindai penampilannya. Pria itu tampak menimbang-nimbang, sebelum akhirnya menggeleng lelah. "Kau senang mengkhayal ya?" Selena menganga. "Astaga, saya tidak berbohong, Tuan Grand Duke! Saya memang Selena! Selena Douglass." "Lalu, semisal kau memang sosok Selena Douglass yang sesungguhnya, kenapa kau bisa berada di sini, hm? Bahkan, kau datang bersama rombongan Rumah Bordil Beruna dengan gaun kurang bahan seperti ini," tukas Jeffrey dibarengi tatapan menyelidik yang membuat Selena meremang. "Ceritanya panjang, Tuan Grand Duke. Saya mohon ... bisakah Anda membantu saya agar bisa melarikan diri dari rumah bordil itu? Saya berjanji akan melakukan apa pun sebagai imbalannya. Apa pun yang Anda inginkan dari saya, saya akan melakukannya. Tapi sebelum itu, tolong selamatkanlah saya agar tidak kembali ke rumah bordil itu dan merelakan keperawanan saya, Tuan Grand Duke. Saya mohon ...." Jeffrey melipat tangan di depan dada, memindai penampilan Selena sekali lagi lantaran memang mengenali ada yang familier dari wajah gadis di hadapannya itu. "Selena Douglass, katamu?" tanya Jeffrey memastikan. Selena cepat-cepat mengangguk. "Itu benar saya, Tuan Grand Duke." "Apa buktinya?" "Huh?" "Kaupikir, kau bisa membohongiku semudah itu? Tidak. Aku harus melihat buktinya terlebih dahulu, apakah kau benar-benar seorang Selena Douglass atau tidak." Tentu saja. Pria bergelar Grand Duke seperti Jeffrey tidak mungkin percaya begitu saja dengan sembarang orang. Justru, akan sangat aneh kalau pria dingin yang jarang bersosialisasi itu percaya padanya langsung pada pandangan pertama. Untuk itulah, Selena meraih kalung dengan liontin emerald pada lehernya, lalu ditarik secepat mungkin. Disodorkannya kalung tersebut kepada Jeffrey dengan penuh kepastian. "Emerald dari keluarga Marquees Douglass, Tuan Grand Duke." Jeffrey menerima kalung tersebut, mengamati liontin yang gemerlap meski hanya disinari oleh sinar mentari yang menyeruak masuk melalui bukaan tenda. "Kau tidak mencuri kalung ini?" Selena menjatuhkan rahang. Ingin sekali dia berteriak sekeras mungkin tepat pada telinga Jeffrey, bahwa kalung emerald itu merupakan miliknya. "Itu milik saya, Tuan Grand Duke. Ah, setetes darah!" Selena mengambil belati dari sabuk yang melingkari pinggang Jeffrey tanpa aba-aba, membuat sang empunya mendengkus kesal. Kemudian, Selena mengiris sedikit telapak tangannya, menjatuhkan tetesan darahnya pada liontin emerald tersebut, sembari mengembalikan belati milik Jeffrey. Tidak perlu menunggu lama, terlihat bahwa emerald tersebut bersinar secara perlahan. Selena berbinar senang saat mendapati tatapan mata Jeffrey melunak. Walau tidak diperlihatkan secara gamblang, jelas sekali bila Jeffrey percaya akan dirinya. Pembuktian semacam itu hanya berlaku bagi anggota keluarga yang memiliki darah asli dengan yang berada dalam pembuatan liontin emerald. "Bagaimana? Apakah sekarang Anda percaya pada saya, Tuan Grand Duke? Saya memang benar Selena Douglass." Jeffrey mendesah pasrah. "Duduklah terlebih dahulu sembari menceritakan apa yang sebenarnya terjadi padamu, Lady Douglass." Selena tersenyum senang begitu Jeffrey mengakui dirinya dengan panggilan tersebut. Segera saja, gadis itu duduk di salah kursi yang berada dalam tenda itu, berhadapan dengan Jeffrey yang mulai meminum segelas wine-nya. "Jadi, kenapa bisa Lady dari salah satu keluarga bangsawan lama bisa berada dalam situasi semacam ini?" Selena terdiam selama beberapa saat. Dia memang harus menjelaskan segalanya kepada Jeffrey. Namun, mengingat bahwa yang melakukan ini adalah tunangannya serta adik angkatnya sendiri, Selena merasa sesak tak terkira. Belum lagi, kenyataan bahwa kedua orang tuanya juga tidak membelanya, malah membela Mersya dengan segenap keyakinan. Perasaan penuh ketidakadilan itu menyesaki dada Selena hingga yang gadis itu lakukan hanya mengepalkan kedua tangan di atas pangkuannya erat-erat. "Sebelum itu, bolehkah saya bertanya, Tuan Grand Duke?" "Tentu. Silakan," "Apakah ... tidak ada pemberitahuan dari Ibu Kota tentang pencarian saya? Kalau saya sudah menghilang dari mansion selama ini, tentunya orang tua saya sudah khawatir terhadap keberadaan saya, 'kan?" Selena menggigit bibir bawah, gugup menanti jawaban Jeffrey yang mungkin saja membawa sedikit kelegaan dalam hatinya. Akan tetapi, Jeffrey menggeleng tanpa disisipi oleh kebohongan apa pun. "Tidak. Tidak ada kabar apa pun dari Ibu Kota, Lady. Bahkan, burung pembawa pesan yang baru saja datang setengah jam lalu hanya berisi tentang pesan dari Kaisar." Semua rasa sakit yang mendera Selena, seketika berubah menjadi keinginan untuk membalas dendam yang teramat sangat. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa kedua orang tuanya yang seharusnya menjadi harapan satu-satunya malah tidak mencarinya sama sekali? •••••Grand Duke Jeffrey memasuki aula dengan penuh percaya diri, disertai tampang dingin tak bersahabat yang kerap pria itu pasang setiap harinya. Sebetulnya, dia sangat membenci agenda semacam ini. Jeffrey dikenal dingin dan tegas. Kalau tidak menyukai sesuatu, tentu pria itu akan berkata secara terus terang. Tadinya, dia ingin berkata kepada Sang Kaisar bahwa pesta perjamuan seperti ini hanya akan membuang waktu berharganya saja. Namun, setelah dia bertemu dengan Selena dan memutuskan untuk membantu rencana balas dendam gadis itu, mendadak Jeffrey jadi bersemangat—seperti halnya saat ini.Pria itu melirik sosok Mersya yang berdiri di tepi karpet merah, mematung lantaran mendapati eksistensi Selena yang melangkah penuh keanggunan tepat di belakangnya. Mungkin jika siapa pun berpikir Mersya baru saja melihat hantu, mereka pastinya akan percaya. Sebab, Jeffrey ingin sekali melayangkan tawa meremehkannya saat melihat betapa pucat wajah putri angkat dari keluarga Marquees Douglass yang satu
"Karena kau akan datang sebagai calon istriku, kau harus memakai gaun yang paling mahal dan berkelas dari sini, Lady Selena."Selena menggigit bibir bawahnya. Perintah Jeffrey yang satu itu sangat sulit untuk ditolak. Selama ini, dia memang mendapatkan gaun dengan kualitas terbaik saat berada di kediaman Douglass. Namun, tentu saja tidak sebagus seperti yang kerap diberikan kepada Mersya.Gadis itu menghela napas secara perlahan, menyadari bahwa selama ini dirinya sudah mengalah sebanyak itu. Sampai-sampai kenyamanannya sendiri dikesampingkan hanya untuk membuat senang adik angkatnya itu."Ada apa? Apa kau tidak menyukai pilihan gaun yang ada saat ini?" tanya Jeffrey dengan mata memicing."Ah, tidak, Tuan Grand Duke. Justru, saya tidak pernah memiliki gaun dengan kualitas sebaik ini," ungkap Selena, kembali memindai beberapa gaun yang sudah dipilihkan."Tidak pernah? Kau adalah Lady Douglass, Lady Selena. Kenapa tidak pernah memiliki gaun dengan kualitas seperti ini? Bagiku, ini sudah
Bruk!Kegiatan yang dilakukan oleh Arthur dan Mersya pun terhenti. Sepasang manusia yang hendak mencapai puncak kenikmatan itu melongok keluar paviliun untuk mencari asal suara tersebut."Suara apa tadi itu?" Mersya merapikan kembali gaunnya. "Apa kubilang, Tuan Arthur? Tidak seharusnya kita melakukannya di luar ruangan seperti ini. Sekarang, bagaimana kalau ada yang memergoki, huh?"Arthur mengacak rambutnya kasar. Kesal sekali karena kegiatan panas mereka terhenti begitu saja. Pria muda itu melangkah keluar paviliun, mengedar pandang. "Tidak ada siapa-siapa? Apakah kucing? Di sini ada kucing yang suka berkeliaran tidak?" tanya Arthur seraya kembali untuk memeluk Mersya penuh nafsu.Mersya yang sama-sama masih belum mengendalikan diri dari penyatuan panas mereka tadi, membiarkan Arthur melakukan yang pria muda itu mau. Meski begitu, dalam hati dia tidak bisa berbohong jika sedang dipenuhi kecemasan.Bagaimana jika orang tua angkatnya tahu?Bisa-bisa mereka kecewa padanya. Namun, men
"Apakah kau belum pernah berciuman sebelumnya, Lady?""Te-tentu saja sudah pernah, Tuan Grand Duke. Ha-hanya saja. ... waktu itu dengan—"Selena segera membungkam mulutnya. Kebencian itu kembali menyeruak, begitu teringat bahwa dia pernah berciuman dengan Arthur. Pekan lalu, saat berada di taman mansion keluarganya.Mendadak, dia merasa mual. Siapa yang mengira kalau bibir Arthur juga sudah berciuman dengan milik adik angkatnya yang bermuka dua itu?"Jadi, kau sudah pernah berciuman, bukan?" tanya Jeffrey sekali lagi.Selena mengangguk kikuk."Bagus. Berdiri.""Bagaimana, Tuan Grand Duke?""Kau mendengarnya—berdiri."Tidak mempunyai pilihan lain, Selena menurut. Gadis itu berdiri, tetapi langsung merasa ciut saat tatapan Jeffrey jatuh padanya seakan-akan tengah menelanjanginya saat itu juga."Mendekat."Selena melakukannya. Gadis itu mendekat tiga langkah, lalu berhenti tepat di hadapan Jeffrey yang masih duduk nyaman pada kursinya."Tuan Grand Duke ingin—akh!"Tanpa aba-aba, Jeffrey
"Apa?! Oh, maafkan saya, Tuan Grand Duke ...." Sandra segera menguasai diri saat tidak sengaja memperlihatkan keterkejutannya terhadap ucapan Jeffrey barusan. Ketika Sandra sedang mencari keberadaan Selena, dia mampir ke tenda Grand Duke dan mendapati Selena sudah duduk nyaman di kursi terdekat dengan gaun yang lebih sederhana. "Kau tidak salah dengar, Nona. Aku akan membawa gadis yang satu ini sebagai gadis simpananku. Katakan! Berapa koin emas yang kalian butuhkan?" Mendengar kata 'koin emas', sepasang mata Sandra berbinar senang. Tentu saja. Uang adalah yang utama di saat seperti ini. Mau dengan cara menjual salah satu gadis di rumah bordil atau tidak, semuanya tidak menjadi masalah selama mendapatkan uang yang banyak. "Kata Madam Tussell tadi, gadis ini seharga seratus ratus koin emas, Tuan Grand Duke, sebab dia masih perawan." Selena nyaris tak memercayai pendengarannya. Jadi, keperawanan seseorang hanya dihargai sebanyak itu? Sebesar dua ekor kambing yang diperjualbelik
Tampan. Luar biasa tampan. Bahkan, Arthur yang kurang ajar itu pun kalah tampan dengan sosok pria bertubuh kekar yang memesona di hadapan Selena saat ini. "Siapa kau?" tanya pria itu lagi. Selena tersadar, lantas berdiri sambil merapikan debu yang tertinggal pada gaun kurang bahannya. Melihat bagaimana penampilan Selena saat ini, pria itu membuang muka sembari mendecih pelan. "Ah, jangan bilang kalau kau adalah salah satu gadis panggilan dari Rumah Bordil Beruna? Kau ingin menggodaku? Percuma saja kau melakukan semua ini. Keluar dari tendaku, Nona." Selena mendongak, memberanikan diri menatap sepasang mata biru pria di hadapannya itu. "Permisi, tapi ... apakah kau tidak mengingat saya, Tuan Grand Duke?" tanya Selena pelan. Alis kanan pria itu meninggi, lantas memberi tatapan meremehkan yang sudah membuat Selena kesal duluan. Kalau saja dia tidak sedang dalam keadaan terjepit, mungkin dia akan melempari Jeffrey dengan sesuatu. Sayangnya, dia harus menahan keinginan tersebu







