Share

6. Rahasia Ben

“Aku benar-benar masih menyayangimu.” Thalia mengulang ucapannya. Suaranya tidak lagi bergetar, ia terlihat jauh lebih tegar dari sebelumnya. “Biar bagaimanapun, kita punya cukup banyak kenangan bersama. Demi itu semua, dan demi rasa sayangku yang masih cukup besar kepadamu, aku ingin mengatakan bahwa kamu harus lebih berusaha memperbaiki hidupmu.”

Ben sempat merasa tersentuh mendengar Thalia masih peduli kepadanya, tetapi ia lantas mengerutkan kening kebingungan. “Memperbaiki hidupku?”

“Pindahlah ke tempat tinggal yang lebih layak dan bagus. Aku tidak mau Alisya di atas sana menyaksikan bagaimana hidup orang tuanya begitu kacau.”

“Oh, kalau soal itu,” Ben berdeham dengan kikuk, “sebenarnya, aku sudah ada—“

“Yang kumaksud bukan rumah kumuh dekat pantai yang bau amis itu. Tinggallah di tempat yang lebih aman.”

“Iya, aku tahu. Thalia, sebenarnya di hari Alisya kecelakaan—“

“Jangan lagi bahas soal itu! Dengarkan saranku sebagai orang yang paling mengenalmu. Jangan pikirkan tentang meninggalkan pantai yang menjadi mata pencaharianmu. Bisnismu akan tetap berjalan meskipun kamu pindah ke kota yang lebih baik.”

Ben menarik napas dalam. Ia sangat ingin mengatakan kabar baik yang telah lama ia rahasiakan, tetapi Thalia terus saja memotong ucapannya. Wanita itu terlihat lebih tergesa-gesa dari beberapa menit lalu.

Rupanya jawaban dari kebingungan Ben datang dalam bentuk seorang pria tampan yang berdandan sangat rapi. Pria itu berjalan dengan aura penuh percaya diri. Tatapannya menunjukkan bahwa tidak ada satu pun benda maupun manusia yang mampu mengalahkan keagungan dirinya di dunia ini. Ben menahan rasa mual yang selalu timbul setiap kali ia melihat pria itu.

“Sayang, sudah selesai bicaranya?” tanya pria itu sambil mengusap rambutnya yang ditata ke belakang.

“Iya, sudah. Kenapa kamu cepat sekali datangnya, Garry?”

“Kebetulan aku sedang berada di dekat sini,” jawab Garry sambil menggenggam salah satu tangan Thalia. Setelah itu, ia mengangguk ke arah Ben. “Apa aku sudah bisa membawanya pulang? Thalia masih kurang sehat dan butuh banyak istirahat.”

Ben menggeretakkan gigi mendengar itu, baik oleh rasa cemburu maupun kesal. Ia juga tidak suka mendapati dirinya merasa rendah diri di hadapan Garry.

Oleh karena itu, meskipun ia masih mempunyai hal untuk dibicarakan dengan Thalia, Ben tetap menganggukkan kepala. “Pulanglah. Thalia terlihat sangat lelah.”

“Tentu saja. Setelah anak tercintanya meninggal, ia masih harus mengkhawatirkan mantan suaminya yang menyedihkan.” Garry mengucapkan kalimat itu dengan suara yang sangat pelan sambil berbalik. Namun, Ben masih dapat mendengarnya dengan jelas.

“Garry,” tegur Thalia tidak suka. Wanita itu lantas menatap Ben penuh penyesalan sebelum akhirnya membiarkan dirinya dituntun Garry menuju sebuah mobil MPV berwarna putih.

Ben tidak mampu berkutik hingga Thalia dan Garry benar-benar menghilang dari pandangan. Ia menggeram kesal sambil memukul pohon terdekat. “Bisa-bisanya kamu membiarkan dirimu direndahkan seperti itu, Ben!” umpatnya kepada dirinya sendiri. “Seharusnya kamu katakan sesuatu! Buktikan kalau kamu tidak serendah itu!”

Setelah puas memukuli batang sang pohon malang, Ben akhirnya berdiri sambil merogoh saku celana. Mengeluarkan sebuah kunci yang begitu berkilauan di bawah cahaya matahari, serta sebuah foto rumah dua lantai dengan cat warna krem.

“Aku sudah membeli rumah baru di daerah yang lebih layak. Seharusnya aku pergi ke sana bersama Alisya, tetapi Alisya meninggal lebih dulu sebelum aku sempat mengatakan apa pun.” Ben sibuk berbicara sendiri. Setelah menyimpan barang-barang itu kembali ke dalam saku celananya, ia menggeram hebat. “Aargh! Kenapa semuanya begitu mudah diucapkan sekarang? Kenapa tadi aku tidak bisa mengucapkan itu kepada Thalia?”

Ben menjambak rambutnya yang telah tumbuh cukup panjang hingga menyentuh leher. Memanfaatkan rasa sakit yang muncul untuk mengalihkannya dari rasa frustrasi. Namun, usahanya tidak membuahkan hasil.

Ditambah lagi, angin yang semula bertiup pelan kini mulai meradang. Rintik-rintik hujan menggelitik wajah dan tangannya. Ben menengadah, memandang sebagian besar langit biru telah tertutup oleh awan tebal putih keabuan. Setetes air mendarat di kelopak matanya, membuatnya refleks terpejam.

Di tengah suara gemuruh yang menggema, Ben hanya mendengar suara isak tangis Thalia yang menolak meninggalkan pikirannya.

Ia tahu pasti bahwa saat ini ia terlihat bodoh. Bodoh dan menyedihkan, dua kata sifat yang hampir selalu mengiringi namanya sepanjang hidup.

Namun, ia akan segera menyingkirkan kedua kata yang merendahkannya itu.

Dengan satu tangan, Ben meraih ponselnya dan menghubungi seseorang. Sementara tangannya yang lain mengepal kuat di sisi tubuh.

“Bawa mobilnya kemari.”

***

Ben duduk dengan nyaman di kursi belakang mobil dengan bagian interior didominasi oleh warna coklat. Sebuah kaleng minuman energi berdiri di tempat minum yang tersedia di bagian tengah. Tubuh Ben berbaring nyaman di atas kursi yang jauh lebih empuk dan lembut dari tempat tidurnya selama ini. Ben berusaha keras untuk tidak tertidur demi terus memandang pemandangan di luar jendela yang terasa asing.

“Menyebalkan. Rupanya pemandangan bisa terlihat jauh berbeda tergantung dari mana aku melihatnya,” keluhnya pelan. Ia sungguh tidak pernah menganggap jalan di kota Patah sebagai pemandangan yang indah, tetapi melalui kaca mobil barunya yang sangat bening dan berkilau bahkan dalam keadaan basah karena hujan, Ben merasa seperti tengah menjelajahi dunia lain.

Sekilas ia melihat salah satu pegawainya lewat menggunakan sepeda motor. Keranjang besar dengan penutup yang rapat berada di bagian belakang. Bel khas suara pedagang ikan keliling menembus pintu mobil mewah Ben.

“Dia bekerja dengan cukup rajin bahkan di tengah hujan. Sebaiknya aku menaikkan upahnya,” gumamnya pelan. Mengundang protes dari sopirnya yang sedari tadi menyetir dengan tenang.

“Bagaimana denganku? Aku sudah melakukan cukup banyak hal untukmu, Ben! Aku bahkan jadi sopir pribadimu sekarang.” Pria itu menoleh sekilas dan menyeringai. Memperlihatkan dengan jelas bekas luka horizontal di bawah matanya. Salah satu tangannya sibuk membetulkan bagian kerah jas hitam yang tidak cocok dengan penampilannya secara keseluruhan.

“Kita bisa membicarakan kembali gajimu jika kamu berhasil membawa mobil seharga nyawaku ini dengan selamat, Sander,” jawab Ben tidak acuh. 

Sander bersiul mendengar itu. “Sebenarnya kau habis merampok konglomerat mana? Atau kamu menemukan putri duyung di antara ikan-ikan yang bawahanmu tangkap? Bagaimana bisa kamu membeli mobil semewah ini dalam semalam?”

“Aku sudah membelinya sejak beberapa hari yang lalu.”

“Tidak ada bedanya! Intinya, aku harus tahu dari mana kau mendapatkan ini. Aku tidak ingin kembali terlibat dengan polisi karena masalah yang bahkan tidak banyak menguntungkanku, kau tahu.”

“Tenang saja.” Ben mencondongkan tubuh ke depan. Salah satu tangannya memegang belakang kursi pengemudi. “Anggap saja aku mendapatkan durian runtuh. Kamu tahu bagaimana aku tidak pernah melakukan hal ilegal.”

Sander menatapnya dari kaca spion dengan penuh curiga. Namun, ia akhirnya memilih untuk tidak lagi mendesak Ben. “Baiklah, Aku percaya padamu. Tapi biar kukatakan satu hal.”

“Apa itu?”

“Gantilah bajumu! Penampilan lusuhmu itu tidak cocok dengan mobil ini! Bisa-bisa orang mengira aku bos dan kaulah sopirnya di sini!”

Ben lantas terkekeh mendengar itu. “Aku tidak mungkin terlihat seburuk itu.”

“Yah ….” Sander mendengkus. “Kurasa kau benar. Semua orang hanya akan fokus kepada wajah tampanmu. Semua orang, kecuali istrimu. Apa dia yakin tidak mau kembali padamu setelah semua kemewahan yang kamu miliki ini? Setahuku, mobil mereka bahkan tidak mencapai setengah harga mobil ini.”

“Sudahlah. Kapan kita akan sampai?” Ben menghela napas lelah sambil kembali bersandar. Tidak ingin melanjutkan pembicaraan yang kemungkinan besar akan berpusat kepada hubungannya dengan mantan istrinya. “Lama sekali. Seingatku, aku tidak pernah menempuh perjalanan sejauh ini.”

“Hmm … soal itu.” Dengan gugup Sander menunjuk ke layar yang berada di samping setir mobil. Layar itu menunjukkan berbagai garis yang memiliki banyak cabang, saling berpotongan satu sama lain. Melihatnya saja dapat membuat Sander gelisah. “Sebenarnya dari tadi aku ingin bertanya padamu. Apa aku sudah mengambil jalan yang benar?”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status