Pertemuan antara Ben dan Thalia baru terjadi beberapa hari kemudian. Dengan sengaja Ben terus menundanya, berniat memberikan waktu untuk mereka berdua menenangkan diri masing-masing terlebih dulu.
Ia tidak bisa memikirkan tempat pertemuan selain makam anak mereka tercinta. Berpikir bahwa setidaknya, ia bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk mengunjungi tempat peristirahatan Alisya bersama Thalia.
Ben tiba beberapa menit lebih dulu. Semua pekerjaan hari ini telah ia titipkan kepada pegawai kepercayaan. Sambil membawa satu buket bunga mawar merah kesukaan Alisya, Ben berjalan pelan melewati makam demi makam. Hingga akhirnya langkahnya terhenti. Kedua matanya sedikit melebar melihat keadaan makam Alisya.
“Apa ini? Siapa yang ….”
“Garry yang mengerjakan semuanya.”
Ben menoleh ke arah Thalia yang baru saja berbicara. Berbeda dengan hari di saat Alisya dimakamkan, kali ini wanita itu mengenakan pakaian yang lebih kasual. Tidak ada selendang yang menutupi rambut hitamnya yang digulung ke belakang. Ia hanya mengenakan kaus putih polos di balik sweter merah muda serta celana jin biru tua.
Sesaat Ben terpana melihatnya. Ia ingat penampilan itu. Alisya yang telah membelikan sweter dan celana jin itu untuk Thalia di hari ulang tahun sang mantan istri tahun lalu. Perasaan Ben lantas campur aduk setelah menyadari hal ini. Sebisa mungkin ia mengalihkan pandangannya dari Thalia.
“Dia bilang, dia ingin agar Alisya memiliki tempat istirahat yang cantik dan nyaman.” Thalia terus berbicara tanpa menyadari benak Ben yang tengah berkecamuk. “Kamu tahu sendiri, Garry selalu melakukan setiap pekerjaan dengan maksimal. Dia tidak ingin setengah-setengah, apalagi untuk Alisya.”
Ben menelan ludahnya sendiri. Entah mengapa ia merasa tersindir oleh ucapan Thalia. Padahal yang wanita itu lakukan hanyalah memuji suaminya sendiri.
“Bukankah ini terlalu berlebihan?” tanya Ben sambil menunjuk marmer hitam keabuan yang tersusun mengelilingi makam Alisya dengan elegan. Rumput-rumput kecil tersebar di bagian tengah, belum tumbuh sepenuhnya. Nisan yang semula hanya berupa kayu bertuliskan cat hitam kini berganti dengan batu putih berbentuk buku yang terbuka. “Alisya tidak pernah menyukai kemewahan. Dan lagi … kalaupun harus begini, seharusnya kalian diskusikan dulu denganku. Aku mungkin bisa turut membayar sebagian biayanya.”
“Tidak perlu. Kami punya lebih banyak uang darimu.”
“Tapi—“
“Sudahlah, Ben.” Thalia mendesah panjang sambil memijat pelipisnya sendiri. Seolah-olah berbicara dengan Ben begitu menguras energinya lebih dari apa pun. Matanya juga terus menolak bertatapan dengan pria itu. Ia lebih memilih melihat ke arah yang berlawanan. Sadar atau tidak, ia juga mempertahankan jarak yang cukup besar di antara mereka. “Kamu tidak perlu mengkhawatirkan apa pun soal Alisya. Kami yang akan mengurusnya.”
“Bagaimana bisa aku begitu? Alisya itu anakku juga, Thalia.” Suara Ben terdengar begitu lirih. Sangat berbeda dengan cara bicaranya sehari-hari.
Sesungguhnya, Ben sangat ingin mengamuk. Setiap kata yang keluar dari bibir Thalia terdengar begitu merendahkan dirinya. Jika saja yang berada di hadapannya adalah orang lain dan bukan mantan istrinya, mungkin Ben saat ini telah melayangkan tinjunya dengan sekuat tenaga.
Namun, amarah Ben selalu padam seketika setiap kali ia melihat tatapan sendu dari wanita yang pernah begitu ia cintai. Satu embusan napas berat dari Thalia saja mampu membuat Ben merutuki dirinya sendiri. Sebab ia tahu betul bahwa dirinya berperan besar dalam menghadirkan berbagai cobaan berat di hidup Thalia.
Seandainya saja ia merupakan pria yang lebih mumpuni, semuanya tidak harus berakhir seperti ini.
“Aku tahu, aku telah gagal dan banyak melakukan kesalahan di saat kita masih bersama.” Ben akhirnya kembali berbicara karena Thalia hanya terus terdiam. “Tapi tidak pernah satu kali pun aku berhenti berusaha untuk menjadi yang terbaik, Thalia. Baik untukmu maupun Alisya. Meskipun usahaku belum cukup, tolong hargai itu. Aku memang tidak lagi bisa melakukan apa pun untukmu, tapi aku ingin terus menjadi Ayah untuk Alisya bahkan setelah ia tidak ada lagi di dunia ini.”
Kalimat terakhir yang Ben ucapkan sukses membuat Thalia meneteskan air mata. “Terlambat, Ben! Semuanya sudah terlambat! Kenapa baru sekarang?”
“Apa maksudmu?”
“Setelah bercerai, kamu bahkan tidak memberikan uang nafkah untuk membesarkan Alisya, tidak seperti janjimu di pengadilan.” Thalia yang terisak-isak mulai kesulitan untuk berbicara. Ia menarik napas dalam dengan susah payah. “Semua kebutuhan kami, Garry yang penuhi. Bahkan sebelum dia resmi menjadi suamiku. Padahal … padahal aku ingin kamu terus menunjukkan tanggung jawabmu dengan membantu biaya sekolah Alisya!”
“Itu karena …,” Ben menggeram frustrasi, “itu karena keluargamu memblokir semua jalan untukku! Aku bahkan tidak bisa langsung menghubungimu di saat Alisya kecelakaan! Selama ini kita hanya terus berkomunikasi lewat Alisya, jadi bagaimana mungkin aku membicarakan soal itu? Alisya tidak boleh terlibat dengan masalah kita berdua!”
“Jangan beralasan! Aku tidak pernah mengganti nomor teleponku, Ben. Hanya saja aku tidak mungkin menghubungimu lebih dulu karena Garry pasti akan cemburu!”
“Kalau begitu mungkin ponselmu secara ajaib menyimpan nomorku di daftar hitam,” sindir Ben. Kedua mata sipitnya mengilap dengan garang. “Iya, pasti begitu. Baik kamu, ayahmu, ibumu, maupun Garry tidak mungkin melakukan itu kepadaku. Bahkan satpam rumah kalian pasti tidak sengaja mengusirku setiap kali aku berkunjung!”
Thalia menganga mendengar itu. Ia ingin langsung membalas ucapan Ben, tetapi lidahnya tidak dapat menemukan kata yang tepat untuk itu. Otaknya memutar kembali semua kejadian setelah ia bercerai dengan Ben lalu menikah dengan Garry. Ia pernah berharap Ben akan hadir di pernikahannya karena ia tahu Ben tidak pernah menyimpan dendam kepadanya. Namun, di saat Ben tidak kunjung menunjukkan batang hidungnya bahkan setelah berbulan-bulan berlalu, Thalia mulai sangat membenci mantan suaminya itu.
Kebencian yang mulanya tidak mempunyai akar yang kuat itu lama-lama tumbuh semakin besar hingga setiap kekurangan kecil dari Ben mampu membuatnya tersulut amarah. Thalia merutuki Ben setiap hari, tanpa mengetahui penderitaan yang mungkin juga dialami oleh sang mantan suami.
Perasaan bersalah mulai menjalar di dadanya. Thalia yang akhirnya tersadar akan kesalahannya jatuh terduduk di atas tanah. Kedua telapak tangannya menutup wajahnya erat-erat.
Melihat Thalia yang tampak begitu rapuh saat menangis tersedu-sedu, Ben refleks mengulurkan tangan untuk meraihnya. Beruntung, ia cepat tersadar bahwa ia tidak lagi mempunyai hak untuk menyentuh wanita itu. Akhirnya, Ben hanya berdiri di tempat dengan kepala tertunduk. Mendengarkan setiap keluhan yang Thalia ucapkan di balik telapak tangan.
“Kita sudah gagal, Ben. Bukan hanya kamu, aku juga sudah gagal menjadi ibu untuk Alisya.” Thalia mengulang kalimat itu berkali-kali.
Ben sedikit meringis membayangkan bahwa Thalia mungkin terus menderita seperti ini sejak kematian Alisya. Ia juga merasa sangat malu akan dirinya yang begitu tidak berdaya untuk memperbaiki semuanya.
“Tidak, Thalia. Akulah yang paling bersalah di sini. Tolong jangan menyalahkan dirimu sendiri terlalu lama.” Hanya itu yang bisa Ben ucapkan untuk menenangkan Thalia.
Butuh waktu cukup lama hingga akhirnya tangisan Thalia mereda. Sejenak wanita itu mengecek ponselnya yang sempat berbunyi, mengetik sebuah pesan sebelum akhirnya kembali berdiri tegak.
Kedua mata Thalia telah sembap dan memerah. Berkali-kali ia menggosok matanya sendiri dengan kasar. Namun, Ben menangkap ekspresi lain selain kesedihan di wajah wanita itu. Tiba-tiba ia merasakan jantungnya berdetak lebih kencang di saat otaknya mulai berpikir macam-macam.
Ben sangat mengenali tatapan penuh kasih sayang itu. Mungkinkah …?
“Ben, sejujurnya,” Thalia meraih tangan Ben sebelum menatapnya dalam-dalam, “ada alasan lain kenapa aku ingin bicara berdua saja.”
Ben menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Ia cukup terkejut menyadari bahwa Thalia masih dapat membuatnya gugup seperti dulu. “A-apa itu?”
“Aku masih sangat sayang kepadamu.”
***
Hai! Selamat datang di novel pertama WealthyPetty. Semoga kalian suka ceritanya, ya ^^
“Aku benar-benar masih menyayangimu.” Thalia mengulang ucapannya. Suaranya tidak lagi bergetar, ia terlihat jauh lebih tegar dari sebelumnya. “Biar bagaimanapun, kita punya cukup banyak kenangan bersama. Demi itu semua, dan demi rasa sayangku yang masih cukup besar kepadamu, aku ingin mengatakan bahwa kamu harus lebih berusaha memperbaiki hidupmu.”Ben sempat merasa tersentuh mendengar Thalia masih peduli kepadanya, tetapi ia lantas mengerutkan kening kebingungan. “Memperbaiki hidupku?”“Pindahlah ke tempat tinggal yang lebih layak dan bagus. Aku tidak mau Alisya di atas sana menyaksikan bagaimana hidup orang tuanya begitu kacau.”“Oh, kalau soal itu,” Ben berdeham dengan kikuk, “sebenarnya, aku sudah ada—“
“Apa ini jalan yang benar? Zamanku dulu tidak pernah ada peta seperti ini.”Ben mengangkat sebelah alisnya. “Dengarkan saja terus petunjuknya. Aku yakin sudah memasukkan alamat yang tepat.”“Tapi dari tadi aku tidak mendengar apa pun.” Sambil mengatakan itu, Sander sibuk menekan setiap tombol yang terdapat di bagian terluar layar. Ia sedikit kesulitan karena masih harus menyetir dengan fokus.Hingga akhirnya suara wanita yang berasal dari aplikasi peta itu terdengar sangat keras, mengejutkan Sander dan juga Ben. Keduanya tersentak di tempat. Sander sendiri hampir menginjak rem secara mendadak di tengah jalan raya. Dengan seringai penuh rasa bersalah, ia mengangkat salah satu tangannya tanda meminta maaf.Lagi-lagi Ben harus mengatur na
Ben terbangun dengan perasaan yang sedikit lebih tenang. Meskipun mimpi tentang masa kecilnya bukanlah hal yang cukup membahagiakan, Ben cukup senang bisa mengingat kembali Rossa, teman-temannya, serta satu orang gadis yang selalu ia rindukan.Dalam hati ia berniat untuk berkunjung ke Panti Asuhan Kurnia Sentosa dalam waktu dekat.Untuk saat ini, Ben masih membutuhkan waktu untuk sendiri. Tampaknya ia masih belum benar-benar pulih dari rasa kehilangan karena dalam beberapa detik ia kembali merasa sesak. Dengan terburu-buru ia melangkah keluar rumah tanpa memedulikan penampilannya yang kemungkinan besar terlihat berantakan. Ia sungguh memerlukan udara segar di luar bangunan dua lantai yang beratap tinggi tetapi terasa menghimpit tubuhnya ini.“Rumah ini tidak sebesar itu, tapi kenapa pintu keluarnya terasa jauh
Ben tertawa sinis mendapati bahwa ia tanpa sengaja kembali ke daerah pinggiran kota Patah. Rupanya ia benar-benar telah berlari terlalu jauh hingga menempuh jarak yang biasanya hanya ditempuh dengan mobil.“Sepertinya aku memang harus kembali.”Bertahun-tahun tinggal di sana membuat Ben hafal setiap belokan yang harus dilaluinya. Dengan pikiran kosong pun ia akan tetap sampai ke rumah kecilnya yang semakin hari semakin menyerupai gubuk.Namun, sebelum itu, ia mengambil jalan lain menuju pantai. Beberapa orang yang terlihat masih berkumpul di sana membuatnya mengerutkan kening.“Kenapa kalian masih di sini? Bukankah seharusnya penjualan sudah selesai sebelum matahari terbit?” tanya Ben sambil melihat ke arah baskom-baskom besar berwarna biru
Suara berderak pelan terus terdengar dari sebuah pintu tua. Seorang pemuda yang menutupi seluruh wajah dan kepalanya dengan sarung kotak-kotak coklat tengah membungkuk di depan pintu itu, tangannya bergerak lincah memasukkan sesuatu ke lubang kunci. Pencahayaan lampu teras yang tidak terlalu baik membuatnya sedikit merasa aman, hanya sesekali kepalanya menengadah, memastikan bahwa tidak ada orang yang tengah menyaksikan aksinya.Setelah terdengar kunci pintu terbuka, pemuda itu menarik napas dalam sambil menyingkirkan kain yang sempat menutupi hidung dan mulutnya. Dengan senyum di bibir, ia melangkah masuk ke rumah yang baru saja ia bobol itu.“Hah … mudah sekali. Kenapa dia repot-repot ganti kunci kalau kualitasnya sama saja?” Ia bicara sendiri sambil memainkan tindik di bawah bibirnya dengan lidah. Kedua mata abu-abu kebiruan yang sangat ko
“Hmm?” Ben mengangkat salah satu alisnya penuh tanya. “Menyedihkan. Kamu tidak punya alasan yang lebih bagus?” Ia menghela napas sebelum bersiap untuk mengayunkan tinjunya.Denver hampir gila rasanya. Sekilas, ia dapat melihat seluruh hidupnya terbersit di pikirannya, seolah-olah otaknya tengah meninjau kembali seluruh waktu yang telah ia habiskan dengan sia-sia. Pemuda itu lantas mengumpat. Ia sama sekali belum mau mati. Meskipun kehidupan ini bersikap kejam kepadanya, ia masih memiliki tujuan yang akan ia capai meski harus menjungkirbalikkan dunia.Sebagai pertahanan terakhir, akhirnya Denver mengambil gantungan baju yang ada di dekatnya. Menghunuskan bagian ujungnya yang melengkung tetapi berujung runcing kepada Ben dengan sekuat tenaga. Refleks Ben yang bagus membuatnya menghindar tepat waktu, dan Denver memanfaatkan saat itu untuk b
“Saran? Apa saranmu?” Ben bertanya kepada Denver dengan tidak sabar.“Sewa detektif swasta,” jawab Denver penuh percaya diri. “Seperti aku, misalnya.”Ben dan Sander mendesah kecewa bersamaan. Keduanya lantas berbalik dan mengibaskan tangan kepada Denver. “Sudah cukup, anak kecil. Sekarang, pulanglah!” perintah Sander yang pergi ke arah berlawanan dari arah yang dituju Ben.“Tunggu dulu!” Terburu-buru Denver berteriak. “Baiklah! Kalau kalian tidak percaya padaku, tidak apa-apa! Tapi libatkan aku dalam penyelidikan kasus ini!”Ben yang muak mendengarkan omong kosong Denver kembali menghadap sang pemuda. Kedua tangannya menyilang di depan dada, sementara ekspresinya tidak terlihat jelas di tengah malam yang sudah semakin larut. “Dengar, anak muda. Aku tahu kamu serius dalam hal ini, tapi justru itu yang membuat aku yakin bahwa kamu seharusnya menjauh dari kasus ini. Aku akan menyelesaikannya dengan caraku, jadi kamu urus urusanmu sendiri.”
“Aku benar-benar serius soal ini.” Ben memberi penekanan pada setiap kata yang ia ucapkan. Kedua mata rubahnya menatap tajam. Gurat kemarahan terlihat jelas di wajahnya. “Seseorang telah membunuh anakku. Sebaiknya kalian melakukan penyelidikan kembali.”Seorang polisi yang sedang cukup baik untuk mendengarkan keluhan Ben sedari tadi lantas menarik napas dalam. Ujung lintingan kertas yang terjepit di antara bibirnya sedikit menyala dan terbakar. Ia mengembuskan napasnya tepat di depan wajah Ben. “Kamu pikir hanya kamu, ayah yang kehilangan anaknya di kota ini? Berhenti membuang-buang waktu kami dan tuntaskan kesedihanmu sendiri. Jangan sembarangan mengarang cerita atau hidupmu akan jauh lebih buruk dari ini.”“Hanya satu kali lagi saja! Pastikan semuanya lewat kamera pengawas, satu kali lagi.” Di titik ini, Ben tidak lagi mementingkan harga dirinya lagi. Ia akan memohon dan berlutut jika diperlukan. “Jika kalian benar-benar tidak menemukan apa pun yang mencurigakan,