Share

5. Perasaan Thalia

Pertemuan antara Ben dan Thalia baru terjadi beberapa hari kemudian. Dengan sengaja Ben terus menundanya, berniat memberikan waktu untuk mereka berdua menenangkan diri masing-masing terlebih dulu. 

Ia tidak bisa memikirkan tempat pertemuan selain makam anak mereka tercinta. Berpikir bahwa setidaknya, ia bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk mengunjungi tempat peristirahatan Alisya bersama Thalia.

Ben tiba beberapa menit lebih dulu. Semua pekerjaan hari ini telah ia titipkan kepada pegawai kepercayaan. Sambil membawa satu buket bunga mawar merah kesukaan Alisya, Ben berjalan pelan melewati makam demi makam. Hingga akhirnya langkahnya terhenti. Kedua matanya sedikit melebar melihat keadaan makam Alisya.

“Apa ini? Siapa yang ….”

“Garry yang mengerjakan semuanya.”

Ben menoleh ke arah Thalia yang baru saja berbicara. Berbeda dengan hari di saat Alisya dimakamkan, kali ini wanita itu mengenakan pakaian yang lebih kasual. Tidak ada selendang yang menutupi rambut hitamnya yang digulung ke belakang. Ia hanya mengenakan kaus putih polos di balik sweter merah muda serta celana jin biru tua.

Sesaat Ben terpana melihatnya. Ia ingat penampilan itu. Alisya yang telah membelikan sweter dan celana jin itu untuk Thalia di hari ulang tahun sang mantan istri tahun lalu. Perasaan Ben lantas campur aduk setelah menyadari hal ini. Sebisa mungkin ia mengalihkan pandangannya dari Thalia.

“Dia bilang, dia ingin agar Alisya memiliki tempat istirahat yang cantik dan nyaman.” Thalia terus berbicara tanpa menyadari benak Ben yang tengah berkecamuk. “Kamu tahu sendiri, Garry selalu melakukan setiap pekerjaan dengan maksimal. Dia tidak ingin setengah-setengah, apalagi untuk Alisya.”

Ben menelan ludahnya sendiri. Entah mengapa ia merasa tersindir oleh ucapan Thalia. Padahal yang wanita itu lakukan hanyalah memuji suaminya sendiri.

“Bukankah ini terlalu berlebihan?” tanya Ben sambil menunjuk marmer hitam keabuan yang tersusun mengelilingi makam Alisya dengan elegan. Rumput-rumput kecil tersebar di bagian tengah, belum tumbuh sepenuhnya. Nisan yang semula hanya berupa kayu bertuliskan cat hitam kini berganti dengan batu putih berbentuk buku yang terbuka. “Alisya tidak pernah menyukai kemewahan. Dan lagi … kalaupun harus begini, seharusnya kalian diskusikan dulu denganku. Aku mungkin bisa turut membayar sebagian biayanya.”

“Tidak perlu. Kami punya lebih banyak uang darimu.”

“Tapi—“

“Sudahlah, Ben.” Thalia mendesah panjang sambil memijat pelipisnya sendiri. Seolah-olah berbicara dengan Ben begitu menguras energinya lebih dari apa pun. Matanya juga terus menolak bertatapan dengan pria itu. Ia lebih memilih melihat ke arah yang berlawanan. Sadar atau tidak, ia juga mempertahankan jarak yang cukup besar di antara mereka. “Kamu tidak perlu mengkhawatirkan apa pun soal Alisya. Kami yang akan mengurusnya.”

“Bagaimana bisa aku begitu? Alisya itu anakku juga, Thalia.” Suara Ben terdengar begitu lirih. Sangat berbeda dengan cara bicaranya sehari-hari.

Sesungguhnya, Ben sangat ingin mengamuk. Setiap kata yang keluar dari bibir Thalia terdengar begitu merendahkan dirinya. Jika saja yang berada di hadapannya adalah orang lain dan bukan mantan istrinya, mungkin Ben saat ini telah melayangkan tinjunya dengan sekuat tenaga.

Namun, amarah Ben selalu padam seketika setiap kali ia melihat tatapan sendu dari wanita yang pernah begitu ia cintai. Satu embusan napas berat dari Thalia saja mampu membuat Ben merutuki dirinya sendiri. Sebab ia tahu betul bahwa dirinya berperan besar dalam menghadirkan berbagai cobaan berat di hidup Thalia.

Seandainya saja ia merupakan pria yang lebih mumpuni, semuanya tidak harus berakhir seperti ini.

“Aku tahu, aku telah gagal dan banyak melakukan kesalahan di saat kita masih bersama.” Ben akhirnya kembali berbicara karena Thalia hanya terus terdiam. “Tapi tidak pernah satu kali pun aku berhenti berusaha untuk menjadi yang terbaik, Thalia. Baik untukmu maupun Alisya. Meskipun usahaku belum cukup, tolong hargai itu. Aku memang tidak lagi bisa melakukan apa pun untukmu, tapi aku ingin terus menjadi Ayah untuk Alisya bahkan setelah ia tidak ada lagi di dunia ini.”

Kalimat terakhir yang Ben ucapkan sukses membuat Thalia meneteskan air mata. “Terlambat, Ben! Semuanya sudah terlambat! Kenapa baru sekarang?”

“Apa maksudmu?”

“Setelah bercerai, kamu bahkan tidak memberikan uang nafkah untuk membesarkan Alisya, tidak seperti janjimu di pengadilan.” Thalia yang terisak-isak mulai kesulitan untuk berbicara. Ia menarik napas dalam dengan susah payah. “Semua kebutuhan kami, Garry yang penuhi. Bahkan sebelum dia resmi menjadi suamiku. Padahal … padahal aku ingin kamu terus menunjukkan tanggung jawabmu dengan membantu biaya sekolah Alisya!”

“Itu karena …,” Ben menggeram frustrasi, “itu karena keluargamu memblokir semua jalan untukku! Aku bahkan tidak bisa langsung menghubungimu di saat Alisya kecelakaan! Selama ini kita hanya terus berkomunikasi lewat Alisya, jadi bagaimana mungkin aku membicarakan soal itu? Alisya tidak boleh terlibat dengan masalah kita berdua!”

“Jangan beralasan! Aku tidak pernah mengganti nomor teleponku, Ben. Hanya saja aku tidak mungkin menghubungimu lebih dulu karena Garry pasti akan cemburu!”

“Kalau begitu mungkin ponselmu secara ajaib menyimpan nomorku di daftar hitam,” sindir Ben. Kedua mata sipitnya mengilap dengan garang. “Iya, pasti begitu. Baik kamu, ayahmu, ibumu, maupun Garry tidak mungkin melakukan itu kepadaku. Bahkan satpam rumah kalian pasti tidak sengaja mengusirku setiap kali aku berkunjung!”

Thalia menganga mendengar itu. Ia ingin langsung membalas ucapan Ben, tetapi lidahnya tidak dapat menemukan kata yang tepat untuk itu. Otaknya memutar kembali semua kejadian setelah ia bercerai dengan Ben lalu menikah dengan Garry. Ia pernah berharap Ben akan hadir di pernikahannya karena ia tahu Ben tidak pernah menyimpan dendam kepadanya. Namun, di saat Ben tidak kunjung menunjukkan batang hidungnya bahkan setelah berbulan-bulan berlalu, Thalia mulai sangat membenci mantan suaminya itu.

Kebencian yang mulanya tidak mempunyai akar yang kuat itu lama-lama tumbuh semakin besar hingga setiap kekurangan kecil dari Ben mampu membuatnya tersulut amarah. Thalia merutuki Ben setiap hari, tanpa mengetahui penderitaan yang mungkin juga dialami oleh sang mantan suami.

Perasaan bersalah mulai menjalar di dadanya. Thalia yang akhirnya tersadar akan kesalahannya jatuh terduduk di atas tanah. Kedua telapak tangannya menutup wajahnya erat-erat.

Melihat Thalia yang tampak begitu rapuh saat menangis tersedu-sedu, Ben refleks mengulurkan tangan untuk meraihnya. Beruntung, ia cepat tersadar bahwa ia tidak lagi mempunyai hak untuk menyentuh wanita itu. Akhirnya, Ben hanya berdiri di tempat dengan kepala tertunduk. Mendengarkan setiap keluhan yang Thalia ucapkan di balik telapak tangan.

“Kita sudah gagal, Ben. Bukan hanya kamu, aku juga sudah gagal menjadi ibu untuk Alisya.” Thalia mengulang kalimat itu berkali-kali.

Ben sedikit meringis membayangkan bahwa Thalia mungkin terus menderita seperti ini sejak kematian Alisya. Ia juga merasa sangat malu akan dirinya yang begitu tidak berdaya untuk memperbaiki semuanya.

“Tidak, Thalia. Akulah yang paling bersalah di sini. Tolong jangan menyalahkan dirimu sendiri terlalu lama.” Hanya itu yang bisa Ben ucapkan untuk menenangkan Thalia.

Butuh waktu cukup lama hingga akhirnya tangisan Thalia mereda. Sejenak wanita itu mengecek ponselnya yang sempat berbunyi, mengetik sebuah pesan sebelum akhirnya kembali berdiri tegak.

Kedua mata Thalia telah sembap dan memerah. Berkali-kali ia menggosok matanya sendiri dengan kasar. Namun, Ben menangkap ekspresi lain selain kesedihan di wajah wanita itu. Tiba-tiba ia merasakan jantungnya berdetak lebih kencang di saat otaknya mulai berpikir macam-macam.

Ben sangat mengenali tatapan penuh kasih sayang itu. Mungkinkah …?

“Ben, sejujurnya,” Thalia meraih tangan Ben sebelum menatapnya dalam-dalam, “ada alasan lain kenapa aku ingin bicara berdua saja.”

Ben menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Ia cukup terkejut menyadari bahwa Thalia masih dapat membuatnya gugup seperti dulu. “A-apa itu?”

“Aku masih sangat sayang kepadamu.”

*** 

WealthyPetty

Hai! Selamat datang di novel pertama WealthyPetty. Semoga kalian suka ceritanya, ya ^^

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status