Share

7. Kenangan Masa Lalu

“Apa ini jalan yang benar? Zamanku dulu tidak pernah ada peta seperti ini.”

Ben mengangkat sebelah alisnya. “Dengarkan saja terus petunjuknya. Aku yakin sudah memasukkan alamat yang tepat.”

“Tapi dari tadi aku tidak mendengar apa pun.” Sambil mengatakan itu, Sander sibuk menekan setiap tombol yang terdapat di bagian terluar layar. Ia sedikit kesulitan karena masih harus menyetir dengan fokus.

Hingga akhirnya suara wanita yang berasal dari aplikasi peta itu terdengar sangat keras, mengejutkan Sander dan juga Ben. Keduanya tersentak di tempat. Sander sendiri hampir menginjak rem secara mendadak di tengah jalan raya. Dengan seringai penuh rasa bersalah, ia mengangkat salah satu tangannya tanda meminta maaf.

Lagi-lagi Ben harus mengatur napas untuk menahan amarahnya, tetapi kali ini ia gagal. “Tidak ada naik gaji untukmu, Pak Tua!”

Teriakan kecewa Sander mungkin akan mampu terdengar oleh para pengemudi di mobil lain.

Setelah lama berputar-putar, akhirnya mereka sampai di tempat tujuan. Ben langsung mengusir Sander pergi, sementara mantan preman itu dengan senang hati kembali mengemudi sendirian. Ia mengatakan sesuatu soal rencananya memamerkan mobil Ben ke teman-teman yang lain. Ben sama sekali tidak peduli dan hanya memaksa Sander untuk segera menghilang dari hadapannya.

Kini hanya ada Ben sendiri yang berdiri di depan bangunan dua lantai berwarna krem dan coklat pudar. Dua daun pintu hitam besar dengan gurat vertikal tipis menantinya. Ben menyentuh sebuah kotak asing yang berada tidak jauh dari kenop pintu, jejeran angka seketika muncul karenanya. Pria itu lantas terdiam sejenak, mengingat-ingat angka sandi yang telah ia atur sebelumnya.

Tanggal ulang tahun Alisya.

Namun, jari-jarinya menolak bergerak untuk menekan angka itu. Alhasil, Ben memilih cara lama, yaitu membuka pintu menggunakan kunci biasa.

Langkahnya menggema saat ia memasuki rumah yang sebelumnya ia persiapkan untuk Alisya itu. Bagian dalamnya terlihat jauh lebih berkelas dibandingkan bagian luar, tetapi Ben sama sekali tidak merasa senang.

“Sekarang harus kuapakan rumah ini?” Ia bertanya entah kepada siapa. Kakinya terus berjalan menyusuri lantai yang tidak memiliki goresan sedikit pun. Ben sampai melepas sepatunya karena tidak ingin mengotori permukaan berwarna putih bersih itu.

Kedua matanya melihat setiap perabotan yang ada. Mau tidak mau ia jadi membandingkan semuanya dengan rumah lamanya yang bahkan tidak mempunyai kursi untuk bersantai. Kini, Ben mempunyai satu set sofa mewah lengkap dengan meja kaca besar, dan bahkan setelah semua perabotan itu, lantai satu rumahnya masih mempunyai lahan yang cukup luas.

Sebuah lemari kayu besar berperan sebagai pembatas antara ruang depan dan dapur. Ben hanya menolehkan kepalanya sekilas untuk melihat ke ruangan lain, sebelum akhirnya ia mendudukkan diri di atas sofa tunggal. Seketika merasakan kenyamanan dari lembutnya serta empuknya sofa itu.

“Pantas saja harganya tidak masuk akal. Sander akan menggila jika tahu total uang yang kuhabiskan untuk rumah ini beserta isinya.”

“Kenapa kamu sampai menghabiskan uang sebanyak ini?” Ben bisa membayangkan dengan jelas bagaimana Sander akan bertanya kepadanya.

“Tentu saja untuk Alisya.” Tanpa sadar Ben mengucapkan jawabannya keras-keras. “Seharusnya sekarang dia ada di sini bersamaku. Seharusnya dia sedang berlarian melihat-lihat kamar barunya. Dengan semangat membicarakan warna cat dinding dan dekorasi yang dia inginkan, juga ….”

Tidak. Ben tidak boleh kembali terpuruk seperti ini. Ia sangat sadar akan hal itu, sehingga ia segera duduk tegak dan menarik napas dalam. Alisya tidak boleh melihat ayahnya menjadi lemah. Di mana pun jiwa Alisya kini berada, Ben harus tetap menjadi teladan yang baik baginya.

Namun, Ben sungguh tidak bisa menyingkirkan rasa bersalahnya. Bahkan setelah malam menjelang pun, ia tidak mampu tidur di kasur barunya dan lebih memilih untuk berbaring di atas karpet ruang tamu. Punggungnya bersandar kepada kaki sofa. Alas tidur yang tidak begitu empuk serta kerasnya kaki sofa yang menusuk punggungnya terasa begitu familier, hingga Ben mampu menyambut kenangan lama dalam bentuk bunga tidur.

Kenangan paling terdahulu yang masih Ben ingat sampai sekarang adalah kehidupannya di usia enam tahun, kurang lebih 29 tahun yang lalu. Ia berdiri sendirian di tengah lorong yang terdengar ramai oleh canda tawa dari puluhan anak di ruangan paling ujung. Senyum menghiasi wajah anak-anak itu, sementara Ben hanya mengamati dalam diam dan tanpa ekspresi.

Ben menunduk. Melihat mobil-mobilan berwarna merah menyala di tangannya. Mobil itu terlihat begitu keren dan dapat dikendalikan menggunakan remot. Seharusnya, semua anak akan begitu iri melihatnya memiliki mainan itu. Namun, kenapa Ben tetap sendirian tanpa satu pun teman?

“Sekarang kamu juga merupakan bagian dari keluarga ini.” Wanita paruh baya yang meminta untuk dipanggil Rossa pernah berkata dengan lembut kepada Ben. “Tenang saja. Anak-anak yang lain pasti akan sangat senang berteman denganmu.”

Nyatanya, Ben tetap sendirian bahkan sampai malam menjelang. Perhatian terbesar yang ia dapatkan dari anak lain hanyalah tatapan penuh tanya.

Tidak tahan, akhirnya di suatu hari, Ben memutuskan untuk melakukan sesuatu.

“Hai.” Ia menyapa seorang anak perempuan yang tengah bermain dengan boneka.

Anak perempuan itu terlihat melebarkan matanya sambil melirik ke kanan dan kiri. Dengan ragu ia tersenyum. “Hai. Ternyata kamu bisa bicara.”

Ben mengerutkan kening. “Tentu saja bisa. Memangnya ada anak yang gak bisa bicara?”

“Kadang-kadang ada anak yang seperti itu di sini.”

“Di mana dia sekarang?”

“Gak tahu. Mungkin sudah dipindahkan ke panti asuhan yang lain.”

Perlahan, kepala Ben mengangguk mendengar itu. Pembicaraan ini tidak berjalan seperti yang ia inginkan, tetapi setidaknya ia berhasil berbicara dengan seseorang selain Rossa. Ben terus berusaha untuk tetap melanjutkan interaksi ini selagi anak-anak lain yang lebih berisik masih sibuk berebut mainan di sudut lain ruangan.

“Kamu mau pinjam mobilku?” tawarnya sambil menyodorkan mainan kesayangannya. “Ini pemberian orang tuaku.”

“Wah! Beneran boleh pinjam?” Sang gadis kecil tampak berbinar, tetapi ia sama sekali tidak mengambil mobil-mobilan itu dan justru sibuk menggenggam tangannya sendiri. “Tapi … simpan saja. Nanti rusak. Itu, kan, peninggalan mama dan papamu.”

Ben yang heran mendengar jawaban anak itu lantas menggelengkan kepala dengan wajah mengerut. “Ambil aja. Kalau rusak, aku tinggal minta belikan lagi?”

“Minta ke Rossa?”

“Ke orangtuaku, lah.”

“Tapi, kan …,” bibir sang gadis kecil sedikit bergetar seolah-olah ia akan segera menangis, “kamu belum tahu kapan kamu bakal punya orang tua yang baru.”

“Orang tua baru?” Ben yang akhirnya mulai mengerti apa maksud anak perempuan itu lantas membelalakkan mata. Usianya yang masih terlampau muda untuk mengendalikan emosi membuatnya kelepasan. Ia membanting mobil-mobilan kesayangannya ke lantai. Sekuat tenaga menahan tangis saat melihat mainan itu sedikit pecah di beberapa bagian. “Aku gak perlu orang tua baru! Mama sama Papa bakal menjemputku lagi nanti!”

Terkejut oleh Ben yang tiba-tiba mengamuk, sang gadis malang langsung menangis. Tetesan air mata mengalir deras di pipinya, bersamaan dengan suara merengek yang nyaring. Dalam sekejap, perhatian semua orang yang berada di sana mengarah kepada mereka berdua.

Seorang pengasuh panti yang berusia jauh lebih muda dari Rossa lantas memeluk dan menepuk pelan pundak sang gadis. Dengan hati-hati, ia bertanya kepada Ben. “Ada apa? Kalian berdua berantem?”

“Dia yang mulai! Dia bilang aku bakal punya orang tua baru! Padahal Mama sama Papa bakal segera menjemputku!” jawab Ben dengan sedikit tergesa-gesa. Tidak ingin sang gadis kecil yang masih menangis mendahuluinya.

Jawaban Ben membuat air muka sang pengasuh berubah keruh. Ia terlihat membuka dan menutup mulutnya berkali-kali, tetapi pada akhirnya ia memusatkan seluruh perhatiannya untuk menenangkan anak yang menangis di pelukannya.

Seharusnya, situasi akan membaik berangsur-angsur setelah sang anak perempuan berhenti menangis. Namun, hari itu mungkin telah ditakdirkan untuk menjadi hari terburuk bagi para pengasuh panti, karena salah satu anak laki-laki seusia Ben yang kebetulan mendengar semuanya tiba-tiba saja mengatakan sesuatu dengan lantang.

“Orang tuamu sudah pergi dan gak bakal pernah datang lagi. Sama seperti orang tuaku dan teman-teman yang lain!”

“Sean ….” Pengasuh yang masih sibuk menenangkan sang gadis kecil mencoba menghentikan pertengkaran lain yang kemungkinan besar akan terjadi. Sayangnya, ia sendiri tidak bisa berbuat banyak.

Ke mana perginya para pengasuh lain saat mereka dibutuhkan?

“Kita semua sama! Kita itu anak yang dibuang! Anak-anak di sekolah bilang begitu!”

“Nggak! Aku beda! Aku cuma main sebentar di sini sampai Mama dan Papa menjemputku!” teriak Ben. Meski suaranya terdengar lantang dan yakin, ia sendiri kini mulai menangis. Kedua kakinya tidak berhenti mengentak lantai dengan gusar. Ia menggosok wajahnya yang basah dengan lengan. “Mama, Papa! Aku mau pulang sekarang! Teman-teman di sini jahat!”

Adanya satu orang tambahan yang menangis membuat seluruh anak yang tersisa mulai terisak. Baik yang berusia di bawah lima tahun, maupun yang jauh lebih besar dari itu. Tampaknya, seluruh kebenaran yang tiba-tiba saja diungkapkan oleh salah satu teman mereka membuat mereka tidak lagi mampu memendam semua kesedihan yang selama ini tersembunyi di balik sikap ceria mereka. Kenyataan pahit yang selalu berusaha mereka abaikan kini kembali ke permukaan.

Jauh di dalam lubuk hati, anak-anak itu pasti selalu bertanya-tanya mengapa mereka tidak memiliki kehidupan yang sama seperti teman-teman di sekolah. Rasa kesepian mereka memang bisa terobati karena kehadiran satu sama lain serta dukungan para pengasuh, tetapi pada akhirnya, peran orang tua tidak bisa tergantikan begitu saja.

Kehadiran Ben yang jauh lebih berani mengungkapkan isi hatinya membuat ketenangan palsu Panti Asuhan Kurnia Sentosa pecah begitu saja.

Entah apa yang membuat Ben begitu menggila di hari itu. Ia bukan hanya mengguncang seluruh panti asuhan dengan suara tangisannya, tetapi juga amukannya. Tubuh kecilnya yang baru saja sedikit melebihi tinggi satu meter terus berkeliling dan menghancurkan setiap benda yang dilihatnya. Susah payah para pengasuh mencoba menghentikannya, tetapi mereka baru berhasil setelah banyak benda rusak dan Ben menderita luka-luka ringan.

Tentu saja, setelah hari itu, Ben semakin kesulitan untuk berteman.

Ben berhenti berusaha dan menerima rasa sepi sebagai satu-satunya teman. Ralat. Ia masih mempunyai Rossa yang sangat sabar menghadapinya. Rossa benar-benar berbeda dari para pengasuh yang lain. Wanita itu bersikap sangat lembut dan keibuan, ia juga tidak pernah terlihat ragu maupun takut. Tanpa sadar Ben menjadi bergantung kepadanya, tetapi Rossa tidak terlihat keberatan.

Sayangnya, Rossa yang hampir berusia 50 tahun sering jatuh sakit dan hanya beristirahat di kamarnya yang berada jauh di belakang bangunan utama panti. Jika sudah begitu, Ben akan menghabiskan waktunya sendirian di luar. Memainkan mobil mainannya yang rusak di atas rumput-rumput kering. Terkadang ia juga bersembunyi di balik jajaran jemuran seprai agar tidak terlihat oleh anak-anak lain.

Suatu hari, perubahan besar terjadi. Ben telah berusia 15 tahun saat itu, dan masih belum mengembangkan kemampuan sosial yang cukup baik. Namun, ia mulai ingin berusaha untuk berinteraksi dengan orang lain setelah seorang gadis asing dengan senyum manis mengulurkan tangan kepadanya.

Ben ragu untuk menyambut uluran tangan itu, karena sang gadis sama sekali tidak terlihat seperti anak-anak panti asuhan lain. Rok terusan yang dikenakannya berwarna begitu cerah, hampir terlihat seperti baru. Setahu Ben, anak-anak panti hanya selalu memakai pakaian bekas yang disumbangkan kepada mereka.

Lantas Ben bersedekap dan bertanya dengan ketus. “Siapa kamu?”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status