Share

bab 6 Fitnah pertama.

Author: Pita
last update Last Updated: 2025-09-02 20:03:17

Pagi itu, kabar buruk menyebar di seluruh istana Aethelgard Silvanus. Bisik-bisik para pelayan terdengar di sepanjang lorong:

“Benarkah Pangeran Mahkota bersekongkol dengan pedagang asing?”

“Aku mendengar dia menjual rahasia kerajaan untuk mendapatkan emas!”

“Jika benar, maka tak pantas ia menjadi raja nanti…”

Jagatra yang baru saja keluar dari ruang pelatihan mendengar percakapan itu. Alisnya berkerut, matanya tajam memandang para pelayan yang langsung menunduk ketakutan.

Ia melangkah cepat ke aula utama, di mana Raja William, Ratu Elean, dan saudara-saudaranya sudah berkumpul.

Kaesar berdiri paling depan, wajahnya penuh kepura-puraan khawatir.

“Ayahanda, ini sungguh mencoreng nama keluarga kita. Bagaimana mungkin Pangeran Mahkota menjual rahasia kerajaan kepada orang asing hanya demi keuntungan pribadi?”

Jagatra tertegun. “Apa maksudmu, Kaesar?”

Kaesar menghela napas panjang, lalu memberi isyarat pada seorang prajurit untuk maju. Prajurit itu membawa selembar surat.

“Ini ditemukan di kamar Pangeran Mahkota Jagatra.”

Jagatra mengambil surat itu, membukanya. Isi surat tersebut berisi perjanjian jual beli rahasia militer kerajaan dengan cap emas tanda yang tampak seperti miliknya.

“Ini… bukan punyaku!” Jagatra mengangkat surat itu dengan nada tegas. “Seseorang menjebakku!”

Namun, Ratu Elean sudah bersuara dengan dingin.

“Jagatra, berapa kali kami harus menahan malu karena sikapmu? Kau selalu membuat masalah, dan kini kau menodai nama keluarga.”

Raja William menatapnya dengan sorot penuh kekecewaan.

“Jika ini benar, kau tidak pantas menjadi pewaris tahta. Kau memalukan.”

Jagatra menggertakkan giginya. Dadanya bergemuruh, bukan hanya karena fitnah yang dilemparkan padanya, tapi juga karena orang tuanya begitu cepat percaya.

Ia memandang Kaesar adik yang selama ini dielu-elukan. Senyum tipis di sudut bibir Kaesar seakan menjawab semua kecurigaannya.

Jadi ini langkah pertamamu, Kaesar… menjatuhkanku dengan fitnah.

Jagatra menarik napas dalam-dalam, lalu berkata dengan lantang:

“Percayalah, kebenaran akan terbukti. Aku tidak akan tinggal diam menghadapi fitnah ini.”

Namun di dalam hatinya, Jagatra sadar: ini baru permulaan dari luka yang lebih dalam.

Ruangan itu terasa sesak. Semua mata tertuju pada Jagatra, seolah-olah ia benar-benar sudah bersalah.

Lucas menyeringai sambil berbisik pada Michael, cukup keras hingga Jagatra mendengar:

“Apa kubilang? Kakak Mahkota kita hanya pintar bermain peran, ternyata.”

Michael menahan tawa. “Benar. Bayangkan saja, menjual rahasia demi emas. Betapa rendahnya.”

Jagatra mengepalkan tangan, menahan amarah. Ia tahu bila ia melawan dengan emosi, semua justru akan memperkuat fitnah itu.

“Yang Mulia Ayahanda,” Jagatra akhirnya berbicara, suaranya tenang namun tegas, “aku bersumpah demi darah bangsawan Aethelgard, aku tidak pernah menulis surat ini, apalagi mengkhianati negeri.”

Raja William menatapnya lama. Namun, bukannya membela, ia hanya menghela napas berat.

“Kau selalu pandai berkata-kata, Jagatra. Namun buktinya ada di hadapan kita.”

Kata-kata itu menghantam Jagatra lebih keras daripada pedang.

Ratu Elean menambahkan dengan suara dingin:

“Jika kau masih ingin dianggap putra kami, buktikan dengan perbuatan, bukan dengan janji kosong. Mulai hari ini, kau akan diawasi ketat oleh prajurit istana.”

Jagatra menunduk. Rasa perih itu membakar dadanya, tetapi ia kembali menyembunyikannya di balik keteguhan wajah.

Kaesar mendekat, menepuk bahunya dengan pura-pura prihatin.

“Aku yakin kakanda tidak bermaksud buruk… mungkin hanya terjebak oleh pergaulan salah. Jangan khawatir, aku akan membantumu membersihkan nama baikmu.”

Tatapan Jagatra tajam menusuknya. Senyum Kaesar semakin melebar, begitu licik hingga Jagatra hampir bisa merasakan racun di baliknya.

Baiklah, Kaesar… aku akan mengingat ini. Hari di mana kau menuduhku dengan fitnah busukmu akan menjadi hari pertama aku menyiapkan balas dendamku.

Malam itu, Jagatra berdiri di balkon kamarnya. Ia memandang jauh ke kegelapan langit. Di bawah sana, ia melihat cahaya lampu desa yang jauh lebih hangat daripada dinginnya istana. Dan tanpa sadar, pikirannya melayang pada gadis misterius bergaun putih sederhana yang menemaninya di pesta,Audina.

Untuk pertama kalinya, di tengah luka dan fitnah, ia menemukan secercah alasan untuk tetap berdiri.

Malam semakin larut. Istana Aethelgard Silvanus yang biasanya penuh cahaya kini terasa seperti penjara dingin bagi Pangeran Mahkota Jagatra.

Di kamar pribadinya, ia menyalakan lilin kecil, menatap surat fitnah itu yang kini berada di tangannya. Setiap huruf terasa seperti belati yang menorehkan luka baru di hatinya.

Ia mengulang-ulang kata-kata ayahandanya.

"Jika ini benar, kau tidak pantas menjadi pewaris tahta."

Suara itu menggema di telinganya, tak bisa ia hilangkan.

Jagatra meremas kertas itu hingga hancur, lalu melemparkannya ke api lilin. Surat itu terbakar, namun rasa sakit di dadanya tetap membara.

"Aku bukan pengkhianat. Tapi mereka lebih memilih mempercayai kebohongan daripada putra sulung mereka sendiri.

Ketukan lembut terdengar di pintu. Seorang prajurit masuk dengan wajah kaku.

“Pangeran, ini perintah Ratu. Mulai malam ini, kami akan berjaga di depan kamar Anda. Demi keamanan kerajaan.”

Jagatra menatapnya lama, lalu mengangguk tanpa berkata apa-apa. Ia tahu maksud sebenarnya: bukan untuk melindunginya, melainkan untuk mengawasinya.

Begitu pintu tertutup kembali, Jagatra duduk di tepi ranjang, menatap ke luar jendela. Dari kejauhan, tampak cahaya obor desa yang berkelap-kelip di kaki bukit.

Seketika ia teringat sosok gadis itu. Senyum lembut Audina, tatapannya yang jujur berbeda jauh dari semua mata di istana yang penuh intrik.

Sebuah bisikan lirih lolos dari bibirnya.

“Apakah aku akan menemukan kebenaran… dan mungkin juga, sedikit ketenangan… lewatmu, gadis asing?”

Jagatra mengepalkan tangan. Malam itu ia membuat janji pada dirinya sendiri:

Ia akan bertahan, membersihkan namanya, dan suatu hari, membongkar siapa dalang di balik semua ini.

Dan entah kenapa, di lubuk hatinya, ia tahu bahwa perjalanan itu akan mempertemukannya kembali dengan Audina gadis sederhana yang mungkin akan mengubah segalanya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pembalasan Dendam Sang Pangeran Mahkota   bab 8 Bahaya Dalam Cawan.

    Balairung kerajaan dipenuhi cahaya obor dan kilauan permata yang menghiasi dinding. Malam itu, Raja William menggelar jamuan besar untuk menghormati kedatangan para bangsawan dari kerajaan tetangga. Musik lembut mengalun, tawa para bangsawan bercampur dengan aroma daging panggang yang menggoda.Jagatra, sebagai putra mahkota, duduk di sisi kanan sang raja. Senyum tipis ia paksakan, meski hatinya masih terbebani fitnah yang belum reda. Namun, ia tetap menjaga wibawanya.Di hadapan setiap tamu, cawan emas berisi anggur merah dituangkan penuh. Cahaya obor membuat cairan itu tampak berkilau, memikat, seolah tak berbahaya.Namun di balik kemewahan itu, bahaya mengintai.Seorang pelayan berwajah pucat menyelinap di antara keramaian, tangannya sedikit bergetar saat menuangkan anggur ke cawan Jagatra. Tak seorang pun menyadari bubuk halus berwarna bening yang sebelumnya ia campurkan. Bubuk itu larut tanpa jejak.Kaesar, yang duduk beberapa kursi dari Jagatra, melirik dengan senyum samar. Mata

  • Pembalasan Dendam Sang Pangeran Mahkota   bab 7 Bayangan Kaesar.

    Pangeran Kaesar Avdar duduk santai di kursi kayu berukir naga emas. Segelas anggur merah berkilau di tangannya, bibirnya melengkung dengan senyum penuh kemenangan.“Langkah pertama sudah berhasil,” gumamnya. “Putra Mahkota kini menjadi bahan cemoohan. Hanya tinggal menunggu waktu hingga ia benar-benar tersingkir dari tahta.”Di hadapannya, seorang pelayan berlutut dengan kepala menunduk.“Pangeran, kabar sudah menyebar. Banyak bangsawan mulai meragukan Pangeran Jagatra. Mereka… sudah mulai melirik Anda sebagai calon pewaris yang lebih layak.”Kaesar tertawa kecil. Tawanya dingin, penuh perhitungan.“Bagus. Biarkan mereka percaya Jagatra adalah pengkhianat. Saat kepercayaan itu runtuh, bahkan ayahanda sendiri tidak akan punya alasan untuk mempertahankannya.”Namun, di balik keangkuhan itu, ada sesuatu yang membayangi Kaesar. Bayangan berupa ambisi yang tak mengenal batas, bercampur dengan kebencian mendalam pada kakaknya.Ia masih mengingat masa kecil mereka ketika Jagatra selalu menja

  • Pembalasan Dendam Sang Pangeran Mahkota   bab 6 Fitnah pertama.

    Pagi itu, kabar buruk menyebar di seluruh istana Aethelgard Silvanus. Bisik-bisik para pelayan terdengar di sepanjang lorong:“Benarkah Pangeran Mahkota bersekongkol dengan pedagang asing?”“Aku mendengar dia menjual rahasia kerajaan untuk mendapatkan emas!”“Jika benar, maka tak pantas ia menjadi raja nanti…”Jagatra yang baru saja keluar dari ruang pelatihan mendengar percakapan itu. Alisnya berkerut, matanya tajam memandang para pelayan yang langsung menunduk ketakutan.Ia melangkah cepat ke aula utama, di mana Raja William, Ratu Elean, dan saudara-saudaranya sudah berkumpul.Kaesar berdiri paling depan, wajahnya penuh kepura-puraan khawatir.“Ayahanda, ini sungguh mencoreng nama keluarga kita. Bagaimana mungkin Pangeran Mahkota menjual rahasia kerajaan kepada orang asing hanya demi keuntungan pribadi?”Jagatra tertegun. “Apa maksudmu, Kaesar?”Kaesar menghela napas panjang, lalu memberi isyarat pada seorang prajurit untuk maju. Prajurit itu membawa selembar surat.“Ini ditemukan d

  • Pembalasan Dendam Sang Pangeran Mahkota   bab 5 pesta tanpa nama.

    Istana Aethelgard malam itu bersinar gemerlap. Lampu kristal berpendar dari setiap sudut aula, alunan musik klasik mengisi udara, dan para bangsawan dari berbagai kerajaan berbaur, mengenakan topeng emas, perak, dan batu permata.Pesta topeng sebuah tradisi tahunan yang disebut Pesta Tanpa Nama, di mana setiap orang menanggalkan identitas dan menyembunyikan wajah di balik topeng. Namun bagi Jagatra, pesta itu hanyalah panggung sandiwara lain, di mana kebenaran tetap terkubur di balik senyum dan kepura-puraan.Jagatra mengenakan jubah hitam kebiruan, topeng perak menutupi setengah wajahnya. Saat ia melangkah masuk, banyak mata menoleh, bukan karena ia putra mahkota, melainkan karena wibawanya yang tidak bisa ditutupi bahkan oleh topeng.Namun, di sudut aula, ia mendengar bisikan samar bisikan yang menyebut namanya dengan nada merendahkan.“Lihatlah, putra mahkota yang bahkan tak dihargai keluarganya sendiri hadir di sini.”“Tunggu saja, sebentar lagi semua akan tahu siapa pewaris sejat

  • Pembalasan Dendam Sang Pangeran Mahkota   bab 4 Luka di balik senyum.

    Hari berganti, suasana di istana Aethelgard Silvanus tetap sama megahnya. Namun di balik pilar-pilar tinggi dan lantai marmer berkilau, tersimpan ribuan rahasia yang tak pernah diungkapkan.Jagatra melangkah dengan jubah birunya, kepala tegak, senyum tipis terukir di bibirnya. Para pelayan menunduk memberi hormat setiap kali ia lewat. Tidak ada yang tahu bahwa di balik senyum tenang itu, hatinya retak berkeping-keping.Di aula utama, Raja William dan Ratu Elean duduk di singgasana. Kaesar Avdar, adik kedua yang selalu menjadi kebanggaan mereka, berdiri di sisi sang raja. Senyum hangat sang ratu hanya ditujukan pada Kaesar, sementara tatapannya dingin saat beralih kepada Jagatra.“Jagatra,” suara Raja William menggema, penuh wibawa namun tanpa kehangatan seorang ayah. “Besok kau akan menghadiri jamuan kerajaan bersama duta besar. Jaga sikapmu, jangan membuat malu kerajaan.”Jagatra menunduk hormat. “Ya, Ayahanda.”Kaesar tersenyum tipis, lalu menambahkan dengan nada seolah mengejek.“S

  • Pembalasan Dendam Sang Pangeran Mahkota   bab 3 Saudara yang membenci.

    Fajar baru saja menyingsing di Kerajaan Aethelgard Silvanus. Di halaman latihan, suara pedang beradu terdengar nyaring, memenuhi udara pagi yang dingin.Jagatra, sebagai putra mahkota, mencoba ikut serta melatih prajurit. Ia ingin membuktikan diri, menunjukkan bahwa dirinya pantas menjadi penerus tahta. Pedangnya berayun tegas, keringat membasahi dahinya, namun semangat dalam matanya begitu menyala.Namun, tawa mengejek memecah konsentrasinya.“Apa gunanya berusaha, Kak?” suara Lucas Zander Maxime, adik ketiganya, terdengar penuh ejekan. “Kau bisa berlatih sekeras apa pun, tapi orang- orang tetap tahu siapa yang lebih pantas jadi raja. Dan itu bukan dirimu.”Beberapa prajurit tertawa kecil, meski mencoba menutupinya.Jagatra menggertakkan gigi, menahan amarah. Ia menoleh pada Lucas.“Kau terlalu meremehkanku, Lucas. Jangan lupa, aku tetap putra mahkota.”Lucas mendekat, menatap mata kakaknya dengan sinis. “Putra mahkota? Untuk berapa lama? Semua orang tahu Ayah dan Ibu lebih memilih K

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status