Pangeran Kaesar Avdar duduk santai di kursi kayu berukir naga emas. Segelas anggur merah berkilau di tangannya, bibirnya melengkung dengan senyum penuh kemenangan.
“Langkah pertama sudah berhasil,” gumamnya. “Putra Mahkota kini menjadi bahan cemoohan. Hanya tinggal menunggu waktu hingga ia benar-benar tersingkir dari tahta.” Di hadapannya, seorang pelayan berlutut dengan kepala menunduk. “Pangeran, kabar sudah menyebar. Banyak bangsawan mulai meragukan Pangeran Jagatra. Mereka… sudah mulai melirik Anda sebagai calon pewaris yang lebih layak.” Kaesar tertawa kecil. Tawanya dingin, penuh perhitungan. “Bagus. Biarkan mereka percaya Jagatra adalah pengkhianat. Saat kepercayaan itu runtuh, bahkan ayahanda sendiri tidak akan punya alasan untuk mempertahankannya.” Namun, di balik keangkuhan itu, ada sesuatu yang membayangi Kaesar. Bayangan berupa ambisi yang tak mengenal batas, bercampur dengan kebencian mendalam pada kakaknya. Ia masih mengingat masa kecil mereka ketika Jagatra selalu menjadi pusat perhatian rakyat, dielu-elukan sebagai pewaris sah. Kaesar, meski mendapat kasih sayang lebih dari ibu, tetap merasa terlempar dari cahaya itu. “Sejak dulu, semua orang hanya melihatnya. Jagatra si anak emas, pewaris mahkota, calon raja bijaksana. Tapi mereka tidak tahu… aku lebih pantas dari dia. Aku lebih layak dari siapa pun.” Mata Kaesar berkilat. Tangannya mengepal begitu keras hingga gelas anggur pecah, meneteskan cairan merah seperti darah di lantai. Di sudut ruangan, dua orang pengawal pribadinya yang diam-diam lebih loyal padanya dibanding kerajaan menunduk menunggu perintah. “Sebarkan lebih banyak isu,” kata Kaesar tajam. “Cari setiap celah untuk menjatuhkan pangeran Jagatra Dan bila perlu… buat skenario baru. Aku tidak peduli seberapa kotor cara yang digunakan.” Bayangan ambisi Kaesar semakin pekat. Dan di tengah cahaya lilin yang bergoyang, tampak jelas: inilah awal dari permainan licik seorang adik yang akan melakukan segalanya demi merebut tahta. Sementara itu, di kamar lain, Jagatra tidak menyadari bahwa perang yang sebenarnya baru saja dimulai dan musuh terbesarnya ada dalam darahnya sendiri. Langkah-langkah tergesa terdengar di luar pintu kamar Kaesar. Seorang pengawal masuk dengan wajah panik. “Pangeran, ada kabar… rakyat di desa sebelah barat mulai bergumam tentang kebenaran surat fitnah itu. Mereka mulai percaya bahwa Pangeran Jagatra tidak setia pada kerajaan.” Kaesar tersenyum miring. “Bagus. Biarkan suara rakyat bergema. Fitnah tanpa saksi sering kali lebih kuat daripada kebenaran itu sendiri.” Namun setelah pengawal itu pergi, Kaesar terdiam di kursinya. Matanya menatap kosong ke arah jendela, ke arah istana tempat Jagatra berada. Ada sesuatu yang mengusiknya bayangan Jagatra yang selalu berdiri tegak meski terus dipukul dari segala arah. Ia benci kakaknya, tapi di balik kebencian itu, ada ketakutan kecil yang tak pernah mau ia akui: Bagaimana jika Jagatra benar-benar bertahan? Bagaimana jika ia lebih kuat dari yang kubayangkan? Kaesar menggenggam pedang pendek di sampingnya, ujung jarinya menyentuh dinginnya baja. “Tidak. Aku tidak boleh ragu. Jagatra harus jatuh. Dan kalau fitnah tidak cukup… aku akan menemukan cara lain. Apa pun caranya.” Bayangan api lilin menari di wajahnya, menegaskan tekad penuh kelicikan itu. Di sisi lain istana, Jagatra berdiri di balkon kamarnya, memandang langit malam yang penuh bintang. Hatinya masih bergulat dengan fitnah yang menjeratnya, tanpa tahu bahwa di balik kedamaian malam itu, ada bayangan adik kandungnya sendiri yang sedang merencanakan langkah-langkah gelap untuk menghancurkannya. Bayangan itu bernama Kaesar Avdar. Malam semakin larut, namun Kaesar belum juga memejamkan mata. Lilin-lilin sudah hampir padam, meninggalkan bau asap tipis yang memenuhi ruangan. Di atas meja kayu, terbentang peta kerajaan Aethelgard Silvanus. Jari Kaesar menyusuri jalur desa, kota, hingga istana. Ia berhenti pada titik yang menandai balairung kerajaan tempat Jagatra biasanya berdiri di sisi Raja William. “Pangeran Jagatra, kau mungkin masih tersenyum sekarang,” bisiknya lirih, penuh dendam. “Tapi senyum itu akan segera lenyap. Aku akan merenggut semua yang kau miliki tahta, rakyat, bahkan cinta yang mungkin akan kau temukan.” Bayangan tubuhnya membesar di dinding, seolah menggambarkan ambisi yang semakin rakus, menelan nurani yang tersisa. Di luar jendela, angin malam berembus membawa suara lonceng penjaga yang bertugas. Jagatra di kamarnya yang jauh di sisi lain istana, masih mencoba menenangkan hatinya yang dilanda fitnah. Dua saudara, dua dunia, dua takdir. Satu berjuang bertahan, satu bertekad menghancurkan. Dan malam itu menjadi saksi lahirnya permusuhan yang kelak akan mengubah seluruh wajah kerajaan.Balairung kerajaan dipenuhi cahaya obor dan kilauan permata yang menghiasi dinding. Malam itu, Raja William menggelar jamuan besar untuk menghormati kedatangan para bangsawan dari kerajaan tetangga. Musik lembut mengalun, tawa para bangsawan bercampur dengan aroma daging panggang yang menggoda.Jagatra, sebagai putra mahkota, duduk di sisi kanan sang raja. Senyum tipis ia paksakan, meski hatinya masih terbebani fitnah yang belum reda. Namun, ia tetap menjaga wibawanya.Di hadapan setiap tamu, cawan emas berisi anggur merah dituangkan penuh. Cahaya obor membuat cairan itu tampak berkilau, memikat, seolah tak berbahaya.Namun di balik kemewahan itu, bahaya mengintai.Seorang pelayan berwajah pucat menyelinap di antara keramaian, tangannya sedikit bergetar saat menuangkan anggur ke cawan Jagatra. Tak seorang pun menyadari bubuk halus berwarna bening yang sebelumnya ia campurkan. Bubuk itu larut tanpa jejak.Kaesar, yang duduk beberapa kursi dari Jagatra, melirik dengan senyum samar. Mata
Pangeran Kaesar Avdar duduk santai di kursi kayu berukir naga emas. Segelas anggur merah berkilau di tangannya, bibirnya melengkung dengan senyum penuh kemenangan.“Langkah pertama sudah berhasil,” gumamnya. “Putra Mahkota kini menjadi bahan cemoohan. Hanya tinggal menunggu waktu hingga ia benar-benar tersingkir dari tahta.”Di hadapannya, seorang pelayan berlutut dengan kepala menunduk.“Pangeran, kabar sudah menyebar. Banyak bangsawan mulai meragukan Pangeran Jagatra. Mereka… sudah mulai melirik Anda sebagai calon pewaris yang lebih layak.”Kaesar tertawa kecil. Tawanya dingin, penuh perhitungan.“Bagus. Biarkan mereka percaya Jagatra adalah pengkhianat. Saat kepercayaan itu runtuh, bahkan ayahanda sendiri tidak akan punya alasan untuk mempertahankannya.”Namun, di balik keangkuhan itu, ada sesuatu yang membayangi Kaesar. Bayangan berupa ambisi yang tak mengenal batas, bercampur dengan kebencian mendalam pada kakaknya.Ia masih mengingat masa kecil mereka ketika Jagatra selalu menja
Pagi itu, kabar buruk menyebar di seluruh istana Aethelgard Silvanus. Bisik-bisik para pelayan terdengar di sepanjang lorong:“Benarkah Pangeran Mahkota bersekongkol dengan pedagang asing?”“Aku mendengar dia menjual rahasia kerajaan untuk mendapatkan emas!”“Jika benar, maka tak pantas ia menjadi raja nanti…”Jagatra yang baru saja keluar dari ruang pelatihan mendengar percakapan itu. Alisnya berkerut, matanya tajam memandang para pelayan yang langsung menunduk ketakutan.Ia melangkah cepat ke aula utama, di mana Raja William, Ratu Elean, dan saudara-saudaranya sudah berkumpul.Kaesar berdiri paling depan, wajahnya penuh kepura-puraan khawatir.“Ayahanda, ini sungguh mencoreng nama keluarga kita. Bagaimana mungkin Pangeran Mahkota menjual rahasia kerajaan kepada orang asing hanya demi keuntungan pribadi?”Jagatra tertegun. “Apa maksudmu, Kaesar?”Kaesar menghela napas panjang, lalu memberi isyarat pada seorang prajurit untuk maju. Prajurit itu membawa selembar surat.“Ini ditemukan d
Istana Aethelgard malam itu bersinar gemerlap. Lampu kristal berpendar dari setiap sudut aula, alunan musik klasik mengisi udara, dan para bangsawan dari berbagai kerajaan berbaur, mengenakan topeng emas, perak, dan batu permata.Pesta topeng sebuah tradisi tahunan yang disebut Pesta Tanpa Nama, di mana setiap orang menanggalkan identitas dan menyembunyikan wajah di balik topeng. Namun bagi Jagatra, pesta itu hanyalah panggung sandiwara lain, di mana kebenaran tetap terkubur di balik senyum dan kepura-puraan.Jagatra mengenakan jubah hitam kebiruan, topeng perak menutupi setengah wajahnya. Saat ia melangkah masuk, banyak mata menoleh, bukan karena ia putra mahkota, melainkan karena wibawanya yang tidak bisa ditutupi bahkan oleh topeng.Namun, di sudut aula, ia mendengar bisikan samar bisikan yang menyebut namanya dengan nada merendahkan.“Lihatlah, putra mahkota yang bahkan tak dihargai keluarganya sendiri hadir di sini.”“Tunggu saja, sebentar lagi semua akan tahu siapa pewaris sejat
Hari berganti, suasana di istana Aethelgard Silvanus tetap sama megahnya. Namun di balik pilar-pilar tinggi dan lantai marmer berkilau, tersimpan ribuan rahasia yang tak pernah diungkapkan.Jagatra melangkah dengan jubah birunya, kepala tegak, senyum tipis terukir di bibirnya. Para pelayan menunduk memberi hormat setiap kali ia lewat. Tidak ada yang tahu bahwa di balik senyum tenang itu, hatinya retak berkeping-keping.Di aula utama, Raja William dan Ratu Elean duduk di singgasana. Kaesar Avdar, adik kedua yang selalu menjadi kebanggaan mereka, berdiri di sisi sang raja. Senyum hangat sang ratu hanya ditujukan pada Kaesar, sementara tatapannya dingin saat beralih kepada Jagatra.“Jagatra,” suara Raja William menggema, penuh wibawa namun tanpa kehangatan seorang ayah. “Besok kau akan menghadiri jamuan kerajaan bersama duta besar. Jaga sikapmu, jangan membuat malu kerajaan.”Jagatra menunduk hormat. “Ya, Ayahanda.”Kaesar tersenyum tipis, lalu menambahkan dengan nada seolah mengejek.“S
Fajar baru saja menyingsing di Kerajaan Aethelgard Silvanus. Di halaman latihan, suara pedang beradu terdengar nyaring, memenuhi udara pagi yang dingin.Jagatra, sebagai putra mahkota, mencoba ikut serta melatih prajurit. Ia ingin membuktikan diri, menunjukkan bahwa dirinya pantas menjadi penerus tahta. Pedangnya berayun tegas, keringat membasahi dahinya, namun semangat dalam matanya begitu menyala.Namun, tawa mengejek memecah konsentrasinya.“Apa gunanya berusaha, Kak?” suara Lucas Zander Maxime, adik ketiganya, terdengar penuh ejekan. “Kau bisa berlatih sekeras apa pun, tapi orang- orang tetap tahu siapa yang lebih pantas jadi raja. Dan itu bukan dirimu.”Beberapa prajurit tertawa kecil, meski mencoba menutupinya.Jagatra menggertakkan gigi, menahan amarah. Ia menoleh pada Lucas.“Kau terlalu meremehkanku, Lucas. Jangan lupa, aku tetap putra mahkota.”Lucas mendekat, menatap mata kakaknya dengan sinis. “Putra mahkota? Untuk berapa lama? Semua orang tahu Ayah dan Ibu lebih memilih K