Share

Bab 2

Author: Cutegurl
last update Last Updated: 2024-06-03 22:21:10

“Iya, tapi tenang saja. Sebentar lagi mereka akan cerai, kok!” jawab ibu Mona, Lidia, dengan nada penuh kepuasan. Senyumnya menyiratkan kebencian yang terpendam.

Ansel, yang sedang duduk di ruang tamu, langsung mengangkat sebelah alisnya. Perkataannya terngiang di telinganya, membuat darahnya mendidih. Apa maksud Lidia dengan bercerai? Ia menatap istrinya, Mona, yang hanya terdiam, matanya tak berani menatapnya kembali. Ansel merasa ada sesuatu yang disembunyikan darinya.

“Siapa yang akan cerai, Ma?” tanyanya, berusaha menahan emosi yang berkecamuk di dalam dadanya.

Lidia, tanpa segan, menatap Ansel dengan pandangan penuh kebencian, seolah ingin menusuknya. “Siapa lagi kalau bukan kamu dan Mona? Belagak bego kamu, ya! Ngapain sih kamu pulang? Harusnya kamu nggak usah pulang! Terus saja di medan perang sana! Kalau perlu mati sekalian!” cercanya dengan nada penuh kemarahan, suaranya menggema di ruangan.

Ansel terhenyak, perasaan kecewa bercampur marah menyelimuti dirinya. Dia tahu bahwa sejak awal Lidia tidak pernah menyukainya, menentang pernikahannya dengan Mona empat tahun lalu. Tapi mengapa sekarang Lidia sekejam ini? Ansel memandang Mona, berharap mendapatkan dukungan, namun Mona hanya menunduk, menghindari tatapannya.

“Apa?! Sekarang malah bengong! Apa jadi tentara bikin kamu bego? Ya ampun, kasihan banget Mona punya suami kayak kamu! Untung aja selama empat tahun ini kamu nggak ada di rumah ini! Memang sebaiknya kamu tetap di medan perang saja! Mati saja sekalian sana!” Lidia melanjutkan, menambah luka di hati Ansel dengan kata-kata tajamnya.

“Ma, sudah! Nggak perlu sampai segitunya!” protes Mona akhirnya, meskipun suaranya terdengar bergetar, menunjukkan ketidakpastian di dalam hatinya.

Lidia dan Ansel langsung menatap Mona, terkejut oleh keberaniannya. Lidia tidak senang melihat putrinya membela Ansel, sementara Ansel merasa terkejut dan sedikit lega karena istrinya, meski ragu-ragu, tetap berusaha membelanya.

Lidia tak suka mendapati Mona membela suaminya. Baginya, ini adalah penghinaan yang tak bisa diterima. “Apa maksudmu, Mona? Kamu berpihak pada Ansel? Setelah semua yang dia lakukan?” bentaknya, matanya bersinar marah.

Mona menunduk, air mata menggenang di matanya. “Ma, aku...”

Sebelum Mona bisa menyelesaikan kalimatnya, Ansel memotong, “Maaf, Ma, tapi aku tidak akan pernah menceraikan Mona,” tegas Ansel, sorot matanya mantap, penuh keyakinan.

Kali ini, Mona dan Lidia menatap Ansel serentak, raut wajah mereka memperlihatkan campuran antara ketidakpuasan dan kemarahan yang mendalam. Ansel tahu, ucapannya barusan adalah tantangan langsung kepada Lidia, dan dia siap menghadapi konsekuensinya.

“Harus! Kamu harus menceraikan Mona! Kamu nggak pantas jadi suami anakku!” ucap Lidia berapi-api, suaranya meninggi, mencerminkan kebenciannya yang mendalam. “Kamu hanya tentara rendahan! Apa yang bisa kamu berikan pada Mona? Hanya penderitaan!”

“Lagipula, siapa yang bilang kamu punya hak menolak, hah?! Nggak ada! Kamu nggak punya hak buat menolak! Pokoknya kalian harus bercerai, dan setelah itu Mona akan menikah dengan Riko!” lanjut Lidia, nadanya semakin tajam, seolah ingin memotong setiap pertahanan yang dimiliki Ansel.

Mendapati ibu mertuanya blak-blakan seperti itu, Ansel mulai menunjukkan ketidaksukaannya.

Dia tak punya hak untuk untuk menolak? Yang benar saja! Dia Sang Dewa Perang!

Dan ketika mendengar nama Riko disebut, Ansel mengepalkan tangan. Dia menoleh ke arah pria yang berdiri di sudut ruangan, Riko, yang selama ini diam, menyaksikan drama keluarga ini dengan senyum sinis di wajahnya.

“Perusahaan Mona butuh dana tiga miliar supaya tidak bangkrut. Dan hanya aku yang bisa membantunya sekarang. Jadi, kamu, si anjing yang jadi tentara nggak berguna, lebih baik ceraikan Mona sekarang juga!” kata Riko, nadanya mengejek, penuh kesombongan.

Ansel menatap Riko tajam, matanya menyiratkan kemarahan yang sudah di ambang batas. Dia tidak bisa membiarkan orang asing ini meremehkannya, menghina profesinya, dan mengancam pernikahannya.

“Aku bukan anjing! Jaga ucapanmu! Lebih baik kamu pergi dari sini sekarang!” usir Ansel, suaranya penuh wibawa, menunjukkan otoritasnya sebagai pemimpin yang terlatih.

Riko sedikit terkejut dan ciut, apalagi suara Ansel terdengar berat dan bergetar layaknya seorang bos yang memberi perintah.

Ia mundur sejenak, tetapi kemudian kembali dengan senyum mengejek. “Beraninya kamu mengusirku! Kamu bukan siapa-siapa di sini! Kamu hanya anjing tak berguna. Aku yang bantu Mona, bukan kamu!”

Lidia segera menimpali, “Heh! Beraninya kamu mengusir Riko! Memangnya kamu pikir kamu siapa? Riko ini orang yang banyak membantu Mona selama ini! Nggak kayak kamu! Memangnya kamu bisa apa?! Nggak bisa apa-apa! Kamu bahkan nggak tahu kalau Mona saat ini butuh duit buat menyelamatkan perusahaan, kan? Dasar nggak berguna! Kamu nggak punya hak buat bicara di sini!” cecarnya dengan nada menghina.

“Ansel, cepat minta maaf pada Riko sekarang!” desak Mona, suaranya terdengar panik. Ia menatap Ansel dengan mata memohon, takut kehilangan dukungan Riko yang dianggapnya sangat penting untuk menyelamatkan perusahaan keluarganya.

Namun Ansel bergeming, wajahnya tetap tenang meskipun hatinya bergolak. “Aku tidak salah. Untuk apa aku minta maaf?” protesnya dengan tegas, matanya menatap tajam ke arah Mona.

Mona tercengang, tidak menyangka Ansel menentangnya di depan umum, di depan ibunya dan Riko. “Ansel, tolong! Demi perusahaan!” suaranya memohon, namun Ansel tetap kukuh.

“Kamu berani membantah apa yang Mona katakan? Kamu mau mati, ya!” teriak Lidia, matanya membara, suaranya bergetar karena kemarahan.

Ansel tetap bergeming, tidak ada seorang pun yang bisa mengintimidasinya. Sebagai Sang Dewa Perang, ia telah menghadapi situasi yang lebih menakutkan dari ini.

Di titik ini, Riko tertawa terbahak-bahak, suaranya penuh ejekan. “Aku tahu, kamu bersikap seperti ini karena kamu iri, kan? Kamu iri, karena hanya aku yang bisa membantu Mona, sedangkan kamu tidak? Begitu, kan?” katanya, matanya menyala penuh kesombongan.

Ansel mengangkat sebelah alisnya, menatap Riko dengan pandangan meremehkan. Bagaimana mungkin pria ini berani meremehkannya? Sebagai Sang Dewa Perang, dia memiliki kekayaan dan kekuasaan yang tak bisa dibandingkan dengan Riko. Riko, tak ada apa-apanya dibanding Ansel. Tak seujung kuku pun.

“Orang dengan level rendahan seperti kamu ini nggak akan bisa bantu Mona. Jadi, mending sekarang kamu ceraikan Mona, biar aku yang jadi suaminya. Aku bisa membuat dia hidup enak, tidak seperti kamu. Dasar tentara rendahan!” serang Riko, penuh penghinaan.

Tangan Ansel terkepal kuat, menahan amarah yang mendidih. Dia tidak bisa menerima penghinaan ini lebih lama lagi. “Sikapmu sungguh keterlaluan! Sangat tidak beretika sama sekali!” bentak Ansel, suaranya menggelegar, membuat Mona merinding.

Namun Riko justru semakin bersemangat untuk menantang Ansel. “Bukankah memang begitu? Kamu ini hanya seekor anjing yang dicampakkan dan kebetulan bisa jadi tentara. Itu pun tentara rendahan!” katanya, puas melihat reaksi Ansel yang semakin marah.

Emosi Ansel semakin tak tertahan. Dia maju, menarik kerah baju Riko, menatapnya dengan mata penuh kemarahan. “Jangan sekali-kali menghina profesiku!” suaranya berat dan mengintimidasi, seolah-olah siap untuk meledak kapan saja.

Lidia, menyadari situasi semakin memanas, berteriak panik, “Heh, apa yang mau kamu lakukan?! Jangan sentuh dia!”

Namun terlambat. Ansel sudah kadung melayangkan pukulan keras dengan tangan kanannya, melepaskan amarah yang tertahan. Riko terjatuh, memegangi rahangnya yang terasa nyeri.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Bertus Zoeckutius Ruanus
Sama aja dgn cerita² novel jiplakan dari cina yg judulnya luar biasa tp tokohnya goblok dgn istri dan keluarganya yg sinting. Pengarangnya /penjiplak mengidap pneumo cronial
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 106 Tamat

    Mona masih terdiam, wajahnya memucat, tubuhnya perlahan gemetar. Informasi yang baru saja ia terima terasa seperti badai—membuat segalanya berputar dan kabur di kepalanya. Namun Ansel belum selesai. “Dan satu lagi,” ucapnya, kini dengan nada lebih tajam, menusuk. “Hendrik Hartono tidak mati bunuh diri di penjara.” Mona menoleh cepat, matanya terbelalak. “Apa maksudmu…?” Ansel menatap pria paruh baya di seberang dengan dingin yang mengancam. “Dia yang mengatur kematian Hendrik. Mengubahnya seolah-olah itu bunuh diri, padahal itu pembunuhan yang disabotase dari dalam.” Pria itu mengangkat alisnya pelan, seolah tak merasa bersalah sedikit pun. “Hendrik tahu terlalu banyak. Dia mulai panik. Kalau aku biarkan, dia bisa buka suara—dan itu akan merugikan semua pihak.” “Termasuk kau,” potong Ansel tajam. “Karena jika dia bicara, semuanya akan tahu kalau selama ini dalangnya adalah kau. Kau yang menarik tali dari balik bayangan. Meracuni Dante, lalu menyingkirkan siapa pun yang bisa

  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 105

    Beberapa minggu setelah Mona melahirkan Arshaka, Ansel kemudian meminta izin kepada Lidia untuk membawa istrinya itu ke suatu tempat. Dan mertuanya itu senang karena diberi waktu lama untuk bermain dengan cucunya. "Kita akan kemana?" Mona bertanya saat dia dan Ansel berada di dalam mobil yang dikemudikan oleh suaminya. "Ke suatu tempat. Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu," jawab Ansel, sembari fokus menatap jalanan di depan sana. Mendengar jawaban Ansel, Mona tak bertanya lagi. Ia hanya menggenggam jemari suaminya yang bebas satu, membiarkan keheningan menyelimuti mereka sambil menanti kejutan yang akan datang. Mobil yang Ansel kendarai akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan yang sangat familiar—kantor polisi. Mona mengernyit heran, pandangannya menelusuri papan nama besar di atas gedung itu. “Apa… kita ada urusan di sini?” gumamnya pelan, hampir seperti bicara pada diri sendiri. Namun sebelum sempat bertanya lebih lanjut, Ansel sudah keluar dari mobil dan mengitar

  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 104

    Beberapa jam setelah persalinan Cahaya lembut dari lampu di sudut ruangan menciptakan bayangan hangat di wajah Mona yang tertidur pulas. Di pelukannya, Arshaka tampak damai, sesekali menggerakkan tangan mungilnya seolah sedang bermimpi. Ansel duduk di samping ranjang, tubuhnya bersandar santai tapi tetap waspada. Di antara jemarinya yang kokoh, ia menggenggam tangan kecil anaknya dengan hati-hati, seolah takut kekuatannya yang luar biasa bisa melukai makhluk sekecil itu. Dia menatap wajah mungil itu dalam diam. Hidung kecil, bibir mungil, dan alis tipis yang entah mengapa membuat hatinya terasa penuh. “Arshaka,” bisiknya pelan, seolah sedang menguji nama itu di lidahnya. “Kau bahkan belum bisa membuka mata, tapi kau sudah mengubah segalanya.” Ada senyum samar di wajah Ansel—bukan senyum sinis, bukan senyum licik, tapi senyum yang lembut, tulus, dan langka. Tangannya yang besar membenarkan selimut bayi itu dengan gerakan sangat hati-hati, lalu berpindah menyentuh pipi Mon

  • Pembalasan Dewa Perang    103

    Beberapa jam kemudian Suasana di dalam kamar perawatan semakin tegang. Mona kini terbaring dengan tubuh sedikit miring, keringat membasahi dahinya. Nafasnya semakin berat, tangannya menggenggam erat lengan Ansel setiap kali kontraksi datang. "Ahh…!" Mona meringis kesakitan saat gelombang kontraksi kembali menghantam. Ansel langsung mencondongkan tubuhnya, tangannya mengelus rambut Mona dengan lembut. "Mona, tahan sebentar… Aku di sini." Dokter kembali masuk untuk memeriksa perkembangannya. Setelah beberapa saat, dia mengangkat wajah dengan ekspresi serius. “Sekarang sudah pembukaan delapan.” Mata Ansel semakin gelap. “Apa dia masih harus menunggu lama?” Dokter tersenyum tipis, berusaha menenangkan. “Dari perkembangannya, sepertinya tidak akan lama lagi. Nyonya Mona, Anda harus tetap tenang dan mengatur napas. Jika terus panik, akan lebih sulit nantinya.” Mona mengangguk lemah, meskipun rasa sakit yang terus meningkat hampir membuatnya tidak bisa berpikir. Namun, saat

  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 102

    Dokter memasang sarung tangannya dan mulai memeriksa kondisi Mona dengan teliti. Ansel berdiri di sisi ranjang, matanya tak lepas dari wajah istrinya yang menahan napas. Beberapa saat kemudian, dokter mengangkat wajahnya dan tersenyum kecil. "Seperti yang kami duga, Nyonya sudah memasuki pembukaan satu." Mona menghembuskan napas lega, meskipun di dalam hatinya tetap ada sedikit kegelisahan. Namun, berbeda dengan Ansel. Wajah pria itu sama sekali tidak menunjukkan ketenangan. "Pembukaan satu," ulangnya dengan suara datar, tetapi ada ketegangan yang terasa di baliknya. "Berarti Mona akan semakin kesakitan setelah ini?" Dokter mengangguk. "Kontraksi akan semakin sering dan intens. Tapi ini masih tahap awal, jadi butuh waktu sebelum benar-benar siap untuk melahirkan." Ansel tidak menjawab. Rahangnya semakin mengeras, dan tatapan matanya seakan menyelidik, mencari kepastian. "Aku masih baik-baik saja, Ansel," ujar Mona dengan suara lembut, berusaha menenangkan suaminya. A

  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 101

    Setelah memastikan Mona baik-baik saja, Ansel tetap berada di rumah sakit hingga larut malam. Mona akhirnya tertidur karena kelelahan, sementara Ansel duduk di sofa di dalam kamar VIP, menatap layar ponselnya dengan tatapan dingin. Richard berdiri di sudut ruangan, menunggu perintah. "Bagaimana situasinya?" tanya Ansel pelan, suaranya terdengar lebih berat di tengah keheningan malam. Richard sedikit menunduk. "XG Group benar-benar runtuh. Sahamnya anjlok hingga level terendah, dewan direksi kacau, dan pemegang saham utama mulai menjual aset mereka. Sepertinya mereka tidak akan bisa bangkit lagi." Ansel tidak bereaksi langsung. Dia hanya memutar cangkir kopinya yang sudah dingin di tangan. Ansel tersenyum kecil, tapi sorot matanya tetap tajam. "Bagus," gumamnya. Suasana ruangan terasa semakin dingin. Richard menatap Ansel dengan sedikit ragu, lalu memberanikan diri untuk bertanya, "Apa yang akan kita lakukan selanjutnya, Jenderal?" Ansel meletakkan cangkirnya ke meja d

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status