Share

Bab 3

Author: Cutegurl
last update Huling Na-update: 2024-06-03 22:22:43

BUK!

Riko terpental ke belakang, wajahnya penuh darah. Pukulan keras dari Ansel mengenai tepat sasaran, membuat hidung Riko patah dan mengeluarkan darah segar.

“ANSEL!!”

Mona dan Lidia menjerit panik melihat apa yang dilakukan Ansel. Di sudut ruangan, Defi menutup mulutnya, tak percaya pria yang selama ini dianggap rendah bisa bertindak seberani ini.

Nasib perusahaan Keluarga Hartono kini benar-benar di ujung tanduk.

Riko, berusaha bangkit, menatap Ansel dengan penuh kebencian. “Berani-beraninya kamu memukulku dengan tangan kotormu itu!” bentaknya, sambil menahan darah yang terus mengalir dari hidungnya.

Ansel, dengan sorot mata dingin, menatap balik. “Kenapa aku harus takut pada orang seperti dirimu?” balasnya dengan suara yang tak bergetar sedikit pun, seolah Riko tak lebih dari seekor lalat baginya.

Mona, panik, segera mengambil tisu dan memberikannya kepada Riko. “Pak Riko, maafkan suami saya. Dia tak seharusnya melakukan ini,” katanya, mencoba menenangkan situasi. Apa pun harus dilakukannya agar perusahaan tetap selamat.

“Suami sampahmu ini sudah benar-benar keterlaluan, Mona! Kamu harus segera menceraikannya! Kalau tidak, aku tidak akan membantu perusahaanmu!” ancam Riko, membuat Mona bergetar ketakutan. Tanpa dukungan Riko, perusahaan yang dibangunnya akan hancur.

“Pak Riko, saya mohon, jangan lakukan itu. Saya sangat butuh bantuan Anda,” pinta Mona, suaranya gemetar.

“Ceraikan anjing ini, maka aku akan membantu!” balas Riko kasar, mengabaikan kepanikan yang meliputi ruangan.

Mona terdiam, menoleh pada Ansel yang tetap berdiri tegak. Sorot matanya penuh keyakinan, memberi isyarat bahwa dia tahu siapa sebenarnya Ansel.

“Kamu tidak perlu memohon padanya, Mona! Aku yang akan membantu keuangan perusahaanmu!” Ansel berseru lantang, suaranya memenuhi ruangan, menciptakan ketegangan yang menyesakkan.

Riko tertawa terbahak-bahak, mencemooh. “Kamu? Tentara rendahan sepertimu mau membantu Mona? Jangan mimpi!” hina Riko dengan tawa yang meremehkan.

“Berapa, sih, gajimu? Paling cukup buat makanmu sendiri!” lanjutnya, memandang Ansel dengan jijik, seolah kehadirannya saja sudah cukup untuk mencemari udara di sekelilingnya.

“Ansel! Sudah! Jangan banyak omong! Turuti saja perkataan Nak Riko, supaya kita bisa hidup tenang. Aku pastikan kamu mendapatkan sedikit bagian nanti, untuk biaya hidupmu,” kata Lidia, suaranya bergetar, lebih khawatir daripada Mona.

Ansel tetap tenang. “Aku tidak main-main! Aku tidak akan menceraikan istriku, dan aku juga akan membantunya!” Ansel mencetuskan dengan tegas, sorot matanya penuh kemarahan yang tertahan. Riko, dengan segala kesombongannya, benar-benar membuatnya muak.

Ansel, yang semula hanya pulang untuk memulihkan cedera, kini dihadapkan pada kenyataan yang lebih pahit. Dia harus menghadapi orang seperti Riko, yang sama sekali tidak tahu diri.

“Kamu sangat percaya diri, ya? Dengan apa kamu membantu perusahaan Mona? Gajimu pas-pasan!” Riko mengejek lagi, semakin menjadi-jadi.

“Aku akan menandatangani kontrak kerja sama dengan Candarana Group besok! Keuntungannya miliaran!” pamer Riko, bangga.

Mona tahu, perusahaan Candarana Group adalah salah satu perusahaan terbesar. Wajar jika Riko begitu bangga. Mendengar nama besar itu, sejenak keyakinan Mona goyah.

Namun, Ansel tak terpengaruh sedikit pun. Dia menatap Riko dengan tajam. “Hanya itu?” ucapnya dingin, menghapus senyum puas di bibir Riko, seolah apa yang dikatakan Riko hanyalah lelucon murahan.

“Apa maksudmu?” tanya Riko kesal, merasa harga dirinya terinjak-injak.

“Kamu yakin perusahaan sebesar itu mau bekerja sama denganmu setelah melihat sikapmu? Setelah tahu betapa busuknya dirimu?” Ansel menantangnya, suaranya tetap tenang, tapi mengintimidasi, membuat suasana semakin menegangkan.

“Tentu saja! Aku sudah mendapatkan kepercayaan mereka! Besok kami tanda tangan kontrak!” Riko merespons, suaranya mulai goyah, terpancing emosi. Keyakinannya mulai tergoyahkan oleh tatapan dingin Ansel yang menusuk.

“Jangan mengalihkan pembicaraan! Ceraikan Mona!” Riko kembali menekan, mencoba mengendalikan situasi yang mulai lepas dari tangannya.

Ansel tertawa, suara rendahnya penuh ejekan. “Kamu terlalu naif, Riko.” Dia merogoh dompet di saku celananya, mengeluarkan sebuah kartu, dan memperlihatkannya kepada Riko.

Mata Riko menyipit, memperhatikan kartu tersebut. Saat dia mencoba memahami apa arti kartu itu, wajahnya berubah pucat. Simbol elang berwarna emas yang menghiasi kartu itu, simbol yang tak asing baginya, namun entah mengapa terasa begitu mengancam.

“Ini adalah kartu yang bisa menyelamatkan perusahaan istriku,” ujar Ansel dengan tegas, penuh keyakinan. Suaranya tak bergetar sedikit pun, menunjukkan betapa dia menguasai keadaan.

Riko terdiam seribu bahasa, mencoba mencari tahu apa maksud Ansel. Bagaimana bisa kartu itu ada di tangan Ansel? Apa yang sebenarnya tersembunyi di balik sosok pria yang selama ini diremehkan?

Ansel melangkah maju, mendekati Riko, menatap lurus ke matanya. “Kamu tahu, dengan kartu ini, aku bisa membuatmu menyesal selamanya,” bisiknya pelan, namun sarat ancaman. Setiap kata yang keluar dari mulutnya mengandung kekuatan yang tak bisa dianggap remeh.

Mata Riko tak bisa berpaling dari kartu hitam dengan gambar elang emas itu. Tatapannya beralih ke pergelangan tangan kanan Ansel, di mana ada sebuah tato kecil bergambar elang dengan beberapa kode di bawahnya. Tato yang menjadi penanda kekuatan dan status yang selama ini disembunyikan.

Riko terhuyung mundur. ‘Tidak mungkin! Tidak mungkin tentara rendahan ini memiliki sesuatu yang begitu penting!’ pikirnya. Tatapan Ansel, yang penuh keyakinan dan kekuasaan, membuatnya meragukan semua yang selama ini dipercayanya.

Ansel tersenyum menang, melihat Riko kehilangan kata-kata. “Sudah cukup, Riko. Aku yang akan menyelamatkan perusahaan Mona. Kamu tidak perlu campur tangan,” ucapnya, nada suaranya tetap tenang namun mengandung ancaman yang jelas. Setiap gerakannya mencerminkan dominasi yang tak terbantahkan.

“Sudah! Akhiri omong kosong ini! Riko, tolong bantu perusahaan Mona. Kami sangat membutuhkan pertolonganmu,” ucap Lidia, mencoba membujuk Riko sekali lagi, meskipun pandangannya mulai ragu.

Riko, meskipun masih dalam kebimbangan, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa Ansel hanyalah seorang prajurit biasa. Namun, tatapan mata Ansel yang penuh misteri membuatnya kembali ragu.

“Ma, bukankah aku sudah bilang kalau aku nggak akan menceraikan Mona dan aku akan membantunya? Tolong percayalah padaku!” pinta Ansel, kali ini suaranya lebih lembut, mencoba meyakinkan ibu mertuanya yang masih ragu akan kemampuannya.

Namun, Lidia menatap Ansel dengan kemarahan yang membara. “Jangan bicara omong kosong lagi! Aku muak! Keluar dari rumah ini!” bentaknya, tak mampu lagi menahan emosinya.

Kini, giliran tubuh Ansel yang bergetar. Bukan karena takut, melainkan menahan amarah yang membara. ‘Aku benar-benar bisa membantu Mona, Ma. Kenapa Mama nggak mau percaya?’

Ansel merasa frustrasi, namun tetap tak ingin membuka identitas aslinya.

Di titik ini, ponsel Ansel berdering. Nama yang tertera di layar membuat Ansel sedikit menjauh untuk menjawab panggilan tersebut. Itu adalah orang yang sangat penting, seseorang yang tidak bisa diabaikannya, dan setiap kata yang diucapkannya akan mempengaruhi banyak orang.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 106 Tamat

    Mona masih terdiam, wajahnya memucat, tubuhnya perlahan gemetar. Informasi yang baru saja ia terima terasa seperti badai—membuat segalanya berputar dan kabur di kepalanya. Namun Ansel belum selesai. “Dan satu lagi,” ucapnya, kini dengan nada lebih tajam, menusuk. “Hendrik Hartono tidak mati bunuh diri di penjara.” Mona menoleh cepat, matanya terbelalak. “Apa maksudmu…?” Ansel menatap pria paruh baya di seberang dengan dingin yang mengancam. “Dia yang mengatur kematian Hendrik. Mengubahnya seolah-olah itu bunuh diri, padahal itu pembunuhan yang disabotase dari dalam.” Pria itu mengangkat alisnya pelan, seolah tak merasa bersalah sedikit pun. “Hendrik tahu terlalu banyak. Dia mulai panik. Kalau aku biarkan, dia bisa buka suara—dan itu akan merugikan semua pihak.” “Termasuk kau,” potong Ansel tajam. “Karena jika dia bicara, semuanya akan tahu kalau selama ini dalangnya adalah kau. Kau yang menarik tali dari balik bayangan. Meracuni Dante, lalu menyingkirkan siapa pun yang bisa

  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 105

    Beberapa minggu setelah Mona melahirkan Arshaka, Ansel kemudian meminta izin kepada Lidia untuk membawa istrinya itu ke suatu tempat. Dan mertuanya itu senang karena diberi waktu lama untuk bermain dengan cucunya. "Kita akan kemana?" Mona bertanya saat dia dan Ansel berada di dalam mobil yang dikemudikan oleh suaminya. "Ke suatu tempat. Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu," jawab Ansel, sembari fokus menatap jalanan di depan sana. Mendengar jawaban Ansel, Mona tak bertanya lagi. Ia hanya menggenggam jemari suaminya yang bebas satu, membiarkan keheningan menyelimuti mereka sambil menanti kejutan yang akan datang. Mobil yang Ansel kendarai akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan yang sangat familiar—kantor polisi. Mona mengernyit heran, pandangannya menelusuri papan nama besar di atas gedung itu. “Apa… kita ada urusan di sini?” gumamnya pelan, hampir seperti bicara pada diri sendiri. Namun sebelum sempat bertanya lebih lanjut, Ansel sudah keluar dari mobil dan mengitar

  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 104

    Beberapa jam setelah persalinan Cahaya lembut dari lampu di sudut ruangan menciptakan bayangan hangat di wajah Mona yang tertidur pulas. Di pelukannya, Arshaka tampak damai, sesekali menggerakkan tangan mungilnya seolah sedang bermimpi. Ansel duduk di samping ranjang, tubuhnya bersandar santai tapi tetap waspada. Di antara jemarinya yang kokoh, ia menggenggam tangan kecil anaknya dengan hati-hati, seolah takut kekuatannya yang luar biasa bisa melukai makhluk sekecil itu. Dia menatap wajah mungil itu dalam diam. Hidung kecil, bibir mungil, dan alis tipis yang entah mengapa membuat hatinya terasa penuh. “Arshaka,” bisiknya pelan, seolah sedang menguji nama itu di lidahnya. “Kau bahkan belum bisa membuka mata, tapi kau sudah mengubah segalanya.” Ada senyum samar di wajah Ansel—bukan senyum sinis, bukan senyum licik, tapi senyum yang lembut, tulus, dan langka. Tangannya yang besar membenarkan selimut bayi itu dengan gerakan sangat hati-hati, lalu berpindah menyentuh pipi Mon

  • Pembalasan Dewa Perang    103

    Beberapa jam kemudian Suasana di dalam kamar perawatan semakin tegang. Mona kini terbaring dengan tubuh sedikit miring, keringat membasahi dahinya. Nafasnya semakin berat, tangannya menggenggam erat lengan Ansel setiap kali kontraksi datang. "Ahh…!" Mona meringis kesakitan saat gelombang kontraksi kembali menghantam. Ansel langsung mencondongkan tubuhnya, tangannya mengelus rambut Mona dengan lembut. "Mona, tahan sebentar… Aku di sini." Dokter kembali masuk untuk memeriksa perkembangannya. Setelah beberapa saat, dia mengangkat wajah dengan ekspresi serius. “Sekarang sudah pembukaan delapan.” Mata Ansel semakin gelap. “Apa dia masih harus menunggu lama?” Dokter tersenyum tipis, berusaha menenangkan. “Dari perkembangannya, sepertinya tidak akan lama lagi. Nyonya Mona, Anda harus tetap tenang dan mengatur napas. Jika terus panik, akan lebih sulit nantinya.” Mona mengangguk lemah, meskipun rasa sakit yang terus meningkat hampir membuatnya tidak bisa berpikir. Namun, saat

  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 102

    Dokter memasang sarung tangannya dan mulai memeriksa kondisi Mona dengan teliti. Ansel berdiri di sisi ranjang, matanya tak lepas dari wajah istrinya yang menahan napas. Beberapa saat kemudian, dokter mengangkat wajahnya dan tersenyum kecil. "Seperti yang kami duga, Nyonya sudah memasuki pembukaan satu." Mona menghembuskan napas lega, meskipun di dalam hatinya tetap ada sedikit kegelisahan. Namun, berbeda dengan Ansel. Wajah pria itu sama sekali tidak menunjukkan ketenangan. "Pembukaan satu," ulangnya dengan suara datar, tetapi ada ketegangan yang terasa di baliknya. "Berarti Mona akan semakin kesakitan setelah ini?" Dokter mengangguk. "Kontraksi akan semakin sering dan intens. Tapi ini masih tahap awal, jadi butuh waktu sebelum benar-benar siap untuk melahirkan." Ansel tidak menjawab. Rahangnya semakin mengeras, dan tatapan matanya seakan menyelidik, mencari kepastian. "Aku masih baik-baik saja, Ansel," ujar Mona dengan suara lembut, berusaha menenangkan suaminya. A

  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 101

    Setelah memastikan Mona baik-baik saja, Ansel tetap berada di rumah sakit hingga larut malam. Mona akhirnya tertidur karena kelelahan, sementara Ansel duduk di sofa di dalam kamar VIP, menatap layar ponselnya dengan tatapan dingin. Richard berdiri di sudut ruangan, menunggu perintah. "Bagaimana situasinya?" tanya Ansel pelan, suaranya terdengar lebih berat di tengah keheningan malam. Richard sedikit menunduk. "XG Group benar-benar runtuh. Sahamnya anjlok hingga level terendah, dewan direksi kacau, dan pemegang saham utama mulai menjual aset mereka. Sepertinya mereka tidak akan bisa bangkit lagi." Ansel tidak bereaksi langsung. Dia hanya memutar cangkir kopinya yang sudah dingin di tangan. Ansel tersenyum kecil, tapi sorot matanya tetap tajam. "Bagus," gumamnya. Suasana ruangan terasa semakin dingin. Richard menatap Ansel dengan sedikit ragu, lalu memberanikan diri untuk bertanya, "Apa yang akan kita lakukan selanjutnya, Jenderal?" Ansel meletakkan cangkirnya ke meja d

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status