Drug..dug...drug..Aqila merasakan guncangan pada tubuhnya. Dia membuka mata, gelap. Udara yang dia hirup bahkan menyisakan sesaķ dalam penggap.Ada apa ini? Ya Tuhan, apa yang terjadi padaku?Qila bertanya dalam hati ia mengingat kembali saat tengah tertidur di dalam mobil bersama Umar, lelaki yang baru beberapa jam lalu menjadi suaminya. Tapi mengapa kini ia terbangun dalam bagasi mobil yang penggap.Sraakk!Decitan di antara ban dan kerikil terdengar. Mobil itu berhenti bergetar, Aqila dapat merasakan guncangan pada tubuhnya juga berhenti."Dorong saja masuk ke sana!"Suara wanita tak terlalu jelas terdengar, Aqila berusaha bergerak, namun tangannya dan kakinya terikat kencang, bahkan kain juga menyumpal mulutnya.Jangan ambil nyawaku sekarang, aku ingin membahagiakan ibuku!Aqila berdo'a, memohon pada sang pemilik hidup agar nyawanya tidak berhenti untuk hari ini."Dorong!" Suara itu terdengar memerintah, membuat Aqila kembali panik dan berusaha melepaskan diri.Brak! Brak!Aqila
Leon menatap wajah ayu Jani, wanita itu kini berdiri dengan senyum merekah, mereka akan pulang ke negarana esok dan hari ini Leon berencana membawa Jani pada orang tuannya."Aku ingin mengenalkanmu pada orang tuaku.""Apa?" Jani terkejut, dia tau inu terlalu dini."Aku ingin membawamu pada orang tuaku.""Bagaimana kamu akan membawaku pada mereka Leon? apakah kamu tidak takut mereka menolakku?"."Kenapa? aku ingin kamu tau aku serius jani.""Kamu belum bicara apa-apa padaku dan sekarang kamu bilang serius?""Jani, tolong jangan membuat aku takut kehilangan dirimu."Jani diam, dia mulai menyadari jika ternyata Leon jaruh cinta padanya juga."Katakan, apakah aku tak boleh memilikimu?""Siapa yang bilang tak boleh?" Aku hanya terkejut kenapa harus aku yang kamu pilih.""Ada alasan Yang tak bisa juga aku jelaskan Jani."Jani hanya terdiam, perlahan dia menerima tangan Leon."Apa itu artinya kamu menerimaku?""Aku tak bisa memberikan. jawaban sekarang""Bisakah kita tunda pertemuan ini Leon
Jani masih tak percaya, segala mimpinya dulu kini hanya tinggal selangkah lagi menjadi kenyataan, terlebih membayangkan bahwa suaminya akan kembali padanya, meminta maaf bahkan mungkin menyesali perbuatannnya pada Jani, membuat wanita itu terus tersenyum simpul."Ada apa?" Leon bertanya, sejak tadi ia tak berhenti menatap wajah Jani yang besemu.Jani hanya menggelengkan kepala, ia bisa di kira gila bila terus tersenyum sendiri. " Tak ada, hanya aki ingin bilang terimakasih Leon, kamu sudah merubah hidupku." Ucapnya pelan sembari menatap lagi ke arah luar mobil.Leon tersenyum tipis, senyum yang hampir tak terlihat, ia begitu bahagia merasa kali ini keberadaannya begitu berarti untuk Jani.Mobil mereka berhenti di perlintasan kereta, Jani menatap keluar, menyaksikan kendaraan.yang ikut berhenti seperti mobil yang ua tumpangi. Tanpa sengaja mata Jani tertuju pada dua wajah yang sedang bercanda di dalam mobil tepat di sisinya."Mas Amran!" Ucapnya pelan, lelaki itu sedang bercanda dengan
Menatap wajahnya di depan kaca, rambut tertutup jilbab dengan rapi, Kila memutuskan menutup tubuhnya sekarang, tubuh nmhina yang di penuh dosa dan kesalahan, harusnya tak pantas bersikap sok suci seperti ini."Sudah siap pulang?" Pertanyaan mbah Sumi membuat Kila tersadar dari lamunan."Kamu cantik nduk." Ucap wanita tua itu lirih, dia terharu melihat betapa cantikny Kila saat berhijab."Bagaimana jika mereka tidak menerima aku mbah?" Rasa khawatir menghantui pikiran Kila."Jila begitu pintu rumah ini terbuka untukmu nduk." Ucap mbah Sumi dengan wajah tulusnya.Tangan kusut itu membasuh wajah Kila dengan lembut, membetulkan letak jilbab wanita itu agar lebih sempurna."Pulanglah nduk, mbah akan menunggu kabar darimu." Ucapnta lirih.Kila bersimpuh di kaki mbay Sumi, merasa wanita itu pantas di mintai restu, sejak datang tadi pagi ke rumah ini tak ada satupun kalimat mbah Sumu yang terdengar menghakimi, beliau bahkan tal bertanya kenapa Kila berbuat begitu, yang beliau katakan hanyalah
Jani masih menunggu di sudut jendela, Lwon berjanji Leon hanya akan pergi sebentar, namun hingga menit-menit dirinya akan melakukan tindakan, Leon belum juga kembali ke rumah sakit."Nanti juga datang non, mungkin memang ada urusan yang belum bisa di tinggal" Bi Marni memberikan Jani pengertian berharap gadis bermata indah itu tak merasa di tinggalkan penyelamat nya."Mas Leon tak akan tega meninggalkan non Jani sendirian, dia pasti punya alasan kuat kenapa harus begitu saja meninggalkan non Jani sendirian."Jani hanya terdiam, tak ada jawaban yang harus dia berikan, semuaa kalimat bi Marni benar meski dirinya merasa tetap saja tak bisa tenang."Sebaiknya nona segera berganti baju, dokter akan tiba segera." Alexa memberikan baju rumah sakit pada Jani, wanita itu mengigit bibir bawahnya sendiri, merasa cemas saat mengambil baju yang terlipat di atas tempat tidur dan berjalan dengan ragu ke dalam kamar mandi.Jani menutup pintu perlahan, dengan perasaan yang tak bisa di gambarkan sekara
Hari ini Sri bangun dengan terkejut, kabar Aini kabur dari rumah sakit membuat dirinya merasa cemas sekarang, bahkan sejak beberapa hari lalu dia tak membiarkan Mutia sendirian, meski Aini tak tau dimana rumah mereka, Sri tau wanita itu bisa saja melakukan hal buruk.s"Jadi bagaimana, apakah Aini sudah di temukan?" Tanya Sri cemas, dia tak tau bagaimana harus bersikap sekarang."Belum, sejauh inu kami masih teruss berusaha mencari. Tapi wanita ini sangat licik nyonya, kita semua tau Aini adalah wanita yang benar-benar penuh siasat."Sei meremas kesal tangannya sendiri. "Harusnya aku tak membiarkan wanita seperti ini hidup!" Ucapnya menyesalu mengapa tak dia selesaikan saja hidup Aini sejak awal, kebaikannya ternyata mungkin membawanya pada masalah lagi."Kita akan segera menemukan wanita ini nyonya, saya berjanji." Arman memberi hormat, lalu keluar ruangan Sri setelah merasa tak ada lagi yang akan dia sampaikan.Sri berjalan gusar masuk kembali ke kamar Mutia, gadis itu duduk di dekat
Fandi hampir sulit berjalan, Aini tak melepaskan tangannya walau hanya sebentar, dia takut di tinggalkan dan mau tak mau Fandi manut sama pada wanita itu."Masak kita mau ajak dia!" Fani berbisik, rencana mereka akan pergi dan meninggkan Aini namun kenapa justeru wanita tak waras itu bergelayut manja pada Fandi."Nanti kita pikir dulu sekarang ayo kita pergi saja, lagi pula semakin berbahaya di sini, kita bisa saja jadi korban amarahnya lagi, apa kamu tak merasa takut?" Ucap Fandi tak tau lagi bagaimana harus bersikap sekarang.Fani melirik ke arah Aini, memang wanita itu membuat dirinya bergidik ngeri, keadaannya Sekarang sudah sangat mirip dengan adegan film psikopat."Yasudah mas, ayo kita pergi." Ucapnya manut juga setelah itu, mungkin akan ada cara bagaimana nantinya Aini harus di singkirkan."Ayo berangkat!' Ucap Aini lalu duduk di dalam mobil lebih dulu, dia duduk di sisi kemudi dan kemudian tersenyum sangat mania pada dua kakak beradik itu.Fandi dan Fani berusaha juga tersenyu
Sri rejeki bersiap sejak beberapa jam lalu, kedatangan ibu kandung Mutia membuatnya bahkan merasa sangat berdebar, ada banyak hal yang ingin dia katakan pada wanita itu, wanita yang menurutnya begitu banyak menyimpan luka yang belum terobati."Ya sayang? Kau sudah selesai." Sri mengangkat panggilan dari Satria."Belum, setelah ini masih ada operasi lain. Apakah sudah sampai?" Satria bertanya dari balik ponsel."Sudah, aku aka segera masuk. Bagaimana operasi pertamanya?" Sri bertanya pada sang suami.Hari ini harusnya Satria menemani sang istri, namun panggilan darurat dari rumah sakit dirinya harus kembali ke pekerjaan utamanya."Baik, semua berjalan lancar., aku berharap semua juga lancar di sana"."Semoga sayang, tunggu saja kabar selanjutnya dari istrimu ini." Ucap Sri dengan gurauan.Terdengar tawa renyah dari balik ponsel Sri namun hanya wanita itu yang bisa mendengarnya dengan jelas."Baiklah, aku harus kembali bekerja, jangan lupa hubungi aku segera. I love you sayang." "I Lov