Share

Keputusan

Hujan deras yang mengguyur desa tidak membuat Dita menghentikan laju motor yang sedang ia kendarai. Wanita itu sengaja membiarkan tumpahan air langit malam itu mengguyur tubuhnya. Berharap akan meluruhkan rasa sakit yang sedang ia rasakan dan meredam tangis pilu yang tidak dapat ia tahan lagi. 

Takdir benar-benar sedang bermain dengannya. Setelah langkahnya hampir sampai pada titik dimana Dita akan menggapai semua impian yang selama ini ia ukir untuk keluarga kecilnya, semesta ternyata berkata lain. Impian itu hancur, melebur bersama kecewa dan luka tak kasat mata yang mengaga begitu besar. Rasanya sangat perih. Sekuat apa pun Dita mempersiapkan diri untuk hari ini, tetap saja tangis kekecewaan itu tak kuasa ia bendung. 

Diamnya Bimo menjadi jawaban untuk Dita. Tidak ada penjelasan yang pria itu berikan. Hatinya benar-benar hancur dan Bimo telah behasil membuat kepingan itu bertaburan.

“Dita!” teriak Lasri yang berhasil membuat suaminya yang ada di dalam kamar segera keluar meghampiri wanita itu. 

"Dita kenapa, Las?” tanya Dedi pada istrinya. 

“Eggak tahu, Kang, pas aku buka pintu dia langsung jatuh. Bawa dia ke kamar, Kang.” Pasangan itu segera membawa Dita ke kamar wanita itu. 

Selama beberapa hari ini, Dita tinggal di rumah Lastri, kerena Dita memang tidak mempunyai sanak saudara atau teman dekat yang lain di sana. Yang ia punya hanyalah Bimo dan keluarga pria itu. Lastri juga yang telah menjemput Dita di bandara. 

*

Sang mentari telah menyapa dengan cahayanya yang menghangatkan. Sinarnya memantulan buliran air hujan yang menggenang di kelopak bunga yang menghiasi halaman samping rumah Lastri. Tepat di dekat kamar yang Dita tempati. Dita menatap bunga mawar yang sedang bermekaran dengan indah tersebut.

“Bahkan mawar yang indah sekali pun akan layu pada waktunya,” gumam Dita. Wanita itu kembali memasukan pakaian dan beberapa barang ke dalam koper miliknya.

“Apa kamu yakin akan pergi secepat ini, Ta?” tanya Lastri. Wanita itu sedang menemani sahabatnya. 

Lastri masih belum tahu apa yang terjadi malam tadi antara Dita dan Bimo, karena sahabatnya itu masih belum mau bercerita. 

“Tidak ada yang bisa aku harapkan lagi di sini, Las. Desa ini sekarang sudah menjadi tempat yang memberikan kenangan buruk untukku,” imbuh Dita. 

“Ta, ak—”

“Aku sudah memaafkan kamu, Las. Aku tahu kamu punya alasan kenapa melakukan itu. Aku hanya ingin pergi untuk menyembuhkan lukaku,” pungkas Dita. Ia tahu apa yang akan Lastri katakan. 

Dita tersenyum getir menatap beberapa barang yang sudah wanita itu kemas untuk ia bawa ke rumah mertuanya. Itu adalah oleh-oleh yang sudah Dita siapkan untuk keluarga Bimo. Terlepas dari apa yang terjadi, Dita tetap akan memberikan  apa yang sudah ia siapkan.

Malam tadi sebelum pergi dari rumah Bimo, Dita mengatakan jika hari ini ia akan berkunjung ke rumah mertuanya untuk berpamitan. 

*

Dita masih mengendarai motor seorang diri. Jarak dari Rumah Lastri ke rumah Bimo hanya 10 menit saja menggunakan kendaraan roda dua tersebut, karena mereka memang tinggal di desa yang sama. Hanya berbeda kampung saja. 

Kedua orang tua Bimo dan kedua adik pria itu sudah berkumpul di rumah orang tua Bimo, termasuk Bimo dan Nadiya. Dita masuk setelah dipersilakan oleh si empunya rumah. 

“Sebelumnya saya minta maaf tidak memberitahu tentang kepulangan saya ke sini. Tadinya saya ingin memberikan kejutan untuk A Bimo, tetapi malah saya yang mendapat kejutan,” imbuh Dita dengan senyum yang terulas di bibirnya. Semua yang ada di sana hanya diam dengan wajah tegang. “Bu, Pa, mungkin A Bimo sudah cerita tentang kedatangan saya malam tadi. Maaf jika selama ini ternyata saya tidak bisa menjadi menantu yang baik untuk kalian. Saya tidak akan meminta penjelasan ataupun alasan kenapa kalian semua menyetujui pernikahan itu dan menyembunyikannya dari saya," sambung Dita.

“Bukankah laki-laki tidak masalah kalau mempunyai istri lebih dari satu? Kamu juga tahu, ‘kan, Dita? Bimo di sini harus mengurus anaknya seorang diri. Dia juga butuh pendamping untuk mengurus dirinya dan putri kalian,” sanggah Mirna, ibu Bimo.

“Bu!” tegur Agus, suami wanita itu, tetapi tidak diindahkan oleh istrinya. “Mafkan kami yang gagal mendidik Bimo dengan baik, Nak,”  ucap  pria paruh baya itu dengan penuh sesal sembari menata Dita dengan rasa bersalah.

Rasanya Dita ingin menangis, meraung, dan berteriak. Kalimat yang diucapkan ibu mertuanya sungguh diluar dugaan Dita. Bimo rupanya mendapat dukungan dari sang ibu untuk menikah dengan Nadiya. Rasa sakit dan kecewa itu semakin besar. Puluhan busur panah menghujam hati Dita. Setetes air berhasil lolos dari kelopak mata wanita itu. Segera Dita menyekanya. Membalas ucapan ibu mertuanya pun rasanya percuma.

Apakah wanita paruh baya itu tidak bisa membayangkan, bagaimana jika suaminya melakukan hal yang sama dengan apa yang  putranya lakukan? Atau, bagaimana jika putrinya diperlakukan sama oleh suami mereka? Apakah wanita paruh baya itu bisa terima dan akan tetap mengucapkan kalimat yang dia ucapkan tadi?

"Nadiya." Dita menatap wanita yang duduk si samping ibu mertuanya. "Selamat. Kamu tidak usah khawatir, karena aku tidak akan meminta A Bimo untuk memilih salah satu diantara kita ataupun berbagi cinta dengan kita. Selamat, Nadiya. Kamu sudah berhasil menghancurkan rumah tangga yang susah payah aku pertahankan." Nadiya tidak berani menatap Dita. 

"Baguslah. Jadi, Bimo bisa fokus  hanya dengan satu istri dan anak-anaknya," celetuk Mirna. 

"Bu!" 

Kembali Agus menegur istrinya. Bagaimanapun putra mereka tetap salah dalam hal ini dan pria paruh baya itu tidak membenarkan sama sekali. 

"Izinkan saya membawa Devina ikut bersama dengan saya, A," pinta Dita pada Bimo. 

"Tidak bisa! Devina adalah cucuku dan aku tidak rela jika cucuku ikut bersama kamu, Dita," tukas Mirna. "Bimo, ingat, ya! Apa pun yang terjadi Devina tidak boleh pergi dari desa ini!" tegas Mirna sembari menatap putranya. 

"Iya, Bu. Bimo tidak akan membiarkan siapa pun membawa Devina." 

BUM

Bom itu kembali meledak dan meluluhlantakkan harapan Dita satu-satunya. Luka yang masih menganga di hatinya seperti ditaburi garam, lalu disiram oleh perasan air jeruk nipis diatasnya. Perih dan sangat menyakitkan. 

"A Bimo, apa semua ini masih kurang? Aku hanya meminta Devina ikut bersamaku," ucap Dita dengan lirih. Wanita itu menatap penuh harap pada pria yang duduk di depannya. Namun, Bimo menggeleng dengan tegas. 

"Aku yang merawatnya selama 4 tahun ini. Aku juga yang akan merawatnya sampai nanti aku akan melepaskan tanggung jawabku pada pria yang menjadi suaminya kelak," pungkas Bimo. 

Bimo benar-benar telah berhasil menghancurkan Dita sehancur-hancurnya.

Dita tidak mempermasalahkan tentang semua uang yang telah wanita itu berikan untuk Bimo. Bahkan, Dita juga merelakan istana yang ia bangun dengan jerih payahnya selama ini untuk ditempati oleh Bimo dan Nadiya. Dita hanya ingin Devina. Putri yang sudah sangat lama ia rindukan. Namun, itu pun tidak bisa ia dapatkan.

Bahkan Bimo tidak mengizinkan Dita untuk bertemu dengan Devina. Bercerai dengannya berarti Dita harus siap kehilangan semuanya. Termasuk Devina. 

"Kamu dengar, 'kan, Dita?" 

Mga Comments (2)
goodnovel comment avatar
RESTO MINI INDONESIA AND KOREA FOOD
pasti orang ini...️ hatinya julid mungkin dia GK punya rasa cinta yg tulus
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
matilah kau dita. terlalu lemot,menye2 dan tolol!! apakah kau dikurung di gudang bawah tanah selama jadi babu?? sehingga otak mu g berkembang
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status