Dita diam mematung mendengar ucapan ibu mertuanya. Wanita paruh baya itu tersenyum puas mendengar keputusan putranya.
Cairan bening sudah menggenang di pelupuk mata. Sekali kedip saja, maka kristal bening itu akan jatuh tanpa izin.
Dita menatap orang-orang yang ada di sana, Bimo bahkan tidak mau mengangkat kepala untuk melihatnya.
"Lihat aku, A. Apa kamu tidak bisa membiarkan aku membawa putriku? Aku yakin, kamu masih punya hati, A," ucap Dita cukup pelan. "Lihat aku. Kenapa kamu tidak berani menatapku?" lanjutanya.
"Cukup, Teh. Apa kamu tidak mendengar ucapan A Bimo yang terdengar cukup jelas? Lagi pula, aku masih bisa mengurus Devina dan membesarkannya. Jadi, kamu enggak udah khawatir. Bukankah bagus kalau Devina bersama kami? Kamu jadi bebas mau melakukan apa pun ." Adalah Nadiya yang menyangga ucapan Dita. Wanita itu tersenyum dan menatap Dita dengan tatapan yang meremehkan. Tidak ada lagi wajah ramah seperti yang ditunjukkan wanita itu saat pertama kali Dita bertemu dengannya.
Hati Dita semakin sakit manakala Bimo hanya diam. Akhirnya pertahanannya runtuh juga. Setetes demi setetes kristal bening itu jatuh membasahi pipinya. Sekuat mungkin Dita menghirup udara untuk memberi asupan oksigen, karena sesak yang semakin mengimpit.
Lidah terasa kelu untuk kembali mengucapkan sebuah kalimat sanggahan. Dita menggigit bibir bawahnya untuk menahan suara tangis yang ia tahan sekuat mungkin.
"Ingat Dita, kamu sendiri yang bilang tidak akan membuat pilihan untuk Bimo," ucap ibu mertuanya. "Apa sekarang kamu berubah pikiran dan kamu bersedia berbagi suami dengan Nadiya?" sambung wanita paruh baya itu.
Dita menunduk. Bukan karena bimbang, tetapi wanita itu tengah menetralkan perasaan dan mengatur napas untuk memberi sanggahan atas ucapan ibu mertuanya yang terdengar meremehkan.
Dita menyeka air matanya. Wanita itu kemudian mendongak, menatap ibu mertuanya. "Tidak Bu. Saya tidak akan mengubah keputusan saya. Tidak ada gunanya mempertahankan seseorang yang akan menjadi penyakit untuk diri kita sendiri. Memang tidak mudah untuk melepaskan, tetapi bukan berarti tidak bisa. Bukankah barang bekas yang sudah tidak berguna lagi memang harus kita buang? Apalagi jika sudah menjadi sampah yang tidak bisa didaur ulang lagi. Untuk apa dipertahankan jika hanya akan mengotori."
"Kamu—"
"Silakan lakukan pembelaan, Nadiya. Kamu memang istri idaman, akan melakukan apa pun untuk membela laki-laki yang kamu cintai ini, bukan?" tukas Dita. "Ingat, Nadiya. Kamu juga seorang wanita, pun dengan anakmu. Aku tidak perlu menjelaskan, bukan?"
"Ternyata kalian memang lebih baik bercerai. Saya tidak tahu bagaimana jadinya jika kalian memilih hidup bersama. Ternyata sekarang kamu sudah menunjukkan sifat aslimu dengan kata-katamu itu, Dita," ucap Mirna yang kini menatap tajam wanita di depannya.
"Sikap saya tergantung bagaimana kalian memperlakukan saya." Dita membalas tatapan tajam ibu mertuanya dengan senyum yang terbit dikedua sudut bibirnya.
"Sudah, Bu, tidak usah dilanjutkan." Bimo menyela sang ibu yang akan membalas ucapan Dita. Pria itu terdengar menghela napas panjang. "Semuanya sudah jelas, Dita. Di hadapan kedua orang tuaku, maka saat ini juga aku menjatuhkan talak padamu, Dita Utami binti Muktar. Mulai saat ini kamu bukan istriku lagi."
Dita tersenyum bersamaan dengan setetes air mata yang kembali jatuh di pipi wanita itu. Perpisahan ini memang atas keinginan dirinya sendiri, tapi tetap saja rasa menyakitkan itu akan tetap ada.
"Terima kasih," ucap Dita dengan lirih dan senyum getir di wajahnya.
Semua sudah berakhir. Benar-benar sudah berakhir. Bahtera indah yang ia bangun dan pertahankan selama ini, ternyata harus karam dan tenggelam di tengah samudera. Sekarang, Dita harus berenang dan menggapai apa pun yang bisa membawanya ke tepi. Ia tidak ingin diam saja di tengah lautan lepas yang akan menenggelamkannya.
Dengan hati yang penuh luka, Dita berjalan ke luar dari rumah Mirna. Tujua wanita itu sekarang adalah menemui Devina, putrinya. Setidaknya Bimo memberikan izin untuk bertemu dan menjelaskan tentang siapa dirinya pada putri itu.
"Tante?"
Devina yang tengah bermain bersama temannya di halaman rumah, seketika mendongak saat melihat seseorang berdiri di sampingnya.
"Hai."
Hanya kalimat itu yang bisa Dita ucapkan. Wanita itu mengigit bibir bawahnya yang bergetar. Ia langsung bersimpu di tanah dan memeluk tubuh mungil Devina. Air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya tumpah. Sekuat mungkin wanita itu menahan isaknya agar tidak terdengar oleh anak kecil itu.
Anak berusia 5 tahun itu hanya diam saat wanita yang ia kenal sebagai teman ayahnya itu memeluknya dengan tiba-tiba. Devina tidak menolak ataupun berontak.
"Maafkan Tente, Sayang." Dita melepas pelukannya dan menyeka air mata di pipinya. Devina hanya menatap dengan heran. "Devina mau ikut jalan-jalan sama Tante, enggak? Kita beli es krim dan semua yang Devina mau," ajak Dita.
"Benar, Tente?" Wajah Devina seketika berbinar bahagia. Namun, itu hanya sementara. Wajah anak itu berubah murung. "Tapi...." Manik indah Devina mentap ke arah lain di belakang Dita. Di mana seseorang yang sangat dia takuti sedang berdiri di belakang wanita itu.
“Devina mandi dan siap-siap dulu, ya. Ayah mau ngobrol dulu sama Tante Ami,” ucap Bimo. Sedangkan Devina cukup terkejut mendengar ucapan ayahnya. Ia pikir Bimo akan marah dan tidak mengizinkannya pergi dengan Dita. “Iya, Ayah.” Devina segera berlari menuju rumah dengan wajah senang. Setelah kepergian Devina, Bimo mengajak Dita untuk duduk di kursi yang ada di teras rumahnya.“Aku harap kamu tidak memberitahu Devina sekarang jika kamu adalah ibu kandungnya.” Bimo langsung melontarkan permintaan itu tanpa basa-basi. “Maksud kamu apa, A? Kenapa?” tanya Dita. Ia membulatkan mata, tidak percaya dengan apa yang diucapkan pria yang duduk di depannya. “Aku tidak mau kalau sampai Vina kecewa, Dita. Bukankah kamu juga akan pergi lagi meninggalkan dia?” “Kamu benar-benar egois!” tukas Dita. “Aku melakukan ini untuk kebaikan Vina. Akan sangat menyakitkan untuknya kalau tiba-tiba kamu datang dan mengaku sebagai ibu kandungnya, tetapi kamu juga akan meninggalkannya lagi. Bukankah itu jauh le
“Maksudnya tante,” ujar Dita meralat ucapannya tadi. Wanita itu tersenyum sembari mencubit gemas pipi Devina. Sementara itu, Bimo menghela napas lega. Ia pikir Dita akan mengatakan kebenarannya sekarang. Namun tetap saja, Bimo khawatir Dita tidak bisa menahan diri dan akan mengatakan semuanya saat ia tidak ada nanti. “Kalau sudah siap, kita jalan sekarang, ya, Sayang,” ajak wanita itu pada Devina. “Ayo Tante,” balas Devina dengan wajah gembira. “Tunggu!” sergah Bimo dan mendapat tatapan tidak mengerti dari Dita. “Kalian tunggu di sini sebentar, aku akan meminta Alya untuk menemani kalian jalan-jalan,” sambung pria itu sembari melangkah pergi meninggalkan ibu dan anak tersebut. Dita hanya bisa menghela napas berat mendengar keputusan sepihak mantan suaminya tersebut. Sebelah sudut bibir wanita itu terangkat, sepertinya ia tahu maksud Bim, kenapa adik perempuannya itu harus ikut bersama dengan Dita dan Devina. Bimo sepertinya sangat takut jika Dita akan mengatakan kebenarannya pada
Dita hanya menghela napas berat saat mendengar Alya bercerita tentang pertemuan pertama antara Nadiya dan Bimo."Seandainya waktu itu Teh Rina enggak minta A Bimo buat antar pulang Teh Nadiya, mungkin hubungan mereka tidak akan berlanjut, dan seandainya saja Alya enggak kasih nomor A Bimo sama Teh Nadiya saat dia minta waktu itu, mungkin mereka tidak akan saling berkomunikasi," sesal Alya."Kamu tidak sepenuhnya salah, Alya Seandainya A Bimo bisa menjaga jarak dan membatasi diri, mungkin hubungan mereka tidak akan sejauh itu." Dita menenangkan Alya. Wanita itu menatap lurus pada pohon bunga di halaman depan rumah Lastri. "Yang lebih pantas untuk menjelaskan tentang keadaan ini adalah A Bimo, Alya. Jadi, kamu tidak perlu merasa bersalah."Percakapan kedua wanita itu terhenti saat Lastri ke luar bersama suaminya. "Sudah siap? Kita berangkat sekarang?" tanya wanita itu."Iya, sekarang aja, biar enggak kemalaman pulangnya," jawab Dita."Ya udah, ayo." Lastri dan Dedi berjalan lebih dulu m
Dita menghela napas lega saat berhasil menghindari Tomi. Ia sangat berterima kasih pada Dedi karena cukup peka dan memahami situasi. Dita takut jika Tomi akan membongkar siapa dirinya yang sebenarnya. Devina bersama mereka dan dia tidak khawatir akan hal itu. Tomi adalah salah satu teman mereka. Pria itu jelas mengenali Dita, karena mereka berteman di media sosial milik Dita.*Dita menatap pantulan dirinya pada cermin, lalu tersenyum lebar. Sekedar memberi afirmasi positif agar mood-nya baik. Katanya suasana hati di pagi hari dapat menentukan mood sepanjang hari."Mari lupakan semuanya sebentar dan kita bersenang-senang lagi dengan Vina. Ok?" tanya Dita kepada diri sendiri. "Kita bisa! Semangat!""Cie, yang mau jalan-jalan," seloroh Lastri mengalihkan atensi Dita."Kamu bikin kaget saja, Las. Kalau mau muncul bilang, dong. Mbok kasih kode gitu, biar aku tahu." Dita berkata dengan wajah cemberut.Lastri menahan tawa melihat tingkah laku Dita, terlihat imut. "Iya deh, iya. Aku minta ma
"A Bimo!""Ayah!"seru Serentak Dita dan Devina. Cukup kaget karena tidak menyangka akan bertemu Bimo di sana.'Ih, menyebalkan! Bukankah dia sudah setuju untuk kasih kesempatan aku menghabiskan waktu dengan Vina? Dasar pembohong!' Dita mengutuki Bimo di dalam hatinya. Tentu saja ia tidak tahu jika semua itu adalah ulah Nadiya."Ah, siapa ini?" seru Nadiya dengan wajah kaget yang sengaja dibuat-buat. "Kita ketemu begini, takdir bukan, sih? Karena sudah ketemu, bagaimana kalau kita belanja bersama? Terdengar menyenangkan bukan?"“Tapi….” Bimo melirik ke arah Dita dengan terang-terangan. Ia sengaja tidak menyelesaikan perkataannya. Seolah-olah meminta izin kepada mantan istrinya.Tidak pantas rasanya jika ia datang dan menginterupsi kesenangan sementara yang diberikannya kepada Dita.Sementara itu, Dita segera membuang pandangan. Berpura-pura tidak melihat kode dari Bimo. Dalam hati ia berharap jika mantan suaminya peka terhadap sikapnya dan segera mengajak Nadiya pergi dari sana."Hm,
Mengabaikan Bimo, Dedi memilih untuk pergi ke tempat lain. Pria itu malas jika harus duduk bersama dengan Bimo.Di sisi lain, Nadiya memilih barang yang berbeda sambil terus mengawasi gerak-gerik Dita. Ia akan mengambil kesempatan untuk membuat wanita itu sakit hati.Saat ia melihat Dita memilih dan akan membawakan Devina sebuah baju, Nadiya pun melakukan hal serupa. Lalu, dengan cepat menghampiri gadis kecil itu."Vina, lihat deh, baju ini cocok untuk kamu–""Wah, kamu cocok sekali pakai ini, Vina!" seru Nadiya menyela perkataan Dita dengan suara yang sedikit keras.Devina terlihat senang. Baju yang dipegang oleh Nadiya adalah sebuah gaun yang memang telah lama diidamkan oleh gadis kecil itu."Wah, Mama ingat kalau aku mau baju yang seperti ini? Makasih, Ma," ujar Devina memeluk tubuh Nadiya.Dita yang masih mematung di belakang Devina menggenggam pakaian yang dibawanya dengan erat. Tentu saja ia merasa kesal. Harusnya yang berada di posisi itu adalah dirinya, bukan Nadiya.Beberapa
Beruntung Lastri dan Alya datang tepat waktu.“Vina liat mainannya sama Tante Lastri dan Tante Alya dulu, ya.” Dita mengulas senyum hangat pada putrinya dan mendapat anggukan kecil dari anak itu.“Kita lihat boneka yang di sana, yuk, Vina,” ajak Alya yang segera memahami situasi. Ketiga orang itu pergi meninggalkan Dita dan Bimo.“Kenapa kamu melanggar janji kamu, A. Bukankah kamu sudah mengizinkan Devina untuk menghabiskan waktu bersamaku hari ini? Lantas kenapa kamu mengusik kesenangan yang baru kami lewati beberapa jam ini?” Dita menatap kesal pada mantan suaminya tersebut.“Aku tidak tahu kalau kalian juga ada di sini. Aku hanya mengantar Nadiya yang ingin belanja keperluan Nada di sini,” elak Bimo.“Lalu kenapa kamu tidak membawa istrimu ke tempat lain dan malah membiarkan dia mengikuti kami?”“Kamu melihat sendiri bukan, bagaimana kerasnya Nadiya?”“Bukankah seharusnya sebagai suami, kamu bisa membujuk istrimu?” Dita mendesis kesal. “Oke, kita abaikan tentang istrimu yang terus
Bimo hanya bisa menghela napas pasrah dengan segala kekesalan yang sedang ia rasankan. Kedua wanita itu sama -sama keras kepala. Tidak. Setahu Bimo, Dita dulu bukanlah wanita seperti itu. Dita dulu adalah istri yang sanagat penurut dan patuh padanya. Ah, kenapa ia jadi mengenang masa lalu. Yang jelas, Bimo harus mencegah dua wanita itu bertemu lagi atau mereka akan membuat keributan dan mengundang perhatian para mengunjung yang lain.“Tante makasih, ya, udah beliin Vina ini,” ucap Devina sembari menujuk keranjang yang tengah ia dorong.“Sama-sama, Sayang. tante, kan, sudah janji sama kamu kalau hari ini Tante akan belikan apa pun yang Vina mau.” Dita menghentikan langkahnya dan wanita jongkok di lantai untuk mengimbangi tinggi Devina. “Besok tante harus pulang ke Malang dan tente enggak tahu kapan kita bisa ketemu lagi. Jadi, hari ini kita akan menghabiskan waktu bersama, ya,” ucap Dita.“Iya, Tante,” balas Devina dengan senyum yang mengembang dikedua sudut bibir mungilnya. Dita seg