Bimo segera membuang kemungkinan yang melintas dalam pikirannya. Jika wanita itu Dita, Nadiya pasti akan mengenalinya, karena Nadiya pernah melihat Dita melalui foto yang ada di ponsel dan album yang ia simpan.
Lagi lupa, Dita pasti akan mengabari jika kembali ke Indonesia, karena bagaimanapun Bimo adalah suaminya.
"Ciri-cirinya gimana?" tanya Bimo. Ia ingin memastikan sesuatu.
"Orangnya cantik pokoknya. Putih, bersih, mulus, senyumnya manis banget. Aku aja yang perempuan suka liat dia," jawab Nadiya yang terdengar begitu antusias saat menjabarkan ciri-ciri wanita yang bertamu ke rumah mereka pagi tadi.
"Orangnya tinggi atau pendek?" tanya Bimo lagi.
"Em ... lebih tinggi sedikit dari aku. Orangnya montok, A. Aku aja iri sama bentuk tubuhnya." Kembali Nadiya memuji wanita yang bernama Ami.
Bimo manggut-manggut mendengar jawaban sang istri. Sepertinya wanita yang mengaku sebagai teman SMP nya itu memang bukan Dita. Ciri-ciri yang disebutkan oleh Nadiya tadi tidak ada pada diri Dita. Dita memang memiliki kulit putih, tetapi wanita itu memiliki tubuh yang kurus dan bisa dibilang Dita cukup dekil. Jika dibandingkan degan Nadiya, jelas masih unggul Nadiya.
Bimo menghela napa lega. Ia tidak ingin terlalu ambil pusing tentang siapa wanita yang bertamu ke rumahnya pagi tadi. Bimo kemudian menyesap kopi yang disuguhkan oleh istrinya.
"Dia bilang nanti akan datang lagi, A. Katanya ada urusan yang ingin dia bicarakan sama kamu." Nadiya kembali memberitahu suaminya.
"Urusan apa?" Bimo kembali mengernyit, menatap istrinya.
"Mana aku tahu. Seharusnya aku yang tanya sama kamu. Memangnya kamu ada urusan apa sama dia? Katanya penting."
"Mana aku tahu. Aku saja masih belum ingat dia itu temanku yang mana. Bagaimana aku bisa tahu kalau kami ada urusan penting apa," sanggah Bimo. "Ah, sudahlah. Kalau memang dia ada urusan sama aku, nanti juga kita akan tahu. Aku mau mandi dulu." Bimo kemudian beranjak dari duduknya dan melangkah ke belakang menuju kamar mandi.
"Aneh. Masa sama teman sendiri enggak inget. Aku saja masih ingat sama teman-teman SMP ku." Nadiya menggerutu sendiri.
*
"Hidup harus terus berjalan. Apa pun yang terjadi."
Seperti itulah Dita menyemangati dirinya sendiri di tengah lebam hatinya yang kian terasa semakin menyakitkan. Berulang kali wanita itu menampik dan beharap semua itu hanyalah sebuah mimpi, tetapi itulah kenyataan yang tidak terelakkan lagi.
Kecewa. Jelas ia sangat kecewa. Termasuk pada sahabatnya, Lastri.
Langit sudah mulai berwarna jingga dan sang mentari sudah akan kembali ke peraduannya, tetapi Dita terlihat enggan beranjak dari tempatnya. Wanita itu tengah duduk di sebuah tunggul kayu di tepi pantai yang ia datangi. Ia menatap lurus ke depan, di mana deburan ombak masih setia menemaninya.
Tiga hari sudah Dita berada di desa kelahiran suaminya tersebut. Namun, hatinya masih belum kuat untuk bertemu dengan pria itu, walau hanya untuk meminta sebuah penjelasan.
"Apa salah aku sama kamu, A? Kenapa kamu sengaja mengaramkan bahtera yang susah payah kita bangun?" Dita menyeka air yang kembali merembas membasahi pipinya. "Apa badai itu terlalu kuat sampai kamu harus membiarkan bahtera kita karam?"
Indahnya senja dan warna mentari sore itu tidak sedikit pun membuat Dita tertarik. Padahal ia sangat menyukai sunset. Rasa rindu selama empat tahun harus terbalaskan dengan sebuah pengkhianatan yang menyakitkan.
"Rasanya masih seperti mimpi, A. Aku masih tidak percaya kamu sejahat itu. Aku yakin kamu pasti punya alasan yang kuat. Apa aku sudah tidak pantas lagi untuk mendampingi kamu?" gumam Dita. Ia tertunduk memukul dadanya, menumpahkan sesak yang kian mengimpit.
Wanita itu masih menatap kosong ke arah lautan yang terbentang luas. Helaan napas panjangnya terdengar sayup. Dita memejamkan mata, mengajak akal dan hatinya untuk bekerja sama dan berhenti saling berdebat.
Sebuah senyum getir pun terulas dibibir wanita itu. Sekali lagi Dita menghela napas dalam dan mengembuskannya.
"Aku harus segera selesaikan semua ini. Aku tidak bisa terus terjebak dalam kebimbangan ini." Dita beranjak meninggalkan pantai. Memaksa kakinya untuk melangkah ke satu tempat yang mungkin akan mengubah hidupnya.
*
Langit sudah gelap berhiaskan awan mendung yang seolah-olah ikut menyelimuti suasana hati Dita.
Wanita itu sudah berdiri di halaman sebuah rumah yang beberapa hari lalu ia kunjungi. Setelah beberapa hari berdebat dengan hati dan pikirannya, Dita memutuskan untuk menyelesaikan semuanya malam itu juga. Semua keputusan dan rencana sudah Dita susun. Termasuk bagaimana cara dia mengendalikan diri nanti saat bertemu dengan suaminya.
Hanya satu kali ketukan dan ucapan salam, pintu di depan Dita sudah terbuka.
"Teh Ami?" Nadiya yang membuka pintu cukup terkejut dengan kedatangan Dita malam itu. Nadiya pikir Dita sudah kembali ke kampung halamannya.
"Apa aku menganggu waktu kalian?" tanya Dita. "Boleh aku bertemu dengan suamimu? Aku harus menyelesaikan semua urusanku dengannya sebelum aku kembali ke kampung halamanku," pinta Dita kemudian.
"Oh, iya, Teh. Kebetulan A Bimo ada di dalam. Ayo masuk, Teh," Nadiya mempersilakan tamunya untuk masuk.
Jam yang menempel di dinding ruangan itu sudah menunjukkan pukul 08.00 malam. Dita duduk di sofa yang ada di sana, sementara Nadiya memanggil Bimo di kamarnya.
Langkah Bimo terhenti dan tubuh pria itu mematung seketika saat melihat siapa tamu wanita yang sedang duduk di sofa ruang tamu rumahnya. Tatapan mereka bertemu.
"A, kamu kenapa?" tegur Nadiya pada suaminya. "Itu Teh Ami sudah nungguin." Nadiya menarik lengan suaminya dan mengajak pria itu untuk segera duduk di sofa menemui tamunya.
"Hai, A Bimo, gima kabarnya? Akhirnya kita bisa bertemu lagi setelah 4 tahun." Dita mengulurkan tangan pada pria yang sedang menatapnya dengan wajah tegang.
"A, kamu kenapa?" tanya Nadiya saat menyadari keanehan pada suaminya. Bimo bahkan tidak menyambut uluran tangan Dita yang masih menggantung di udara.
"Ah, i-iya. Kabar aku baik ... Dita," jawab Bimo dengan tergagap. Pria itu kemudian menyambut uluran tangan Dita dan menatap wajah wanita yang masih sah menjadi istrinya itu.
"Dita?" Mata Nadiya membulat lebar. "Ma-maksud kamu, dia Dita ...." Nadiya ragu untuk melanjutkan kalimatnya.
"Benar, Nadiya. Aku Dita istri pertama A Bimo," jawab Dita dengan menerbitkan lengkungan indah di kedua sudut bibirnya. "Maaf sudah membuat kalian kaget dengan kehadiranku secara tiba-tiba. Bukankah seharusnya kalian sudah mempersiapkan diri untuk pertemuan ini?"
Nadiya terpaku di tempatnya. Ia tidak menyangka jika wanita yang beberapa hari lalu ia puji di depan Bimo itu adalah istri pertama suaminya. Seketika rasa percaya diri Nadiya runtuh. Dita yang ada di hadapannya saat ini sangat jauh berbeda dengan Dita yang ia lihat di dalam album foto yang Bimo simpan.
"Dita ... maafkan aku," ucap Bimo dengan suara lirih.
"Apa aku harus memaafkan kamu, A? Niatku untuk memberi kejutan padamu dan putri kita hancur berantakan karena ternyata kamulah yang memberi kejutan untukku. Terima kasih untuk kejutan yang menyakitkan ini, A." Dita berusaha sekuat mungkin menahan sesak di dadanya. Ia harus tetap terlihat baik-baik saja di depa suami dan madunya. "Apa ada yang ingin kamu jelaskan, A?" tanya Dita pada pria yang hanya diam sembari menundukkan pandangannya itu.
Dita menghela napas panjang. Sebuah senyum getir terulas di bibirnya. "Diammu aku anggap sebagai jawaban, A. Kita akan bertemu di pengadilan agama secepatnya."
"Dita ...."
Tidak selamanya manusia akan berkubang terus dalam kesedihan. Pasti akan ada masanya Tuhan memberikan tawa setelah tangis. Memang tidak berbalas seketika itu juga, tetapi pasti akan ada masanya untuk bahagia. Semua hal pahit sudah Dita lalui dan sekarang ia sedang memanen buah dari kesabaran dan keikhlasannya selama ini. Bukan berarti kesedihan dan masalah tidak akan menghampiri lagi, tetapi untuk saat ini, Dita ingin menikmati hadiah terindah tersebut.Mempunyai suami yang begitu mencintainya, mertua yang sangat menyayanginya dan dua buah hati dari cintanya bersama Daffin. Devina pun telah tumbuh menjadi gadis remaja yang pintar dan berprestasi di sekolahnya saat ini. Dia berhasil membuktikan janjinya pada papa sambungnya tersebut jika dia memang layak masuk dalam keluarga Daffin. Walaupun, Daffin tidak pernah menuntut putri sambungnya tersebut, tetapi Devina ingin membanggakan sang mama dan membuat dirinya berarti untuk orang-orang di sekitarnya. Neira juga tumbuh menjadi gadis y
Terkadang sebagai orang tua, kita tidak bisa memaksakan kehendak kita pada anak kita. Terkadang menuntut mereka untuk mendengarkan kita, tetapi kita tidak berkaca, apakah kita juga bisa mendengarkan mereka? Menerima pemikiran mereka dan meluruskan kesalahan tanpa ego sebagai kepalanya. Devina sedang melakukan protes atas sikap Nadiya yang mulai berbeda padanya. Dan juga Bimo yang semakin sibuk bekerja dan tidak memberikan perhatian seperti dulu. Nadiya yang ikut bekerja, terkadang pulang dengan keadaan lelah dan lebih sering marah-marah. Devina merasa apa yang dia lakukan selalu salah di mata ibu sambungnya itu. Dia sudah berusaha sebisa mungkin membantu, tetapi tidak dianggap sama sekali. "Vina mau tinggal sana nenek aja, Yah." Devina pernah meminta izin ayahnya untuk kembali tinggal dengan sang nenek di desa ayahnya, tetapi dengan cepat Nadiya menolak. "Kamu mau bikin nama mama semakin jelek di mata nenekmu? Dia akan semakin berpikir kalau mama ini gak becus ngurus kamu!" sentak
Nadiya bisa menangkap sorot ketakutan di mata Dita. Wajah Dita terlihat pucat. "Ini hanya bagian dari masa lalu istriku dan tidak ada hubungannya dengan saat ini. Istriku juga tidak bertanggung jawab atas perasaanmu saat ini, Bimo!" tegas Daffin. Dita hanya diam menatap wajah suaminya. Meskipun pria itu mengulas senyum, tak lantas membuat Dita tenang. "Mas …." Dita tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Foto itu kembali mengingatkan dirinya akan sebuah kenangan buruk di masa lalu. "Itu hanya sebuah foto, Sayang. Bisa saja itu editan," imbuh Daffin. Ia menggenggam erat tangan sang istri. "Itu adalah foto asli, Daffin. Kami mendapatkan foto itu dari sumber yang akurat." Bimo menanggapi ucapan Daffin. "Lalu? Kalau foto itu asli, apa yang akan kamu lakukan pada istriku? Menuntut tanggung jawab atas sebuah pengkhianatan?" sahut Daffin. Ia memicing, menatap tegas pria yang duduk di depannya itu. "Bimo, Bimo. Bukankah ini sangat lucu? Kalian mempersalahkan kejadian di masa lalu istriku.
Waktu terus berputar tanpa ada satu manusia pun yang bisa menghentikannya. Semua sudah berjalan sesuai dengan apa yang sudah digariskan oleh sang pencipta kehidupan. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi kedepannya dengan kehidupan kita. Kedekatan Dita dan Nadiya, istri mantan suaminya, kini jadi merenggang karena perdebatan lewat chat antara keduanya. Semua bermula saat Nadiya mulai mengeluhkan kelakuan Devina yang terkesan susah di atur. Semenjak masuk SMA, Devina sudah ikut menetap tinggal bersama Bimo dan Nadiya di Bandung. Perdebatan itu mulai memanas manakala Nadiya mulai mengatakan kalimat yang tidak pantas yang terkesan menyalahkan Dita dan menyamakan jika sifat Devina itu menurun dari sifat sang mama."Dia udah keterlaluan, Mas. Kayaknya kita harus susul Devina, deh, Mas." Dita sedang mengadukan perihal konflik dirinya dengan Nadiya. "Minggu ini kita ke sana, ya, Sayang. Kita bicara baik-baik sama Bimo dan Nadiya. Biar Devina tinggal sama kita saja. Nanti aku minta D
Dokter segera melakukan penanganan untuk membuat bayi yang baru dilahirkan itu menangis. “Mas, anak kita ….”“Dokter sedang melakukan penanganan, Sayang. Anak kita pasti akan baik-baik saja.” Daffin menenangkan istrinya walaupun ia sendiri sedang takut. Setelah beberapa menit, suara tangis bayi memenuhi ruang bersalin Dita. Daffin dan Dita segera mengucap syukur. Ia mengecup lama kening sang istri sambil berbisik. "Alhamdulillah. Terima kasih, Sayang." Dita tak kuasa menahan rasa haru atas kelahiran putra mereka. Rasa sakit yang dirasa seakan menguar begitu saja. Sementara itu, di luar ruangan bersalin. Beberapa orang sedang menunggu dengan cemas salah satu keluarga mereka yang sedang berjuang di dalam sana. Alfin Bagaskara, adalah nama yang diberikan Daffin untuk bayi mungil berkulit merah dengan hidung mancung dan rambut tebal tersebut. Dita dan bayinya sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Alhamdulillah, tidak ada hal yang mengkhawatirkan pada bayi mereka. "Pa, kenapa dede
Pertemuan Nadiya dan Dita beberapa hari lalu membuat Alya datang ke rumah wanita itu pula. Beberapa hari lalu, Nadiya datang karena ingin meminta bantuan Dita untuk membujuk agar Devina mau tinggal bersamanya. Nadia meminta bantuan agar Dita mau membujuk ibu mertuanya supaya mengizinkan Devina tinggal di Bandung bersamanya dan Bimo. “Aku nggak tahu kenapa ibunya A Bimo kekeuh nggak kasih izin Devina buat tinggal sama kami, Dita. Aku capek kalau harus dibilang ibu sambung yang nggak bertanggung jawab, sama orang-orang desa. Setiap kali aku datang nengokin ibu dan Devina ke desa, mereka seolah menatapku dengan kebencian. Aku nggak tahu omongan apa yang udah mereka dengar. Ibu juga masih selalu banding-bandingin aku sama kamu. Katanya semenjak A Bimo nikah sama aku, A Bimo jarang banget kasih uang bulanan buat ibu. Hanya kirim untuk Devina saja. Aku harus gimana, Dita? Aku mau bawa Devina ikut kami, tapi Ibu nggak izinin. Devina ikut dengan Ibu pun, malah jadi omongan.”Dita tidak membe