Terkadang sebagai orang tua, kita tidak bisa memaksakan kehendak kita pada anak kita. Terkadang menuntut mereka untuk mendengarkan kita, tetapi kita tidak berkaca, apakah kita juga bisa mendengarkan mereka? Menerima pemikiran mereka dan meluruskan kesalahan tanpa ego sebagai kepalanya. Devina sedang melakukan protes atas sikap Nadiya yang mulai berbeda padanya. Dan juga Bimo yang semakin sibuk bekerja dan tidak memberikan perhatian seperti dulu. Nadiya yang ikut bekerja, terkadang pulang dengan keadaan lelah dan lebih sering marah-marah. Devina merasa apa yang dia lakukan selalu salah di mata ibu sambungnya itu. Dia sudah berusaha sebisa mungkin membantu, tetapi tidak dianggap sama sekali. "Vina mau tinggal sana nenek aja, Yah." Devina pernah meminta izin ayahnya untuk kembali tinggal dengan sang nenek di desa ayahnya, tetapi dengan cepat Nadiya menolak. "Kamu mau bikin nama mama semakin jelek di mata nenekmu? Dia akan semakin berpikir kalau mama ini gak becus ngurus kamu!" sentak
Tidak selamanya manusia akan berkubang terus dalam kesedihan. Pasti akan ada masanya Tuhan memberikan tawa setelah tangis. Memang tidak berbalas seketika itu juga, tetapi pasti akan ada masanya untuk bahagia. Semua hal pahit sudah Dita lalui dan sekarang ia sedang memanen buah dari kesabaran dan keikhlasannya selama ini. Bukan berarti kesedihan dan masalah tidak akan menghampiri lagi, tetapi untuk saat ini, Dita ingin menikmati hadiah terindah tersebut.Mempunyai suami yang begitu mencintainya, mertua yang sangat menyayanginya dan dua buah hati dari cintanya bersama Daffin. Devina pun telah tumbuh menjadi gadis remaja yang pintar dan berprestasi di sekolahnya saat ini. Dia berhasil membuktikan janjinya pada papa sambungnya tersebut jika dia memang layak masuk dalam keluarga Daffin. Walaupun, Daffin tidak pernah menuntut putri sambungnya tersebut, tetapi Devina ingin membanggakan sang mama dan membuat dirinya berarti untuk orang-orang di sekitarnya. Neira juga tumbuh menjadi gadis y
Seorang wanita cantik, berkulit putih dengan postur tubuh dan besar ideal tengah berdiri di halaman sebuah rumah. Wanita itu tersenyum menatap bangunan di depannya. Rumah itu tidak mewah, tetapi cukup mencolok dan terlihat paling bagus diantara bangunan lain di sekitarnya. Wanita cantik itu bernama Dita Utami. Setelah 4 tahun menjadi seorang TKI di Dubai, ia memutuskan untuk pulang ke Indonesia dan berkumpul kembali bersama keluarga kecilnya yang teramat ia rindukan. Sengaja ia tidak memberitahu perihal kepulangannya kepada suami dan keluarga yang lain. Dita ingin memberikan kejutan untuk mereka. Dengan perasaan gembira yang membuncah, Dita melangkahkan kaki menuju bangunan di depannya. Dua kali mengucapkan salam dan mengetuk pintu, seorang wanita cantik yang menggendong seorang bayi berdiri di depan pintu yang sudah dibuka sembari menjawab salam Dita. Mereka beradu pandang, sama-sama termangu di tempatnya. “Ka-kamu siapa?” tanya Dita yang membuat wanita di depannya mengerutk
Dita mematung dengan mata berkaca-kaca saat mendapati anak perempuan yang berusia 5 tahun tengah berdiri satu meter di depannya. Seketika otot kakinya rapuh dan bibirnya kelu, tidak bisa berkata apa pun. 'Mama?' Sedetik kemudian air mata itu luruh.“Teteh baik-baik aja?” Pertanyaan Nadiya berhasil mengembalikan kesadaran Dita. “I-iya. Maaf, saya hanya ingat sama anak saya di kampung,” ucap Dita seraya menyeka air mata di pipinya. “Ia kemudian jongkok di hadapan anak perempuan tersebut. “Hai, siapa nama kamu?” tanya Dita pada anak tersebut dan tidak mendapat jawaban. Anak itu menatap Nadiya terlebih dahulu. Seolah-olah meminta persetujuan dari wanita itu untuk menjawab pertanyaan wanita asing di depannya. Hati Dita semakin hancur menyaksikan bagaimana dirinya terlihat begitu asing di mata darah dagingnya sendiri. Anak perempuan itu tidak mengenalinya sedikit pun. “Ini Tante Ami, Sayang. Temennya ayah kamu.” Nadiya memberi jawaban atas tatapan anak tersebut. "Enggak usah takut, Tan
“Las, Lastri ….” Dita beteriak memanggil sahabatnya begitu ia sampai dirumah wanita itu. Ia masuk ke rumah mencari sahabatnya. “Iya, Ta," sahut Lastri. "Kamu dari mana? Kok basah gini?” tanya Lastri sembari memutar tubuh Dita yang sudah basah setengah dari celana panjang yang dipakai. “Kamu tega benget ngerjain, aku, Las.” Dita memberengut dan duduk di bangku yang ada di dapur. Kebetulan Lastri sedang memasak. “Ngerjain apa?” Latri mengerutkan kening tidak mengerti dengan ucapan sahabatnya. Lastri kemudian mengangkat ikan goreng yang ada dalam penggorengan dan mematikan kompor. “Kamu sudah ketemu sama Bimo?” tanyanya kemudian. Ia duduk di kursi sebelah Dita. “Belum,” jawab Dita sembari menggeleng. “Tapi aku ketemu sama perempuan yang ngaku sebagai istri A Bimo,” sambungnya. “Terus?” Jantung Lastri berdetak lebih cepat. Kenapa Dita tidak terlihat sedih, dia malah terlihat sedikit kesal saja? Apa yang sebenarnya terjadi di sana? pertanyaan itu memenuhi benak Lastri. “Kamu jahat b
Bimo segera membuang kemungkinan yang melintas dalam pikirannya. Jika wanita itu Dita, Nadiya pasti akan mengenalinya, karena Nadiya pernah melihat Dita melalui foto yang ada di ponsel dan album yang ia simpan. Lagi lupa, Dita pasti akan mengabari jika kembali ke Indonesia, karena bagaimanapun Bimo adalah suaminya. "Ciri-cirinya gimana?" tanya Bimo. Ia ingin memastikan sesuatu."Orangnya cantik pokoknya. Putih, bersih, mulus, senyumnya manis banget. Aku aja yang perempuan suka liat dia," jawab Nadiya yang terdengar begitu antusias saat menjabarkan ciri-ciri wanita yang bertamu ke rumah mereka pagi tadi. "Orangnya tinggi atau pendek?" tanya Bimo lagi."Em ... lebih tinggi sedikit dari aku. Orangnya montok, A. Aku aja iri sama bentuk tubuhnya." Kembali Nadiya memuji wanita yang bernama Ami. Bimo manggut-manggut mendengar jawaban sang istri. Sepertinya wanita yang mengaku sebagai teman SMP nya itu memang bukan Dita. Ciri-ciri yang disebutkan oleh Nadiya tadi tidak ada pada diri Dita.
Hujan deras yang mengguyur desa tidak membuat Dita menghentikan laju motor yang sedang ia kendarai. Wanita itu sengaja membiarkan tumpahan air langit malam itu mengguyur tubuhnya. Berharap akan meluruhkan rasa sakit yang sedang ia rasakan dan meredam tangis pilu yang tidak dapat ia tahan lagi. Takdir benar-benar sedang bermain dengannya. Setelah langkahnya hampir sampai pada titik dimana Dita akan menggapai semua impian yang selama ini ia ukir untuk keluarga kecilnya, semesta ternyata berkata lain. Impian itu hancur, melebur bersama kecewa dan luka tak kasat mata yang mengaga begitu besar. Rasanya sangat perih. Sekuat apa pun Dita mempersiapkan diri untuk hari ini, tetap saja tangis kekecewaan itu tak kuasa ia bendung. Diamnya Bimo menjadi jawaban untuk Dita. Tidak ada penjelasan yang pria itu berikan. Hatinya benar-benar hancur dan Bimo telah behasil membuat kepingan itu bertaburan. “Dita!” teriak Lasri yang berhasil membuat suaminya yang ada di dalam kamar segera keluar meghamp
Dita diam mematung mendengar ucapan ibu mertuanya. Wanita paruh baya itu tersenyum puas mendengar keputusan putranya. Cairan bening sudah menggenang di pelupuk mata. Sekali kedip saja, maka kristal bening itu akan jatuh tanpa izin.Dita menatap orang-orang yang ada di sana, Bimo bahkan tidak mau mengangkat kepala untuk melihatnya. "Lihat aku, A. Apa kamu tidak bisa membiarkan aku membawa putriku? Aku yakin, kamu masih punya hati, A," ucap Dita cukup pelan. "Lihat aku. Kenapa kamu tidak berani menatapku?" lanjutanya. "Cukup, Teh. Apa kamu tidak mendengar ucapan A Bimo yang terdengar cukup jelas? Lagi pula, aku masih bisa mengurus Devina dan membesarkannya. Jadi, kamu enggak udah khawatir. Bukankah bagus kalau Devina bersama kami? Kamu jadi bebas mau melakukan apa pun ." Adalah Nadiya yang menyangga ucapan Dita. Wanita itu tersenyum dan menatap Dita dengan tatapan yang meremehkan. Tidak ada lagi wajah ramah seperti yang ditunjukkan wanita itu saat pertama kali Dita bertemu dengannya.