LOGIN"Nyonya ... Anak-anak dari tadi siang belum juga pulang dari sekolah." Beri tahu Ana---art di rumah Arsa dan Andira.
"A-apa?" Andira terkejut bukan main. "Kenapa tidak mengabari saya dari tadi?" Andira baru pulang ke rumah setelah menjalani aktivitas dikantor firma hukum miliknya. Wanita itu pulang menjelang hari petang. Tapi ia diberikan kabar mengejutkan oleh Art-nya. "Maaf, Nyonya. Tapi saya sudah mencoba menghubungi nyonya ... ponsel Anda tidak aktif," jawab Ana dengan takut. Andira menghela napasnya kasar. Ia lupa bahwa ponselnya kehabisan daya. Wanita itu tanpa mengucapkan sepatah katapun, meninggalkan Ana menuju kamar. Ia memutuskan untuk menghubungi sang suami mengabarkan tentang hilangnya anak-anak mereka. Andira mengambil kabel pengisi daya untuk mengisi ponsel baterai. Ia memilih untuk mengambil ponselnya yang ia miliki satu lagi. Dengan adanya hal yang menimpa anak-anak, ia tidak bisa berlama-lama seperti ini. Ia harus memberitahukan Arsa. Suaminya harus tahu bahwa Zeya dan Darrel menghilang. Andira benar-benar takut bila seandainya terjadi suatu bahaya pada mereka. Ketika bersiap untuk menelpon Arsa, sebuah pesan masuk mengejutkan dirinya ketika ia sedang mengisi daya ponsel. "Kamu mencari kedua anakmu? Pergilah ke alamat ini!" Begitu isi pesannya. Andira langsung mengetahui siapa orang itu. "Wanita ini ...." Andira mengepalkan tangannya dengan erat. Sepertinya, Wanita itu sudah mulai berani. Wanita itu menyerang anak-anaknya. Jenna benar-benar nekat berusaha mendapatkan Arsa dengan menekan dia dan kedua anaknya. "Apakah kamu mulai memanfaatkan aku dan anak-anak ku?" gumam Andira menatap tajam kearah layar ponselnya. Jika wanita itu sudah nekat seperti ini, Andira tidak boleh main-main. Ia tahu bila suaminya sengaja mempermainkan perasaan Jenna. Mungkin karena itu Jenna merasa sakit hati. Tapi Andira mencoba untuk berpikir positif dan berniat untuk berbicara dengan kepala dingin pada wanita itu. Melupakan pesan itu, Andira memilih untuk menghubungi sang suami. Tapi beberapa kali Andira melakukan panggilan, Arsa tak mengangkat teleponnya. Yang ada hanya sahutan dari suara operator. Mungkin suaminya sedang dalam posisi rapat jadi tidak bisa diganggu. Andira menghela napas menurunkan ponsel. "Nggak bisa dihubungi. Aku telepon Fahmi aja." Tak membutuhkan waktu lama, Fahmi mengangkat panggilan. "Fahmi tolong sampaikan ke bapak untuk segera pulang, ya? ada masalah dengan anak-anak." "Baik, Bu." Fahmi menurut apa yang dikatakan oleh Andira. Fahmi merupakan asisten Arsa. "Aku akan cek CCTV sekolahan." Andira berpamitan kepada art untuk pergi ke sekolah tempat anaknya. Ia perlu mencari tahu apa yang terjadi di sana. Mungkin dari CCTV sekolah itu, ia bisa mendapatkan petunjuk. Dengan perasaan panik, takut dan tubuh yang bergetar akibat gugup, ia mengendarai mobil dengan perlahan agar tidak terjadi sesuatu kecelakaan. Andira ingin menangis rasanya karena anak-anaknya hilang. hari ini jadwal bertemu dengan klien sangat padat. Sehingga ia lupa untuk menjemput anak-anaknya dan kini tidak tahu ada di mana. Andira menepikan mobilnya di depan gerbang sekolah. Dengan langkah yang cepat dan penuh perhitungan, Andira memasuki lorong gedung itu. Ia mencari kepala sekolah dan mengatakan bahwa anak-anaknya hilang. Andira juga menemui wali kelas Zeya dan Darrel. "Jadi anak-anak belum pulang, Bu?" tanya Wali kelas Zeya. Andira mengangguk. "Benar. Sampai sore ini mereka belum pulang." "Tadi memang ada seorang wanita yang menjemput keduanya. Dan beliau mengatakan bahwa dia saudara Ibu dan sudah meminta izin ibu untuk membawa anak-anak." Beri tahunya. "Ibu tentunya tahu 'kan, siapa saja yang sudah sering menjemput anak saya? Itu orang asing ibu guru." Andira kecewa kepada wali kelas Zeya. Tapi ia tak mungkin bisa marah karena sejatinya tak tahu. "Maafkan kami karena telah lalai," ucap kepala sekolah. Andira menghembuskan napas kasar. "Ya sudahlah. Kalau gitu, Saya ingin pergi untuk melihat rekaman CCTV." "Baik. Silakan." Kepala sekolah menuntun Andira menuju ruangan yang digunakan untuk memantau Cctv. Dari kamera CCTV tersebut, dia bisa tahu siapa orang yang membawa putra dan putrinya. Tapi ketika sedang fokus untuk memperhatikan rekaman, telpon masuk berasal dari ibu Arsa. "Halo ibu. Ada apa?" Andira bertanya dengan nada bergetar. "Ibu datang ke rumah kok kamu nggak ada?" Andira menggigit bibir bawahnya dengan pelan. Jujur ia takut jika Ibu mertuanya mengetahui bahwa anak-anaknya hilang karena diculik. Nanti ia sendiri yang akan disalahkan. "Ada perlu apa ibu datang ke rumah?" tanya Andira penasaran Biasanya ibu mertua akan datang jika ada keperluan tertentu. Salah satunya untuk meminta uang. Kalau tidak karena itu, tidak akan mungkin mau datang ke rumah. "Iya. Ibu ada perlu sekaligus mau main sama anak-anak kamu. Ke mana anak-anakmu sampai saat ini belum pulang?" Mendengar ucapan sang ibu mertua seperti itu kemungkinan besar tidak tahu dengan apa yang terjadi dengan kedua cucunya. Sebelum pergi mencari anak-anaknya Andira berpesan kepada Ana agar jangan memberitahu Ibu mertuanya seandainya datang. Dan ternyata anakku menurut dia apa yang ia minta. "Aku ajak jalan-jalan," dusta Andira. Ia memilih untuk mencari aman agar tidak disalahkan seperti biasa. "Ini sudah hampir malam. Jangan kamu bawa lama-lama anak-anakmu. Segeralah pulang!" "Nanti sebentar lagi. Ibu kalau mau minta uang nanti aku kirimkan lewat rekening." "Baik. Ibu tunggu transferannya dari kamu. Ibu mau beli perhiasan lagi untuk arisan." Ibu Arsa adalah seseorang yang gemar bersosialita. Apalagi semenjak anaknya menjadi pengusaha dan sukses, ia memperbaiki penampilannya menjadi wanita berkelas dengan pakaian yang mewah dengan barang-barang branded yang menunjang penampilan. Tak jarang jika kekurangan uang, jika tidak meminta langsung kepada Arsa, pasti Andira yang dimintai. "Baik, Bu. nanti ya aku transfer." Andira menutup panggilan dari ibu mertuanya. Andira menggerakan mouse yang ia pegang untuk mengecek kembali CCTV rekaman tadi sore saat anaknya pulang sekolah. Disamping gerbang, terlihat sosok Jenna dengan senyum manisnya berjalan dengan anggun dan berbicara terhadap wali kelas Zeya. Tak lama kemudian Jenna mengajak Zeya beserta Darrel untuk pergi bersamanya. Tapi sebelum itu, wanita tersebut mengarahkan tatapannya ke arah kamera sambil tersenyum. Andira sedikit bingung, namun juga mengerti apa tujuan wanita itu membawa anak-anaknya. Kemungkinan ingin menekan dirinya agar melepaskan suaminya untuk wanita itu. Apa tujuannya karena memang cinta buta, atau harta? Tapi yang jelas wanita itu terlihat nekat menjalankan ambisinya. "Halo, Cindy. Bagaimana penyelidikan kamu?" Andira meminta bantuan kepada asistennya untuk melacak keberadaan ponsel Jenna setelah menerima pesan masuk mengenai anak-anaknya. Cindy bersedia membantu Andira. "Saya sudah melacak keberadaannya, Bu. Nanti saya kirimkan lokasinya." Andira memejamkan matanya. "Baik terima kasih." Andira segera menutup teleponnya dan berpamitan kepada kepala sekolah serta mengucapkan terima kasih karena telah diizinkan untuk memeriksa CCTV. Kini ia berjalan dengan cepat keluar dari gedung sekolah sambil memeriksa ponselnya. Cindy telah mengirimkan sebuah titik lokasi di mana Jenna membawa kedua anaknya. "Semoga saja kedua anakku baik-baik saja," harap Andira dengan cemas. Andira masuk ke dalam mobil dan bersiap untuk meninggalkan sekolah. Tapi fokusnya teralihkan oleh suara dering telepon. Arsa menghubungi dirinya setelah beberapa lama. "Halo, Sayang? Apa benar anak-anak hilang? Fahmi baru memberitahuku," kata Arsa dengan panik. Andira menggigit bibir menahan tangis. "Iya. Tapi aku sudah menemukan dimana titik lokasi mereka berdua." "Aku harus menyusul kamu ya? kita cari sama-sama anak kita?""Kamu yakin akan berangkat sendirian?" tanya Demian pada wanita disampingnya."Tentu saja aku sudah menantikan hari ini untuk bertemu dengan anak-anakku. Aku sudah sangat merindukan mereka," jawabnya.Hari ini adalah jadwal Andira akan berangkat ke Korea Selatan, untuk menemui kedua anaknya. Ia juga sudah memberikan kabar kepada Zeya dan Darrel akan kedatangannya. Mereka bahkan saling berjanji akan bertemu di suatu tempat. Tentunya secara sembunyi-sembunyi. Sebentar lagi Andira akan melakukan boarding pass dan ditemani oleh Demian beserta Cindy. Demian mengantarkan wanita itu sampai ke bandara dan untuk melepas keberangkatannya. Andira sebenarnya menolak. Tetapi Demian yang memaksa ingin ikut mengantarkan. Andira berangkat ke Korea, ingin bertemu dengan kedua anaknya. Rasa rindu yang dipendam oleh wanita itu, tidak bisa dibendung lagi. Ia tidak sabar untuk datang memeluk mereka. Zeya juga sangat antusias dan sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Andira. Tentu saja Andira merasa ba
"Mana pesanan saya yang kamu janjikan?" tanya Arsa kepada seorang pria berjaket jeans abu."Ini, Bos." Pria berjaket jeans abu itu menyerahkan koper besar kepada Arsa.Arsa membuka koper itu. Didalamnya berisi cairan kristal bening yang berharga setara dengan emas. Ia memeriksa bungkusan plastik sebesar batu bata itu. Setiap satu wadah plastik berbobot 1 kg. Arsa tersenyum-senang mendapatkan barang tersebut. Karena sesuai dengan apa yang ia inginkan. "Bagaimana, Bos?" Arsa mengacungkan jempol memuji. "Memuaskan. Kamu memang hebat."Arsa kemudian menyerahkan koper besar yang ia bawa kepada pria itu. "Ini uangnya." Pria itu tersenyum menyeringai ketika membuka koper berisi uang lembaran berwarna merah dari Arsa. Ia tersenyum senang. Sudah beberapa kali ia bertransaksi dengan Arsa. Dan Arsa adalah salah satu pelanggannya yang begitu menyenangkan. Ia tidak pernah kecewa dengan Arsa. Begitu pula sebaliknya Arsa juga tidak pernah kecewa padanya. "Terima kasih, Pak Arsa. Senang sekal
"Apa dia tidak bisa melihat selamanya?" tanya Jenna dengan sendu sambil menatap wajah bayinya."Kata dokter dia buta permanen. Dia tidak mungkin bisa melihat selama seumur hidupnya," jawab Sherina dengan lesu Jenna sudah sadar, dan kini sedang menggendong putra pertamanya dengan raut wajah sedih. Ia mengusap pipi mungil bayi itu dengan lembut. Sebagai seorang ibu yang baru saja dikaruniai seorang putra, tentu rasa hatinya seperti disayat karena melihat anaknya mengalami kekurangan saat lahir. Seharusnya pertama kali lahir, ia bisa melihat dunia walaupun sedikit buram. Tapi selamanya bayi itu tak akan pernah bisa melihat dunia. Bahkan wajah kedua orang tuanya pun, ia tidak akan pernah melihat. "Apa aku salah makan saat masih mengandungnya hingga dia menjadi seperti ini?" Jenna berpikir apa salahnya saat mengandung. "Mana Mama tahu? Kamu sendiri bagaimana cara menjaga kandungan mu?"Sherina tidak pernah memantau putrinya yang sedang hamil semenjak Jenna sudah dinikahi oleh Arsa sec
"Apakah kamu, mau membantu saya memberikan suntikan dana kepada perusahaan saya?" tanya Firman dengan penuh harap kepada Arsa.Firman menatap menantunya dengan penuh rasa cemas dan khawatir. Ia tak yakin jika seandainya pria itu yang telah menjadi suami putrinya, akan mau membantunya. Tetapi ia bingung akan meminta bantuan dari siapa. Ada masalah dalam koneksinya teman-temannya. Mereka tidak menjawab dan sebagian tak ingin membantunya. Entah karena perbuatan siapa. Padahal selama ini, jika Firman mengalami masalah sedikit saja mereka pasti tanpa diminta akan turun tangan membantu. "Berapa dana yang Anda butuhkan?" Arsa penasaran dengan jumlah yang dibutuhkan. "40 miliar," jawab Firman.Arsa menganggukkan kepalanya. Pria itu kemudian meneguk kembali kopi yang tinggal setengah hingga tandas. Ayah Zeya dan Darrel itu berpikir keras mengenai dana sebesar yang disebutkan oleh Firman. Itu bukan dana kecil."Nanti akan saya berikan suntikan dananya," Kata Arsa.Firman terlihat berbinar se
Andira menempelkan ponselnya di telinga dengan jantung yang berdegup kencang. Ia berharap bahwa panggilannya dapat diangkat oleh seseorang di seberang sana. Nomor telepon yang ia hubungi, adalah hasil pencarian Cindy yang diberikan kepadanya. Dan ketika ia mendapatkan nomor telepon tersebut, ia tak ingin membuang waktu untuk segera menghubunginya.Cukup lama Andira mengharapkan sambungan telepon bisa diangkat. Hingga detik berikutnya, Andira dapat merasakan teleponnya diangkat di sana. Deru nafas seseorang dapat Andira rasakan."Akhirnya diangkat," gumam Andira menyerupai bisikan.Andira tak ingin bersuara. Ia ingin memastikan suara seseorang disana bisa keluar terlebih dahulu. Dan ia ingin tahu apakah yang ia telepon benar-benar itu orangnya. Karena jika orang lain, Andira lebih memilih untuk menutupnya."Halo... ini siapa?" Terdengar suara seorang gadis kecil disana. Andira melebarkan matanya ketika mendengar suara yang ia rindukan. Itu adalah suara putrinya. Seperti yang ia hara
"Jadi ibu dijatuhi tamak oleh suami ibu?" tanya Cindy pada Andira yang duduk dihadapannya dengan raut wajah sedih. Andira mengangguk lesu. "Benar, Cindy." Setelah pergi dari rumah Ibu mertuanya, Andira pergi ke kantor firma hukum miliknya dan menemui Cindy. Ia menumpahkan semua keluh kesahnya yang membuat dirinya begitu sedih terkait rumah tangganya. Tak memiliki siapapun yang menjadi keluarga, Andira membutuhkan sandaran saat ini. Cindy sudah bekerja dengan Andira sejak ia masih belum lulus kuliah. Iiya juga tahu betul bagaimana kehidupan rumah tangga Andira bersama suaminya. Kini mengetahui kondisi rumah tangga sang bos, membuat ia benar-benar sedih sekaligus marah. "Dan ... penyebabnya karena perempuan itu bukan?" tebak Cindy . "Iya. Entah apa yang menjadi keteguhan hati mereka untuk menyingkirkan aku dari keluarga Danantya," jawab Andira dengan perasaan bingung. Cindy menghela napas. "Menurut saya, mungkin bisa jadi kalau pelakor itu menghasut suami dan ibu mertua Anda."







