Hari ini adalah hari kedua setelah kepergian Arsa pamit keluar kota. Andira masih memantau pergerakan suaminya. Pria itu tetap berada di Jakarta dan istirahat di sebuah hotel. Hotel yang ditempati adalah hotel yang berbeda dari tempat ia bermalam dengan Jenna sebelumnya.
Tring.
Andira menaikkan sebelah alisnya ketika melihat sebuah notifikasi ponsel masuk. Notifikasi itu adalah notifikasi sadapan ponsel Arsa. Dan di sana terdapat hasil percakapan panas antara Arsa dan Jenna.
Mengetahui bahwa mereka berdua berbalas pesan, itu menandakan bahwa Arsa tidak sedang berada bersama dengan Jenna. Andira membaca pesan yang isinya adalah perkataan Arsa yang tak ingin menikahi wanita itu. Jenna dalam pandangan Arsa, hanya penghibur pria itu dikala lelah dan bosan.
Arsa menekankan pada Jenna agar jangan merendahkan diri untuk bisa tetap menjadi istri seorang pria yang telah menikah. Menjadi simpanan saja, sudah cukup untuk merendahkan diri. Tak perlu terlalu jauh melangkah apalagi ingin menjadi satu-satunya.
Jenna memberikan balasan berupa pesan suara. Wanita itu mengeluarkan sumpah serapah dan menghina Arsa. Jenna sepertinya tidak terima karena di injak-injak harga dirinya oleh Arsa.
"Rupanya mereka bertengkar cukup hebat?" gumam Andira.
Andira tersenyum miring. Rupanya wanita yang menjadi penghibur, itu tidak terima jadi hanya dijadikan sebagai wanita simpanan. Andira tertawa pelan. Lagi pula siapa pria yang mau menikahi orang yang hanya dianggap sebagai penghibur belaka?
"Aku ingin melihat sampai mana batas kalian menyembunyikan ini semua. Semoga kamu bisa segera menyingkirkan wanita itu dari hidupku. Jika kamu menyelesaikan masalah dengan dia, kita akan hidup bahagia selamanya."
Suara dering telepon mengalihkan perhatian Andira. Terdapat nama sang suami yang terpampang di layar. Tanpa menunggu lama Andira menggeser icon berwarna hijau.
"Kamu di mana?" tanya Arsa dari seberang telepon.
"Ada di Bandung menemani klien. Kenapa?" Andira memang sedang menikmati jeda persidangan.
"Bisa kamu segera pulang kalau sudah selesai?"
Andira mengerutkan keningnya. "Pulang? Memangnya ada apa?"
"Aku sudah di rumah sekarang. Aku butuh kamu."
Andira menaikkan kedua alisnya dan cukup bingung. Karena mengikuti jalannya persidangan, ia sampai lupa untuk mengecek keberadaan sang suami. Apakah benar pria itu sudah berada di rumah saat ini? Apakah karena pertengkaran itulah yang membuat Arsa memilih untuk pulang ke rumah?
"Andira." Arsa heran dengan diamnya Andira.
"Iya, iya."
"Apa kamu masih sibuk? Sidangnya masih lama, ya?" tanya Arsa dengan lembut.
"Tidak ini sedang istirahat. Sebentar lagi selesai."
"Baik aku tunggu kamu pulang. Tidak usah khawatir dengan anak-anak karena aku yang jemput mereka," pungkas Arsa mengakhiri panggilannya.
Andira menatap layar ponselnya dengan datar. Pria itu berbicara dengannya cukup lembut. Seolah tak terjadi apa-apa. Ia kemudian memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku.
Andira menemui kliennya dan berdiskusi untuk bahan yang diajukan di sesi sidang selanjutnya. Berbagai bukti dikumpulkan oleh Andira untuk menjerat dan memberi hukuman berat kepada pelaku. Setelah selesai, Andira melanjutkan sesi sidangnya.
Sidang berjalan cukup lancar dan selesai pada sore harinya. Untuk mempercepat waktu sampai rumah, Andira memilih pulang melalui jalan tol. Sambil dalam perjalanan pulang ia mengecek, ponselnya melacak keberadaan sang suami. Dan dari tadi Arsa tetap berada di rumah.
Bahkan hasil dari sadapan ponsel Arsa, tidak ada notifikasi pesan masuk dari Jenna. Mereka tidak saling menghubungi lagi setelah bertengkar. Tapi mungkin ini hanya sementara. Entah besok mereka akan berbaikan atau tidak, Andira tidak tahu.
Saat mobilnya berada di ruas jalan tol, terdapat notifikasi pesan masuk yang dikirimkan oleh Cindy. Andira menyetir menggunakan satu tangan namun tetap hati-hati sambil memeriksa pesan masuk yang ada. Asistennya mengirimkan sebuah bukti transfer uang ke rekening atas nama wanita itu. Beserta dengan kuitansi pembelian kalung berlian yang sangat mahal.
"Ini atas kemauan Mas Arsa sendiri, atau wanita itu yang meminta?" gumam Andira.
Jika itu kemauan Arsa sendiri, mungkin membayar apa yang telah diberikan oleh wanita itu. Dan Andira mencoba menerka-nerka mengenai hubungan sang suami dengan Jenna telah melakukan perzinahan atau tidak. Tapi jika ini permintaan dari wanita itu, berarti selingkuhan Arsa wanita materialistis dan mendekati Arsa dengan tujuan uang.
Andira sampai di rumah dan disambut hangat oleh sang suami. Andira memasang wajah lembut dan senyuman yang manis seperti biasanya. Arsa merentangkan tangan dan memeluk istrinya serta melayangkan kecupan di dahi.
Andira bertanya, "Kok tumben kamu pulangnya cepat sekali? Katanya mau satu minggu di luar kota?"
"Pekerjaan cepat diselesaikan oleh timku di sana. Jadi ... aku bisa segera pulang. Lagi pula aku kangen sama kamu dengan anak-anak." Arsa beralasan dengan masuk akal membuat Andira kagum pada keahlian berbohong yang dimiliki oleh Arsa. Tapi Andira memilih untuk berpura-pura percaya.
"Sudah main sama anak-anak?"
Arsa mengangguk. "Sudah. Karena aku lelah, kita mainnya di rumah saja. Mungkin besok aku akan mengambil libur. Aku akan ajak kamu dan anak-anak jalan-jalan. Kamu besok ada acara tidak?"
"Aku sudah periksa jadwalku. Besok tidak ada sidang juga tidak ada jadwal bertemu klien. Baiklah besok kita jalan-jalan." Andira tersenyum menatap suaminya. Jujur ia merasa tertekan karena bersikap tidak tahu apa-apa.
****
Keesokan harinya, Andira dan juga kedua anaknya diajak melakukan jalan-jalan seperti yang diungkapkan oleh Arsa. Mereka pergi ke sebuah taman bermain dan berbagi kebahagiaan seperti keluarga kecil pada umumnya.
"Kamu kenapa?" tanya Andira ketika melihat wajah tak nyaman Arsa
"Tidak apa-apa?" Arsa menampilkan senyum manis seolah baik-baik saja.
Andira mengalihkan pandangan ke arah lain. Ia tahu bahwa suaminya seperti itu karena memikirkan Jenna. Tidak bisakah pria itu melupakan untuk sementara karena masih bersama dengan keluarga?
"Kamu bersama kami. Tapi tidak dengan hatimu," batin Andira.
Pada waktu makan siang tiba, ponsel Arsa berdering tiada henti. Andira tersenyum miring karena mengetahui bahwa itu adalah Jenna yang ingin mengganggu Arsa. Andira tahu karena ia paham dengan nama kontak yang dituliskan oleh Arsa.
Arsa terlihat gelisah. Ia ingin menerima telepon itu, tetapi sedang bersama keluarga. Jika tidak diangkat, mungkin Arsa takut kalau Jenna membutuhkan sesuatu.
"Jika pekerjaan itu mengganggu konsentrasi mu, matikan ponselnya! Atau sebaiknya, kamu pilih untuk mengakhiri liburan ini, atau meneruskan dan tidak memedulikannya." Andira terlihat geram dengan Arsa yang merasa tidak nyaman dengan kondisi saat ini.
Zeya---putri tertua mereka memprotes, "Kalau Papa kerja terus, kapan kita bersenang-senang kayak begini?"
"Maaf." Arsa menunduk penuh sesal. Ia kemudian memilih mematikan ponselnya.
Andira beberapa saat mendiamkan suaminya karena kesal. Meskipun Arsa akhirnya memilih untuk fokus pada liburan keluarga yang ia janjikan, Andira tetap tak bisa merasakan senang. Pasalnya, Andira melihat ekspresi wajah sang suami yang seperti dipaksakan untuk menikmati liburan ini.
"Sudah dong, Sayang. Jangan cemberut begitu. Aku minta maaf atas kesalahan ku tadi," bujuk Arsa pada istrinya.
"Kamu jarang memberikan waktu untuk keluarga. Tapi giliran liburan bersama, kamu tetap tak melepas tugasmu sebagai atasan," ketus Andira.
Andira benar-benar muak melihat wajah gelisah suaminya saat menatap layar ponsel. Dirinya tahu pasti wanita itu mengganggu ketenangan Arsa yang sedang ingin quality time bersama anak-anak. Setiap hari Jena selalu bersama dengan Arsa dan selalu ikut kemana-mana sebagai sekretaris. Apakah tidak bisa memberi waktu barang sejenak membiarkan Arsa bersama keluarganya?
"Iya, maaf. Maafin, ya? Dimaafkan tidak nih, suaminya?"
Andira menghela napas kesal. "Ya."
Walaupun ia marah dengan sikap sang suami yang menurutnya benar-benar keterlaluan, Andira mencoba untuk melupakannya. Tapi ini tidak bisa dibiarkan. Jika wanita itu terus menerus berada di sisi suaminya, rumah tangganya bisa benar-benar hancur. Andira tak mau itu terjadi karena bisa berdampak kepada kondisi psikis dan mental anak-anak mereka.
Andira berpikir untuk mencari cara agar wanita itu menjauh dari kehidupan rumah tangganya. Jika Wanita itu pergi maka rumah tangganya akan tetap harmonis. Tapi ... apakah wanita itu pergi dan menjauh dari Arsa?
"Nyonya ... Anak-anak dari tadi siang belum juga pulang dari sekolah." Beri tahu Ana---art di rumah Arsa dan Andira. "A-apa?" Andira terkejut bukan main. "Kenapa tidak mengabari saya dari tadi?" Andira baru pulang ke rumah setelah menjalani aktivitas dikantor firma hukum miliknya. Wanita itu pulang menjelang hari petang. Tapi ia diberikan kabar mengejutkan oleh Art-nya. "Maaf, Nyonya. Tapi saya sudah mencoba menghubungi nyonya ... ponsel Anda tidak aktif," jawab Ana dengan takut. Andira menghela napasnya kasar. Ia lupa bahwa ponselnya kehabisan daya. Wanita itu tanpa mengucapkan sepatah katapun, meninggalkan Ana menuju kamar. Ia memutuskan untuk menghubungi sang suami mengabarkan tentang hilangnya anak-anak mereka. Andira mengambil kabel pengisi daya untuk mengisi ponsel baterai. Ia memilih untuk mengambil ponselnya yang ia miliki satu lagi. Dengan adanya hal yang menimpa anak-anak, ia tidak bisa berlama-lama seperti ini. Ia harus memberitahukan Arsa. Suaminya harus tahu bahw
Hari ini adalah hari kedua setelah kepergian Arsa pamit keluar kota. Andira masih memantau pergerakan suaminya. Pria itu tetap berada di Jakarta dan istirahat di sebuah hotel. Hotel yang ditempati adalah hotel yang berbeda dari tempat ia bermalam dengan Jenna sebelumnya. Tring.Andira menaikkan sebelah alisnya ketika melihat sebuah notifikasi ponsel masuk. Notifikasi itu adalah notifikasi sadapan ponsel Arsa. Dan di sana terdapat hasil percakapan panas antara Arsa dan Jenna.Mengetahui bahwa mereka berdua berbalas pesan, itu menandakan bahwa Arsa tidak sedang berada bersama dengan Jenna. Andira membaca pesan yang isinya adalah perkataan Arsa yang tak ingin menikahi wanita itu. Jenna dalam pandangan Arsa, hanya penghibur pria itu dikala lelah dan bosan. Arsa menekankan pada Jenna agar jangan merendahkan diri untuk bisa tetap menjadi istri seorang pria yang telah menikah. Menjadi simpanan saja, sudah cukup untuk merendahkan diri. Tak perlu terlalu jauh melangkah apalagi ingin menjadi
"Jadi ..., wanita itu ...."Andira terkejut karena mengetahui wanita yang merupakan selingkuhannya masih ada kaitan dengan masa lalu dengan orang tuanya. Tangannya mengepal di bawah meja. Ada emosi dan luka yang menyeruak dari dalam dada."Ibu mengenalnya?" tanya Cindy curiga dengan ekspresi wajah Andira. Andira tersenyum kaku. "Ti-tidak. Hanya ..., saya sendiri paham dengan orang tuanya." "Apa Anda dengan orang tuanya dekat?""Tidak. Hanya sedikit tahu saja. Tapi tidak sampai kenal apalagi dekat," jawab Andira.Andira menghela napasnya. Satu fakta ia temukan lagi tentang wanita itu. Ternyata kekasih gelap suaminya, masih memiliki hubungan masa lalu dengan keluarganya.Andira ingin menangis saat ini juga. Wanita itu teringat akan penderitaan yang ia alami saat masa kecil dulu. Mengapa wanita itu datang ke hidupnya? Apakah ia akan kembali membuat dia sengsara seperti dulu?Demi apapun, Andira akan berusaha sekuat tenaga mempertahankan apa yang menjadi miliknya. Ia tak ingin melepaska
"Akhir-akhir ini, setiap aku pulang aku tidak pernah bertemu dengan mereka." Arsa menatap wajah kedua anaknya yang tertidur pulas. Andira memperhatikan raut wajah sendu yang ditampilkan oleh Arsa. Ia mengetahui bahwa pria itu tengah merindukan kedua anak mereka. Dan tidak bisa bertemu karena kesibukan."Mungkin kamu kecewa. Satu hal yang perlu kamu tahu, mereka lebih kecewa daripada kamu," beritahu Andira."Apa mereka marah sama aku?" lirih Arsa."Tadi saat aku barusan pulang sebelum kamu datang, mereka mengeluh bahwa kamu menjanjikan untuk memiliki waktu bersama mereka. Tapi, kamu tidak menepati janji untuk meluangkan waktu sebentar saja," sahut Andira dengan lembut namun berhasil menikam hati Arsa."Seharusnya kalau kamu memang tidak bisa menunaikan janji itu, jangan kamu ucapkan. Lebih baik kamu menyisihkan waktu tanpa menjanjikan apapun. Itu lebih membahagiakan daripada kamu memberikan janji dan harapan yang menyakiti mereka."Andira benar-benar kecewa. Baginya, sikap Arsa sangat
"Sebentar!" Interupsi Andira menghentikan langkah Arsa yang akan menaiki tangga.Andira melangkah mendekati Arsa. "Kenapa aku mencium aroma parfum seorang wanita di jasmu?""A-apa?!"Arsa melebarkan matanya mendengar pertanyaan yang dilemparkan oleh Andira. Pria itu terlihat, sedang mengingat aroma parfum siapa yang dipertanyakan oleh Andira. Andira tersenyum miring melirik ekspresi wajah Arsa.Parfum itu pasti milik wanita simpanannya. Andira menelanjangi Arsa dengan tatapan tajam. Arsa terlihat ketakutan dengan tatapan Andira."Ehh, ... Sa-sayang! Aku---""Parfum siapa itu?" potong Andira, "kamu tidak berganti selera memakai parfum wanita 'kan?""Sayang! Kamu ini mikirin apa sih?" Arsa tersenyum kikuk merasakan degup jantungnya berdetak cepat."Aroma parfum wanita di tubuh kamu itu, bukan parfumku. Kamu coba parfum milik siapa?" Andira bertanya sambil memicingkan mata."Begini, Sayang ...." Arsa terlihat menghela napas mencoba berpikir untuk mencari alasan dan merangkai kata agar An
"Pengkhianat kalian!" desisnya. Andira menatap tajam dua sosok manusia yang bermesraan di lobby hotel seberang jalan. Tangannya menggenggam erat setir kemudi dengan napas yang tertahan karena amarah. Ingin rasanya ia keluar dari mobil untuk melabrak mereka berdua. Namun, ia merasa saat ini belumlah waktu yang tepat. "Jadi selama ini, kamu berselingkuh di belakangku?" Andira tersenyum miris.Sosok manusia yang ditatap oleh Andira, salah satunya adalah Arsa---suaminya. Terlihat dengan jelas dimatanya, Arsa sedang berciuman dengan penuh nafsu bersama wanita itu. Hati Andira tentu saja terbakar melihat itu semua. Pria yang selama ini ia percaya dan ia jadikan tempat bersandar, tega menusuknya dari belakang.Selama ini ia banyak menaruh kecurigaan terhadap sang suami. Karena terlalu misterius, ia tidak bisa membuktikan dengan fakta. Di malam ini, di bukakan tabir yang selama ini menghantui dirinya."Apa salahku selama ini? Selama 5 tahun kita menikah, tidak pernah kamu sekalipun menyakit