Maura dan Rendra menyusuri jalan bersama dengan saling berpelukan, sambil menikmati sore hari yang tenang itu. Mereka berjalan di taman yang tampak sepi.
"Ndra, kau bilang kau sangat mencintaiku. Seberapa besar kau mencintaiku? katakan padaku."
"Aku jatuh cinta padamu, aku menjadi seperti orang gila."
Maura bergeming kemudian tersenyum lembut ke arah Rendra. Mereka berlalu dari sana.
"Sampai jumpa kembali pukul dua belas tepat besok, kali ini jangan membuatku menunggu." ucap Rendra yang turun dari mobil Maura.
"Tunggu, Ndra." cekal Maura.
"Ya, kenapa?"
"Apa kau akan mengusirku juga kali ini?"
"Tak maukah kau mengenalkanku pada ibumu?" ucap Maura lagi.
Rendra mengangguk sebagai respon.
"Ya, aku akan mengenalkanmu nanti." jawab Rendra.
"Tidak, aku akan menemuinya hari ini sendiri." kekeh Maura.
"Apa kau memaksa?"
"Tentu."
"Baiklah, ayo." ajak Rendra yang melenggang terlebih dahulu meninggalkan Maura yang masih diam mematung di dalam mobilnya.
Maura tersenyum girang kemudian ia turun dari mobil dan berjalan menghampiri Rendra.
"Benarkah?" tanya Maura lagi.
"Iya, ayolah." ajak Rendra.
Rendra dan Maura berjalan menuju rumah Rendra, Maura terus saja tersenyum sendiri sambil memperhatikan jalan menuju rumah kekasihnya itu.
"Lihatlah nyonya, ini rumahku." ucap Rendra pada Maura.
"Ini lebih kecil dari mobilmu." lagi Rendra berbicara.
"Apakah ukuran rumah menjadi masalah, hati yang seharusnya menjadi tempat masalahnya." ucap Maura sambil.menunjuk dada Rendra.
"Begitu?" tanya Rendra.
Rendra menunjuk ke suatu arah sambil berbicara.
"Itu pintunya, masuk dan lihatlah dia."
Maura tampak berbinar, ia hendak melangkah lagi namun kemudian berbalik badan karena Rendra justru pergi keluar rumah.
"Tapi kemana kau akan pergi?"
Rendra tak menghiraukan pertanyaan Maura, ia terus saja melangkah keluar meninggalkan Maura sendirian.
"Pergilah, dan temui dia."
"Rendra, Rendra...." Maura memcova memanggil sang kekasih tapi nihil.
Maura berbalik dan mencoba melangkah mendekati pintu rumah Rendra. Dari balik pintu Maura bisa melihat bu Rima yang tengah sibuk di dapur sambil mendengarkan Radio.
"Permisi, Tante." ucap Maura membuat bu Rima memghentikan kegiatannya.
"Siapa?" tanya bu Rima.
"Tante, saya...Saya..."
Bu Rima melangkah mendekati Maura yang tampak bingung menjawab pertanyaannya.
"Siapa kau?" tanya bu Rima lagi.
"Tante, saya....Rendra.."
Bu Rima kaget sekaligus senang, ia menutup bibirnya menggunakan kedua tangannya.
"Tunggu sebentar, oke...Aku akan katakan padamu. Kau pasti Maura kekasihnya Rendra."
"Mengapa kau berdiri saja disini, ayo masuk." ajak bu Rima sambil menarik tangan Maura dengan lembut membawanya ke dalam rumah.
"Masuk...Ya, duduk disini."
Kemudian bu Rima duduk di kursi sebrang Maura sambil terus tersenyum, terlihat matanya berbinar bahagia.
"Mengapa kau sangat jauh, mendekatlah padaku." bu Rima kembali menarik tangan Maura untuk duduk disampingnya.
Bu Rima mengelus pelan rambut Maura dengan sayang sambik tersenyum, jemudian ia memegang tangan Maura.
"Kau sangat cantik."
"Tidak secantik dirimu tante."
"Bagaimana kau bisa dengan cepat mengenaliku?"
"Apakah aku bisa tidak mengenalimu? aku selalu melihatmu di dalam mata Rendra." ucao bu Rima membuat Maura tersenyum malu.
"Apakah Rendra, selalu berbicara tentangku kepadamu tante?"
"Dia tidak bicara padaku, dia sangat sulit bicara pada siapapun. Tapi tidak denganmu."
"Tapi aku adalah seorang ibu, aku tahu setiap debaran jantung anaku."
"Dan setiap debar dari hatinya selslu terdengar satu nama yaitu kau." lagi Bu Rima berbicara panjang lebar.
"Berjanjilah untuk tidak meninggalkannya Maura."
"Iya tante, aku berjanji akan selalu disamping Rendra dan tidak akan meninggalkannya."
Maura tersenyum mendengar ucapan dari ibu kekasihnya.
"Kemana Rendra pergi ya?" tanya Maura.
"Bukankah dia aneh, mengirimku sendirian untuk bertemu denganmu."
"Oho, ternyata sudah ada yang merindukanku. Padahal baru saja kita berpisah." ucap Rendra kemudian ia memeluk ibunya dari belakang.
"Lihatlah bu, dia sangat tidak bisa jauh dariku. Baru sebentar berpisah sudah langaung mencariku." goda Rendra membuat Maura malu sekaligus kesal.
"Sudah, sudah. Kau jangan membuatnya kesal, dasar anak nakal." bu Rima memukul pelan tangan Rendra yang berada di perutnya.
"Kau lihat, baru saja kau bertemu dengan ibuku tapi ibuku sudah lebih sayang padamu dari pada anaknya sendiri." ucap Rendra pada Maura.
Gadis itu tersenyum lembut ke arah bu Rima dan Rendra. Hari ini ia sangat bahagia sekali bisa berjunpa dengan ibu kekasihnya.
****
Maura pulang ke rumah dengan hati berbunga bunga, ia berjalan sambil bersenandung riang. Terlihat Raja dengan bibinya Maura tengah beebicara serius di ruang keluarga. Maura berhenti sejenak kemudian memdengarkan obrolan mereka.
"Bagaimana aku mengatakannya pada Maura, aku sudah bilang pada mereka. Tapi mereka memaksa...."
"Papa, bibi." Maura melangkah mendekati keduanya.
Maura duduk disamping bibinya.
"Putriku yang cantik, dari mana saj kau dari pagi tadi?"
"Aku habis jalan jalan keluar saja papa."
"Oh ya, kemana?"
"Hanya ke taman."
Raja berpindah tempat duduk menjadi disamping Maura, ia mengelus rambut putrinya dengan lembut.
"Nak papa punya kabar gembira untukmu."
"Oh ya, apa itu papa? Katakanlah."
"Papa sudah mengatur pernikahanmu nak." ucap Raja.
Seketika senyum di wajah Maura sirna setelah mendengar ucaoan sang ayah.
"Pernikahanku?" tanya Maura dengan kaget.
"Ya, pernikahanmu."
Maura berdiri dan berpindah sofa, meninggalkan ayah dan bibinya.
"Aku sangat tertarik, dia merasa malu. Dia pemuda yang luar biasa, dia tampan dan berasal dari keluarga baik." ucap Raja.
Maura yang syok masih bergeming di tempat, kemudian ia menoleh ke arah orang tuanya.
"Aku tak bisa menikah dengannya." ucap Maura.
"Mengapa sayang?" tanya Raja.
"Karena aku telah berjanji pada seseorang papa."
Senyum di bibir Raja langsung pudar mendengar penolakan Maura.
"Siapa dia?" tanya Raja.
"Aku akan mengenalkanmu padanya papa."
****
Keesokan harinya Maura dan Rendra bertemu, kemudian Maura menceritakan apa yang terjadi ketika pulang ke rumahnya jika ia akan dijodohkan oleh papanya dengan pria kaya. Namun Rendra tidak percaya dengan Maura, ia menganggak Maura sedang bercanda dengannya seperti kemarin. Rendra tertawa keras.
Ha ha ha
"Mengapa kau tertawa seperti orang gila?" ujar Maura geram karena Rendra tak percaya dengannya.
"Aku sedang tidak bercanda, ini beneran Ndra."
"Aku sudah mengatakan semuanya pada papa, dan dia ingin bertemu denganmu hari ini." Ucap Maura lagi.
Rendra mengakhiri tawanya kemudian ia membalik melihat Maura.
"Apa kau tahu, apa yang akan papamu lakukan ketika menemuiku?" tanya Rendra.
"Apa?"
"Menendangku dari rumahnya."
"Ayahku bukan seseorang yang brutal Ndra, aku percaya papa pasti akan menyukaimu."
"Pakailah pakaian yang bersih, cukurlah rambutmu dan jangan pakai sendal ya biar terlihat agak formal."
"Memangnya aku mau melamar pekerjaan?"
"Ya anggap saja, kau akan melamarku." jawab Maura santai membuat Rendra tersenyum.
"Oh, kau sudah tidak sabar untuk aku lamar ya?" goda Rendra.
"Izh, apaan sih. Nggak." kilah maura dengan senyum malu malu.
"Itu apa, kenapa pipimu merona. Hayoo..."
"Udah ah Ndra, pokoknya kau harus datang menemui ayahku nanti sore jam lima sore. Oke, jangan sampai telat." Maura pergi meninggalkan Rendra sendiri.
"Keinginan hati untuk mempertaruhkan adalah kehidupan, mari kita lihat seberapa kuatnya musuh." gumam Rendra.
Drap drap drapTerdengar derap langkah menggema diruangan itu, langkah seseorang terdengar mendekat kearah mereka. Kepala Rendra masih saja tertunduk lemas ke bawah, ia bisa melihat sepasang sepatu kini tengah berdiri di depannya."Makanya jadi orang jangan sok, harus punya sopan santun. Miskin saja belagu!" maki petugas polisi tersebut.Orang yang berdiri didepan Rendra tersenyum smirk, Rendra mengangkat wajahnya melihat siapa orang itu. Ia kaget melihat wajah Raja yang tersenyum kepadanya, Raja mencengkeran wajah Rendra menelisik lebam yang tercetak di wajah pria itu. Kemudian meminta uang dari bawahannya untuk diberikan kepada polisi itu."Kerja bagus, ini untuk kalian. Belilah makanan dan apa saja yang kalian mau dengan uang ini." ucap Raja."Saatnya untuk bersenang senang." ujar Wira petugas polisi yang menyiksa sepasang anak dan ayah itu. Rendra memandang bergantian uang itu dan mereka semua."Terima kasih bos, senang bekerjasama dengan anda!"Kini Rendra sedikit paham dengan ap
Didepan sel yang dimaksud oleh petugas polisi tersebut mata Rendra melotot tajam, ia kaget melihat penampakan didepannya. Dimana sang ayah saat kini tubuhnya sedang digantung dengan kedua tangan dan kakinya terikat disisi kanan dan kirinya. Wajahnya pun penuh dengan lebam dan darah yang tampak sudah ada beberapa yang mengering disana. Ia sangat marah sekarang, mengapa polisi polisi itu harus melakukan hal seperti itu untuk mengintrogasi Ayahnya. Padahal belum jelas jika sang Ayah adalah komplotan dari teroris teroris tersebut.BrakkkkRendra menggebrak meja tempat polisi tadi sedang berjaga, kedua tangannya mencengkeram kerah baju petugas itu. Ia sangat marah melihat kondisi Ayahnya yang sangat memprihatinkan, hatinya ikut tergores. Ia tahu betul jika apa yang dituduhkan kepada Varma tidaklah benar, sedari kecil Varma selalu mengajarkan Rendra untuk menjunjung tinggi rasa Patriotisme dalam dirinya."Mengapa Ayahku diperlakukan seperti itu?" ucap Rendra marah, ia masih menghardik petug
Ditempat lain, Rendra menunggu sang kekasih datang dibawah sinar rembulan tepat ditepi danau. Ia bangkit begitu melihat Maura yang berjakan mendekat ke arahnya.Rendraberjakan menghampiri Maura dan memeluknya dengan erat seolah takut akan kehilangan pujaan hatinya itu."Aku tahu, kau akan datang." ucap Rendra."Aku tahu kau telah meninggalkan rumah Ayahmu demi aku.""Aku tahu kau akan datang, Maura.""Rendra...""Kau salah paham.""Aku tidak akan meninggalkan Ayahku.""Kau bercanda?" Rendra mengusap rambut Maura pelan."Aku tidak bercanda Ndra, aku mematuhi ayahku. Aku akan tetap tinggal dirumah Ayahku."Rendra kaget mendengar penuturan Maura, ia diam saja dan mendekati sang kekasih yang tengah memunggunginya. Kemudian memeluknya dengan erat."Lalu bagaimana denganku?""Ndra, aku memang tidak akan meninggalkan ayahku tapi bukan berarti aku juga akan meninggalkanmu.""Maksudmu apa Maura?""Ya Ndra, kita akan tetap bersama sama karena Ayahku sudah setuju dengan hubungan kita berdua.""A
Tepat pukul lima sore, Rendra benar benar datang ke rumah Maura untuk bertemu dengan Raja. Ia menunggu di ruang tamu, keadaan rumah daat itu sedang sepi hanya ada Raja Maura dan bibinya.Raja melangkah menuruni anak tangga, ia melihat Rendra tengah duduk sendirian kemudian menghampirinya. Maura memperkrnalkan Rendra kepada sang ayah."Papa, kenalkan ini Varendra dia kekasihku." ucap Maura dengan tersenyum.Rendra mengulurkan tangannya untuk berkenalan dengan Raja, namun tak dibalas oleh Raja. Raja malah berbalik badan memunggungi Rendra.Rendra sedikit tersinggung dengan tindakan Raja, ia merasa apakah dirinya sehina itu sehingga Raja tidak mau diajak berjabat tangan dengannya. Sedangkan Raja, ia tidak menyangka jika anaknya akan membawa sekaligus memperkenalkan Rendra dengannya sebagai seorang kekasih."Mengapa semuanya berdiri saja, mari silakan duduk." ujar Bibi Maura.Rendra duduk di sofa samping tempat duduk Maura, berhadapan dengan Raja. Rendra yang sudah terlanjur merasa tersin
Maura dan Rendra menyusuri jalan bersama dengan saling berpelukan, sambil menikmati sore hari yang tenang itu. Mereka berjalan di taman yang tampak sepi."Ndra, kau bilang kau sangat mencintaiku. Seberapa besar kau mencintaiku? katakan padaku.""Aku jatuh cinta padamu, aku menjadi seperti orang gila."Maura bergeming kemudian tersenyum lembut ke arah Rendra. Mereka berlalu dari sana."Sampai jumpa kembali pukul dua belas tepat besok, kali ini jangan membuatku menunggu." ucap Rendra yang turun dari mobil Maura."Tunggu, Ndra." cekal Maura."Ya, kenapa?""Apa kau akan mengusirku juga kali ini?""Tak maukah kau mengenalkanku pada ibumu?" ucap Maura lagi.Rendra mengangguk sebagai respon."Ya, aku akan mengenalkanmu nanti." jawab Rendra."Tidak, aku akan menemuinya hari ini sendiri." kekeh Maura."Apa kau memaksa?""Tentu.""Baiklah, ayo." ajak Rendra yang melenggang terlebih dahulu meninggalkan Maura yang masih diam mematung di dalam mobilnya.Maura tersenyum girang kemudian ia turun dar
FlashbackPara rombongan Raja yang sedang berkampanye, tiba tiba diberhentikan oleh Varma beserta beberapa orang lainnya yang berprofesi petani."Kau." ucap Raja."Anda ingin membiarkan ladang kami tandus dengan mengalihkan aliran air, mengapa?" tanya Varma."Aku adalah Raja, dan ini wilayah kekuasaanku. Aku hanya melakukan apa yang saya inginkan." jawab Raja."Apakah anda kehilangan Istana anda? Anda tidak bisa egois, dan mau menang sendiri.""Kebetulan Anda menjadi Menteri dibagian negara, oleh karena itu saya tidak bisa tinggal diam saja dan melupakan masalah ini. Dengar, Menteri yang menangani masalah pegadaian tanah dan petani." ucap Varma lagi."Maksudmu, ayahku adalah Menteri petani biasa?" tanya Max."Tanah bisa hancur kapan saja!" jawab Varma."Diam!!! Cobalah untuk mencapai tingkat yang sama seperti saya! Baru berkomentar!" Bentak Raja."Jangan pernah menyamakan kami dengan seorang koruptor!" jawab Varma."Astaga, kau mengatakan koruptor?" tanya Mitu seorang antek Raja."Apa