Monica selalu melihat Audrey sebagai kunci penting dalam memperkuat posisi Leo di dunia bisnis. Audrey, meskipun hanya berasal dari panti asuhan, entah bagaimana bisa membuat perusahaan besar seperti Mikie, mau bekerja sama dengan Leo. Ini adalah kesempatan yang langka, dan bagi Monica, kehilangan Audrey berarti kehilangan peluang yang sangat berharga.
Namun, di balik perhitungannya yang rasional, Monica tidak bisa menghilangkan rasa benci yang timbul setiap kali ia memikirkan latar belakang Audrey. Baginya, Audrey tidak pantas berdiri sejajar dengan Leo, meskipun gadis itu cerdas dan memiliki pesona yang tak terbantahkan. Di satu sisi, Audrey adalah berkat terbaik yang pernah datang dalam hidup Leo, tetapi di sisi lain, asal-usul Audrey sebagai anak panti asuhan selalu menjadi duri dalam hati Monica. "Jika saja dia berasal dari keluarga yang lebih layak." seringkali Monica bergumam sendiri, merasa terjebak antara ambisinya untuk mAudrey yang masih terpaku dengan apa yang baru saja dilihatnya, akhirnya tersadar ketika Mia menarik tangannya. "Mia, kamu nggak harus begitu. Kita bisa coba bicara baik-baik sama Pak Reno." bisiknya dengan nada cemas. Mia tersenyum kecil tanpa menghentikan langkahnya. "Audi, kadang ada hal-hal yang harus kita lakukan biar cepat beres. Lagipula, kalau nggak, kita bisa dapat masalah karena terlambat." jawab Mia santai. Audrey menggeleng pelan, "Aku nggak suka caranya. Rasanya nggak benar." Mia menepuk bahu Audrey lembut, "Sudah, tenang saja. Kita nggak bakal kena masalah kok. Lain kali kita usahakan datang lebih pagi, ya?" Audrey hanya bisa menghela napas, masih merasa ada yang mengganjal. Mereka akhirnya tiba di kelas yang sudah dimulai. Dengan tenang, Mia memberi salam dan meminta izin kepada guru untuk masuk, sementara Audrey mengikuti dari belakang, mencoba melupakan kejadian tadi di pagar sekolah
Setelah Audrey masuk ke dalam lift, Mia menghela napas panjang sambil berjalan menuju pintu keluar mansion . Di dalam pikirannya, Mia berusaha memikirkan cara untuk melaporkan hal ini kepada Elang tanpa membuatnya marah. Sebagai asisten yang dipercayakan untuk menjaga Audrey, Mia tahu bahwa Elang sangat memperhatikan kenyamanan istrinya, bahkan dalam hal kecil seperti kelelahan mencari buku. Di dalam kamarnya, Audrey duduk di tepi tempat tidur, mengeluarkan buku-buku yang telah dipilihnya. Meski lelah, ada rasa puas di hatinya karena berhasil menemukan buku-buku yang ia butuhkan untuk persiapan ujian. Sementara itu, Mia, dengan ragu-ragu mengetik pesan singkat kepada Nick. Ia tahu bahwa Tuan Elang tidak akan senang mendengar bahwa Audrey kelelahan, namun Mia juga tidak ingin mengabaikan tugasnya. Setelah berpikir sejenak, Mia mengirimkan pesannya: 'Tuan, nyonya Audrey memilih untuk mencari buku sendiri di perpustakaan. S
Leo yang masih memakai pakaian formal kerjanya terlihat menunggu dengan sabar didalam mobil sembari menatap sekitar. Leo yang melihat semua siswa-siswi sekolah itu keluar juga ikut keluar menunggu didepan mobil. "Wah ganteng banget." "Kayaknya dia anak orang kaya deh, lihat aja baju dan mobilnya." Leo yang mendengar beberapa bisikan- Ah lebih tepatnya seperti pekikan itu mencoba tidak peduli dan fokus mencari sosok yang dicarinya. Setelah cukup lama ia berdiri didepan mobil hingga sekitar mulai terlihat sepi, namun orang yang ia tunggu tak kunjung juga keluar. "Kemana dia? bukankah dia selalu pulang cepat agar bisa membantu bunda panti?" gumam Leo keheranan. Hingga beberapa saat, Leo yang ingin menyerah tiba-tiba mengulas senyum saat Audrey terlihat berbincang dengan dua gadis yang satunya tidak Leo kenali. Tangannya melambai saat Audrey m
Sesampainya di kamarnya, Audrey segera melepaskan sepatunya dan duduk di tepi tempat tidur. Dia berusaha untuk tenang, tetapi suasana hati yang buruk sepertinya semakin mendominasi. "Kenapa semuanya terasa aneh ?" gumamnya pelan, memandang ke jendela dengan tatapan kosong. Di luar kamar, suasana mansion kembali tenang. Para pelayan melanjutkan tugas mereka dengan diam-diam, terutama setelah kehadiran Grett yang tegas dan sering kali dianggap menyeramkan oleh mereka. Namun, Grett sendiri adalah sosok yang sangat setia pada keluarga Loues, terutama pada Elang. ° Keesokan paginya. Ia menuruni tangga melihat Mia yang berdiri tak jauh dari ujung tangga. "Nyonya, Tuan sudah menunggu Anda untuk sarapan bersama." Audrey hanya mengangguk. Entah kenapa pagi ini suasana hati buruk. Mereka pun sarapan dengan keheningan. Elang tiba-tiba berkata, "Ayo, aku akan mengantarmu."
Audrey mengangkat kepalanya dan tersenyum tipis. "Terima kasih, Mia. Aku harap pelajaran nanti tidak seberat matematika tadi." Mia tertawa kecil. "Yakinlah, nona. Semuanya akan baik-baik saja." Audrey mulai makan, mencoba mengalihkan pikirannya dari nilai buruk yang baru saja ia dapatkan, dan berjanji pada dirinya sendiri untuk lebih giat belajar agar tidak mengulang kegagalan ini. ° Jam pulang sudah tiba, Audrey dan Mia yang berjalan riang menuju halte bis menoleh saat merasa bahunya ditepuk oleh seseorang. "Astaga sa, ada apa?" tanga Audrey Salsa menggeleng kepala, "Astaga kakak, kakak lupa ya kalau dipanti hari ini ada acara. Apakah kakak jadi akan kesana?" tanya Salsa Audrey tersenyum tipis, menggeleng. "Maaf ya sa, kakak belum izin ke suami kakak. Jadi nanti kakak akan menelepon bunda sebagai balasa
Audrey lalu menelepon bunda panti. Dering ketiga telepon itu langsung diangkat. 'Halo Audi sayang.' "Halo bunda, maaf Audi tidak bisa mengikuti acara hari ini. Kak Elang mengajakku keluar jadi aku tidak bisa." 'Ah sayang tidak masalah, bunda senang kamu dan tuan pertama semakin dekat.' bip setelah mengobrol cukup lama Audrey mengakhiri sambungan telepon lalu mulai membershikan tubuhnya. Audrey mulai berkutat mengerjakan tugas rumah selama beberapa jam. 'tok tok tok' "Selamat sore nyonya, bibi Grett telah menunggu anda di dapur sesuai apa yang anda perintahkan." jelas Mia setelah memasuki kamar Audrey. Audrey segera beranjak dari meja belajarnya lalu turun menuju dapur berada. Sesampainya disana terlihat Grett menunggunya dengan beberapa bahan makanan yang sudah disiapkan sesuai perintah Audrey.
Hingga makan malam tiba, Audrey yang baru saja turun dari tangga melihat Elang yang juga baru saja turun menggunakan lift. Audrey hanya melengos langsung menuju meja makan, diikuti Elang yang mengikutinya dengan heran. Audrey dan Elang memakan makanannya dengan tenang, makanan mulai diganti dengan makanan penutup. "Hmm, dessert matcha ini lezat. Siapa yang membuatnya, Grett?" tanya Elang setelah menghabiskan satu wadah dessert itu. Grett terlihat melangkah mendekat, lalu berbisik membuat Elang menatap Audrey yang fokus memakan dessert cokelat. "Apakah benar kau yang membuatnya?" tanyanya memastikan. Audrey menatap tempat dessert yang tidak tersisa dihadapan Elang. "Itu? iya aku membuatnya beberapa." jawabnya Elang mengangguk puas, "Baiklah, kau ingin hadiah apa sebagai
Mobil melaju pelan menyusuri jalan kota yang mulai ramai dengan aktivitas pagi. Audrey duduk di kursi penumpang, sesekali melirik ke arah Elang yang tampak serius mengemudi. Suasana di dalam mobil terasa hening, namun keheningan itu bukanlah hal yang canggung. Ada sesuatu yang nyaman dalam diam mereka berdua. "Kak, kenapa tiba-tiba ingin mengantarku?" tanya Audrey akhirnya, memecah keheningan yang terasa cukup lama. Elang melirik sekilas ke arah Audrey, lalu kembali fokus ke tabletnya. "Aku hanya ingin memastikan kamu sampai dengan aman," jawabnya singkat, namun senyum tipis muncul di sudut bibirnya. Audrey merasa jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Perhatiannya pada hal-hal kecil seperti ini selalu membuat Audrey merasa tersentuh, meski Elang jarang menunjukkan perhatiannya secara terang-terangan. "Aku selalu aman, Kak." Audrey berusaha menggodanya sedikit. Elang tersenyum
Nick masih berada di Inggris, sibuk menyelidiki siapa dalang di balik penyerangan terhadap Elang. Setelah beberapa hari menelusuri jejak, dia akhirnya mendapat petunjuk yang signifikan. Sambil menatap layar komputer di depannya, dia mengangkat telepon dan menekan nomor Elang."Saya sudah menemukan di mana mereka, Tuan," lapor Nick dengan nada tegas.Elang, yang sedang duduk di ruang kerjanya di Indonesia, mendengarkan sambil menatap dokumen di tangannya. Ia berdehem, namun tidak segera menanggapi.“Baik,” jawab Elang singkat. Tanpa memperpanjang percakapan, dia mematikan sambungan telepon dan kembali mencoba fokus pada dokumen yang perlu diselesaikannya. Tapi pikirannya terus saja berputar soal tato yang dilihatnya pada penyerangnya beberapa hari lalu. Hal itu terasa mengganggu, seolah ada potongan puzzle yang hilang dalam ingatannya.Elang menundukkan kepala, bergumam pada dirinya sendiri, "Tidak, El... Itu tidak mungkin benar." Frustrasi mu
Keesokan harinya, Audrey merasa canggung untuk bertemu dengan Elang. Insiden semalam masih membekas di benaknya, dan dia tidak tahu bagaimana harus bersikap. Agar tidak harus berhadapan dengan Elang, Audrey memutuskan untuk turun ke meja makan terlambat. Ketika ia akhirnya sampai di ruang makan, ia disambut oleh Grett yang memberi kabar. "Tuan Elang memutuskan untuk sarapan di kamarnya, Nyonya," kata Grett dengan sopan. Audrey menghela napas lega mendengar itu. Ia merasa terhindar dari percakapan yang mungkin canggung dan tidak menyenangkan. "Baiklah, terima kasih Grett," jawabnya singkat, berusaha menyembunyikan perasaan lega yang kini melandanya. Setelah sarapan, Audrey segera berangkat ke sekolah bersama Mia. Di sepanjang perjalanan, Mia tidak banyak berbicara, membiarkan Audrey berkutat dengan pikirannya sendiri. Ketika sampai di sekolah, Audrey terlihat lebih tenang, setidaknya untuk sementara. Dia merasa lebih nyaman kare
Nick duduk di kursi depan meja Elang, berusaha keras menahan keingintahuannya. Ia selalu patuh pada Elang, tetapi kali ini, rasa ingin tahunya mendominasi. Kenapa Elang membiarkan kedua pria yang menyerangnya pergi begitu saja? Pikirannya berkecamuk, tetapi ia tahu bahwa menanyakan terlalu banyak hal pada Elang sering kali tidak membuahkan hasil. Elang adalah tipe orang yang menjaga banyak rahasia.Elang, yang tengah memeriksa dokumen di meja kerjanya, sepertinya menyadari Nick sedang memendam sesuatu. Tanpa mengangkat pandangan dari berkas di tangannya, ia berbicara dengan nada tenang namun tajam."Tanyakan saja, Nick. Kalau ada yang ingin kau tanyakan."Nick terkejut. Elang memang selalu bisa membaca suasana hati orang di sekitarnya. Ia menggelengkan kepala, tapi akhirnya memutuskan untuk jujur."Aku hanya merasa heran, Tuan. Kenapa Anda membebaskan mereka?" Nick bertanya dengan suara rendah, mencoba meredam rasa penasarannya.Elan
Pagi itu, Audrey bangun lebih awal dari biasanya, Biasanya, dia suka tidur sedikit lebih lama dan menikmati momen-momen tenang sebelum beraktivitas, tetapi kali ini, dia ingin bertemu dengan Elang sebelum suaminya pergi bekerja, Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan, terutama tentang sikap Elang yang belakangan ini berubah dingin, la berharap bisa berbicara, meluruskan kesalahpahaman, dan mencari solusi bersama,Setelah cepat-cepat merapikan diri, Audrey melangkah ke ruang makan dengan penuh harap, Namun, sesampainya di sana, Grett sudah menunggunya dengan raut wajah yang agak muram,"Maaf, Nyonya," Grett berkata dengan lembut, Tuan Elang berangkat ke luar negeri tadi malam, Beliau sekarang sudah berada di Inggris."Audrey terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Grett, Ke Inggris?" tanyanya, suaranya terdengar serak dan pelan, Kecewa, tentu saja, tapi dia berusaha untuk tidak menunjukkannya,Benar, Nyonya, Tuan pergi mendadak untuk urusan
Pagi itu, Audrey bangun dengan perasaan resah. Sikap Elang yang aneh sejak kemarin terus membebani pikirannya. Ia tahu bahwa sesuatu tidak beres, tapi Elang tidak memberinya kesempatan untuk bertanya atau bahkan berdiskusi. Audrey memutuskan bahwa pagi ini, saat sarapan, dia akan mencoba bertanya pada Elang tentang sikapnya yang tiba-tiba dingin.Saat Audrey turun menuruni tangga menuju ruang makan, dia melihat Elang sudah duduk di meja, menyantap sarapannya. Ini membuatnya bingung. Audrey melihat ke jam di pergelangan tangannya—masih pukul enam kurang. Elang biasanya sarapan bersamanya setelah jam enam."Kenapa Kak Elang sarapan duluan? Tumben sekali," gumam Audrey, heran.Mia yang sudah menunggu Audrey di ujung tangga menghampirinya. "Mia, apakah Kak Elang terburu-buru hari ini?" tanya Audrey, berharap ada penjelasan dari Mia.Mia menggeleng, tampak bingung. "Saya tidak tahu, Nyonya. Beliau tidak mengatakan apa-apa."Audrey mengang
Audrey menghela napas panjang, menatap tumpukan buku dan catatan yang berserakan di meja. Pagi ini dia benar-benar tenggelam dalam pelajaran di sekolah. Setelah bel istirahat kedua berbunyi, belum ada waktu untuk bersantai. Bahkan sepulang sekolah pun dia masih harus bekerja kelompok di rumah Dea. Ia benar-benar tenggelam dalam kesibukan hingga lupa mengabari Elang. Yang dia ingat, ia hanya menyuruh Mia untuk mengabari Nick, berharap informasi itu sampai pada Elang. Tapi sepertinya ia terlalu sibuk untuk peduli lebih jauh.Di rumah Dea. Audrey, Mia, Dini, dan Dea bekerja dengan serius. Tugas kelompok yang diberikan guru sangatlah rumit, dan mereka berempat harus berkolaborasi agar bisa menyelesaikannya dengan baik. Waktu sudah sore ketika Audrey akhirnya merasa sedikit lelah. Ia pun berinisiatif untuk membeli es krim keliling yang lewat di depan rumah Dea.“Aku keluar dulu ya, mau beli es krim,” ucap Audrey sambil berjalan keluar rumah Dea seorang diri.
Setelah beberapa video selesai dibuat, Melani segera duduk di depan laptopnya dan mulai mengedit hasil rekaman. Audrey, yang penasaran dengan proses editing, duduk di samping Melani, mengamati setiap langkah dengan penuh perhatian. Ia ingin belajar bagaimana Melani mengolah video dan menjadikannya konten yang menarik untuk diposting di media sosial.“Jadi ini langkah pertama, potong bagian yang nggak penting dulu, biar videonya nggak terlalu panjang dan bertele-tele,” jelas Melani sambil menarik garis timeline di layar, memotong adegan yang tidak diperlukan. Audrey hanya mengangguk-angguk, berusaha memahami.Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu kamar tamu. Audrey segera bangkit dan berjalan menuju pintu, membukanya perlahan. Di balik pintu, Grett berdiri dengan senyum sopan sambil membawa nampan yang penuh dengan camilan.“Makan sore untuk Nyonya dan Nona Melani,” ujar Grett dengan tenang.Melani, yang sedang fokus mengedit, melirik sejenak d
Keesokan harinya, Audrey sedang menikmati waktu santainya di akhir pekan. Hawa pagi terasa segar, dengan sinar matahari lembut yang masuk melalui jendela kamarnya. Dia berbaring di sofa, membiarkan dirinya tenggelam dalam suasana damai, menikmati ketenangan tanpa ada tugas sekolah yang mendesak. Namun, kedamaian itu tiba-tiba terganggu oleh suara bel pintu. Audrey melangkah keluar dari kamar dan menuju pintu depan. Di sana, berdiri Melani dengan senyum cerah dan kedua tangannya penuh dengan kantong besar. Di dalamnya tampak berbagai jenis makanan, terutama seafood segar, dan beberapa perlengkapan kamera serta tripod. Audrey menatap Melani dengan heran. "Mel, kamu bawa banyak makanan, ada acara apa?" tanyanya sambil membantu Melani membawa barang-barang ke dalam. Melani, yang tetap ceria seperti biasanya, tertawa ringan. "Aku punya ide hebat! Kita akan bikin konten mukbang seafood hari ini, lalu aku posting di media sosial. Foll
Sepulang sekolah, Audrey langsung mengganti seragamnya dengan pakaian olahraga kasual dan memulai sesi jogging sore di sekitar halaman mansion. Langit senja tampak indah, memberikan suasana yang menenangkan. Langkah-langkah kecilnya berirama, seiring dengan detak jantung yang semakin cepat. Setelah berlari beberapa putaran, ia memutuskan untuk berhenti dan kembali ke kamar. Setelah membersihkan diri, Audrey merebahkan tubuhnya di sofa empuk di dalam kamarnya. Tubuhnya yang lelah terasa segar setelah mandi, namun ia tetap merasakan sedikit keletihan. Dengan malas, tangannya meraih ponsel di atas meja samping, membuka sosial media sekadar untuk membuang waktu. Tak ada yang menarik, hanya foto-foto dan video biasa dari teman-temannya. Hatinya masih terbayang kejadian di sekolah tadi, terutama hasil ujiannya yang membuatnya bahagia. Tak terasa, waktu makan malam tiba. Audrey turun ke ruang makan, di mana Elang sudah duduk d