Audrey gadis yatim piatu yang hidup dipanti asuhan 'Pelita Kasih' selama belasan tahun. Parasnya yang rupawan membuatnya banyak didekati oleh para pemuda, salah satunya Leo Mifta- Salah satu anak donatur di panti asuhan itu terus mengejar Audrey untuk dijadikan kekasihnya. Mereka akhirnya berpacaran selama 2 tahun, namun Audrey diselingkuhi juga dicaci maki oleh keluarga Leo. Audrey yang dicampakkan tiba-tiba saja harus menikah dengan anak pemilik panti asuhan itu. Mereka akhirnya menikah, Audrey pun menjadi anggota dari keluarga Loues, tak lupa ia juga membalas keluarga Leo. Kehidupan Audrey berubah drastis, mertua yang menyayanginya membuat Audrey tersentuh juga merasa bahagia. Namun tanpa sepengetahuan semua orang, Audrey dan Elang Loues melakukan pernikahan kontrak yang hanya bertahan selama 2 tahun. Hingga fakta bahwa Audrey dinikahi bukan karena sebatas perjodohan melainkan pilihan Elang sendiri. Akankah pernikahan mereka akan berakhir begitu saja? Ataukah muncul benih cinta diantara mereka? IG: Veara_1 untuk cek jadwal updatenya yaa.
Lihat lebih banyakLangit senja perlahan memudar, mewarnai taman dengan cahaya orange yang lembut. Seorang gadis berdiri di balik semak-semak, tubuhnya kaku, sementara tatapannya terpaku pada dua sosok di bangku taman.
"Kamu yakin nggak ada yang tahu?" Tanya wanita itu dengan suara lembut, sambil bersandar di bahu pria yang ia kenal begitu baik. "Tenang saja. Semua aman." Jawab pria itu, tersenyum tipis, lalu meraih tangan wanita di sebelahnya. Sentuhan itu, yang dulu selalu membuatnya merasa aman, kini menjadi pisau yang menusuk jantungnya. Tangannya gemetar saat dia mengangkat ponsel, menekan tombol rekam dengan tangan yang dingin. Air mata menggenang, kabur di pelupuk matanya, tapi dia berusaha menahannya. Isak tangis tertahan di tenggorokan, seolah jika ia mengeluarkannya, segalanya akan runtuh tak terkendali. “Ini... benar-benar terjadi.”Gumamnya dalam hati, nyaris tak percaya pada apa yang baru saja ia lihat. Mata Audrey sontak melebar, napasnya terhenti di tenggorokan. Di depannya, kekasih yang selama ini ia percayai tengah bercumbu mesra dengan seorang gadis asing—tampak anggun dengan pakaian mahal dan perhiasan berkilau, gadis itu jelas berasal dari keluarga kaya raya. Sangat berbeda dari dirinya, seorang anak panti asuhan yang selama ini selalu merasa tak layak untuk bermimpi terlalu tinggi. Audrey berusaha mengatur napasnya yang mulai tercekat. Setiap ciuman, setiap sentuhan antara mereka seperti menambah beban di dadanya. Dunia di sekitarnya terasa memudar, hanya menyisakan perih yang menggigit dalam. "Pria brengsek." Umpatnya, menahan air mata yang hampir pecah. Setelah dirasa cukup merekam bukti perselingkuhan yang terhampar jelas di depan matanya, Audrey menurunkan ponselnya dengan tangan gemetar. Napasnya berat, dadanya sesak, tapi dia tahu tidak ada gunanya lagi berdiri di sana lebih lama. Dengan langkah yang gontai namun tegas, ia segera berbalik, meninggalkan pemandangan yang menghancurkan hatinya. Tanpa menoleh lagi, Audrey berjalan menjauhi taman, menuju halte bus yang tidak jauh dari posisinya. Setiap langkah terasa berat, seolah beban emosionalnya merayap ke seluruh tubuhnya. Dia hanya ingin segera pergi, menjauh dari kenyataan pahit yang baru saja ia saksikan. Hanya deru angin yang menemani isak tangis yang terpendam dalam diam. "Sial, seharusnya aku tidak menangisi pria brengsek sepertinya." Dengus Audrey dengan nada marah bercampur perih. Ia segera menaiki bus yang berhenti di depannya, berusaha menyembunyikan perasaan hancurnya di balik raut wajah yang berusaha tenang. Baru saja duduk di kursi paling belakang, dering ponsel tiba-tiba memecah lamunannya. Dengan cepat, Audrey merogoh tasnya dan melihat nama di layar. Setelah berdehem pelan untuk memastikan suaranya tak terdengar goyah setelah menangis, ia menekan tombol jawab. “Halo?” Ujar Audrey, suaranya terdengar nyaris normal, meski hatinya masih berkecamuk. “......” “Iya, Bunda. Ini Audi sudah menaiki bus.” Jawab Audrey singkat, suaranya masih berusaha stabil. Setelahnya, ia mematikan panggilan, menatap layar ponselnya sejenak sebelum memasukkannya kembali ke dalam tas. Beberapa menit berlalu dalam keheningan, hanya deru mesin bus yang menemani pikirannya yang terus melayang pada apa yang baru saja terjadi. Saat bus akhirnya berhenti, Audrey segera berdiri dan menuruni tangga bus dengan langkah berat. Begitu kakinya menyentuh aspal, ia berjalan menyusuri trotoar, sedikit jauh dari halte. Udara sore mulai menusuk kulit, tapi Audrey hampir tidak merasakannya. Setelah beberapa menit berjalan, pemukiman mulai terlihat, dengan bangunan-bangunan kokoh yang menjulang di sekitarnya. Di antara bangunan besar itu, tujuan Audrey sudah tampak—rumah besar dengan pagar tinggi yang seolah memisahkannya dari dunia yang baru saja menghancurkan hatinya. Kedatangan Audrey disambut oleh pekikan riang anak-anak panti, membuat senyum tipis terukir di wajahnya. Meskipun hatinya gundah, keceriaan anak-anak itu seolah memberikan kehangatan singkat di tengah badai perasaannya. Setelah berbincang sejenak dengan mereka, mendengarkan celoteh polos yang sedikit mengusir pikirannya yang kacau, Audrey melangkah menuju ruangan Bunda panti. "Bunda, ini Audi." Panggilnya saat memasuki ruangan yang tampak kosong. Suara itu menggema di ruangan yang sepi, namun tak ada jawaban. Ia mendesah, lalu duduk di sofa, membiarkan tubuhnya yang lelah terkulai. Tak lama kemudian, bunyi langkah kaki terdengar dari luar. Audrey segera menegakkan tubuhnya, menghapus sisa-sisa keletihan dari wajahnya. Saat pintu terbuka, sosok wanita paruh baya yang dikenal hangat itu muncul. Senyum Audrey melengkung, meski sedikit lelah, "Bunda dari mana saja sih? Audi bosan tau nungguin." Ucapnya manja, mencoba menyembunyikan kerapuhannya di balik nada bercandanya. Tatapan lembut Bunda menatapnya, seolah bisa melihat lebih dalam dari apa yang Audrey coba sembunyikan. "Aduh, manjanya. Bunda tadi ada urusan sebentar, bagaimana tadi, sudah ketemu buku yang kamu cari?" Bunda panti mengulas senyum lembut, jemarinya mengelus rambut panjang Audrey dengan kasih sayang. Audrey mencabikkan bibirnya, berusaha menutupi perasaannya yang campur aduk. "Belum, Bunda. Susah banget carinya." Jawab Audrey berbohong, meski suara dan sikapnya tampak biasa, ada sedikit kegelisahan yang ia sembunyikan. Bunda panti tertawa kecil, "Kamu carinya mungkin kurang teliti, Di. Kamu kan gak sabaran, pasti buru-buru carinya jadi nggak ketemu." Ujarnya dengan tawa ringan yang membuat suasana terasa lebih hangat. Audrey ikut tersenyum meski hatinya terasa berat. Tapi sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, Bunda melanjutkan. "Oh iya, besok pagi Bunda mau ngobrol sama kamu." Audrey menatap Bunda dengan sedikit heran, tetapi sebelum sempat bertanya, Bunda sudah mengalihkan perhatiannya. "Sekarang, ayo kita masak dulu buat makan malam. Adik-adik kamu pasti sudah kelaparan." ajaknya dengan penuh semangat. Senyum lembut wanita paruh baya itu tak hanya menghangatkan suasana, tapi juga membuat Audrey merasa sedikit lebih baik, meski hatinya masih menyimpan luka yang baru saja menggores. “Aye aye, Captain! Hari ini jadwalnya Audi sama Salsa cuci piring, ya, Bun? Aduh, malas deh kalau cuci piring." Keluh Audrey dengan nada bercanda, meski wajahnya sedikit meringis saat Bunda menariknya pelan menuju dapur. Setibanya di dapur, sudah ada dua wanita paruh baya—ibu dan nenek pengurus panti—serta seorang gadis remaja yang lebih muda dari Audrey, Salsa. Wajah gadis itu tampak kesal, dan begitu melihat Bunda dan Audrey masuk, ia langsung merenggut. "Kenapa Kakak dan Bunda lama banget sih! Sasa, Ibu, sama Nenek udah nunggu dari tadi. Ini pasti Kak Audi yang lama, kan? Makanya Bunda jadi telat datang!" Sembur Salsa dengan nada protes, tatapan matanya seolah menuduh Audrey. Audrey hanya mengangkat bahu sambil tersenyum tipis, "Heh, Kakak tadi nggak lama kok, mungkin kamu yang nggak sabaran." Balasnya santai, meski ada sedikit keletihan yang masih tersisa di matanya. Bunda tertawa kecil melihat keduanya, suasana dapur yang tadinya sedikit tegang seketika mencair dengan canda tawa ringan mereka. Setelah sedikit drama di dapur, akhirnya mereka semua mulai menyantap makanan yang telah mereka masak bersama. Suasana hangat makan malam mengurangi ketegangan hari itu, dan setelah semua selesai, Audrey dan Salsa kembali ke kamar mereka. Kasur panjang di kamar membuat mereka merasa lebih nyaman setelah hari yang melelahkan. Dengan berusaha sekuat tenaga, Audrey dan Salsa merangkak perlahan menuju pintu, menyelinap keluar dari kamar dan memasuki taman panti asuhan yang tampak sepi di malam hari. Meskipun malam semakin larut, keduanya tampak tidak merasa takut. “Kita ngapain sih, kak. Ke sini?” Tanya Salsa, nada suaranya terdengar sedikit kesal karena tidurnya terganggu oleh ajakan kakaknya. Audrey hanya memutar matanya malas dan menyuruh adiknya untuk diam, “Sttt, diam dulu. Kakak mau menelepon Leo sebentar, setelah itu kita akan tidur, okey?” Salsa mengangguk, meski keningnya berkerut heran. Dia tidak mengerti mengapa kakaknya harus menelepon pacarnya pada jam segini. Namun, Salsa memilih untuk diam dan menunggu, penasaran dengan apa yang akan dilakukan oleh Audrey di tengah malam. Audrey menatap malas telepon genggamnya, frustrasi karena Leo belum juga menjawab panggilannya. Dengan kesal, ia akhirnya mengakhiri panggilan dan mendekati Salsa, yang tampak mengantuk. “Loh, udah selesai, Kak?” tanya Salsa, menegakkan kepalanya dengan mata yang setengah terpejam. Audrey tersenyum tipis. “Tidak jadi, besok pagi saja. Ayo kita masuk dan segera tidur.” Ajaknya sambil meraih tangan Salsa. Namun, saat Audrey baru melangkah, getaran pada ponselnya menginterupsi. Audrey menghentikan langkahnya, dan Salsa juga berhenti, memperhatikan dengan cemas. Salsa berkata. “Tidak apa-apa, Kak. Jawab dulu, Sasa tunggu di sini kok!” Audrey mengangguk dan mengangkat telepon. 'Halo, sayang, ada apa kamu meneleponku di tengah malam ini? Maaf ya tadi aku sudah tidur, jadi angkatnya lama.' “Gak papa, gue mau kita putus. Good night, Leo.” Jawab Audrey, lalu memutus sambungan telepon dengan cepat. Salsa yang mendengar itu sontak melebarkan matanya, mengabaikan rasa kantuknya. "Kenapa Kakak putus sama Kak Singa?" tanyanya dengan penuh rasa ingin tahu. Audrey hanya tersenyum lembut, lalu menuntun Salsa kembali ke kamar mereka. "Hanya masalah kecil, Sasa. Sekarang ayo tidur, hari semakin larut." BersambungNick masih berada di Inggris, sibuk menyelidiki siapa dalang di balik penyerangan terhadap Elang. Setelah beberapa hari menelusuri jejak, dia akhirnya mendapat petunjuk yang signifikan. Sambil menatap layar komputer di depannya, dia mengangkat telepon dan menekan nomor Elang."Saya sudah menemukan di mana mereka, Tuan," lapor Nick dengan nada tegas.Elang, yang sedang duduk di ruang kerjanya di Indonesia, mendengarkan sambil menatap dokumen di tangannya. Ia berdehem, namun tidak segera menanggapi.“Baik,” jawab Elang singkat. Tanpa memperpanjang percakapan, dia mematikan sambungan telepon dan kembali mencoba fokus pada dokumen yang perlu diselesaikannya. Tapi pikirannya terus saja berputar soal tato yang dilihatnya pada penyerangnya beberapa hari lalu. Hal itu terasa mengganggu, seolah ada potongan puzzle yang hilang dalam ingatannya.Elang menundukkan kepala, bergumam pada dirinya sendiri, "Tidak, El... Itu tidak mungkin benar." Frustrasi mu
Keesokan harinya, Audrey merasa canggung untuk bertemu dengan Elang. Insiden semalam masih membekas di benaknya, dan dia tidak tahu bagaimana harus bersikap. Agar tidak harus berhadapan dengan Elang, Audrey memutuskan untuk turun ke meja makan terlambat. Ketika ia akhirnya sampai di ruang makan, ia disambut oleh Grett yang memberi kabar. "Tuan Elang memutuskan untuk sarapan di kamarnya, Nyonya," kata Grett dengan sopan. Audrey menghela napas lega mendengar itu. Ia merasa terhindar dari percakapan yang mungkin canggung dan tidak menyenangkan. "Baiklah, terima kasih Grett," jawabnya singkat, berusaha menyembunyikan perasaan lega yang kini melandanya. Setelah sarapan, Audrey segera berangkat ke sekolah bersama Mia. Di sepanjang perjalanan, Mia tidak banyak berbicara, membiarkan Audrey berkutat dengan pikirannya sendiri. Ketika sampai di sekolah, Audrey terlihat lebih tenang, setidaknya untuk sementara. Dia merasa lebih nyaman kare
Nick duduk di kursi depan meja Elang, berusaha keras menahan keingintahuannya. Ia selalu patuh pada Elang, tetapi kali ini, rasa ingin tahunya mendominasi. Kenapa Elang membiarkan kedua pria yang menyerangnya pergi begitu saja? Pikirannya berkecamuk, tetapi ia tahu bahwa menanyakan terlalu banyak hal pada Elang sering kali tidak membuahkan hasil. Elang adalah tipe orang yang menjaga banyak rahasia.Elang, yang tengah memeriksa dokumen di meja kerjanya, sepertinya menyadari Nick sedang memendam sesuatu. Tanpa mengangkat pandangan dari berkas di tangannya, ia berbicara dengan nada tenang namun tajam."Tanyakan saja, Nick. Kalau ada yang ingin kau tanyakan."Nick terkejut. Elang memang selalu bisa membaca suasana hati orang di sekitarnya. Ia menggelengkan kepala, tapi akhirnya memutuskan untuk jujur."Aku hanya merasa heran, Tuan. Kenapa Anda membebaskan mereka?" Nick bertanya dengan suara rendah, mencoba meredam rasa penasarannya.Elan
Pagi itu, Audrey bangun lebih awal dari biasanya, Biasanya, dia suka tidur sedikit lebih lama dan menikmati momen-momen tenang sebelum beraktivitas, tetapi kali ini, dia ingin bertemu dengan Elang sebelum suaminya pergi bekerja, Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan, terutama tentang sikap Elang yang belakangan ini berubah dingin, la berharap bisa berbicara, meluruskan kesalahpahaman, dan mencari solusi bersama,Setelah cepat-cepat merapikan diri, Audrey melangkah ke ruang makan dengan penuh harap, Namun, sesampainya di sana, Grett sudah menunggunya dengan raut wajah yang agak muram,"Maaf, Nyonya," Grett berkata dengan lembut, Tuan Elang berangkat ke luar negeri tadi malam, Beliau sekarang sudah berada di Inggris."Audrey terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Grett, Ke Inggris?" tanyanya, suaranya terdengar serak dan pelan, Kecewa, tentu saja, tapi dia berusaha untuk tidak menunjukkannya,Benar, Nyonya, Tuan pergi mendadak untuk urusan
Pagi itu, Audrey bangun dengan perasaan resah. Sikap Elang yang aneh sejak kemarin terus membebani pikirannya. Ia tahu bahwa sesuatu tidak beres, tapi Elang tidak memberinya kesempatan untuk bertanya atau bahkan berdiskusi. Audrey memutuskan bahwa pagi ini, saat sarapan, dia akan mencoba bertanya pada Elang tentang sikapnya yang tiba-tiba dingin.Saat Audrey turun menuruni tangga menuju ruang makan, dia melihat Elang sudah duduk di meja, menyantap sarapannya. Ini membuatnya bingung. Audrey melihat ke jam di pergelangan tangannya—masih pukul enam kurang. Elang biasanya sarapan bersamanya setelah jam enam."Kenapa Kak Elang sarapan duluan? Tumben sekali," gumam Audrey, heran.Mia yang sudah menunggu Audrey di ujung tangga menghampirinya. "Mia, apakah Kak Elang terburu-buru hari ini?" tanya Audrey, berharap ada penjelasan dari Mia.Mia menggeleng, tampak bingung. "Saya tidak tahu, Nyonya. Beliau tidak mengatakan apa-apa."Audrey mengang
Audrey menghela napas panjang, menatap tumpukan buku dan catatan yang berserakan di meja. Pagi ini dia benar-benar tenggelam dalam pelajaran di sekolah. Setelah bel istirahat kedua berbunyi, belum ada waktu untuk bersantai. Bahkan sepulang sekolah pun dia masih harus bekerja kelompok di rumah Dea. Ia benar-benar tenggelam dalam kesibukan hingga lupa mengabari Elang. Yang dia ingat, ia hanya menyuruh Mia untuk mengabari Nick, berharap informasi itu sampai pada Elang. Tapi sepertinya ia terlalu sibuk untuk peduli lebih jauh.Di rumah Dea. Audrey, Mia, Dini, dan Dea bekerja dengan serius. Tugas kelompok yang diberikan guru sangatlah rumit, dan mereka berempat harus berkolaborasi agar bisa menyelesaikannya dengan baik. Waktu sudah sore ketika Audrey akhirnya merasa sedikit lelah. Ia pun berinisiatif untuk membeli es krim keliling yang lewat di depan rumah Dea.“Aku keluar dulu ya, mau beli es krim,” ucap Audrey sambil berjalan keluar rumah Dea seorang diri.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen