Maudy kemudian menambahkan dengan nada yang penuh dukungan. "Bagaimana kalau kita ajak mereka makan malam bersama? Ini bisa menjadi kesempatan baik untuk mengenal satu sama lain lebih dekat."
Audrey merasa lega mendengar respon positif dari Maudy. "Terima kasih, Mama. Itu akan sangat berarti bagi mereka." Benar, tidak semua orang seperti keluarga Leo. Dengan itu, mereka melanjutkan perjalanan menuju tempat makanan yang ingin dikunjungi Audrey, membuat perjalanan sore itu terasa lebih berarti dan hangat. ^^^ Setelah beberapa saat mereka membeli makanan, akhirnya mobil memasuki pekarangan panti asuhan. Audrey turun diikuti Maudy juga sopir yang sibuk mengeluarkan barang-barang yang sudah mereka beli untuk anak panti. "Sepertinya mama tidak bisa makan malam bersama dengan kalian, Audi. Papa menelepon mama, jadi mama harus segera pulang." Jelas Maudy setelah mendapat telepon singkat dari sang suami. Audrey tampak kecewa mendengar hal itu. "Baiklah, Mama. Terima kasih untuk hari ini. Oleh-oleh ini, kami sangat menghargainya." Maudy tersenyum lembut dan mengelus pipi Audrey dengan penuh kasih sayang. "Tentu sayang, mama akan pulang. Sampai jumpa besok, menantu." Pipi Audi sontak bersemu setelah mendengar panggilan itu dari Maudy. "Hati-hati mama, sampai jumpa besok." Setelah mobil Maudy menghilang dari pekarangan panti asuhan, Audrey segera masuk dan disambut oleh anak-anak panti yang mulai tidak sabar untuk membuka oleh-oleh dari kakaknya. " Baiklah, siapa yang mau membantu kakak membuka ini?" Seru Audrey membuat anak-anak panti lainnya berseru mendekati Audrey. Kegaduhan itu membuat Audi tertawa, namun bunda segera menginterupsi. "Ayo yang mau, duduk yang rapi. Yang membagikan hanya orang dewasa saja ya." Anak-anak panti yang mendengar memberengut lalu segera duduk dengan rapi. Berbagai macam oleh-oleh akhirnya dengan segera di bagikan kepada semua orang. Suasana di panti asuhan kembali ceria dan penuh kebahagiaan dengan tambahan makanan lezat yang membuat semua orang merasa lebih bahagia. Ditengah kebahagiaan menerpa semua orang, Audrey tiba-tiba teringat dengan ketidakhadiran calon suaminya ketika memilih gaun pernikahan tadi. Dia mencoba mengalihkan perhatian dengan membantu anak-anak panti menikmati makanan dan terlibat dalam aktivitas lainnya. Namun, rasa penasaran itu tetap mengganggu pikirannya. Saat suasana agak tenang, Audrey memutuskan untuk bertanya. "Bu, boleh Audi tanya? Mengenai calon pengantin laki-laki, apakah dia benar-benar sibuk, hingga tidak datang ketika fitting baju?" tanya Audrey dengan nada penasaran. Dia berharap mendapatkan jawaban yang dapat mengurangi rasa cemas dan kebingungannya tentang pernikahan yang akan datang. "Sepertinya Tuan pertama sedang sibuk, Nak Audi." Jawab Ibu Ningsih dengan tersenyum. "Kamu tenang saja, Tuan pertama memang sangat sibuk. Mungkin saja ia ingin menyelesaikan pekerjaannya agar bisa berbulan madu bersamamu." Sambung Ibu Ningsih lagi dengan tatapan menggoda ia layangkan pada gadis cantik bermata hazel itu. Audrey tersenyum tipis, meskipun dalam hatinya masih ada rasa cemas. "Ah, mungkin memang benar." Gumamnya pelan. Dia mencoba meredakan kegelisahan dengan berpikir positif. Namun, tatapan menggoda Ibu Ningsih membuatnya tersipu. "Bulan madu, ya?" Pikir Audrey dalam hati, sedikit malu membayangkan hal itu. "Tapi, semoga saja semua berjalan lancar dan tidak ada halangan." Balas Audrey dengan senyum lega, meski hatinya masih dipenuhi pertanyaan tentang sosok calon suaminya yang belum ia temui secara langsung. Dia berharap waktu yang akan datang akan membawa jawaban atas kebingungannya. "Sekarang lebih baik kamu istirahat lebih awal. Kan besok jadi pengantin, anak-anak lainnya akan kami urus. " Ujar Ibu Ningsih, namun matanya tetap menyusuri ruangan menatap anak-anak panti yang dengan lahap memakan makanan. "Sana, nak. Besok kamu harus bangun pagi." Audrey menuruti dan segera memasuki kamar untuk mengistirahatkan tubuhnya. Audrey mulai merasakan kehangatan selimut tipis yang melapisi tubuhnya, sementara pikirannya berputar di antara kegelisahan dan harapan akan hari esok. Rasa kantuk perlahan mengambil alih, membuat tubuhnya semakin berat dan pikirannya mulai kabur. "Semoga besok benar-benar berjalan lancar." Gumamnya pelan, sebelum akhirnya tenggelam dalam tidur yang lelap. Suara anak-anak di luar kamarnya perlahan memudar, digantikan oleh keheningan malam yang tenang. Audrey terlelap dengan perasaan campur aduk, di antara kebahagiaan dan rasa tak pasti tentang masa depannya. ^^^ Jarum jam masih menunjukkan pukul 5, namun Audrey sudah mulai dirias oleh para perias. Setelah dimandikan dengan harum bunga-bunga yang membuat tubuhnya menjadi harum. Wanita yang memakai masker terkekeh saat mendengar suara dengkuran pelan dari Audrey. "Penggantinnya benar-benar mengantuk, ayo kita selesaikan secepat mungkin." Bisik wanita itu dengan tangan sibuk memoles wajah Audrey dengan make up. Setelah beberapa jam, akhirnya persiapan pengantin selesai. Audrey dituntun keluar oleh seorang pria paruh baya yang tidak Audrey kenal. "Tenang saja, okey?" Ujar Devan- pria paruh baya itu merasakan ketegangan pada Audrey. Audrey mengangguk dengan mengulas senyum saat mereka sudah diatas karpet merah, yang sekeliling mereka terdapat anak-anak panti juga orang-orang dewasa yang tidak ia kenal Tatapannya menyapu seluruh ruangan, melihat anak-anak panti yang tersenyum dan melambai ke arahnya. Kehangatan itu sedikit mengurangi ketegangan yang menghimpit dadanya. Devan menuntunnya dengan sabar, langkah demi langkah di atas karpet merah yang terasa begitu panjang. Di ujung karpet, Audrey bisa melihat altar yang telah dihias dengan bunga-bunga putih dan emas, memberikan nuansa elegan namun sederhana. Meskipun suasana pernikahan ini tersembunyi dan terbatas pada orang-orang terdekat, Audrey merasa perasaan gugupnya semakin memuncak ketika ia menyadari bahwa calon suaminya belum tampak di sana. "Apakah dia belum datang?" Pikirnya berkelana dalam hati, berharap segala sesuatu berjalan lancar. BersambungDi ruangan yang gelap, Elang duduk dengan sikap tenang dan dingin. Hanya cahaya redup dari lampu di sudut ruangan yang memperlihatkan sosok dua pria yang terikat di kursi di hadapannya. Tubuh mereka penuh luka, hasil kerja Nick dan anak buahnya. Elang menatap mereka tanpa belas kasihan, rokok di tangan kirinya hampir habis tersulut.“Katakan siapa tuan kalian,” ucap Elang dengan suara rendah, namun tegas. Matanya tajam menelusuri setiap gerakan dari dua pria di depannya. “Aku mengenali tato yang ada di belakang telinga kalian,” tambahnya, suaranya penuh ancaman.Salah satu pria yang terikat terkekeh, meski darah mengalir dari sudut bibirnya. "Siapa yang tidak mengenal tato kami?" ucapnya dengan angkuh. Matanya menantang Elang, seolah tak takut meskipun tubuhnya sudah remuk.Elang tersenyum sinis. “Bagaimana jika aku melihat tato itu pada seorang gadis? Rambutnya pirang gelombang, matanya cokelat...” Mendengar deskripsi Elang, pria itu tiba-tiba m
Pagi itu, Elang berdiri di balkon kamarnya, menyesap rokok dengan rakus. Mata tajamnya menatap taman di bawah, bunga-bunga mulai bermekaran, membawa kilasan kenangan saat ia dan Audrey pernah berjalan-jalan di sana. Senyum kecil menghiasi wajahnya, namun kebahagiaan itu terputus oleh dering telepon yang tiba-tiba membuyarkan lamunan.Elang mengambil ponselnya dan melihat nama Nick tertera di layar. Tanpa pikir panjang, ia menjawab.“Halo, Tuan. Saya berhasil menangkap mereka,” lapor Nick dengan suara tegas dari Inggris.Elang menyesap rokoknya lagi sebelum menjawab. “Tidak perlu, Nick. Biar aku yang menginterogasi mereka secara langsung. Kau cukup jaga mereka sampai aku datang,” balas Elang dengan tenang, namun tegas. Tanpa menunggu balasan, ia menutup telepon.Di seberang, Nick yang mendengar instruksi itu mendecak pelan. “Loh? Tuan akan datang sendiri menginterogasi mereka? Apa sepenting itu hingga dia ingin turun tangan sendiri?” gumamnya denga
Nick masih berada di Inggris, sibuk menyelidiki siapa dalang di balik penyerangan terhadap Elang. Setelah beberapa hari menelusuri jejak, dia akhirnya mendapat petunjuk yang signifikan. Sambil menatap layar komputer di depannya, dia mengangkat telepon dan menekan nomor Elang."Saya sudah menemukan di mana mereka, Tuan," lapor Nick dengan nada tegas.Elang, yang sedang duduk di ruang kerjanya di Indonesia, mendengarkan sambil menatap dokumen di tangannya. Ia berdehem, namun tidak segera menanggapi.“Baik,” jawab Elang singkat. Tanpa memperpanjang percakapan, dia mematikan sambungan telepon dan kembali mencoba fokus pada dokumen yang perlu diselesaikannya. Tapi pikirannya terus saja berputar soal tato yang dilihatnya pada penyerangnya beberapa hari lalu. Hal itu terasa mengganggu, seolah ada potongan puzzle yang hilang dalam ingatannya.Elang menundukkan kepala, bergumam pada dirinya sendiri, "Tidak, El... Itu tidak mungkin benar." Frustrasi mu
Keesokan harinya, Audrey merasa canggung untuk bertemu dengan Elang. Insiden semalam masih membekas di benaknya, dan dia tidak tahu bagaimana harus bersikap. Agar tidak harus berhadapan dengan Elang, Audrey memutuskan untuk turun ke meja makan terlambat. Ketika ia akhirnya sampai di ruang makan, ia disambut oleh Grett yang memberi kabar. "Tuan Elang memutuskan untuk sarapan di kamarnya, Nyonya," kata Grett dengan sopan. Audrey menghela napas lega mendengar itu. Ia merasa terhindar dari percakapan yang mungkin canggung dan tidak menyenangkan. "Baiklah, terima kasih Grett," jawabnya singkat, berusaha menyembunyikan perasaan lega yang kini melandanya. Setelah sarapan, Audrey segera berangkat ke sekolah bersama Mia. Di sepanjang perjalanan, Mia tidak banyak berbicara, membiarkan Audrey berkutat dengan pikirannya sendiri. Ketika sampai di sekolah, Audrey terlihat lebih tenang, setidaknya untuk sementara. Dia merasa lebih nyaman kare
Nick duduk di kursi depan meja Elang, berusaha keras menahan keingintahuannya. Ia selalu patuh pada Elang, tetapi kali ini, rasa ingin tahunya mendominasi. Kenapa Elang membiarkan kedua pria yang menyerangnya pergi begitu saja? Pikirannya berkecamuk, tetapi ia tahu bahwa menanyakan terlalu banyak hal pada Elang sering kali tidak membuahkan hasil. Elang adalah tipe orang yang menjaga banyak rahasia.Elang, yang tengah memeriksa dokumen di meja kerjanya, sepertinya menyadari Nick sedang memendam sesuatu. Tanpa mengangkat pandangan dari berkas di tangannya, ia berbicara dengan nada tenang namun tajam."Tanyakan saja, Nick. Kalau ada yang ingin kau tanyakan."Nick terkejut. Elang memang selalu bisa membaca suasana hati orang di sekitarnya. Ia menggelengkan kepala, tapi akhirnya memutuskan untuk jujur."Aku hanya merasa heran, Tuan. Kenapa Anda membebaskan mereka?" Nick bertanya dengan suara rendah, mencoba meredam rasa penasarannya.Elan
Pagi itu, Audrey bangun lebih awal dari biasanya, Biasanya, dia suka tidur sedikit lebih lama dan menikmati momen-momen tenang sebelum beraktivitas, tetapi kali ini, dia ingin bertemu dengan Elang sebelum suaminya pergi bekerja, Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan, terutama tentang sikap Elang yang belakangan ini berubah dingin, la berharap bisa berbicara, meluruskan kesalahpahaman, dan mencari solusi bersama,Setelah cepat-cepat merapikan diri, Audrey melangkah ke ruang makan dengan penuh harap, Namun, sesampainya di sana, Grett sudah menunggunya dengan raut wajah yang agak muram,"Maaf, Nyonya," Grett berkata dengan lembut, Tuan Elang berangkat ke luar negeri tadi malam, Beliau sekarang sudah berada di Inggris."Audrey terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Grett, Ke Inggris?" tanyanya, suaranya terdengar serak dan pelan, Kecewa, tentu saja, tapi dia berusaha untuk tidak menunjukkannya,Benar, Nyonya, Tuan pergi mendadak untuk urusan