Share

Bab 2 : Mendapatkan Kembali Miliknya

"Bagaimana kamu bisa ada di sini Joseph? Apa karena showroom kecil ini?" tanya Adrian sedikit berbisik, sambil mengamati papa mertuanya yang masih sibuk di bagian administrasi.

Dia tidak ingin ada yang mendengar pembicaraan mereka.

"Benar sekali, Tuan. Saya sudah lama mencari dan akhirnya keputusan saya untuk datang ke kota ini sudah tepat!"

Joseph memang berniat untuk membeli tempat ini untuk memperluas jangkauan perusahaan mereka.

Adrian melihat sekeliling, sepertinya tidak aman kalau mereka berbicara di depan banyak orang.

"Ayo, kita cari tempat yang aman! Aku tidak ingin ada yang curiga!" titahnya sambil melangkah keluar menuju samping gedung.

Joseph pun mengangguk dan mengikuti permintaan Tuannya meskipun dia belum mengerti.

"Sudah berapa lama Tuan berada di sini?" Joseph sudah tidak sabar untuk bertanya.

"Aku baru saja dua tahun di kota ini. Setelah aku berpindah-pindah tempat. Disini tempat yang aman. Tidak ada yang mengenaliku!" Adrian mulai bisa bicara serius.

"Pulanglah, Tuan. Perusahaan anda membutuhkan Tuan saat ini," pinta Joseph lagi.

"Aku tidak bisa. Aku sudah menikah dan keluarga istriku menetap di kota ini," jelasnya cepat.

"Apa?!" pekik Joseph tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

"Pelankan suaramu! Aku akan menjelaskannya nanti. Apa keadaan di sana sudah aman?" Adrian mengalihkan pembicaraan.

"Mereka semua sudah ditangkap tapi dalang dibalik mereka belum bisa aku temukan, Tuan. Pulanglah agar mereka bisa melihat kalau Tuan kembali berkuasa!" pintanya memohon.

"Aku akan memikirkan hal itu nanti. Saat ini mertuaku sedang membeli mobil di sini. Aku harus segera kembali sebelum dia mencariku!" ungkapnya dengan wajah khawatir.

"Baiklah, Tuan. Yang terpenting saya sudah mengetahui lokasi Tuan berada saat ini," Joseph mengangguk paham.

Dia pun mengeluarkan dompet miliknya dan mengeluarkan sebuah kartu berwarna hitam dengan satu tanda berlian di pinggirnya.

"Ini milik, Tuan. Gunakanlah untuk membeli kebutuhan Tuan selama berada disini. Tuan juga terlihat sangat kurus," Joseph menatap Tuannya dengan pandangan iba.

Penampilan Adrian sangat berbeda sebelum dia kehilangan jejaknya tiga tahun lalu.

Terlihat kurus dan tidak terawat.

"Terima kasih. Aku masuk dulu!" Adrian langsung menyimpan kartu itu di dompet usang miliknya.

Setelah itu Adrian bergegas kembali ke dalam menemui Baron. Pria itu sudah selesai dan mencari Adrian.

"Dari mana saja kamu?! Aku kan menyuruhmu untuk menunggu! Jangan seenaknya pergi lama-lama!" omel Baron saat Adrian sudah menghampirinya.

"Maaf, Tuan. Tadi saya dari toilet," jawab Adrian berbohong.

"Sudah cepat bawa mobil ini! Kita pulang sekarang!" ucapnya ketus sambil memberikan kunci mobil itu pada Adrian.

"Iya, Tuan!"

Rumah Keluarga Baron…

Cindy sudah berdiri dari tadi di depan pintu rumah untuk menunggu suaminya pulang. Dia sudah tidak sabar untuk melihat mobil baru mereka.

Saat pintu gerbang dibuka, dia dengan cepat bangkit dari duduknya.

Tapi wajahnya seketika berubah saat melihat sebuah mobil berwarna putih masuk ke halaman rumah.

"Loh, Pa? Kenapa mobil ini? Ini kan bukan mobil yang Papa bilang semalam?" Cindy langsung melayangkan protes setelah Baron turun.

"Uangnya hanya cukup beli ini, Ma. Sudahlah yang pentingkan baru!" jawabnya seadanya.

Cindy mengerucutkan bibirnya karena mobil yang suaminya beli tidak sesuai dengan keinginannya.

"Nanti pasti bisa kok beli mobil yang diinginkan, Nyonya," Adrian mencoba mengambil hati ibu mertuanya.

"Jangan ikut campur kamu! Sudah sana ke belakang! Bikin mood tambah jelek saja!" usirnya dengan nada ketus lalu pergi menyusul suaminya.

Adrian hanya bisa menarik napas dalam-dalam. Dia masih harus ekstra bersabar lagi.

Setelah makan malam, Adrian ingin menyampaikan keinginan yang sudah lama disimpannya. Bahkan setelah dia menikah dengan Clara.

Dia pun mendekati Baron di sofa, kebetulan disana juga ada Cindy dan juga istrinya.

"Malam, Tuan. Ada sesuatu yang ingin saya sampaikan," Adrian memberanikan diri untuk bicara.

"Hmmm,"

Hanya itu yang terdengar dari mulut pria paruh baya itu.

Dengan tekad yang kuat dan mengumpulkan keberanian, Adrian pun berusaha yakin.

"Besok saya ingin mencari pekerjaan, Tuan. Saya ingin menjalani kehidupan rumah tangga saya bersama Clara sebagaimana mestinya. Saya juga akan menabung untuk membeli rumah," ungkapnya dengan tersenyum.

"Apa?!"

Baron dan Cindy terkejut secara bersamaan. Bahkan Clara sampai menoleh dengan cepat setelah mendengar itu.

"Enak saja! Kamu itu cuma pantas jadi tukan kebun di rumah ini!" Cindy tidak rela kehilangan pegawai gratisan.

"Tapi, Nyonya. Saya ingin punya uang sendiri. Satu-satunya cara saya harus mencari pekerjaan yang lebih layak!" Adrian memberikan alasan yang masuk akal.

"Tidak bisa!" tolaknya tidak peduli.

Baron pun angkat bicara, "Kamu merasa besar kepala ya? Setelah Clara bersikap baik padamu. Aku hanya memberimu waktu dua tahun untuk menjadi suami anakku! Waktumu tinggal satu tahun lagi, setelah itu kalian harus bercerai! Aku akan mencarikan pria yang lebih baik untuknya," titah Baron dengan nada marah.

"Papa!"

Kali ini Clara yang buka suara.

Dia merasa Papanya sudah mempermainkan hidupnya selama ini.

"Biarkan Adrian bekerja," sambungnya dengan bicara pelan sambil melirik Adrian sekilas.

Baron tidak bisa terima anaknya kembali membela suami yang hanya sebagai pengganti itu.

"Tidak perlu ikut campur, Clara!" perintahnya mutlak.

Adrian merasa percuma saja kalau mendebat mereka. Dia tidak akan menang.

Tapi Adrian kembali teringat dengan pertemuannya dengan Joseph tadi.

Setidaknya dia mendapatkan angin segar setelah selama ini terkekang dan hanya mengandalkan keluarga ini untuk bertahan hidup dalam pelariannya.

Adrian masih bingung, jadi dia memilih untuk pergi dari hadapan mereka dan masuk ke dalam kamarnya.

"Apa yang harus aku lakukan sekarang? Apa aku bilang saja pada mereka kalau aku ini bukan Adrian pemuda biasa seperti yang mereka kira? Tapi apa mereka akan percaya?" gumamnya seorang diri.

Sementara Adrian berpikir keras, di luar kamarnya, istri yaitu Clara sedang berdiri mematung. Clara ingin sekali mengetuk pintu Adrian. Tapi dia kembali mengurungkan niatnya itu dan masuk ke dalam kamarnya.

Besoknya…

Seperti biasanya Adrian melakukan tugasnya di taman belakang rumah ini. Dia masih bekerja seperti biasanya.

Pagi ini entah kenapa Baron sudah kembali dari perusahaan kecil miliknya. Padahal biasanya dia pulang saat sore hari.

"Ada apa, Pa? Kenapa pulangnya cepat?" tanya Cindy heran.

Baron melepas dasi dan jas yang melekat di tubuhnya dengan lemas. Dia sampai menghempaskan tubuhnya di sofa.

"Perusahaan kita terancam bangkrut, Ma!" ucapnya dengan suara parau.

"Apa? Kenapa bisa, Pa?"

Cindy langsung duduk di samping suaminya.

"Papa kalah tender dan teman Papa membawa kabur semua uang yang Papa investasikan. Sebentar lagi pasti Bank akan datang menagih ke rumah ini. Perusahaan dan rumah ini sudah Papa jadikan jaminan," jelasnya sambil memijat keningnya yang terasa pusing.

"Papa! Kenapa Papa bisa seceroboh itu! Mama tidak mau jatuh miskin, Pa!" Cindy mulai terisak.

Adrian menguping pembicaraan mereka di balik pintu. Dia teringat kalau saat ini sudah memiliki kartu itu.

'Tapi bagaimana caranya memakai kartu itu?' batinnya ragu.

Sebab tidak mungkin tiba-tiba saja dia memberitahu mereka kalau punya uang.

Adrian akan mencari cara untuk membantu Baron.

Pemuda itu dengan percaya diri melangkah masuk dan menghampiri mertuanya yang sedang kalut.

"Adrian bisa membantu perusahaan, Tuan!" ucapnya yakin.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status