Penat. Satu kata itu yang kini Vinn rasakan. Ia telah kembali pada rutinitasnya, memimpin sebuah perusahaan besar. Usai meeting siang tadi, Vinn memutuskan untuk pulang ke mansion. Bukan tanpa alasan, ia harus mencari file lama perusahaan yang sepertinya tersimpan di ruang kerja kakeknya.
Pencarian Clara masih dilakukan. Sudah hampir tujuh hari wanita itu menghilang dan anak buah yang telah disebar tak memberi hasil yang diharapkan.
Vinn memasuki ruang kerja yang terletak di lantai dua. Tempat ini tampak berdebu, sepertinya sudah berbulan-bulan tidak dibersihkan. Pria itu melangkah menuju lemari besar, berbagai buku manajemen bisnis berkumpul di sana. Ia mengambil salah satu yang bersampul merah tua. Dan selembar foto usang terjatuh ke lantai.
Perhatian Vinn teralihkan. Ia memungut foto itu dan mengamati. Ia menemukan sosok kakeknya di sana namun di usia masih sangat muda, sekitar dua puluh tahunan. Ya, Vinn yakin tentang sosok itu karena pernah melihat figur yang sama di album foto keluarga. Tapi siapa pria muda yang di sampingnya? Mengapa mereka tampak sama persis bak pinang dibelah dua?
Beberapa saat kemudian Vinn duduk di rooftop, ditemani secangkir teh lemon favoritnya. Tangannya masih memegang foto yang ia temukan di ruang kerja. Rasa penasaran begitu kuat namun ia ragu untuk bertanya pada sang kakek.
Tap. Tap. Tap.
Suara langkah kaki terdengar mendekat, Vinn sedikit menoleh meski ia tahu siapa orang yang kini berada di belakangnya.
"Aku mencarimu di kantor, rupanya sudah ada di sini," ucap Tino.
"Ada sesuatu yang harus kuurus. Ada apa Paman mencariku?" Vinn bertanya tanpa mengalihkan pandangan dari foto.
"Aku ingin berdiskusi tentang tawaran Tuan Tanaka untuk mega proyek di Singapore. Ohh, kau menemukan foto itu?" Tino duduk di kursi lain tak jauh dari keponakannya.
"Paman tau tentang foto ini? Pria yang di kanan, itu Kakek Richard, bukan?" Vinn menyodorkan foto agar Tino bisa melihatnya lebih jelas.
"Matamu memang sangat jeli. Kau benar, itu kakekmu."
"Lalu siapa yang berdiri di sampingnya?"
"Ehm, entah apa aku boleh menyebut namanya di rumah ini. Itu adalah Ronald, saudara kembar kakekmu," terang pria berpenampilan borjuis itu.
"Kakek punya saudara kembar? Kenapa aku tidak tau?" Vinn menatap sang paman lalu kembali pada foto.
"Apa kau percaya jika ini adalah kisah keluarga yang rumit?"
"Lanjutkan, Paman."
"Mereka kembar identik, ya secara fisik mereka sangat mirip. Tapi tidak dengan kepribadian dan tingkah laku. Kakekmu cenderung penurut dan rendah hati sedangkan Ronald adalah orang yang ambisius, juga suka memberontak. Mereka mulai sering berbeda pendapat sejak memasuki bangku kuliah. Kakek buyutmu mengira hal itu akan membaik seiring berjalannya waktu. Namun kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya." Tino memberi jeda dan mengeluarkan cigarett.
"Lalu, apa yang terjadi?"
"Ronald merasa kakek buyutmu tidak adil dalam pembagian hak di perusahaan. Gelora mudanya saat itu menyebabkan keributan fatal. Ronald keluar dari mansion, nenek buyutmu mengejar menggunakan mobil lain dan mengalami kecelakaan."
Hening. Vinn tahu sebagian dari kisah itu. Tapi tidak ada satu pun orang yang pernah menyebut nama Ronald. Setidaknya hingga sepuluh menit yang lalu.
"Nenek buyut ...." Vinn tak bisa meneruskan ucapannya.
"Ya, nenek buyutmu meninggal dalam kecelakaan itu. Kakek buyutmu marah besar pada Ronald dan memutuskan hubungan dengannya," lanjut Tino.
"Tapi di mana Kakek Ronald sekarang?"
"Sebaiknya kau tak perlu tau tentang ini, Vinn. Percayalah." Tino menghembuskan asap putih usai mengisap cigaretnya.
"Aku cuma ingin tahu, itu saja." Vinn bersandar dan mengedikkan bahu.
"Kau adalah satu-satunya pewaris di Orion Group sekarang. Cukup ayahmu yang-" Kata-kata Tino berhenti begitu saja. Gelagatnya sedikit panik dan itu membuat Vinn curiga.
"Ada apa dengan ayahku, Paman?"
"Ehm, bukan apa-apa. Kakekmu telah cukup merasakan kehilangan setelah ayahmu meninggal dalam kecelakaan itu. Jadi lebih baik jaga dirimu baik-baik." Pria paruh baya itu bangkit dari kursi, saat mendadak Vinn membuatnya terdiam.
"Jika Paman tak memberi tahuku, aku akan mencari tahu sendiri."
Vinn melangkah terlebih dahulu, meninggalkan Tino yang menyadari jika telah terlalu banyak bicara.
Menuruni tangga dan menuju lantai dua, Vinn merasa ada ada titik terang tentang penyebab kematian kedua orang tuanya. Meski polisi menyatakan mereka murni mengalami kecelakaan, namun ia selalu merasa ada sesuatu yang janggal.
'Apa yang sebenarnya Paman Tino sembunyikan?' Vinn membatin.
Langkahnya baru sampai di ruang kerja sang kakek saat tiba-tiba ponselnya bergetar. Tercantum nama Daniel pada layar.
"Halo?" sambut Vinn dengan nada cepat, ia berharap orang kepercayaannya itu akan membawa kabar baik tentang Clara.
"Tuan, kami menemukan Nona Clara. Tapi ...."
**
Hawa dingin segera menyentuh leher Vinn saat mendengar penjelasan Daniel. Ia bergegas menuju mobil dan meluncur pada satu titik di pusat kota.
"No. No, please be save. Please!" Vinn menggumam.
Anak buahnya mengklaim telah menemukan Clara namun kondisinya tidaklah baik. Wanita itu mengalami kecelakaan dan kini sedang berada di rumah sakit. Vinn melajukan mobil mahalnya dengan cepat. Bahkan lalu lalang kendaraan di depan membuat emosinya naik.
Tinnnn!! Vinn mengklakson.
Dua puluh menit kemudian ia telah sampai di tempat tujuan. Tiga anak buah termasuk Daniel yang berdiri di depan sebuah kamar mengangguk penuh hormat saat melihatnya tiba. Vinn berjalan cepat, mendekat dengan wajah khawatir.
"Di mana Clara?"
"Tuan, itu ..." Daniel tertunduk.
Tanpa bertanya lagi, Vinn berjalan masuk. Langkahnya menjadi berat tatkala melihat sosok yang kini terbujur di ranjang ditutupi kain putih.
"Clara ..." ucapnya perlahan. Tangannya gemetar saat terulur. Ia ingin menyingkap kain. Keringat dingin mulai membasahi keningnya. Vinn tak bisa menerima jika wanita yang ia cintai harus berakhir seperti ini.
Vinn menghela napas berat saat melihat wajah sosok itu. Ada kelegaan pada sorot matanya. Wanita yang telah meninggal bukanlah Clara. Mereka sedikit mirip namun Vinn bisa memastikan jika itu bukan kekasihnya.
Dengan langkah cepat ia keluar kamar, Daniel dan yang lain masih berada di sana. Menunggu perintah dari sang tuan muda.
"Itu bukan Clara. Temukan dia secepatnya!"
"Baik, Tuan."
***
Bersambung.
Sinar mentari memasuki kamar mewah bernuansa putih dan emas melalui celah tirai jendela. Hari menjelang siang namun si penghuni kamar seakan enggan untuk membuka mata.Pintu berukir terbuka usai terdengar ketukan, memunculkan wanita paruh baya berpakaian pelayan. Martha namanya, ia ditugaskan untuk mengurus wanita muda yang sejak seminggu lalu tinggal di rumah besar majikannya."Selamat pagi, Nona." Tangan pelayan senior itu meletakkan nampan berisi secangkir teh di atas meja lalu membuka tirai.Suasana kamar berukuran tak biasa itu seketika terang benderang. Wanita muda yang tertidur perlahan membuka mata. Namun tidak tampak semangat di wajah cantiknya. Hanya ada tatapan kosong dan ekspresi datar."Tinggalkan saya sendiri, Bi," pintanya dengan suara serak."Nona, saya hanya menjalankan tugas. Satu jam lagi tuan muda akan mengajak Nona
Clara memandang pantulannya saat duduk di depan cermin. Polesan make up tipis makin membuat wajahnya tampak menawan. Rambutnya tergerai indah, terlihat pas dengan dress putih lengan panjang yang saat ini ia kenakan.Siang ini ia setuju untuk makan siang bersama Martin. Bukan untuk menikmati waktu melainkan mencari kebenaran tentang Vinn.Vinn yang Clara kenal adalah pria jujur dan berhati hangat. Karena itu ia tak ragu menyerahkan hatinya pada pria itu. Sesungguhnya ia tidak ingin percaya begitu saja pada kata-kata Martin. Tapi jika diingat, Vinn memang seakan menyembunyikan sesuatu darinya."Fokus Clara, fokus!" Clara berucap sambil menepuk-nepuk kedua pipinya.Tok. Tok. Martha masuk setelah mengetuk."Nona, Tuan Martin telah menunggu.""Saya tahu," jawab Clara pendek sebelum beringsut menuju pintu.Cl
Vinn terdiam selama beberapa saat. Ingatannya melayang, menelusuri waktu belasan tahun yang telah ia habiskan bersama Martin. Mereka telah melalui banyak hal, ia bahkan tahu apa kebiasaan buruk pria yang sebaya dengannya itu. Berbagai pertanyaan mulai berkecamuk dalam benaknya. Benarkah jika ia dan Martin adalah kerabat? Lalu apa Martin juga tak mengetahuinya? Tak ingin berlama-lama hanyut dalam pikirannya sendiri, Vinn memilih untuk memastikan sekarang juga. Pria itu beranjak, bergegas meninggalkan ruangan bernuansa abu-abu dan putih. Belum sempat Vinn mencapai tangga, seorang pelayan wanita menghampirinya dengan langkah sedikit terburu-buru."Tuan Vincent," panggilnya yang langsung membuat Vinn berhenti. "Kenapa?" Pria itu memeriksa jam tangan mahalnya lalu mengalihkan pandangan pada si pelayan. "Tuan Richard ingin Anda datang ke kamarnya.""Sekarang?" tanyanya lagi. "Benar, Tuan."Vinn mengubah
"Siapa?" Lucas bertanya pada Vinn sembari menunjuk dengan lirikan pada Zara. Mereka baru sampai di rumah berlantai tiga Keluarga Hazard. "Zara." Wanita itu mengulurkan tangan dengan percaya diri sebelum Vinn sempat bersuara. Ia tersenyum hingga tampak lesung pada kedua pipinya. Vinn masuk terlebih dahulu, meninggalkan dua orang yang kini asyik mengobrol di ambang pintu. Pria itu mengamati rumah bernuansa klasik yang telah Martin tinggali sejak kecil. Tak seperti sebelumnya, hari ini Vinn lebih teliti melihat semua foto keluarga yang terpajang pada dinding. Semua foto-foto itu tentang Martin, kedua orang tua juga kakak laki-lakinya. Tidak ada sosok yang sedang Vinn cari. Ronald Hazard. "Vinn," panggil sebuah suara yang sudah sangat dikenalnya. Pria muda itu menuruni tangga dengan cardigan biru tua. "Hei," sambut Vinn saat Martin mendekat. "Merasa asing? Salah sendiri kau tak datang kesini begitu lama," ujar Martin sambi
Martin membuka satu per satu kancing kemejanya dengan mata terarah lurus pada tubuh Clara. Wanita itu menangis. Namun isakan kecil yang keluar dari bibirnya terdengar bak melodi terindah bagi Martin. "Oh, come on Sweetie, jangan membuatku semakin ingin menyentuhmu," ucap Martin dengan suara berat. Pria itu kini bertelanjang dada, menunjukkan tato kepala naga dibawah lehernya. Senyum miringnya merekah, membayangkan dalam hitungan detik ia akan menikmati apa yang seharusnya menjadi milik Vincent. "Tolong lepaskan aku ...." "Teruslah memohon seperti itu. Aku suka mendengar suaramu saat menangis, Sayang," ujar Martin yang sudah tak mampu menahan gejolak nafsu. Pria itu menenggelamkan wajahnya pada leher Clara. Clara yang hendak menghindar justru memudahkan usahanya. Martin merengkuh tubuh itu erat hingga satu nama lolos dari bibir Clara. "Vinn," ucap Clara di tengah isakan. Nafsu yang semula berkobar mendadak hilang d
Daniel menatap bingung pada wanita yang kini bergelayut pada lengan Vinn. Vinn membalas senyum, sepertinya ini adalah cara termudah untuk masuk ke dalam. "Hei, kalian sedang apa? Lihat, ini undanganku," hardik wanita tanpa nama pada dua penjaga yang justru terdiam."Oh, maaf Nona. Silahkan."Dua orang itu masuk, menyisakan Daniel yang telah mendapat isyarat mata dari Vinn agar mencari jalan masuk lain. Salah satu penjaga menatapnya tajam, membuat pria itu ingin segera beringsut dan melaksanakan tugas. Di dalam mereka kembali bertemu dua penjaga di pintu selanjutnya. Tugas mereka adalah memberi topeng pada tamu yang hadir. Vinn dan juga wanita iu menerima topeng yang berbeda. Si wanita masih menempel pada Vinn hingga masuk ke dalam. Vinn masih bertanya-tanya tentang acara apa ini sebenarnya. Di sana sudah ada lebih dari dua puluh orang yang tampak bukan dari kalangan biasa. Semua orang memakai topeng, tak terkecuali pelayan dengan setel
Suasana yang dingin di ruang makan Mansion Alfredo. Vinn baru saja meminum sedikit kopi hitamnya dengan wajah tak berselera. Ia hanya menatap lurus pada laptop di depannya, acuh pada roti panggang madu yang mulai mendingin. "Vinn, selesaikan sarapanmu." Richard hanya melirik cucunya yang sedari tadi tak memandangnya sama sekali. "Aku sudah selesai," jawab Vinn tanpa mengalihkan pandangan pada layar. "Jangan terlalu memaksakan diri, kau hanya perlu mengawasi kinerja mereka di kantor.""Aku tahu."Bagi Richard, ini bukan pertama kali Vinn bersikap dingin padanya. Namun pagi ini ada yang berbeda. Pewarisnya itu tampak menahan kesal. Richard meletakkan alat makannya dan menyesap teh hijau sebelum bersuara kembali. "Ada yang ingin kau sampaikan?"Seketika pandangan Vinn berpaling. Ia menutup laptop dan menghela napas berat. "Kenapa Kakek memberikan gelang giok milik ibu pada orang asing?"Respon awal, R
Clara menatap gedung tinggi yang merupakan sebuah hotel ternama di kota metropolitan itu. Sejak berangkat, Martin tak benar-benar mengatakan acara apa yang akan mereka datangi. "Kita turun, Teman-temanku pasti sudah menunggu."Meski terpaksa, pada akhirnya Clara ikut turun dengan mengacuhkan uluran tangan Martin yang hendak membantunya. Di pintu masuk menuju lobby, pria itu melirik pasangan palsunya seraya tersenyum kecil. "Ini acara reuni, dan kalau kamu beruntung akan ada Vincent juga di sana."Langkah Clara mendadak melambat dan nyaris terhenti. Perasaannya menjadi campur aduk saat mendengar nama itu. "Kenapa wajahmu tegang? Bukankah kamu sangat ingin bertemu dengannya?" Martin terlihat senang, sangat berbeda dengan ekspresi yang Clara tunjukkan. Senang? Tentu ia akan senang bertemu Vinn. Pria itu masih memiliki hatinya hingga saat ini. Tapi tidak dengan situasi ia harus ber-cosplay menjadi calon istri Martin. "A