Share

Sangkar Emas

Sinar mentari memasuki kamar mewah bernuansa putih dan emas melalui celah tirai jendela. Hari menjelang siang namun si penghuni kamar seakan enggan untuk membuka mata. 

Pintu berukir terbuka usai terdengar ketukan, memunculkan wanita paruh baya berpakaian pelayan. Martha namanya, ia ditugaskan untuk mengurus wanita muda yang sejak seminggu lalu tinggal di rumah besar majikannya. 

"Selamat pagi, Nona." Tangan pelayan senior itu meletakkan nampan berisi secangkir teh di atas meja lalu membuka tirai. 

Suasana kamar berukuran tak biasa itu seketika terang benderang. Wanita muda yang tertidur perlahan membuka mata. Namun tidak tampak semangat di wajah cantiknya. Hanya ada tatapan kosong dan ekspresi datar. 

"Tinggalkan saya sendiri, Bi," pintanya dengan suara serak. 

"Nona, saya hanya menjalankan tugas. Satu jam lagi tuan muda akan mengajak Nona makan bersama. Mari, saya bantu Nona untuk membersihkan diri." Martha membuka selimut tebal dan membantu wanita muda itu bangun. 

"Saya tidak ingin bertemu dengannya. Tolong, tinggalkan saya sendiri!" Kali ini terdapat penekanan pada nada bicaranya. 

Si pelayan menghela napas dan menuruti. Ia mengunci pintu kamar dari luar, sesuai perintah tuan muda yang telah membawa wanita bernama Clara itu kemari. 

Clara terduduk, memandang pintu. Ia telah terkurung di kamar mewah ini sejak beberapa hari lalu tanpa tahu apa alasannya. Ia bahkan tak tahu siapa yang telah menculiknya. Sementara itu Martha berjalan menuju ruangan lain, di mana sang tuan mudanya sedang duduk sambil memeriksa pekerjaan melalui laptopnya. 

"Ada apa?" tanya pria tampan bermata hazel tanpa melihat ke arahnya. 

"Nona Clara masih menolak untuk makan bersama Anda, Tuan."

"Biarkan saja. Aku yang akan mengurusnya."

Martha mengangguk sopan sebelum undur diri. Si tuan muda beranjak dari ruangannya dan berniat mendatangi kamar Clara. Namun sebelum sampai, ia bertemu pelayan lain yang menyampaikan pesan dari kakeknya. 

"Tuan Ronald ingin bertemu Anda sekarang di kamarnya, Tuan."

Pria muda itu tak menjawab. Ia melihat jam tangan sebelum melangkah, hampir pukul sebelas siang. Ia memutuskan untuk menemui kakeknya terlebih dahulu sebelum mendatangi Clara. 

Ia masuk setelah mengetuk. Kakeknya tengah membaca selembaran dan meletakkan di atas meja saat pria itu mendekat. 

"Kakek memanggilku?" Ia langsung duduk di sofa berwarna biru tua. 

"Kau sibuk?" Pria tua berpenampilan rapi itu melirik sang cucu dan ikut duduk. 

"Cukup santai untuk sekedar menemani Kakek mengobrol. Apa Kakek butuh sesuatu?"

"Tidak. Lusa ayahmu akan kembali dari Australia. Kau ingat pesanku?"

"Tenang saja, Kek. Semua sudah aku atur." 

"Oh ya, satu lagi. Jangan ber main-main dengan wanita itu. Dia adalah aset penting. Mengerti?"

Si pria muda menatap sang kakek sebelum mengangguk. Ia tahu akan mendengar pesan seperti ini. Dan jujur saja, ini membuatnya sedikit kesal. Clara terlalu cantik untuk dibiarkan begitu saja. 

"Ada pekerjaan yang harus kuselesaikan. Aku permisi, Kek." Pria itu berdiri. 

"Martin, sekali lagi kutegaskan, hati-hati dengan langkahmu. Biarkan Vincent yang akan menghampiri kehancurannya sendiri."

"Kakek bisa mengandalkanku," sahut Martin sembari tersenyum. 

**

Clara berdiri di tepi balkon, bersandar pada pagar pembatas seukuran perut. Ia melongokkan kepala hanya untuk memastikan jika di bawah sana terdapat dua penjaga. 

Sebuah langkah terdengar, membuat wanita itu menoleh seketika. Tatapannya bertemu dengan mata pria blasteran yang kini tersenyum manis ke arahnya. 

"Masih ingin lompat? Hm?" Martin mendekat. Ia mengingatkan bagaimana Clara memaksa untuk dilepaskan hingga mengancam untuk melompat pada hari pertama sampai di rumah ini. 

"Jangan bicara padaku! Aku bahkan gak kenal sama kamu," respon Clara dengan ekspresi sinis. 

"Tapi aku mengenalmu, Nona Clara Watson."

Mendengar Martin menyebut namanya, Clara menoleh. Terdapat jeda selama beberapa detik sebelum ia bertanya. 

"Kamu orang suruhan ayahku?" Clara tergelak lemah lalu mengalihkan pandangan pada taman bunga yang bisa terlihat dari tempatnya berdiri. 

"Aku tidak punya urusan dengan orang tuamu. Tapi aku ada sedikit masalah dengan Vincetn. Atau yang biasa kamu panggil Vinn." Martin tersenyum saat menyadari raut wajah Clara berubah. 

"Vinn? Kamu kenal? Apa yang kamu inginkan sebenarnya?" Wanita dengan dress soft peach itu menatapnya lurus. 

Martin berpindah posisi, ikut bersandar pada pagar pembatas tepat di samping Clara. Melihat wanita itu penasaran membuatnya gemas. Ia yakin takkan ada masalah jika sedikit mempermainkan perasaan Clara. 

"Aku dan Vinn cukup dekat. Dia orang yang baik, bukan?" 

Clara tidak menjawab meski setuju dengan pernyataan pria di depannya. Sekarang ia hanya ingin keluar dari sangkar emas ini. 

"Tapi Vinn tak sebaik yang kamu kira, Clara. Dia telah berbohong. Kebohongan yang mungkin tak bisa kamu maafkan ..." Lagi, Martin memberinya senyum aneh. 

"Just say it!" ucap Clara kesal. 

"Dia bukan pria polos dan sederhana seperti yang kamu kira. Vinn adalah pewaris Orion Group. Aku yakin kamu sudah mendengar nama perusahaan raksasa itu dari ayahmu."

"Kenapa aku harus percaya sama kamu?" Kini wanita itu tertawa untuk menutupi risau yang mendadak muncul. 

"Aku tak akan menyalahkanmu jika tak mempercayai ini. Bersiaplah, dalam tiga puluh menit aku harap kamu sudah siap untuk makan siang."

Tanpa menunggu respon Clara, pria dengan cardigan biru tua itu meninggalkan kamar. Ia yakin kini batin Clara mulai terusik. Sejak setahun lalu, ia telah mengamati seluk beluk wanita ini. Putri sulung Keluarga Watson ini tak pernah menyukai pria kaya. Tapi sekarang, ingin mendapatkan hati wanita itu, bagaimanapun caranya. 

***

Bersambung. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status