Jantung Liqa terasa berdebar-debar melihat siapa yang datang.
"Eh, Naren. Boleh kok gabung," sahut Ara. "Aku mengganggu nggak?" tanya Naren. "Enggak." Ara langsung menjawab. Naren tampak ganteng hari ini, eh sebenarnya bukan hari ini saja. Tapi setiap hari ia tampak ganteng. Siapa sih yang nggak kenal Naren di SMAN 2. Sudah ganteng, anak orang kaya, pintar, baik, pokoknya semua sifat positif sudah diborong olehnya. Jangan ditanya bagaimana reaksi cewek-cewek ketika berdekatan dengan Naren. Seperti bertemu dengan artis. Naren pun memesan makanan. Mereka mengobrol dengan santai. Walaupun selama mereka sekolah, tidak pernah bisa ngobrol sesantai ini. Memang Naren dan Ara cukup akrab, jadi Naren juga cukup dekat dengan Liqa. "Aku ke belakang dulu, ya?" pamit Ara. "Jangan lama-lama, Ra," kata Liqa. Ara hanya tersenyum. "Kamu mau kuliah dimana, Liqa?" tanya Naren. "Insyaallah di Palembang, kalau diterima di universitas negeri. Kalau nggak diterima pun aku tetap ke Palembang." "Oh, kalau nggak diterima di negeri, mau kuliah dimana?" tanya Naren. "Nggak kuliah." "Kenapa?" "Kurasa itu pertanyaan yang tidak perlu jawaban," kata Liqa dengan tersenyum. "Sayang lho kalau kamu sampai nggak kuliah. Kamu pintar." "Kalau di swasta, biaya dari mana?" Liqa mengungkapkan kegundahannya. "Terus ngapain ke Palembang kalau nggak kuliah." "Kerja." "Kerja apa? Lulusan SMA mau kerja apa?" "Penjaga toko atau ART." "Ngapain jauh-jauh ke Palembang kalau mau jadi penjaga toko?" "Yang jelas aku akan pergi dari sini." Liqa menghela nafas panjang. "Liqa, boleh nanya nggak?" kata Naren. "Nanya apa?" "Ee… kamu marah sama aku, ya?" tanya Naren. Liqa menggelengkan kepala. "Atau aku melakukan kesalahan padamu?" Lagi-lagi Liqa menggelengkan kepala. "Aku merasa akhir-akhir ini kamu sengaja menjauhiku." "Itu hanya perasaanmu saja. Mungkin karena kita jarang bertemu dan disibukkan dengan urusan masing-masing." "Kalau memang aku melakukan kesalahan, aku minta maaf ya?" kata Naren sambil menatap Liqa, Liqa menjadi salah tingkah. "Naren, aku nggak marah dengan kamu. Mungkin aku hanya agak sensitif saja. Kamu tahu kan bagaimana hidupku. Aku memikirkan semuanya sendirian. Itulah yang membuat aku jadi makan tidak teratur dan akhirnya asam lambung meningkat." Liqa menjelaskan pada Naren. "Wah-wah, ibunya kerja banting tulang jadi TKW, malah anaknya sibuk pacaran. Liqa, kamu itu masih kecil, nggak usah pacaran dulu. Bagaimana kalau Ayah tahu kelakuanmu ini?" kata seseorang mengagetkan mereka berdua. Liqa langsung menoleh, ternyata Rosita dan Melia. Liqa hanya diam saja, ia malas meladeni mereka. "Kalau ditanya itu jawab. Apa kamu mau ditampar lagi sama ayahmu? Kamu tahu, ayahmu itu akan percaya seratus persen apa yang selalu Ibu katakan. Ayahmu itu cinta mati sama ibuku. Makanya kamu harus baik dengan ibuku kalau masih mau dianggap anak oleh Ayah," kata Melia dengan angkuh. Liqa tampak geram, amarahnya sudah ada di ubun-ubun. Kemudian ia langsung beristighfar dan tersenyum. "Memang selama ini aku nggak pernah dianggap anak oleh Ayah. Ngapain aku harus baik sama ibumu? Bukannya ibumu yang cinta mati sama Ayah? Sampai rela menusuk ibuku dari belakang dan mengusir ibuku dari rumahnya sendiri. Ternyata aku baru sadar, kalau Ibu menolong anjing terjepit. Setelah ditolong malah menggigit. Silahkan kalian berdua mau mengadu pada Ayah seperti apa. Aku tidak peduli." Liqa langsung mengambil tasnya, kemudian membayar makanan dan akhirnya pergi. "Liqa! Liqa!" teriak Naren. Liqa langsung mengendarai motornya dan kemudian pulang. Naren langsung mengejar Liqa dengan mengendarai motor juga. Akhirnya Naren bisa menyalip motor Liqa. Mau tidak mau Liqa berhenti. "Kamu tahu kan alasannya, aku mau pergi dari sini. Aku sudah muak melihat mereka, yang selalu muncul tiba-tiba dan selalu mengejekku. Tahu nggak apa yang membuatku semakin sakit hati. Mereka selalu mengatakan kalau ibuku jadi simpanan majikannya. Padahal kalau kamu lihat di channel YouTube Ibu, isinya kegiatan Ibu mengurus orang tua yang sakit." Liqa berkata sambil menangis. Liqa pun melanjutkan berbicara. "Mereka berdua yang datang ke rumah kami, meminta bantuan sama Ibu. Ternyata malah membuat Ibu menderita." "Iya, aku memang tidak tahu apa yang kamu rasakan. Tapi aku mencoba untuk mengerti kamu. Kamu tadi pergi dalam kondisi emosi, kalau terjadi apa-apa dengan kamu, bagaimana? Apa kamu nggak kasihan dengan ibumu, kakek nenekmu, juga Aksa. Nggak usah kamu pikirkan orang yang membuatmu kecewa. Tapi pikirkan orang-orang yang sangat menyayangimu, termasuk Ara, juga aku." Liqa langsung terdiam. Dipandangnya wajah Naren yang tampak cemas dan khawatir. Tapi kemudian ia ingat pertengkarannya dengan Nesya, sahabat karibnya ketika di SMP. "Terimakasih untuk nasehat dan perhatianmu. Aku pulang ya?" kata Liqa. "Aku akan mengiringi dari belakang." "Nggak usah." "Kamu nggak usah ngeyel. Kalau nggak, aku antar kamu pulang." "Jangan mengantarku pulang. Oke, kamu mengikutiku dari belakang." "Tarik nafas panjang dulu, biar kamu lega." Liqa mengikuti perintah Naren, kemudian ia naik motor. Seperti janjinya, Naren pun mengikuti Liqa dari belakang. Liqa dan Naren mengendarai motornya masing-masing. Mereka berjalan beriringan. Pikiran Liqa tidak fokus lagi, ia masih saja mengingat yang terjadi tadi. Rosita dan Melia mempermalukannya di depan Naren, menginjak-injak harga dirinya. Ingin rasanya ia memukul dan melakukan kekerasan pada mereka berdua. Tapi otaknya masih bisa berpikir dengan jernih. Ia masih ingat akan dosa. Tin! Naren membunyikan klakson motornya dan menyalip Liqa. Liqa tersentak kaget mendengar suara klakson.Farida terdiam mendengar kata-kata Liqa, tapi ia masih penasaran dengan keluarga Keenan.Tiba-tiba muncul Keenan, ia mendengar Liqa berkata dengan suara yang agak keras. Ia khawatir jika Liqa sedang marah. Ia pun mendekati Liqa, yang tampak terengah-engah karena berbicara panjang lebar.“Sabar, Sayang,” bisik Keenan. Mata Liqa sudah berkaca-kaca, ia sudah sangat kesal dengan Farida.“Ajak Liqa masuk ke kamar, biar dia tenang,” kata Sari pada Keenan.“Ayo Sayang,” ajak Keenan sambil menggandeng tangan Liqa. Mereka berdua berjalan menuju ke kamar.Sampai di kamar Liqa langsung menangis tersedu-sedu.“Kenapa Tante Farida sangat jahat pada Liqa dan Ibu? Selalu saja menghina dan mengejek kami. Nanti kalau aku buka semua aib suaminya, bisa stroke dia.” Liqa berkata dengan pelan.“Aib suaminya? Om Hendri?”Liqa mengangguk. Dengan perlahan Liqa menceritakan tentang Hendri. Ketika dulu Hendri mendekati Sari. Keenan mendengarkan dengan seksama, walaupun ia sangat terkejut dengan fakta yang ia d
Terdengar suara orang mengucapkan salam, Hendri dan Liqa langsung menoleh ke arah pintu. “Waalaikumsalam,” sahut Liqa, ia tidak terkejut karena ia hafal betul suara itu. Hendri sangat terperanjat melihat siapa yang datang, begitu juga dengan Farhan. Ia tak kalah syoknya melihat Hendri ada disini.“Kok kamu ada disini, memangnya pernah kesini ya, dengan siapa? Farida mana?” Farhan memberondong Hendri dengan beberapa pertanyaan. Farhan baru saja pulang dari menemui Rosita, diantar oleh Aksa.“Aku memang pernah kesini, mengunjungi Liqa. Farida sedang bertemu dengan teman-temannya.” Hendri menjawab pertanyaan Farhan. Ia merasa heran dengan kehadiran Farhan disini, apalagi ini rumahnya Sari. Ia ingin bertanya, tapi takut nanti malah menjadi bumerang bagi dirinya.Farhan merasa kalau ada yang aneh dengan sikap Hendri, ia pun menemani Hendri ngobrol. Kesempatan ini dimanfaatkan Liqa untuk masuk ke dalam.“Kok Hendri kamu tinggal?” tanya Pak Umar.“Ayah sudah pulang, biar ngobrol sama Ayah s
“Apa kabar Rosita,” sapa Farhan ketika mengunjungi Rosita di rumah Citra, sehari setelah Liqa menikah. Rosita dan Yana yang sedang duduk tampak kaget dengan kedatangan Farhan. Farhan datang kesini diantar oleh Aksa.“Mas Farhan.” Dengan terbata-bata Rosita memanggil nama Farhan. Farhan tampak tersenyum, walaupun dalam hatinya ia sangat terkejut melihat kondisi Rosita dan Yana. Farhan duduk di kursi yang ada di kamar itu.“Aku kesini karena Melia bercerita padaku kemarin. O ya, kemarin Liqa sudah menikah. Alhamdulillah, anak yang dulu selalu kamu anggap musuh ternyata malah bisa membanggakan orang tuanya. Aku juga bangga dengan Melia, sejak ia putus komunikasi denganmu, jalan hidupnya menjadi terarah. Lihatlah Melia sekarang, ia menjadi anak yang berbakti dan penurut. Ia menuruti semua kata-kataku, akhirnya ia bisa selesai kuliah dan bekerja.” Farhan berkata dengan bangga.Rosita hanya terdiam.“Liqa menikah? Kapan pestanya? Kenapa Sari tidak mengundangku?” Yana yang mengomentari ucapa
"Kenapa sekarang? Bukankah rencananya hari Minggu?" protes Liqa. Ia tetap berusaha tersenyum, karena semua mata tertuju padanya."Lebih cepat lebih baik, Mbak," celetuk Aksa."Pantas saja, semua kok hadir disini," gumam Liqa. Ia tidak tahu apa yang ia rasakan sekarang. Kaget, shock, terharu atau bahagia, semua menjadi satu. Akhirnya sampai juga di meja yang sudah disediakan. Sudah ada Keenan yang tampak gagah mengenakan jas berwarna gelap. Juga penghulu dan dua orang saksi. Irwan sebagai saksi dari Liqa dan papanya Salsa sebagai saksi dari pihak Keenan.Liqa pun duduk disamping Keenan. Keenan tampak tersenyum bahagia melihat Liqa yang sangat cantik hari ini. Acara pun dimulai, Farhan sempat meneteskan air mata sebelum menikahkan Liqa. Ia sangat terharu melihat Liqa yang sebentar lagi akan istri orang. Anak yang pernah ia abaikan ternyata bisa menjadi seperti sekarang ini.Dengan lancar, Keenan mengucapkan ijab kabul. Setelah saksi berkata sah, semua yang hadir tampak lega. Dilanjutk
“Seperti dulu yang pernah ia lakukan pada Ibu. Dia mencoba untuk merayu Ibu dengan iming-iming materi. Itulah sebabnya kenapa kita dulu beberapa kali pindah kontrakan, karena untuk menghindari Om Hendri.” Sari berkata dengan pelan.Liqa merasa syok mendengar kata-kata yang terucap dari mulut ibunya. Walaupun ia sudah mengira kalau Hendri akan melakukan itu.“Apakah dulu Tante Farida tahu?” “Enggak. Makanya sebelum ia tahu, Ibu berusaha untuk pindah. Sampai akhirnya Ibu memutuskan untuk menjadi TKW. Selain karena Ibu butuh biaya untuk kehidupan kita, alasan lainnya juga untuk menghindari gangguan Om Hendri.”“Kenapa jadi janda selalu dipandang sebelah mata ya?” lanjut Sari dengan mata berkaca-kaca. Hatinya sangat sedih, karena sepanjang hidupnya sering dipenuhi dengan air mata. Liqa memeluk erat ibunya.“Biarlah orang memandang Ibu dengan sebelah mata. Yang penting kita baik di mata Allah. Jangan pedulikan penilaian orang lain. Liqa pernah mengalaminya, Bu. Penghinaan dan ejekan dari
“Maaf, sebenarnya apa maumu?” tanya Sari, ia memberanikan diri untuk menatap Hendri. Hendri sangat senang melihat Sari menatap dirinya, ia pun tersenyum menggoda, membuat Sari merasa jijik dengan Hendri.Sari merasa heran, kenapa Hendri selalu tahu dimana Sari berada? Bukankah jarak kota tempat Hendri tinggal sangat jauh dengan kota dimana Sari berada? Apakah Farida tidak merasa curiga ketika suaminya sering pergi ke kota? Pertanyaan-pertanyaan itu melintas dipikiran Sari.“Seperti yang aku bilang tadi, aku hanya ingin membantu meringankan bebanmu.” “Aku tidak merasa terbebani dengan jualanku ini. Tidak perlu mengasihaniku.”“Jangan angkuh seperti itu. Bagaimanapun juga seorang perempuan itu akan butuh laki-laki sebagai pelindung. Aku siap untuk melindungi mu.”Sari sudah dapat menebak apa yang ada di pikiran Hendri.“Hendri, kamu itu sudah memiliki istri. Lindungilah keluargamu sendiri. Untuk saat ini aku bisa melindungi diriku sendiri.”Hendri tersenyum.“Nggak usah malu-malu, Sari