"Kamu melamun ya? Kamu tadi hampir menabrak orang. Berhenti dulu," teriak Naren.
Liqa menghentikan laju motornya, mematikan mesin dan turun dari motor. Kemudian berdiri di samping motor dan mulai menangis. Naren mendekatinya. "Kamu tahu Naren, terkadang aku sudah mulai menyerah dalam hidupku. Ingin rasanya aku mengakhiri hidup, tapi aku selalu teringat Ibu, Aksa, Kakek dan Nenek. Aku juga masih ingat akan dosa." Naren hanya mendengarkan saja kata-kata Liqa, ia tidak tahu harus berbuat apa. "Naren, terima kasih sudah mau menjadi temanku. Aku akan selalu mengingat kebaikanmu. Semoga kalau nanti kamu sukses, masih ingat sama aku." Liqa berkata sambil tersenyum. "Aku akan selalu menjadi temanmu. Kalau kamu butuh teman untuk berbicara, aku akan selalu ada untukmu." "Terima kasih, Naren. Sekarang aku mau pulang." "Oke, aku akan mengikutimu dari belakang." Liqa mengangguk, akhirnya mereka pulang beriringan. Tanpa mereka sadari, ada seseorang yang mengamati mereka. Sampai juga di rumah Pak Umar, Pak Umar sedang duduk di ruang tamu. Ia melihat Liqa yang pulang bersama dengan Naren walaupun tidak berboncengan. Setelah berbasa-basi, Naren pun pamit pulang pada Liqa. Sampai di kamar, Liqa baru sempat membuka ponselnya, ternyata ada panggilan dan pesan dari Ara. Intinya Ara menanyakan kemana Liqa, karena waktu Ara kembali menemui Liqa, ternyata Liqa dan Naren tidak ada di tempatnya. [Ceritanya panjang, besok saja aku ceritakan.] Liqa menjawab pesan dari Ara. *** Malam hari setelah selesai makan dan membantu neneknya membereskan semuanya, Liqa pun masuk ke kamar. Kamar yang cukup nyaman baginya, kamar tempat ia selalu menumpahkan air mata supaya tidak dilihat oleh Kakek dan neneknya. Liqa mendengar dering ponselnya menandakan ada pesan yang masuk ke ponselnya. [Munafik.] Deg! Jantung Liqa terasa berhenti berdetak ketika membaca pesan itu. Pesan dari Nesya. [Apa maksudmu?] Balas Liqa. Kemudian ada beberapa foto yang dikirim oleh Nesya. Liqa kaget melihat foto itu. Foto ia dan Naren sedang berdua di tempat tongkrongan dan berhenti di pinggir jalan tadi. [Itu nggak seperti yang kamu bayangkan. Aku di tempat tongkrongan bersama dengan Ara, kemudian Naren datang. Kami nggak janjian, tanya saja pada Naren.] [Yang berdua dipinggir jalan itu ngapain? Dasar munafik!] [Terserah kamu mau ngomongin apa tentang aku. Aku menjelaskan pun kamu tidak akan percaya. Silahkan cari penjelasan dari Naren.] [Kamu itu memang pintar mencari perhatian dari Naren. Kamu nggak sepadan dengan Naren. Sadar diri dong.] [Terima kasih sudah mengingatkanku. Aku selalu sadar diri kok.] Tidak ada balasan lagi dari Nesya. Liqa sangat sedih, tapi ia tidak menangis. Rasanya air matanya sudah kering menangis dari tadi siang. [Nesya, kamu salah menilaiku. Kalau kamu memang temanku, pasti tahu semuanya tentangku. Tapi selama ini aku hanya menjadi pendengarmu saja, sedangkan kamu tidak pernah mau mendengarkan keluhanku. Apakah ini yang namanya teman?] Liqa mengirimkan pesan lagi pada Nesya. Liqa merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Pikirannya masih melayang-layang mengingat kejadian hari ini. Hari yang sangat menguras emosi. "Naren, kamu sangat baik padaku. Aku sangat menghargai kebaikanmu selama ini. Semoga kita bisa selalu bersahabat sampai kapanpun." "Nesya, ah Nesya, kenapa kamu sekarang sudah banyak berubah? Dulu kamu begitu baik padaku. Apa karena Naren, kamu berubah seperti ini?" Liqa hanya bisa bermonolog dalam hati. Nesya, teman baiknya waktu SMP. Walaupun di SMA mereka tidak sekelas, tapi hubungan mereka tetap baik. Di SMA Nesya masuk kelas IPA sedangkan Liqa IPS. Tapi hubungan mereka renggang lagi gara-gara Naren. Nesya menyukai Naren dan sering curhat dengan Liqa. Nesya pun sering mencari perhatian pada Naren. Tapi sepertinya Naren tidak menanggapi perhatian Nesya, malah ia dekat dengan Liqa. Akhirnya Nesya marah-marah pada Liqa. Menganggap Liqa itu merebut Naren dengan cara menjelek-jelekkan Nesya. Padahal tidak pernah terbesit sedikitpun di hati Liqa untuk pacaran. Ia masih ingin menggapai cita-cita. "Ibu, aku sangat merindukan Ibu. Aku ingin memeluk Ibu," kata Liqa dalam hati. Ia pun meneteskan air mata dan akhirnya menangis tanpa suara. *** Waktu istirahat tiba, Liqa tidak pergi ke kantin. Ia selalu membawa bekal ke sekolah. Hanya sesekali saja ia ke kantin karena ia malas antri lama di kantin. "Kamu bawa bekal apa, Liqa?" tanya Fira teman satu kelas Liqa. "Tongseng ayam, Mau? Ayo gabung makan disini." "Ikutan, dong," sahut Satrio yang mendekati Liqa dan Fira, ternyata ada Ammar di belakang Satrio. "Ayo," jawab Liqa. Satrio dan Ammar menarik kursi untuk duduk di dekat Fira dan Liqa. Mereka berempat sama-sama membawa bekal, mereka makan bersama dan saling bertukar lauk. "Ih, nggak ngajak-ngajak." Muncul Ara yang datang membawa bekalnya. Ara memang beda kelas dengan Liqa tapi selalu datang ke kelas Liqa ketika istirahat. Ara menarik kursi ke arah mereka berempat. Akhirnya mereka makan bersama. "Boleh gabung?" kata Naren yang datang membawa bungkusan makanan, kemudian meletakkan di meja. "Ayo, Ren, bekalku banyak nih," ajak Satrio. Naren tampak sumringah, kemudian membuka bungkusan plastik yang ia bawa tadi, gorengan tahu dan tempe. Mereka menikmati makanan sambil sesekali bercanda. "Tongsengnya enak," celetuk Fira. "Masakan neneknya Liqa memang enak, aku sering kok makan disana," sahut Ara. "Kamu tuh nyari gratisan, makanya sering makan di rumah Liqa." Naren berkata sambil cengengesan, yang lain tertawa mendengar Naren meledek Ara. "Tahu aja kamu, Ren." Ara menjawab ledekan Naren. Beberapa teman-teman Liqa sudah mulai masuk ke kelas sambil membawa bungkusan makanan. Mungkin mereka malas makan di kantin yang ramai dengan siswa, jadi makan di kelas. "Naren!" panggil seorang perempuan di pintu kelas.Farida terdiam mendengar kata-kata Liqa, tapi ia masih penasaran dengan keluarga Keenan.Tiba-tiba muncul Keenan, ia mendengar Liqa berkata dengan suara yang agak keras. Ia khawatir jika Liqa sedang marah. Ia pun mendekati Liqa, yang tampak terengah-engah karena berbicara panjang lebar.“Sabar, Sayang,” bisik Keenan. Mata Liqa sudah berkaca-kaca, ia sudah sangat kesal dengan Farida.“Ajak Liqa masuk ke kamar, biar dia tenang,” kata Sari pada Keenan.“Ayo Sayang,” ajak Keenan sambil menggandeng tangan Liqa. Mereka berdua berjalan menuju ke kamar.Sampai di kamar Liqa langsung menangis tersedu-sedu.“Kenapa Tante Farida sangat jahat pada Liqa dan Ibu? Selalu saja menghina dan mengejek kami. Nanti kalau aku buka semua aib suaminya, bisa stroke dia.” Liqa berkata dengan pelan.“Aib suaminya? Om Hendri?”Liqa mengangguk. Dengan perlahan Liqa menceritakan tentang Hendri. Ketika dulu Hendri mendekati Sari. Keenan mendengarkan dengan seksama, walaupun ia sangat terkejut dengan fakta yang ia d
Terdengar suara orang mengucapkan salam, Hendri dan Liqa langsung menoleh ke arah pintu. “Waalaikumsalam,” sahut Liqa, ia tidak terkejut karena ia hafal betul suara itu. Hendri sangat terperanjat melihat siapa yang datang, begitu juga dengan Farhan. Ia tak kalah syoknya melihat Hendri ada disini.“Kok kamu ada disini, memangnya pernah kesini ya, dengan siapa? Farida mana?” Farhan memberondong Hendri dengan beberapa pertanyaan. Farhan baru saja pulang dari menemui Rosita, diantar oleh Aksa.“Aku memang pernah kesini, mengunjungi Liqa. Farida sedang bertemu dengan teman-temannya.” Hendri menjawab pertanyaan Farhan. Ia merasa heran dengan kehadiran Farhan disini, apalagi ini rumahnya Sari. Ia ingin bertanya, tapi takut nanti malah menjadi bumerang bagi dirinya.Farhan merasa kalau ada yang aneh dengan sikap Hendri, ia pun menemani Hendri ngobrol. Kesempatan ini dimanfaatkan Liqa untuk masuk ke dalam.“Kok Hendri kamu tinggal?” tanya Pak Umar.“Ayah sudah pulang, biar ngobrol sama Ayah s
“Apa kabar Rosita,” sapa Farhan ketika mengunjungi Rosita di rumah Citra, sehari setelah Liqa menikah. Rosita dan Yana yang sedang duduk tampak kaget dengan kedatangan Farhan. Farhan datang kesini diantar oleh Aksa.“Mas Farhan.” Dengan terbata-bata Rosita memanggil nama Farhan. Farhan tampak tersenyum, walaupun dalam hatinya ia sangat terkejut melihat kondisi Rosita dan Yana. Farhan duduk di kursi yang ada di kamar itu.“Aku kesini karena Melia bercerita padaku kemarin. O ya, kemarin Liqa sudah menikah. Alhamdulillah, anak yang dulu selalu kamu anggap musuh ternyata malah bisa membanggakan orang tuanya. Aku juga bangga dengan Melia, sejak ia putus komunikasi denganmu, jalan hidupnya menjadi terarah. Lihatlah Melia sekarang, ia menjadi anak yang berbakti dan penurut. Ia menuruti semua kata-kataku, akhirnya ia bisa selesai kuliah dan bekerja.” Farhan berkata dengan bangga.Rosita hanya terdiam.“Liqa menikah? Kapan pestanya? Kenapa Sari tidak mengundangku?” Yana yang mengomentari ucapa
"Kenapa sekarang? Bukankah rencananya hari Minggu?" protes Liqa. Ia tetap berusaha tersenyum, karena semua mata tertuju padanya."Lebih cepat lebih baik, Mbak," celetuk Aksa."Pantas saja, semua kok hadir disini," gumam Liqa. Ia tidak tahu apa yang ia rasakan sekarang. Kaget, shock, terharu atau bahagia, semua menjadi satu. Akhirnya sampai juga di meja yang sudah disediakan. Sudah ada Keenan yang tampak gagah mengenakan jas berwarna gelap. Juga penghulu dan dua orang saksi. Irwan sebagai saksi dari Liqa dan papanya Salsa sebagai saksi dari pihak Keenan.Liqa pun duduk disamping Keenan. Keenan tampak tersenyum bahagia melihat Liqa yang sangat cantik hari ini. Acara pun dimulai, Farhan sempat meneteskan air mata sebelum menikahkan Liqa. Ia sangat terharu melihat Liqa yang sebentar lagi akan istri orang. Anak yang pernah ia abaikan ternyata bisa menjadi seperti sekarang ini.Dengan lancar, Keenan mengucapkan ijab kabul. Setelah saksi berkata sah, semua yang hadir tampak lega. Dilanjutk
“Seperti dulu yang pernah ia lakukan pada Ibu. Dia mencoba untuk merayu Ibu dengan iming-iming materi. Itulah sebabnya kenapa kita dulu beberapa kali pindah kontrakan, karena untuk menghindari Om Hendri.” Sari berkata dengan pelan.Liqa merasa syok mendengar kata-kata yang terucap dari mulut ibunya. Walaupun ia sudah mengira kalau Hendri akan melakukan itu.“Apakah dulu Tante Farida tahu?” “Enggak. Makanya sebelum ia tahu, Ibu berusaha untuk pindah. Sampai akhirnya Ibu memutuskan untuk menjadi TKW. Selain karena Ibu butuh biaya untuk kehidupan kita, alasan lainnya juga untuk menghindari gangguan Om Hendri.”“Kenapa jadi janda selalu dipandang sebelah mata ya?” lanjut Sari dengan mata berkaca-kaca. Hatinya sangat sedih, karena sepanjang hidupnya sering dipenuhi dengan air mata. Liqa memeluk erat ibunya.“Biarlah orang memandang Ibu dengan sebelah mata. Yang penting kita baik di mata Allah. Jangan pedulikan penilaian orang lain. Liqa pernah mengalaminya, Bu. Penghinaan dan ejekan dari
“Maaf, sebenarnya apa maumu?” tanya Sari, ia memberanikan diri untuk menatap Hendri. Hendri sangat senang melihat Sari menatap dirinya, ia pun tersenyum menggoda, membuat Sari merasa jijik dengan Hendri.Sari merasa heran, kenapa Hendri selalu tahu dimana Sari berada? Bukankah jarak kota tempat Hendri tinggal sangat jauh dengan kota dimana Sari berada? Apakah Farida tidak merasa curiga ketika suaminya sering pergi ke kota? Pertanyaan-pertanyaan itu melintas dipikiran Sari.“Seperti yang aku bilang tadi, aku hanya ingin membantu meringankan bebanmu.” “Aku tidak merasa terbebani dengan jualanku ini. Tidak perlu mengasihaniku.”“Jangan angkuh seperti itu. Bagaimanapun juga seorang perempuan itu akan butuh laki-laki sebagai pelindung. Aku siap untuk melindungi mu.”Sari sudah dapat menebak apa yang ada di pikiran Hendri.“Hendri, kamu itu sudah memiliki istri. Lindungilah keluargamu sendiri. Untuk saat ini aku bisa melindungi diriku sendiri.”Hendri tersenyum.“Nggak usah malu-malu, Sari