"Mulut kamu semakin gak bisa di toleransi, sekarang mending kamu pulang, cepat!" bentak Mas Juna kepada Nora yang memandang pilu pada kakaknya. Ia seakan tak percaya kakaknya bisa melakukan hal sekasar itu kepadanya.
"Kak, kenapa kakak berubah sekasar ini?" Nora menatap Nanar kepada Mas Juna. "Kamu sendiri yang mau di kasarin. Leha itu benar, jangan membabu di rumah ini, kamu di izinkan nginap saja sudah sukur! Nora."Nora menatap nanar kepada Kakaknya, lalu beralih sinis menatapku, aku menyunggingkan senyum remeh kepadanya."Yasudah, urus keluarga kamu! Mas. Aku mau ke toko!" ujarku sambil berjalan melewati Ibu. Namun dengan kasar Ibu mencengkeram lenganku."Mau ke toko mana? Siapkan sarapan untuk kami, jangan jadi Istri tidak berguna kamu!" hardik Ibu sambil mendorongku dengan kasar. Hampir saja aku kehilangan keseimbangan, jika Mas Juna lambat menangkap tubuhku yang terhuyung-huyung. Padahal aku lagi menggendong bayi BaSeketika Nora terperanjat, ia bersimpuh di bawah kaki kakaknya itu, mengiba agar tidak di tagih hutang."Nora belum ada uangnya, Kak. Maaf, Nora gak bakal ulangi kesalahan ini lagi.""Pergi, kemasi barang-barang kamu! Kakak gak mau pelihara maling di sini," ujar Mas Juna dengan marahnya."Juna, jangan begitu sama Adik kamu!" bentak Ibu yang tak suka anak perempuannya di perlakukan kasar oleh Mas Juna."Maafkan, Juna, Bu. Jika Ibu keberatan, ibu boleh pergi bersama Nora.""Kamu ngusir ibu? Jun.""Jika itu yang terbaik, Juna mencintai kalian, juga mencintai keluarga Juna. Tapi jika kalian tidak mencintai keluarga Juna, dengan berat hati, ikutlah Ibu bersama Nora.""Kak, Nora kan bukan orang kaya, mana mungkin nampung Ibu juga, yang ada nambahin beban," ucap Nora."Lihat anak kesayangan Ibu! Dia terang-terangan menolak dan menganggap Ibu beban," ujarku mengompori mereka."Diam kamu!" bent
pov Ibu°'Kurang ajar banget si Leha ini, dia begitu pandai memutar balikkan fakta, bahkan pandai pula mengadu domba. Mantu durhaka emang, kini Juna lebih membela dia dibanding aku Ibu kandungnya, bahkan ia sampai tega mengusir Nora, anak perempuan kesayanganku dari rumah mereka.' batinku semakin terluka, kala mengingat tangisan anak kesayanganku, yang harus pulang ke rumahnya.Anakku pernah bilang, kalau suaminya itu sangatlah pelit dan selalu keluar kota. Kesempatan itu kadang digunakan anakku untuk berselingkuh, demi mendapatkan uang untuk ia dan anak-anaknya makan. Kadang juga, Juna anakku yang memberi adiknya itu sejumlah uang yang lumayan besar.Aku kini tak boleh bertengkar dengan Leha, meskipun rasanya menatapnya saja aku meradang, namun apalah daya. Dari pada aku diusir Juna ke rumah Nora, jelas aku pun tak mau hidup susah disana, sudah cukup kulewati masa- masa susah itu.Aku berniat keluar pagi jalan-jalan, jenuh di rumah te
Semenjak kejadian penyiraman air ikan bau busuk itu, Ibu mertua tidak berani unjuk gigi keluar rumah, ia bahkan seperti anak remaja yang patah hati. Jarang mandi dan tidak mau makan, parahnya lagi, nangis melulu.Mas Juna dan aku semakin kebingungan menghadapi tingkah Ibu mertua yang kini puber ke dua."Dek, Mas sekarang di terima kerja, di gudang karet. Gajinya memang nggak seberapa, tapi dari pada nggak kerja, kan lebih baik Mas terima saja tawaran itu.""Gak apa-apa, Mas. Yang penting mas mau kerja saja, aku udah senang!" ujarku sambil mengulas senyum tipis."Terimakasih, Sayang! Tapi gajinya cuma dua juta saja, itu pun rencananya bakal Mas bagi ke Ibu lagi. Apakah kamu keberatan?" tanyanya kepadaku."Tentu tidak, tapi Mas juga jangan lupa untuk membayar hutang itu.""Yaudah, nanti Adek jual aja mobil, Mas. Sisanya buat Mas beli motor!"'Aku mengernyitkan dahi, apa sebenarnya yang kini Suamiku mau, ia se
"Juna, Ibu mau Pernikahan ala-ala princess di negeri dongeng!" ucapnya sambil tersenyum malu-malu.Mas Juna melongo, ia menatapku dan Nora yang seakan tak kalah syock nya dengan permintaan wanita yang bergelar Ibu itu."Bu, jangan malu-maluin, sudah tua juga!" protes Nora yang tidak terima dengan permintaan Ibunya itu."Eh, jangan begitu sama Ibu sendiri. Biar bagaimanapun, membahagiakan orang tua itu wajib bagi anak-anaknya!" sahut Mang Udin yang tidak terima calon istrinya itu di protes."Terimakasih, Sayang! Kamu benar-benar lelaki idamanku," tukas Ibu dengan tersipu malu.Aku semakin menggeleng-geleng melihat tingkah mereka berdua yang lupa usia.Tak ingin banyak berdebat, akhirnya aku dan Mas Juna menyetujui permintaan Ibu Mertua yang nyeleh itu. Kami pun mulai mempersiapkan acara pernikahan Ibu dan Mang Udin.Semua telah siap, tinggal menunggu penghulu datang! Jika biasanya para calon pengantin menggu
"Biarin aja deh Kokom di sini, Leha. Ibu gak mau di pisahkan sama Bapak kamu!" ucap Ibu mengiba.Enggak, kenapa kalian nggak tinggal terpisah dari kami sih, Bu. Ngapain coba Ibu nikah sama dia, kalau nggak mampu nafkahin Ibu." Aku berkata sambil menatap sinis pada Mang Udin yang memasang wajah menantang."Eh Leha, kamu jangan atur-atur orang tua begitu, nggak baik jadi Mantu. Biar bagaimanapun juga, Ibu ini berhak tinggal di mana saja! Jadi anak kok begitu banget," celetuk Ibu yang tidak terima dengan ucapanku."Ya, tapi sadar nggak sih, Ibu itu bawa benalu dalam rumah kami," sahutku dengan kesal."Lihat! Kok mantu kamu nggak punya etika begitu," ujar Mang Udin."Buat apa saya punya etika dengan para benalu. Saya nggak akan terima Kokom di rumah ini, sadar diri dong! Ini rumah tangga, bukan rumah duka. Ini rumah saya, bukan rumah para lansia," cecarku dengan kesal.Meraka semua memandang marah kepadaku. Namun aku teta
Namun, aku tunggui mereka berdua, hingga selesai makan."Leha, Terimakasih, Nak." Mang Udin berucap sambil tersenyum."Selesai makan, mang Udin dan Kokom silahkan tunggu di taman depan saja," ujarku dengan datar."Kok gitu?" tanya Mang Udin, seolah ia keberatan."Cepat saja makannya, saya juga mau istirahat." Aku berucap dingin, tanpa menyahut pertanyaannya.Mang Udin dan Kokom saling pandang, lalu kembali mempercepat makannya.Sedangkan Ibu mertua tidak tahu menahu, bahwa mang Udin dan Kokom ada di dalam rumah. Ibu asik dengan derai tangisnya di dalam kamar.Setelah mengantar mereka kembali ke luar rumah, aku berniat masuk ke kamarku kembali.Baru berbalik badan mau menuju tangga, sudah terdengar tangisan Ibu mertua di ruang keluarga, ia tengah mengadu pada Putri kesayangannya itu.Namun aku acuhkan saja, aku berjalan cepat menaikki anak tangga, namun Ibu Mertua kembali menangis kencang untuk menarik p
"Bu, jika memang Ibu bersalah, mengakulah dan minta maaf kepada Leha dengan tulus." Mas Juna berucap sambil menggendong Baim."Nggak! Orang Ibu gak punya salah, Leha, kamu jangan adu domba Ibu dan anak dong!" bentak Ibu yang masih kekeuh mempertahankan egonya."Baiklah, kita tunggu Polisi saja, biar semua segera terbukti. Aku juga capek kalau harus terus mengalah, rumah tangga terus di recoki keluarga kamu! Mas.""Apa maksud kamu? Siapa yang recoki Keluarga kamu? Hah. Mantu kurang ajar memang, gak ada hormat-hormatnya sama orang tua!" bentak Ibu, ia menatap nyalang kepadaku."Leha, kita bisa bicarakan ini baik-baik, jangan dengan emosi," ucap Mas Juna."Yang emosian itu siapa? Kamu gak lagi hilang akal? Sehingga nggak bisa bedain yang mana yang salah dan emosi.""Juna, kamu tuh laki-laki apa bukan sih? Dari tadi di bentak Leha diam saja, lembek kamu Jun!" ucap Ibu tak kalah galaknya."Bu, Juna nggak bisa ba
Sebulan sudah, aku masih saja berjalan menggunakan kursi roda ini, rasanya sakit tersiksa sekali.Aku meminta Enot membawaku jalan-jalan pagi hari di taman depan rumah, bersama Bayi Baim di gendonganku.Tak lama kemudian, datang sosok Mang Udin, yang tak lain adalah suami Ibu mertua.Melihat ia berjalan membuka pagar saja hatiku sudah berpirasat kurang baik.Ia melihatku yang tengah duduk di taman, lalu tersenyum dengan langkah cepat ia mendatangiku."Hallo menantu!" sapanya dengan tampang tak tahu malu, ia langsung duduk begitu saja di kursi taman, tepat di sampingku."Ada apa kemari?" tanyaku tanpa basa-basi."Anu--- mau minta uang! Ibu kamu sakit," ucapnya sambil cengengesan.Aku mendesah berat, benar saja pikiranku, nggak bakal jauh-jauh dari dugaan. "Uang melulu, gunanya Kamu itu apa? Mang Udin. Ibu itu Istri kamu, harusnya kamu yang nafkahin, bukan saya!" bentakku.Mang Udin nampak ter