"Ros .... Rosa ...." Mamah memanggil-manggil namaku.
Sedari tadi, aku hanya uring-uringan menonton tivi. Sudah hampir sebulan aku tidak kembali ngantor, rasanya bayangan suamiku selalu melayang-layang. Hal itu membuatku tidak bisa sepenuhnya fokus untuk memimpin perusahaan milik Papah.Di tambah keadaanku, yang tengah berbadan dua.Kuusap pelan perut rataku, bulir bening kembali menyeruak, hingga mengundang sakit dan sesak didada."Harusnya kehadiran kamu menjadi pelengkap kebahagiaan Mamah dan Papah, namun Mamah bisa apa? Allah lebih sayang Papah kamu, Nak." Setiap hari selalu saja kuajak bicara, janin di kandunganku, yang baru berusia dua bulanan ini.Aku menoleh ke arah Mamah yang berteriak memanggil namaku."Aku disini, Mah!" sahutku, tanpa beranjak dari dudukku.Mamah mengulas senyum, ia memilih duduk di sampingku. "Rosa, kamu penasaran kan? Tentang motif Ibu mertua kamu, melakukan kejahatannya?"t"Rosa, sudah berapa bulan kandunganmu? Nak." Ustadzah Maya bertanya kepadaku, wajah nya mengulas senyum, kemudian mengambil posisi duduk di sampingku.Untung saja, jarak dudukku dan Suneng masih berjarak lumayan, hingga Ustadzah Maya bisa duduk tepat di sampingku."Sudah mau enam bulan, Ustadzah!" sahutku."Oh, semoga lancar sampai hariHnya ya sayang!" ucap Beliau."Aamiin, terimakasih, Ustadzah." Aku berkata dengan mengulas senyum kepadanya.Seorang wanita muda, cantik yang kuperkirakan berumur sebelah tahun itu berjalan dengan tersenyum simpul menuju ke arah kami."Assalamualaikum, Ummi, di panggil Abi ke kamar!" ucapnya."Walaikumsalam," ucap kami serentak! Dengan melempar pandangan ke arahnya. "Iya, kamu duluan saja, nak! Nanti Ummi nyusul," lanjut Ustadzah.Anak perempuan itu pun mengangguk, ia kembali masuk ke dalam, untuk menyampaikan pesan kepada Abinya.
Pagi yang syahdu, di temani rintik hujan yang mengalun-alun, membuat mata ini enggan untuk terbuka."Rosa .... Bangun! Ayo sarapan!" teriakkan Mamah selalu menggema setiap pagi. Semenjak hamil, aku selalu tidur setelah menunaikan ibadah salat subuh.Dan, Mamah lah yang akan kerepotan setiap pagi membangunkanku.Aku seperti anak kecil yang merepotkan ucap Mamah setiap kali membangunkanku yang begitu sulit.Namun aku selalu berkilah, bahwa ini bawaan dari cucunya yang sedang aku kandung.Disaat sarapan pagi, aku mengutarakan niatku untuk membuka bisnis baru di bidang kuliner."Kamu yakin? Kamu kan nggak ada basic ke arah sana, nak!" seru Mamah dengan mengernyitkan dahi."Kan itu masih termasuk bisnis, Mah."Mamah menghela napas panjang. "Biarin sajalah, Mah. Yang penting Rosa sungguh-sungguh!" sahut Papah."Pah, kan Rosa lagi mengandung begitu, apa nggak sebaiknya nunggu melahirkan dulu?" tany
Degup jantung kian cepat, kala perawat masuk ke dalam ruang UGD dengan pakaian yang berbeda.Mereka membawaku ke ranjang yang memiliki roda, aku di bawa keluar ruang UGD yang di sambut Mamah di depan ruangan dengan wajah panik berurai air mata.Laki-laki yang masih belum kutahu namanya itu pun masih berdiri di samping Mamah."Ros, kamu yang kuat dan semangat sayang! Jangan panik ya nak, berdoa terus, agar di permudah persalinannya."Aku tersenyum seraya mengangguk! Dan memusut pelan tangan Ibu yang memegang tanganku memberi semangat.Aku di bawa masuk ke dalam ruang operasi. Melewati serangkaian persiapan untuk operasi._______________"Selamat ya Ibu Rosa, bayi nya perempuan! Cantik," ucap Bu Dokter Trisa, yang membantu operasiku melahirkan bayi sebelum waktunya."Dok, mana bayi saya?" tanyaku."Bayinya masih di Ruang NICU, bayi ibu lahir prematur, harus mendapat pengawasan ketat dulu.""Ya
"Bagaimana keadaan bayi saya? Dok." Aku bertanya dengan khawatir, kondisi bayi mungilku itu, yang harus lahir sebelum waktunya.Dokter menghela napas berat, tatapan sendu ia layangkan kepadaku, pikiranku langsung menangkap aroma kekecewaan."Kami beserta team medis lainnya, sudah berusaha sebaik mungkin, namun Allah SWT lebih sayang dengan anak Ibu. Maafkan kami." Ucapan Dokter perempuan itu sukses membuat hatiku luluh lantak, hancur berkeping-keping.Tubuhku bergetar hebat, jantungku berpacu kuat menahan rasa sakit di hati yang luar biasa."Mah ...." Ucapanku tercekat, tenggorokanku mendadak sakit, dadaku sesak bagaikan terhimpit batu besar.Mamah pun tak sanggup berkata-kata, isak tangisnya membuai bagaikan alunan musik yang mengundang air mata.Mataku berkaca menatap Mamah, kupaksakan mulut yang membeku ini untuk berkata. "Maa--aah .... Apa salah Rosa? Mengapa Rosa harus kehilangan lagi? ...."Dengan terbata-b
"Dari mana saja kamu? Pah. Bahkan cucumu sudah di kebumikan, kamu baru datang!" Mamah berteriak dan memukuli dada bidang Papah, Papah diam membisu, namun air matanya meluruh.Aku hanya mampu memandang wajahnya sesaat, lalu kembali menatap tanah basah bertabur bunga di depanku.Papah memeluk erat Mamah. "Maafkan Papah," hanya kata-kata itu yang ia ucapkan.Aku diam membisu. Dengan langkah gontai, Airin memegang erat lenganku, menuntunku menuju mobil.Kami semua kembali menuju pulang ke rumah, pandanganku kembali kosong, pikiranku di penuhi dengan dendam dan dorongan untuk membalas.Setibanya kami di rumah, aku merebahkan diri di ruang keluarga bersama Airin, Mamah dan juga Papah."Pah, tolong jelaskan! Papah dari mana saja? Kenapa penampilan Papah lusuh begini?" tanya Mamah.Papah menghela napas berat. "Papah dan anak buah menyelidiki Ibu mertua Rosa! Sepertinya ada permainan di keluarga mereka. Papah curiga
"Papah .... boleh bicara berdua?" tanyaku. Mamah menatap heran kepadaku, begitu juga dengan Airin.Papah mengangguk, ia pun berjalan menuju ruang kerjanya, aku mengekor Papah. Ruang kerja Papah sudah dibuat kedap suara, jadi, apapun yang kami bicarakan, tidak akan terdengar dari luar.Papah duduk di sofa, aku pun duduk bersebrangan dengan Papah.Aku menghela napas pelan, mengatur napas."Pah, apa yang Papah lakukan?" tanyaku, menyelidik.Papah mengerutkan keningnya. "Ada apa?" tanya Papah."Pah, serius! Mana mungkin Papah bisa berlaku seperti ini. Rosa yakin betul, Papah dalang di balik kematian tragis keluarga Gunawan."Papah tertawa sumbang. "Kamu tunggu saja! Mereka semua akan lenyap! Mereka tidak tahu berhadapan dengan siapa," ucap Papah.Aku syok mendengar penuturannya, beginikah aslinya Papah. Aku tercengang, melihat api dendam di manik matanya."Rosa, kamu harus tau! Bagi Papah,
Hari ini aku menjemput Brian di Bandara, anak Tante Nora."Kak Rosa!" teriak Brian, seraya melambaikan tangannya. Aku yang tadinya celingukan mencari-cari wajah Brian dari banyaknya orang yang datang pun tersenyum ke arahnya."Ayo, Kakak nggak bisa lama-lama nih, masih banyak kerjaan menumpuk di kantor.""Iya, ayo."Mobil melaju ke arah rumah, Tante Nora menyambut kedatangan anaknya dengan senyum mengembang."Aduh, pangeran Mamah sudah besar." Tante Nora memeluk Brian penuh kerinduan. Berpisah dengan anak semata wayang tidaklah mudah, apalagi ia tinggal seorang diri saat itu.Tante Nora tipikal orang yang enggan menyusahkan keluarganya, itu sebabnya kami tidak tahu apa-apa tentang kehidupannya."Te, bagaimana kondisi Mamah? Apa ada perubahan?" tanyaku."Lumayan, Ros. Hari ini dia sudah mau makan siang bersama Tante, di ruang makan. Kamu nggak makan dulu? Ros.""Sukurlah, ak
"Em, sebelumnya, saya mau bertanya dulu! Apakah, Nak Rosa. Sudah punya calon?" tanya Bu Ustadzah Maya dengan wajah tersenyum simpul.Entah perasaan apa ini? Rasanya sedikit berdebar."Belum, Ustadzah! Ada apa ya? Bu.""Alhamdulillah jika belum, anak Ibu, mau ngajak kamu ta'aruf. Apakah kamu bersedia?"Hatiku kian berdebar, merasa beruntung tentu saja! Sebab, lelaki yang di depanku ini. Selain ganteng, ia juga pandai dalam ilmu agama.Bahkan kenaikan hatinya, serta kepiawaiannya dalam bertausiah sudah tidak di ragukan lagi.Namun perasaanku justru dalam di lema, beberapa hari ini pikiranku di kuasai orang lain, yang tengah dekat denganku. Julian."Rosa, di jawab pertanyaan Ustadzah Maya, nak." Perkataan Mamah mengejutkanku dari lamunan."Emm .... Maaf ustadzah Maya, tanpa mengurangi rasa hormat. Bolehkah saya meminta waktu satu Minggu untuk berpikir?" tanyaku.Biar bagaimana