"Ros, kamu nggak apa-apa?" tanya Airin dengan mimik wajah cemas. "Jangan di masukin ke hati omongan gila wanita nggak beres itu!" lanjutnya menatapku penuh iba, itu semakin membuat hatiku terasa hancur berkeping-keping.
Siapa sih di dunia ini yang tidak ingin mendapatkan keturunan, sama halnya denganku, aku pun ingin memiliki keturunan.Kuhela napas panjang, untuk menetralkan rasa sesak di dalam dada, yang sangat membuatku merasa sulit untuk bicara. "Aku nggak apa-apa! Kamu tidak perlu khawatir. Yang di katakan Ratih itu memang benar, aku wanita yang tidak sempurna, bahkan Tuhan saja saat ini belum percaya kepadaku.""Hus, istighfar Ros. Kamu nggak boleh berprasangka buruk kepada Allah SWT. Berdoa dan berusaha, meski belum di kabulkan. Allah maha tahu, yang mana yang terbaik untuk hambanya."Astaghfirullahaladziim, aku mengucap dalam hati berkali-kali. Memohon maaf kepada Allah, sebab telah berprasangka tidak baik. Aku ber"Muka kamu kenapa?" tanya Tante Desi, ketika melihatku berjalan menuju dapur. Sedangkan Tante Desi tengah bersantai di ruang keluarga, dengan segelas jus mangga dan dua toples cemilan yang berada di depannya.Satunya lagi, ada dalam asuhannya, sambil menonton, sambil ngemil. Enak sekali hidupnya, nggak ada sungkan-sungkannya, berlagak rumahku ini seperti rumahnya sendiri."Nggak apa-apa," sahutku dengan terus berjalan ke dapur. Kubuka kulkas, khusus cemilan, serta susu segar dan beberapa minuman lainnya yang sudah pada habis. Aku tercengang, padahal baru kemarin aku nyetok beberapa makanan di dalamnya. Namun, hari ini sudah mulai berkurang banyak, luar biasa."Ros, bikinkan jus buat Alena, jus mangga ya!" titah Tante Desi kepadaku."Emang Alena nggak punya tangan untuk bikin sendiri?" tanyaku, sebab bi Onah lagi izin keluar, untuk mengirim uang buat keluarganya."Rosa, kamu tuh kalau di suruh orang tua jangan membantah dong!" ucapnya
"Ros, sudah ya! Jangan terlalu di masukkan ke hati." Mas Gunawan berkata seraya menggenggam tanganku."Berat, tiap hari selalu di recokkin itu pening, mas.""Kak, maafin Mamah ya!" ucap Alena, aku hanya terdiam. Ia pun beranjak dari duduknya, lalu menyusul Ibunya masuk ke dalam kamar."Mas, kenapa tiba-tiba meminta Tante Desi minta maaf? Bukankah mas selalu memintaku untuk mengerti dia!" ucapku dengan heran."Tadi mas dengar Tante berbincang dengan seseorang, melalui sambungan telepon. Katanya, ia memang sengaja nyari masalah! Agar kamu dan aku selalu ribut, sontak saja aku kesal mendengar penuturannya."Aku menghela napas panjang. "Berarti Tante memang sengaja? Terus, Mas biarkan Tante masih di sini? Sedangkan ia jelas memiliki misi di rumah kita, untuk merusak.""Itulah yang sedang Mas pertimbangkan. Biar bagaimanapun juga, mas sudah meminta Tante Desi nyari kontrakan, namun Tante tidak mau!
"Mas, sekarang kamu pilih aku? Atau keluarga kamu ini?" tanyaku dengan dada bergemuruh. Napas naik turun, seakan emosi berpacu kuat. Hingga rasanya tubuhku gemetar menahan diri, daru segala rasa marah yang ingin meledak."Ros, bukan ini cara penyelesaian masalahnya!" sahut Mas Gunawan dengan pelan."Lalu? Kamu haruskan aku mengalah lagi? Bahkan saat barang belanjaanku di rampas begitu saja?" tanyaku dengan tatapan tak percaya kepada suamiku, yang seakan tidak berdaya menghadapi tante Desi."Tante nggak merampas, Gun. Semua karena tante perhatian ke Rosa, semua yang kalian beli ini nggak cocok buat Rosa.""Tante, itu sama saja merampas! Tante nggak berhak mengatur-atur kami." Suamiku berkata tegas kepada Tante Desi, yang berusaha membela diri."Gun, kamu kok lebih belain wanita ini sih? Tante bakal bilangin semua ke Ibu kamu," ancamnya.Suamiku menghela napas panjang. Aku masih terdiam mendengarkan perdebatan mer
Alena masuk ke dalam kamar, lima menit berlalu, ia kembali keluar kamar dengan membawa kopernya, serta sepucuk surat yang ternyata Tante Desi tinggal di atas nakas."Ini surat dari Ibu, ternyata kalian mengusir Ibuku, dasar jahat! Pantes saja kak Rosa mandul." Alena berteriak dengan marah, seraya melemparkan kertas yang sudah ia remas menjadi bola. Lalu dengan kasarnya ia lemparkan tepat ke wajahku, diiringi dengan hinaan yang begitu menusuk hati.Spontan saja aku terkejut mendapatkan perlakuan dari anak remaja sepertinya sekasar itu.Dengan perasaan berang kutatap marah wajah Alena. "Perempuan mandul, jahat pula!" ulangnya, kembali melontarkan hinaan kepadaku. Aku pun berdiri dengan cepat mendekat ke arahnya. Hingga lima jari ini tepat mendarat di pipinya."Begini cara kamu di didik? Kasar dan tidak sopan pada orang yang sudah mau menampung kamu di rumah ini," bentakku menatap tajam wajah gadis nakal itu."Kuadukan kamu ke ibuk
Kuhirup udara segar di pagi hari setelah sarapan. Aku duduk di gazebo taman depan rumah, udara sejuk membelai-belai tubuh yang memanas mengingat kejadian penyiraman air keras yang menyebabkan rusaknya sebelah pipi mulusku.Kuraba pipi yang rusak dengan membayangkan pelakunya yang ingin sekali kucabik-cabik."Sayang! Mas mau berangkat ngantor dulu! Kamu baik-baik di rumah ya!" ucap mas Gunawan, seraya mencium keningku. Aku pun tersenyum menatapnya, dan mencium takzim tangan kekarnya."Kamu juga hati-hati di jalan ya sayang! Doaku selalu menyertaimu.""Terimakasih, sayang." Mas Gunawan berkata seraya mengulas senyum dan memusut mesra kepalaku. Aku mengangguk, seraya mengantarnya hingga masuk mobil. Mas Gunawan berangkat dengan mobilnya meninggalkan rumah.Aku kembali bersantai sambil menikmati kehangatan sang mentari. Hingga kedatangan motor hitam memasuki pekarangan rumahku, yang kebetulan pagarnya belum di tutup Satpam.Nam
"Ros, kita harus main sabar kalau begini, sambil kugali langsung ke target yang kamu curigai, sebab kalau pelaku yang di gali itu pasti di lindungi.""Coba saja dulu, aku lebih curiga ke Ibu Mertua, gelagatnya saat meninggalkan rumah sudah mulai mencurigakan.""Kamu yakin curiga ke arah sana.""Yakin, firasatku jarang meleset.""Baiklah, aku akan lebih teliti lagi untuk hal ini, melihat dari kejadian ini, kurasa semua sudah pasti di perhitungkan dengan matang.""Aku coba percaya kamu, kuharap semua ini secepatnya terkuak, sebelum kasus ini mereka tutup.""Baik, Ros."Mobil kulajukan menuju di sebuah cafe, kami berdua berniat untuk makan siang dan menikmati segelas kopi nikmat.Sambil makan siang, kami pun sambil berbincang."Ros, apa yang membuat kamu begitu yakin, kalau semua ini ulah mertua kamu.""Nggak ada, itu murni firasat saja."Fahri hanya menanggapi denga
'Siapapun di luar tolong kami, aku mohon tolong ...' aku terus berharap seraya mengesot membawa tubuhku yang terikat tali. Terlebih mulut ini yang masih tertutup lakban, membuatku sekedar berteriak pun tidak bisa.Sedangkan suamiku sudah tidak sadarkan diri, dengan tubuh bersimbah darah.Aku terus berusaha menuju pintu depan dengan tertatih. Hingga sampai di muara pintu, sekuat tenaga aku mencoba menyeimbangi tubuh, agar bisa berdiri tegak.Namun kekecewaan kembali menyeruak, kala pintu depan ternyata terkunci. Padahal aku sekuat tenaga untuk berdiri, ya Allah bagaimana nasib suamiku kalau terus begini."Ros .... Rosa ...." Terdengar suara Mamah dari luar, seraya memencet bel rumah berkali-kali. Aku pun merasa mendapat setitik harapan, lalu dengan merebahkan tubuh kembali. Kutendang-tendang pintu depan, memberi kode ke Mamah, bahwa ada yang tidak beres di dalam rumahku.Suara Mamah sudah tidak terdengar lagi, aku pun beringsut menjauh denga
Aku benar-benar tak kuasa mendengar rentetan-rentetan kata-kata yang mas Gunawan ucapkan kepada kami semua. Tungkaiku melemah, rasanya badan ini seakan hilang keseimbangan. Hingga teriakkan Ibu mertua membuatku terkejut.Aku yang sedari tadi berbalik badan menyembunyikan tangis tergugu dari tatapan Mas Gunawan, seketika langsung membeku menatap teriakan histeris Ibu mertua.Tubuh suamiku memucat dan tak bergerak lagi, bahkan mata kecoklatan miliknya yang biasanya menatap nakal kepadaku kini sudah tidak terbuka lagi. Kutatap lamat-lamat wajah yang kini seolah tidur dengan kedamaian itu membuatku semakin merasakan sakit luar biasa.Aku berjalan pelan, seakan tubuh ini hilang pijakan, melihat semua orang menangis menyebut nama suamiku."Mas .... bangun" lirihku pelan di dekat Ibu mertua yang masih terisak. "Katanya kamu pengen punya anak yang banyak denganku, sebentar lagi kita akan jadi orang tua sayang! Aku rela, melahirkan sepuluh anak untuk kam