Saat aku sedang merapikan nakas di samping ranjang. Kedua netraku tertuju pada botol obat penyubur yang biasanya aku konsumsi.
Tiba-tiba teringat, kalau obat itu hanya sisa dua butir. Akhirnya kuputuskan mengambil sendiri obat yang ada di dalam tas suamiku, seperti yang dikatakannya kemarin malam.
Kalau tak kuambil sekarang, takutnya kelupaan. Toh Mas Rohim esok pagi akan kembali ke kota.
Kuambil tas milik suamiku, kubuka resleting utama. Aku tak menemukan apapun.
Lalu kucari di setiap saku tas, tak kunjung menemukannya juga. Tapi aku hanya menemukan box kecil. Kemasannya berwarna biru dan bergambar seorang perempuan.
"And*l*n," lirihku saat membaca nama obat tersebut. Kurasa nama obat ini sungguh tak asing di telingaku.
Kubuka box tersebut, ada dua strip obat. Yang masing-masing strip masih utuh isinya.
Obat yang sering diberikan Mas Rohim kemasannya botol. Sedangkan obat yang saat ini kutemukan kemasannya berbeda.
Jadi dipastikan ini bukan untukku.
Karena rasa penasaran, akhirnya kupilih menu g**gle pada ponselku. Kuketik nama obat yang tertera pada bungkusan obat yang saat ini ada di tanganku.
Mataku membelalak saat membaca tulisan yang ada di layar ponselku.
Jantungku berdetak tak karuan.
Bagaimana mungkin suamiku menyimpan pil KB di dalam tas nya? Untuk siapa pil KB ini? Apa untuk Ibu? Ah, sepertinya nggak mungkin. Ibu seorang janda, untuk apa juga mengkonsumsi pil KB. Apalagi umur ibu sudah termasuk usia menopause.
Seketika dada terasa begitu sesak. Berbagai pikiran buruk berkecamuk di dalam kalbu.
Apakah suamiku mempunyai wanita lain di belakangku? Apa suamiku telah mengkhianatiku?
Apakah semua itu ada hubungannya? Aku mencoba menepis berbagai prasangka buruk. Tapi usahaku sia-sia.
"Atau jangan-jangan ...."
Bergegas aku berdiri lalu kuraih botol obat yang setiap hari ku konsumsi.
Mudah-mudahan duga'an ku salah.
Dengan tangan gemetar dan jantung berdegup tak karuan, aku mulai membuka tutup botol itu. Di dalam hati aku berdo'a, semoga dugaanku memang salah.
Tangan semakin gemetar, jantung seakan berhenti berdetak, saat sebutir obat telah berada di telapak tanganku.
"Ya Allah, mudah-mudahan pikiran ini salah!"
Dengan cepat, kuambil salah satu strip obat yang ada di dalam box, lalu kuletakkan tepat disamping butiran obat yang sering aku konsumsi.
Jlegaarr!
Bagai tersambar petir disiang bolong. Seketika tubuh terasa lemas. Tulang di tubuhku seakan sudah tak mampu menahan bobot tubuhku.
Luruh.
Luruh sudah tubuhku. Kugenggam dengan erat obat itu.
Seketika air mata luruh dari persembunyiannya. Dada terasa begitu sesak. Jantung berdegup tak karuan. Jangankan berteriak, sekedar menelan saliva pun rasanya teramat susah. Tenggorokan terasa begitu tercekat.
Kucubit pelan tanganku, berharap aku akan terbangun dari mimpi burukku.
Oh Tuhan ... ternyata aku tak mimpi. Ini nyata! Benar-benar nyata!
Astagfirullah ... Astagfirullah ... Astagfirullah.
Berkali-kali aku beristighfar. Berkali-kali pula kuhela napas panjang dan kukeluarkan secara perlahan, berharap sesak di dada sedikit berkurang.
Tapi harapan hanyalah harapan. Sesak di dada semakin terasa. Bagaikan ada bongkahan batu yang menindih dada ini.
Air mata mengucur dengan derasnya. Bagaimana bisa? Bagaiamana mungkin suamiku tega melakukan ini semua? Aku berharap ingin segera hamil. Tapi apa yang telah dilakukan suamiku? Tega-teganya ia memberikan pil KB padaku. Dengan sandiwara yang diciptakannya, seolah-olah ia memberikan ku obat penyubur.
"Sandiwara apa yang telah kau lakukan, Mas! Kebohongan apa lagi yang kau sembunyikan!" Aku hanya mampu teriak di dalam hati.
B*dohnya diriku, selama lima tahun tak mengetahui semuanya. Betapa pandainya suamiku memainkan sandiwara itu, hingga aku tak mampu mencium kebohongan yang dilakukannya.
C'k, pantas saja selama ini aku tak kunjung hamil. Lah, suamiku sendiri saja memberikan ku pil KB. Bagaimana bisa hamil coba?
Aku semakin terisak, air mata semakin mengalir dengan begitu derasnya.
Kudongakkan kepalaku, berharap air mata berhenti mengalir. Berkali-kali kuhela napas panjang lalu kukeluarkan dengan perlahan.
Kutenangkan diriku. Aku tak boleh gegabah. Kali ini aku tak boleh emosi. Aku harus main cantik untuk membongkar kebohongan apa lagi yang telah dilakukan suamiku.
Kuusap air mata dengan punggung tanganku.
"Baiklah, Mas! Aku akan mencari tahu kenapa kamu tega melakukan itu semua denganku. Akan kuikuti permainanmu. Suatu saat, aku akan membongkar kebohongan yang telah kau sembunyikan di belakangku!"
Aku segera bangkit. Aku tak boleh lemah. Aku akan mencari tahu sendiri. Toh jika aku bertanya dengan Mas Rohim ia tak akan menjawab dengan jujur, kenapa ia melakukan itu padaku.
Tiba-tiba suara deru langkah mendekat ke arah kamar. Segera ku kembalikan pil KB itu ke posisi semula.
Kuletakkan kembali pula tas milik Mas Rohim ditempat sebelum aku mengambilnya.
"Sayang ... where are you?" teriaknya dari balik pintu. Tak lama kemudian, daun pintu terbuka. Sosok lelaki tampan dan gagah berada di ambang pintu.
Mas Rohim menatapku dengan lekat. Dengan langkah cepat, ia menghampiriku dan duduk di bibir ranjang tepat disampingku.
"Kamu kenapa? Kenapa mata kamu sembab? Kamu habis nangis? Kamu sakit?" Mas Rohim memberondong berbagai pertanyaan.
Aku tersenyum kecut. Hal seperti itu lah yang membuatku seratus persen percaya pada suamiku. Perlakuannya yang selalu manis, membuatku tak sedikitpun mampu mengendus bangkai yang ditimbun olehnya.
Ditempelkan punggung tangannya ke dahiku.
"Aku nggak apa-apa, Mas! Rumi baik-baik saja," jawabku dengan lembut. Kuturunkan tangan Mas Rohim yang menyentuh dahiku.
Dulu, aku senang sekali saat Mas Rohim memberikan perhatian-perhatian kecil untukku. Tapi sekarang? Ah, rasanya aku sudah muak. Bahkan, aku akan menganggap setiap perbuatan yang dilakukannya hanya lah sandiwara belaka.
Mas Rohim membingkai wajahku dengan kedua telapak tangannya. "Kamu kenapa? Kamu sakit? Kenapa kamu nangis?"
Aku menggeleng. "Nggak apa-apa, Mas! Entah kenapa perut aku sakiiiitttt banget," ucapku berbohong.
Maaf, Mas, kali ini aku membohongimu. Tapi memang seharusnya begitu. Lima tahun menjalani biduk rumah tangga dengan Mas Rohim, sekali pun aku tak pernah membohonginya. Bahkan, jika aku akan mengantarkan Ibu ke rumah sakit, aku pasti menyempatkan untuk meminta izin padanya.
Entahlah, rasanya sangat tidak percaya dengan apa yang dilakukan oleh Mas Rohim. Tapi percaya tak percaya, itu lah yang telah dia perbuat.
Mungkin salahku juga, aku terlalu naif menjadi orang. Aku menganggap semua orang akan baik jika kita juga berlaku baik. Tapi nyatanya? Zonk!
Mungkin salahku juga, aku terlalu percaya dengan pendirian ku, bahwa "Jodohmu adalah cerminan dirimu" Kukira, jika aku selalu jujur, makan pasangan kita pasti akan jujur. Tapi nyatanya? Sandiwara yang kuterima!
"Yaudah ... kita ke rumah sakit sekarang! Kenapa kamu nggak bilang, sih! Kalau kamu sakit, kamu sendiri yang akan tersiksa! Kalau sudah merasakan tak enak badan, harusnya kamu langsung ngomong! Biar Mas antar ke rumah sakit! Jadi kamu nggak akan merasakan sakit yang berlebih hingga nangis kayak gini!"
Bukan tubuhku yang sakit, Mas! Bukan tubuhku pula yang tersiksa! Tapi hati ini Mas yang sakit! Sakit teramat sangat! Sakit namun tak berdarah! Dan kamulah yang membuatku sakit!
Aku tersenyum, senyum yang dipaksakan. "Nggak apa-apa, Mas! Aku udah minum obat, kok. Ini sudah rada mendingan. Oh ya, Mas. Obat nya mana? Besok pagi kan kamu akan berangkat lagi ke kota. Nanti takutnya kelupaan!"
Bersambung ya.
Suara ketukan pintu terdengar beberapa kali. Terdengar Mbok Siti memanggilku beberapa kali.Pelan aku beringsut dari ranjang. Melangkah menuju pintu."Ada apa, Mbok?" tanyaku saat pintu sudah terbuka."Ada Ibu dan Bapak," ucap Mbok Siti."Di mana, Mbok?" "Di ruang tamu, Bu.""Iya, Mbok. Terima kasih." Mbok Siti mengangguk, lalu melangkah pergi."Siapa Rum?" tanya Mas Rendra dengan tubuh yang masih berbaring."Ibu sama Bapak." "Wah... sepertinya Ibu dan Bapak merasa kalau akan mendapatkan cucu. Makanya tiba-tiba datang ke sini tanpa memberi kabar," ucap Mas Rendra seraya beringsut dari pembaringan. Aku hanya tersenyum mendengar celotehannya."Yuk kita ke sana," ucap Mas Rendra dan aku mengangguk.Kami pun melangkah beriringan. Namun aku dibuat terkejut bukan main saat melihat seseorang yang duduk di samping ibuku."Mas Rohim?" lirihku tak percaya saat melihat Mas Rohim, istrinya dan juga mantan mertuaku ada di sana."Siapa?" bisik Mas Rendra tepat di telingaku."Mantan suami dan mant
Tak hentinya kata syukur kupanjatkan. Betapa baiknya Tuhan padaku. Sesuatu yang kunantikan beratahun-tahun lamanya, kini telah ada di dalam rahimku.Allah. Terimakasih. Harus berapa kali kuucapkan rasa syukur dan terima kasih atas bentuk karuania terbesarmu. Sungguh... rasa bahagia yang tak bisa kuungkapkan."Bagaimana mungkin kamu bisa telat selama satu bulan tapi nggak menyadarinya? Kasihan kan calon anakku diajak kerja," ucap Mas Rendra."Aku mana tahu, Mas. Dulu aku tuh sering sekali telat seperti ini, jadi kupikir ya biasa aja. Nggak tahu juga kalau hamil.""Untung aja si Adek memberikan sinyal seperti itu sama Bundanya. Coba kalau enggak, mungkin kamu nggak akan tahu kalau sedang hamil." mas Rendra tak hentinya berbicara. Aku hanya diam, tak ingin menjawab ucapannya."Yaudah. Kita periksa sekarang. Biar tahu bagaimana kondisi janin di dalam rahimmu, aku nggak mau ya dia kenapa-kenapa," ucap Mas Rendra seraya beranjak dari ranjang lalu melangkah menuju almari.Setelah beberapa sa
Mendengar penuturanku, Ustadzah Humaira tersenyum. Lalu menjawab, "Kamu bulan ini sudah datang bulan?" "Kamu hamil, Dek?" tanya Mas Pandu yang kubalas dengan mengangkat kedua bahuku, padahal aku tahu ia pun tak lihat gerakanku."Masa iya hamil?" gumamku. "Mas Rendra, belikan testpack buat Nak Rumi," pinta Ustadzah Humaira. Terlihat Mas Rendra mengangguk cepat dan tanpa permisi ia langsung melenggang pergi."Dulu saya juga seperti ini loh. Waktu hamil di trimester pertama, nggak bisa kena air. Baru lihat air aja udah merinding. Perut terasa mual."Seketika aku kembali mengingat kejadian akhir-akhir ini. Sama seperti yang dikatakan oleh Ustadzah Humaira. Tapi masa iya aku hamil?Kutepuk pelan jidatku, saat aku teringat sudah satu bulan aku tak datang bulan. Ya, Tuhan... bagaimana mungkin aku tak mengerti?Mudah-mudahan kali ini aku benar-benar hamil.Allah... berikanlah mukjizatmu."Gimana? Udah inget kapan terakhir datang bulan?" tanya Ustadzah dan aku mengangguk."Kapan?""Tepat di
*Dua bulan kemudian*Terdengar adzan subuh berkumandang, mataku mengerjap pelan, lalu kurenggangkan otot-otot di tubuhku. Kedua mataku terbuka sempurna, namun saat aku menoleh ke samping, tak kutemukan Mas Rendra di sana. Sudah menjadi kebiasaanya, bangun terlebih dulu di saat aku masih terlelap.Tak berselang lama terdengar derap langkah mendekati kamar, sedetik kemudian daun pintu terbuka. Terlihat Mas Rendra yang hanya mengenakan handuk yang terlilit sebatas pinggang, berjalan masuk."Tumben belum dibangunin, udah bangun duluan," ucap Mas Rendra sembari mengambil baju di dalam almari. Itulah kebiasaan Mas Rendra, dia bukan tipe lelaki yang semuanya harus kusediakan. Padahal aku pun juga ingin melayani suamiku. Ia hanya memintaku untuk memasak makanan untuknya. Kalau tugas membersihkan rumah sudah dilakukan oleh Art yang bekerja di sini. "Iya, Mas," jawabku sekenanya. "Buruan mandi. Mas tunggu sholat subuh berjamaah," ucapnya seraya memakai baju yang baru diambil olehnya. Aku men
Hari berganti hari. Tak terasa hari ini telah tiba acara pernikahan keduaku. Ya, setelah acara berkumpulnya kedua belah keluarga, telah diputuskan pernikahan diadakan tiga Minggu setelah acara lamaran kemarin. Dan momen itu telah tiba.Aku duduk mematut diri di depan cermin. Hingga memantulkan bayanganku. Balutan kebaya putih yang dipenuhi payet berwarna senada menambah kesan keindahan pada kebaya yang membalut tubuhku pagi ini. Ditambah make-up tipis namun terlihat elegan yang diaplikasikan oleh perias menyempurnakan diriku pagi ini. Jantungku semakin berdegup dengan kencang seiring jarum jam yang terus berdetak, hampir jam 09:00 wib. Sesekali jemariku mengetuk-ngetuk meja rias. "Rum ...." Aku menoleh ke arah sumber suara, ternyata Ibu sudah berdiri di ambang pintu. Sedetik kemudian langkah kakinya berjalan mendekat.Langkah kaki Ibu berhenti di belakangku. Kedua tangannya memegang pundakku. Berkali-kali kuhela napas panjang dan kukeluarkan secara perlahan. Berharap mampu menormalk
POV Rumi.**** Keesokan Hari, di malam hari*Suara ketukan pintu yang diiringi suara salam terdengar. Membuat Ibu berhenti mengomel karena kesal saat melihat sinetron kesukaannya."Ibu ini selalu begitu. Ngomel terus kalau lagi lihat sinetron kesukaannya," protes Bapak."Habisnya Ibu tuh kesel, Pak. Masa jadi perempuan kok lembek bener. Udah tahu suaminya jahat, masih aja betah bersamanya.""Yaudah. Jangan dilihat, Bu.""Sayang, Pak. Penasaran bagaimana nanti akhirnya."Aku beranjak lalu melangkah menuju pintu utama, meninggalkan Bapak dan Ibu yang sedang berdebat. "Assalamualaikum ....""Waalaikum salam ...," ucapku saat pintu sudah terbuka. "Ada apa, Ren?" tanyaku saat melihat Rendra-lah tamunya."Boleh aku masuk?" "Eh—iya, iya. Silahkan masuk! Maaf," ucapku salah tingkah."Aku bikinkan minum dulu, ya." Aku ingin memutar tubuh lalu melangkah. Namun kuurungkan niatku saat Rendra memanggil namaku."Ya?" "Nggak usah bikin minum. Perutku udah kebanyakan minum," ucap Rendra."Bentar