Share

Bab 2

last update Last Updated: 2022-06-06 12:50:55

Saat aku sedang berselancar di aplikasi dunia biru, tiba-tiba ponsel milik Mas Rohim bergetar. 

Kuambil ponsel itu. Nama Ragil yang terpampang sebagai pemanggilnya. Ingin kuangkat, tapi aku ragu. Karena selama ini, aku tak pernah menyentuh benda pipih milik suamiku. 

Kuletakkan kembali ponsel itu. Akhirnya panggilan dimatikan. Tapi tak lama kemudian, nomor tersebut memanggil kembali. Kubiarkan lagi. Namun, nomor tersebut terus berusaha menghubungi. 

Aku tahu siapa ragil. Ia adalah teman sekantor suamiku. Karena takut ada suatu hal yang penting. Akhirnya kuputuskan untuk mengangkat telepon tersebut.

Kuangkat panggilan itu, lalu kutempelkan di daun telingaku.

"Halo, Pah ... kamu udah sampai? Kok pesanku nggak kunjung dibalas?" cecar seseorang dari seberang telepon, saat panggilan baru saja kuangkat. Tapi mampu membuat tubuhku tersentak.

"Assalamualaikum," ucapku tanpa memperdulikan ucapan dari suara wanita yang ada diseberang sana. Meskipun berbagai pikiran buruk berkelebatan.

Tanpa menjawab salamku, tiba-tiba panggilan dimatikan. Kupandangi layar ponsel itu. 

Penelpon itu memanggil dengan sebutan 'Pah' , apa yang dimaksud papah? Lalu siapa yang memanggil suamiku dengan sebutan seperti itu? 

"Ah, barang kali salah nomor," lirihku berusaha berfikiran positif. Meskipun, gelisah telah melanda. Jujur saja, sapaan itu membuatku berfikiran suatu hal yang bukan-bukan.

Suamiku memang sering cerita, ada teman sekantornya bernama Ragil. Seorang staff biasa juga di perusahaan tempat suamiku bekerja. Tapi menurut cerita Mas Rohim, Ragil itu seorang laki-laki. Tapi barusan yang terdengar suara seorang perempuan.

Segera kutepis prasangka buruk. Bukankah apa yang kita pikirkan, lalu itu lah yang akan terjadi? 

Terdengar suara deru langkah semakin mendekat. Tak lama kemudian, daun pintu terbuka.

"Belum tidur, Sayang?" tanya suamiku sambil menutup kembali daun pintu.

Untuk menghilangkan rasa curiga, lebih baik kutanyakan saja pada orangnya langsung. Tapi jika kecurigaanku memang benar, masa iya Mas Rohim akan jujur siapa perempuan yang barusan menelpon.

Oho ... aku punya ide.

"Mas, tadi ada yang nelfon. Aku angkat aja. Habisnya nelfon terus!" 

Mas Rohim mendaratkan tubuhnya diranjang. "Siapa yang telfon?"

"Namanya Ragil. Yang sering Mas ceritakan itu loh. Tapi suaranya perempuan, Mas!"

"Oh ... mungkin itu kekasih Ragil. Mungkin dia mengira Ragil sedang bersamaku. Memang, ponselnya sedang dibawa oleh pacarnya," jelas suamiku.

Seketika hati ini terasa lega. Aku yakin Mas Rohim tak berbohong. Karena jika wanita itu kekasih Mas Rohim, suamiku pasti akan gugup dan bingung untuk mencari alasan.

"Oh ... kirain siapa!"

"Kenapa? Kamu curiga? Kamu cemburu? Udah ... nggak usah mikirin yang macem-macem. Mas di kota hanya ingin mencari nafkah, nggak lebih!" tegas Mas Rohim lalu membaringkan tubuhnya di sampingku. Ditariknya selimut hingga menutupi tubuhnya sebatas dada.

Kumiringkan tubuhku. Hingga kedua netraku menatap wajah tampan suamiku.

"Mas ...." 

Mas Rohim menoleh kearahku. "Kenapa? Pengen?" tanya suamiku yang sepertinya tahu keinginanku.

Aku seorang wanita normal. Pasti memiliki napsu. Toh tak berdosa juga kan jika seorang istri meminta terlebih dahulu? 

Aku mengangguk.

"Sudah minum obatnya?"

"Sudah, Mas! Selalu aku minum kok. Tepat waktu! Nggak pernah bolong sekali pun!" ucapku sambil memainkan jemari di atas dada suamiku.

Mas Rohim tersenyum sambil mengacak rambutku. "Pintar sekali!"

"Iya dong, Mas! Aku kan pengen secepatnya bisa hamil! Tapi obatnya tinggal dua butir saja!"

"Kamu tenang saja. Mas sudah belikan kok. Itu ada di tas. Besok aja Mas ambilkan ya. Jangan sampai telat minum!"

Aku mengangguk.

Entah siapa yang memulai, akhirnya bibir kami saling menyatu. Menghapus jarak diantara kami. Terdengar dengan jelas napas suamiku yang sangat memburu. Napasnya terasa begitu hangat saat menerpa kulit wajah dan leherku, membuatku terhanyut dalam permainan suamiku.

*******

Suara adzan berkumandang. Membangunkan ku dari tidur lelap. Kulihat jam di dinding, ternyata sudah menunjukkan pukul setengah lima. Mata ini masih terasa ngantuk sekali, entah jam berapa aku bisa memejamkan mata. Mas Rohim meminta lagi dan lagi. 

Kusingkap selimut tebal yang semalam menghangatkan tubuhku. Aku beringsut dari ranjang lalu berjalan menuju kamar mandi.

Kunyalakan shower. Tetesan demi tetesan air jatuh membasahi seluruh tubuhku. Dinginnya air terasa menusuk hingga ke tulang. 

Dengan cepat kuselesaikan ritual mandiku.

Tak lupa pula kulaksanakan kewajiban ku sebagai seorang muslim, yaitu dua rakaat shalat subuh.

"Mas .... bangun! Cepetan mandi terus shalat. Keburu waktunya habis!" ucapku sambil menggoyangkan lengan suamiku.

"Hmm ... aku masih ngantuk!" jawabnya dengan mata tetap terpejam.

"Ayo cepetan bangun! Keburu waktu subuhnya habis, Mas!" 

Bukannya bangun, Mas Rohim malah menarik selimutnya keatas hingga menutupi kepalanya. 

Dengan cepat, kutarik selimut itu.

"Ayo, bangun!"

"Ck, iya-iya."

"Jangan iya-iya aja, Mas! Ayo, buruan bangun! Aku mau masak dulu!"

Mas Rohim mendengkus kesal, lalu beranjak dari ranjang.

Kudorong tubuh itu untuk masuk kedalam kamar mandi. "Buruan mandi, lalu shalat subuh!"

*******

"Bu, makan dulu, ya!" Bergegas kuambil sarapan untuk Ibu mertuaku. Aku tak ingin beliau menunggu terlalu lama. Biar segera minum obat juga.

Ibu susah sekali untuk sarapan pagi. Biasanya Ibu akan makan kalau sudah jam delapan. Jadi aku dan suamiku sudah sarapan terlebih dahulu.

"Ibu bosen makan itu-itu terus!" Gerakan tanganku terhenti. Aku menoleh ke arah Ibu. Wajah tua itu terlihat murung.

"Lalu Ibu ingin makan apa? Ibu harus banyak makan sayur, nggak boleh makan-makanan yang berminyak. Ingat, kolesterol Ibu tinggi. Ibu ingin sehat kan? Ibu ingin menimang cucu dari rahim Rumi kan?" ucapku lembut tapi membuat kedua netra Ibu seketika berkaca-kaca.

"Jangan nangis, Bu. Maafkan Rumi, bukan maksud Rumi pelit atau apa, Rumi hanya ingin Ibu sehat, berumur panjang. Itu saja, Bu. Rumi hanya menjalankan anjuran dokter, makanan apa saja yang boleh dan yang harus dihindari!" ucapku sambil melangkah mendekati Ibu. Kupeluk Ibu dari belakang.

Ibu mengelus pucuk kepalaku. "Kamu nggak perlu meminta maaf Rum. Seharusnya Ibu yang minta maaf. Selama kamu menikah dengan Rohim, Ibu selalu merepotkanmu. Gara-gara Ibu, kamu nggak bisa ikut ke kota bareng suamimu. Maafkan Ibu, Rum ... maafkan Ibu!" Tiba-tiba ibu terisak dalam tangisnya. Kulepas pelukanku.

"Hey ... jangan kira semua itu gratis, Bu!" 

Ibu menoleh ke arahku dengan kening berkerut.

"Kamu mau imbalan apa?" 

"Do'akan Rumi secepatnya bisa hamil, ya, Bu! Bukankah do'a seorang Ibu mampu menembus langit?" 

Ibu memegang tanganku. "Ibu harap, apapun yang terjadi, kamu tak akan meninggalkan suamimu dan juga Ibu. Sefatal apapun kesalahan suamimu, Ibu harap kamu sudi memaafkan kami," tutur Ibu yang membuatku keheranan. Kutatap kedua manik mata, perempuan pemilik surga suamiku dengan lekat.

"Memang Mas Rohim melakukan kesalahan apa, Bu?"

"Hm ... tidak ada. Mana sarapan Ibu? Ibu lapar sekali!"

Bergegas kuambil sarapan untuk Ibu. Kutahan mulutku agar tak menanyakan hal yang lebih. Meskipun saat ini berbagai macam pertanyaan ada di dalam benakku.

********

Saat aku sedang merapikan nakas di samping ranjang. Kedua netraku tertuju pada botol obat penyubur yang biasanya aku konsumsi.

Tiba-tiba teringat, kalau obat itu hanya sisa dua butir. Akhirnya kuputuskan mengambil sendiri obat yang ada di dalam tas suamiku, seperti yang dikatakannya kemarin malam.

Kucari di setiap saku tas, tapi tak kunjung menemukan obat yang aku cari. Tapi aku hanya menemukan box kecil. Kemasannya berwarna biru dan bergambar seorang perempuan. 

Karena rasa penasaran, akhirnya kupilih menu g**gle pada ponselku. Kuketik nama obat yang tertera pada bungkusan obat yang saat ini ada di tanganku.

Mataku membelalak saat membaca tulisan yang ada di layar ponselku. 

Bersambung ya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
W rasa itu sh obat supaya ndak hamil
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Pembalasan Untuk Pengkhianatan Suami dan Mertua    Bab 42

    Suara ketukan pintu terdengar beberapa kali. Terdengar Mbok Siti memanggilku beberapa kali.Pelan aku beringsut dari ranjang. Melangkah menuju pintu."Ada apa, Mbok?" tanyaku saat pintu sudah terbuka."Ada Ibu dan Bapak," ucap Mbok Siti."Di mana, Mbok?" "Di ruang tamu, Bu.""Iya, Mbok. Terima kasih." Mbok Siti mengangguk, lalu melangkah pergi."Siapa Rum?" tanya Mas Rendra dengan tubuh yang masih berbaring."Ibu sama Bapak." "Wah... sepertinya Ibu dan Bapak merasa kalau akan mendapatkan cucu. Makanya tiba-tiba datang ke sini tanpa memberi kabar," ucap Mas Rendra seraya beringsut dari pembaringan. Aku hanya tersenyum mendengar celotehannya."Yuk kita ke sana," ucap Mas Rendra dan aku mengangguk.Kami pun melangkah beriringan. Namun aku dibuat terkejut bukan main saat melihat seseorang yang duduk di samping ibuku."Mas Rohim?" lirihku tak percaya saat melihat Mas Rohim, istrinya dan juga mantan mertuaku ada di sana."Siapa?" bisik Mas Rendra tepat di telingaku."Mantan suami dan mant

  • Pembalasan Untuk Pengkhianatan Suami dan Mertua    Ba 41

    Tak hentinya kata syukur kupanjatkan. Betapa baiknya Tuhan padaku. Sesuatu yang kunantikan beratahun-tahun lamanya, kini telah ada di dalam rahimku.Allah. Terimakasih. Harus berapa kali kuucapkan rasa syukur dan terima kasih atas bentuk karuania terbesarmu. Sungguh... rasa bahagia yang tak bisa kuungkapkan."Bagaimana mungkin kamu bisa telat selama satu bulan tapi nggak menyadarinya? Kasihan kan calon anakku diajak kerja," ucap Mas Rendra."Aku mana tahu, Mas. Dulu aku tuh sering sekali telat seperti ini, jadi kupikir ya biasa aja. Nggak tahu juga kalau hamil.""Untung aja si Adek memberikan sinyal seperti itu sama Bundanya. Coba kalau enggak, mungkin kamu nggak akan tahu kalau sedang hamil." mas Rendra tak hentinya berbicara. Aku hanya diam, tak ingin menjawab ucapannya."Yaudah. Kita periksa sekarang. Biar tahu bagaimana kondisi janin di dalam rahimmu, aku nggak mau ya dia kenapa-kenapa," ucap Mas Rendra seraya beranjak dari ranjang lalu melangkah menuju almari.Setelah beberapa sa

  • Pembalasan Untuk Pengkhianatan Suami dan Mertua    Bab 40

    Mendengar penuturanku, Ustadzah Humaira tersenyum. Lalu menjawab, "Kamu bulan ini sudah datang bulan?" "Kamu hamil, Dek?" tanya Mas Pandu yang kubalas dengan mengangkat kedua bahuku, padahal aku tahu ia pun tak lihat gerakanku."Masa iya hamil?" gumamku. "Mas Rendra, belikan testpack buat Nak Rumi," pinta Ustadzah Humaira. Terlihat Mas Rendra mengangguk cepat dan tanpa permisi ia langsung melenggang pergi."Dulu saya juga seperti ini loh. Waktu hamil di trimester pertama, nggak bisa kena air. Baru lihat air aja udah merinding. Perut terasa mual."Seketika aku kembali mengingat kejadian akhir-akhir ini. Sama seperti yang dikatakan oleh Ustadzah Humaira. Tapi masa iya aku hamil?Kutepuk pelan jidatku, saat aku teringat sudah satu bulan aku tak datang bulan. Ya, Tuhan... bagaimana mungkin aku tak mengerti?Mudah-mudahan kali ini aku benar-benar hamil.Allah... berikanlah mukjizatmu."Gimana? Udah inget kapan terakhir datang bulan?" tanya Ustadzah dan aku mengangguk."Kapan?""Tepat di

  • Pembalasan Untuk Pengkhianatan Suami dan Mertua    Bab 39

    *Dua bulan kemudian*Terdengar adzan subuh berkumandang, mataku mengerjap pelan, lalu kurenggangkan otot-otot di tubuhku. Kedua mataku terbuka sempurna, namun saat aku menoleh ke samping, tak kutemukan Mas Rendra di sana. Sudah menjadi kebiasaanya, bangun terlebih dulu di saat aku masih terlelap.Tak berselang lama terdengar derap langkah mendekati kamar, sedetik kemudian daun pintu terbuka. Terlihat Mas Rendra yang hanya mengenakan handuk yang terlilit sebatas pinggang, berjalan masuk."Tumben belum dibangunin, udah bangun duluan," ucap Mas Rendra sembari mengambil baju di dalam almari. Itulah kebiasaan Mas Rendra, dia bukan tipe lelaki yang semuanya harus kusediakan. Padahal aku pun juga ingin melayani suamiku. Ia hanya memintaku untuk memasak makanan untuknya. Kalau tugas membersihkan rumah sudah dilakukan oleh Art yang bekerja di sini. "Iya, Mas," jawabku sekenanya. "Buruan mandi. Mas tunggu sholat subuh berjamaah," ucapnya seraya memakai baju yang baru diambil olehnya. Aku men

  • Pembalasan Untuk Pengkhianatan Suami dan Mertua    Bab 38

    Hari berganti hari. Tak terasa hari ini telah tiba acara pernikahan keduaku. Ya, setelah acara berkumpulnya kedua belah keluarga, telah diputuskan pernikahan diadakan tiga Minggu setelah acara lamaran kemarin. Dan momen itu telah tiba.Aku duduk mematut diri di depan cermin. Hingga memantulkan bayanganku. Balutan kebaya putih yang dipenuhi payet berwarna senada menambah kesan keindahan pada kebaya yang membalut tubuhku pagi ini. Ditambah make-up tipis namun terlihat elegan yang diaplikasikan oleh perias menyempurnakan diriku pagi ini. Jantungku semakin berdegup dengan kencang seiring jarum jam yang terus berdetak, hampir jam 09:00 wib. Sesekali jemariku mengetuk-ngetuk meja rias. "Rum ...." Aku menoleh ke arah sumber suara, ternyata Ibu sudah berdiri di ambang pintu. Sedetik kemudian langkah kakinya berjalan mendekat.Langkah kaki Ibu berhenti di belakangku. Kedua tangannya memegang pundakku. Berkali-kali kuhela napas panjang dan kukeluarkan secara perlahan. Berharap mampu menormalk

  • Pembalasan Untuk Pengkhianatan Suami dan Mertua    Bab 37

    POV Rumi.**** Keesokan Hari, di malam hari*Suara ketukan pintu yang diiringi suara salam terdengar. Membuat Ibu berhenti mengomel karena kesal saat melihat sinetron kesukaannya."Ibu ini selalu begitu. Ngomel terus kalau lagi lihat sinetron kesukaannya," protes Bapak."Habisnya Ibu tuh kesel, Pak. Masa jadi perempuan kok lembek bener. Udah tahu suaminya jahat, masih aja betah bersamanya.""Yaudah. Jangan dilihat, Bu.""Sayang, Pak. Penasaran bagaimana nanti akhirnya."Aku beranjak lalu melangkah menuju pintu utama, meninggalkan Bapak dan Ibu yang sedang berdebat. "Assalamualaikum ....""Waalaikum salam ...," ucapku saat pintu sudah terbuka. "Ada apa, Ren?" tanyaku saat melihat Rendra-lah tamunya."Boleh aku masuk?" "Eh—iya, iya. Silahkan masuk! Maaf," ucapku salah tingkah."Aku bikinkan minum dulu, ya." Aku ingin memutar tubuh lalu melangkah. Namun kuurungkan niatku saat Rendra memanggil namaku."Ya?" "Nggak usah bikin minum. Perutku udah kebanyakan minum," ucap Rendra."Bentar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status