Dokter masuk lagi ke ruangan Arini. Saat ini Arini dalam kondisi sadar dan sudah stabil. Biarpun mengalami pendarahan, tapi janin yang ada di dalam perut Arini masih bisa bertahan."Bagaimana kondisinya sekarang, Bu Arini? Sudah lebih baik?" tanya Dokter Enny dengan senyum ramah."Alhamdulillah, Dok. Terima kasih, Dok, sudah menyelamatkan janin saya," ucap Arini. Arini tak henti-hentinya menangis kala tahu kalau dirinya pendarahan."Bukan saya, Bu. Tapi Allah yang sudah membuat janin Ibu kuat. Pesan saya, Ibu jangan kerja yang berat-berat dan jangan terlalu banyak pikiran, ya, Bu!" nasehat Dokter hanya Arini tanggapi dengan anggukan.Bagaimana mungkin dirinya bisa berisitirahat kalau di rumah mertuanya saja selalu ada saja yang harus dia kerjakan. Bukan Arini ingin dimanja, tapi keadaannya yg sedang hamil memang tak seperti sebelum hamil.Pernah Ibu Ida berkata, kalau dulu saat hamil anak-anaknya, Beliau masih bisa melakukan semua pekerjaan rumah. "Tapi, Bu ... tidak semua wanita bis
Selama hamil dan memiliki pembantu, Arini lebih sering berada dalam kamar. Menghindari perdebatan dengan Ibu Mertua atau Bela. Saat ini usia kandungan Arini sudah memasuki usia enam belas Minggu atau empat bulan.Rencananya, Arman akan mengadakan pengajian esok lusa untuk mendoakan untuk keselamatan istri dan calon anaknya. Persiapannya sudah diserahkan pada Ibu Ida dan Tuti."Bu, persiapan untuk pengajian bagaimana? Adakah yang kurang?" tanya Arman sebelum berangkat ke kantor."Sudah siap semuanya, Man. Kamu tenang saja," balas Ibu Ida."Syukurlah!" jawab Arman singkatTuti yang sedang menghidangkan sarapan, matanya tak lepas dari sang majikan. Semakin hari, pesona Arman di mata Tuti semakin besar. Rasa ingin memiliki pun juga bertambah besar."Sayang, jaga diri baik-baik, ya? Mas berangkat kerja dulu," pamit Arman seraya mencium kening dan perut Arini.Tuti yang melihatnya, menatap mereka dengan tatapan tak suka. Cemburu! Ya, Tuti cemburu pada Arini yang mendapat perhatian lebih dar
"Saya tahu Mbak Sarah ingin menyingkirkan Mbak Arini dari rumah ini," kata Tuti dengan senyum mengembang. Sarah yang mendengarnya pun kaget."Gak usah kaget gitu, Mbak. Tuti itu bisa nebak muka orang," ucap Tuti terkekeh."Gimana kalau kita kerjasama, Mbak? Tapi ..." ucap Tuti terputus."Tapi apa?" tanya Sarah. Tuti tersenyum sembari menaikturunkan alisnya."Gak ada yang gratis, Mbak!" kekeh Tuti pelan. Tuti memang terpesona dengan Arman. Tapi, kalau ada kesempatan mencari uang lebih, dia akan melakukan segala cara untuk mendapatkannya."Bisa dipercaya gak kamu?" jawab Sarah yang ragu karena belum mengenal Tuti."Jangan ragu sama Tuti, Mbak. Dijamin beres!" Tuti mengacungkan jempol pada Sarah. Senyum Sarah pun mengembang dari bibirnya.Karena tak mau ada yang curiga, Sarah meminta nomor telepon Tuti. Setelah itu, Sarah berlalu meninggalkan rumah Arman.*****Arini yang kelelahan memilih untuk langsung masuk ke kamar. Sedangkan Arman bersama Ibu Ida dan juga kakak adiknya masih berada
"Jangan-jangan itu bukan anak Mas Arman, Tan," Sarah mulai meracuni pikiran Ibu Ida."Ah gak mungkin, Sarah! Arini itu gak pernah kemana-mana," ucap Ibu Ida. "Tante yakin?" tanya Sarah. Sarah mencari cara agar Ibu Ida yakin padanya."Eh tapi ... memang, sih, Arini sempat keluar beberapa kali dan terakhir dia pulang kampung," kata Ibu Ida. Sarah tersenyum menyeringai, melihat adanya celah untuk menghasut Ibu Ida."Nah, kan, Tan! Tante juga gak tahu di luar sana Arini gimana dan ngelakuin apa aja," ujar Sarah makin percaya diri."Ah masak, sih?" Ibu Ida masih saja ragu dengan perkataan Sarah. Karena, biar bagaimanapun, selama ini Arini memang tidak pernah bersikap aneh atau neko-neko."Nanti kita cari bukti, Tan. Biar Tante yakin, nanti Sarah bantu," tawar Sarah. Ibu Ida yang memang tidak suka dengan Arini, setuju saja dengan saran Sarah.*****Sementara itu, Arini sudah sampai di rumah sakit dan sedang menunggu nomor antriannya dipanggil. Rahman menunggu di luar, karena tadi Arini mem
Tuti memang mengajak Sarah bekerja sama, tapi itu semua hanya taktik Tuti semata. Karena, dirinya pasti tak akan mampu membuat keluarga Arman tunduk padanya. Jadi, Sarah dia gunakan untuk menghasut keluarga Arman agar membenci Arini. Sedangkan dia, akan berusaha untuk menggaet Arman tanpa sepengetahuan Sarah.Bukan tanpa alasan, Tuti dulunya orang kaya yang kemudian bangkrut karena semua uangnya ditipu oleh pacarnya. Sang pacar berjanji akan menikahinya. Jadi, tanpa ragu Tuti menyerahkan semua aset yang dimiliki Tuti pada pacarnya itu. Bahkan, ada beberapa aset yang langsung dibalik nama atas nama pacarnya.Sehari sebelum pernikahannya, sang pacar tak bisa dihubungi. Dan setelah ditelusuri, ternyata semua aset yang dimilik Tuti sudah dijual pacarnya itu kepada musuhnya. Sedangkan pacarnya kabur ke luar negeri sampai sekarang.Orang tua Tuti meninggal karena shock dengan kejadian yang menimpa Tuti. Bertahun-tahun hidup menggelandang di jalan dan menikmati susahnya cari uang, membuat Tu
Sudah beberapa hari Tuti memasukkan air jampi-jampi dari Mbah Gondrong. Perlahan, pelet itu mulai bekerja pada Arman. Saat subuh menjelang, biasanya Arman akan melaksanakan ibadah sholat bersama Arini. Tapi, hari ini saat Arini membangun Arman, malah bentakkan yang Arini dapatkan."Apaan, sih! Ganggu orang lagi tidur aja!" kata Arman dengan mata yang enggan terbuka. Arini belum menyadari keanehan sikap Arman. Arini mengira itu efek kelelahan bekerja, karena memang semalam Arman pulang hampir tengah malam."Sholat subuh dulu, Mas," ucap Arini sambil mengusap pucuk kepala Arman. Arman mengeliat tapi masih dalam kondisi mata tertutup."Ayo, Mas! Nanti kalau mau lanjut tidur lagi gak apa-apa," ajak Arini lagi. Kali ini, dengan terpaksa Arman pun bangkit dan mengambil air wudhu.Selesai sholat, Arman langsung menuju ke dapur. Kebetulan di dapur hanya ada Tuti yang sedang memasak untuk sarapan. Arman menatap Tuti tanpa berkedip."Kenapa akhir-akhir ini Tuti jadi kelihatan lebih cantik dan m
"Lepaskan, Mas!" teriak Arini. Dan tiba-tiba Doni, kakak iparnya menarik tubuhnya dengan kasar. Dalam keadaan hamil dan tidak siap, Arini jatuh ke dalam pelukan Doni."Sebenarnya aku sudah menginginkanmu sejak lama, Arini!" bisik Doni ke telinga Arini. Arini yang merasa risih, mendorong tubuh kakak iparnya itu.Namun, belum sempat Arini masuk ke dalam kamar, pergelangan tangan Arini kembali dicekal oleh Doni. "Kamu tak bisa menghindariku sekarang, Arini! Tak akan ada yang menolongmu kini. Hanya kita berdua yang berada di rumah ini," kata Doni dengan senyum menyeringai.Arini tak tahu harus berbuat apa. Dirinya tak bisa leluasa bergerak untuk melarikan diri. Mengingat perutnya yang sudah membesar, sehingga Arini kesulitan untuk berlari. Tak mau ambil resiko, akhirnya Arini memilih menurutku dulu apa mau kakak iparnya itu.Karena merasa Arini tak melakukan perlawanan, tangan Doni segera menyentuh wajah Arini dan membelainya dengan lembut. Arini yang sadar Doni tengah terlena, menendang
"Kandungan Ibu Arini ... mohon maaf Pak Arman, janinnya tidak selamat!" ucap Dokter Firman hati-hati.Arman terpaku menatap Dokter Firman. Berharap apa yang dokter itu katakan tidaklah benar."Gak mungkin, Dok!" Arman menyangkal pernyataan Dokter Firman."Karena benturan yang kuat saat terjatuh, sehingga terjadi pendarahan yang hebat, Pak. Jadi, janin yang Ibu Arini kandung tidak selamat," terang Dokter Firman. Tak ada jawaban dari Arman. Dirinya masih memandang Dokter Firman dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan."Satu hal lagi Pak Firman, jika Ibu Arini ingin hamil harus, harus minimal enam bulan setelah pemulihan. Dan resiko keguguran di kehamilan Ibu Arini selanjutnya lebih besar dari kehamilan sebelumnya," kata Dokter Firman lagi.Bak sudah jatuh tertimpa tangga, itulah yang Arman rasakan saat ini. Menurut Dokter Firman, kalau Arini hamil lagi akan rentan keguguran karena kejadian ini.Dengan langkah gontai, Arman keluar dari ruangan Dokter Firman dan berjalan menuju tempat Ar