Hari ini Arman libur kerja. Pekerjaannya yang bukan merupakan pegawai negeri, membuat hari libur Arman tak menentu. Saat Arini meminta izin bekerja padanya, sungguh Arman marah pada Arini. Bagaimana mungkin seorang istri Arman yang merupakan manager hotel ternama bekerja? Terlebih lagi Arini hanya lulusan D3. Arini tetap nekad berangkat untuk mencari pekerjaan. Arman pun yang terlanjur marah, membiarkan istrinya itu. Biasanya kalau libur begini, Arman akan menghabiskan waktu berdua bersama Arini. Tapi, itu dulu! Kecewa karena kehilangan anak masih membekas di hati Arman dan Arman menganggap itu kesalahan Arin "Mas Arman tidak kerja?" kata Tuti yang baru saja pulang dari belanj "Lagi libur, Tut!" balas Arman. Tuti pun tersenyum mendengar jawaban Arma "Ibu dan Bela kemana, Tut?" tanya Arman karena dari tadi pagi tidak melihat ibu dan adiknya it "Tadi pagi mereka bilang mau perawatan ke salon, Mas. Mungkin sudah berangkat. Soalnya ini Tuti habis pulang belanja, jadi gak tahu perginy
Foto-foto dan video yang Sarah ambil barusan, dikirimkan kepada Ibu Ida. Harapannya nanti akan ada keributan yang besar antara Ibu Ida, Arini dan juga Arman. Syukur-syukur Arman mentalak Arini, begitu pikiran Sarah. [Di mana kamu sekarang, Sarah?] pesan dari Ibu Ida. Sarah tersenyum miring membaca pesan itu. [Sarah sedang di kantor *****, masih memantau Arini, Tante] balas Sarah santai. [Ikuti dia terus Sarah! Tante akan buat perhitungan dengan Arini!] nada marah terlihat dari pesan yang Ibu Ida kirim. Sebenarnya Rahman dan Arini tidaklah bersalah. Hanya saja, Sarah mampu memanfaatkan keadaan untuk membuatnya menjadi masalah. Di salon tempat Ibu Ida dan Bela perawatan, Ibu Ida tampak mengepalkan tangannya kuat. "Kali ini tak akan ada yang bisa membelamu Arini!" gumam Ibu Ida. "Akan aku pastikan Arman menceraikanmu!" kali ini Ibu Ida benar-benar marah. Bela yang tak tahu apa-apa hanya diam melihat ibunya yang sedang marah. "Ayo Bela kita pulang!" ajak Ibu Ida. "Tapi Bu, Bela
"Kamu?!" kata wanita yang hendak mewawancarai Arini. "Indah!" lirih Arini. Kedua mata mereka saling tatap. Dua sahabat yang sudah lama tak bertemu. Indah adalah sahabat Arini dari kampung. Arini dan Indah berpisah saat Arini meneruskan pendidikannya di kota dan Indah pindah dari kampungnya. Karena sedang berada situasi yang tak memungkinkan untuk berbicara, mereka berdua menahan diri. Selama sesi wawancara di mulai, Arini terlihat tenang dan juga mampu menjawab pertanyaan dengan baik. "Baik. Terima kasih, Arini. Tunggu kabar dari kami selanjutnya," ucap salah seorang penguji yang ada di dalam. "Baik, terima kasih! Saya mohon undur diri," balas Arini dengan membungkukkan badannya. Sebelum Arini keluar, Indah memanggilnya. "Arini ... bisa minta waktunya sebentar? Jangan pulang dulu," kata Indah pada Arini. Arini menganggukkan kepalanya. Arini teringat pada Rahman yang menunggunya. Sudah lebih dari dua jam Arini berada di dalam gedung. Rasa tak enak seketika menyeruak dalam hatinya
"Sudah tiga tahun aku menikah dengan Mas Firman. Tapi, kami belum diberikan momongan." Mata Indah tampak berkaca-kaca. Arini pun mengusap punggung sahabatnya itu pelan. "Keluarga Mas Firman sebenarnya tidak mempermasalahkannya. Tapi, aku sebagai menantu satu-satunya di rumah itu merasa sedih karena tak kunjung memberikan mereka pewaris," ucap Indah lagi. Indah menghela nafas lagi. "Apalagi suamiku dokter kandungan, tapi aku sendiri belum juga hamil!" lirih Indah sambil menunduk. "Firman? Suami Indah dokter? Jangan-jangan dokter yang menanganiku waktu itu —?" ucap Arini dalam hati. "Semua sudah digariskan oleh Allah, Ndah. Percaya dan yakin kalau Allah tak akan menguji kita di luar batas kemampuan kita," kata Arini mencoba menghibur Indah. Nasehat Arini untuk Indah juga berlaku untuk dirinya sendiri. Bagaimana tidak? Setelah kehilangan anak, sekarang sikap suaminya Arman juga berubah padanya. Dulu saat Ibu Ida, Salma dan Bela tak menyukainya, Arini tak mempermasalahkan itu. Tapi s
"Arini! Mulai hari ini kamu gak boleh keluar rumah tanpa izinku!" dicekalnya kuat tangan Arini dan Arman menariknya kasar."Lepaskan, Mas! Sakit!" Arini mencoba melepaskan cekalan tangan Arman. Tapi, karena kuatnya tenaga Arman, Arini tak mampu. "Man! Kenapa gak mau ceraikan saja si Arini itu?" teriak Ibu Ida dari depan pintu rumah."Iya, Mas! Buat apa masih menahan istri tukang selingkuh?" ucap Bela ikut mendukung keputusan Ibu Ida. Sarah dan Tuti juga ada di rumah itu. Mereka senang melihat pertengahan antara keluarga ini."Masuk kataku!" bentak Arman. Karena kencangnya tarikan Arman, Arini pun terjerembab ke lantai teras dan dahinya terpentok lantai. Rahman yang melihatnya tak tega. Tapi, untuk membantu Arini, itu sama saja akan membuat masalah lain. Akhirnya Rahman memutuskan untuk pergi dari tempat itu.PLAAAKK! Sebuah tamparan dari Arman melayang di pipi sebelah kiri Arini ketika mereka sudah sampai di dalam rumah. Arini yang tak percaya, memegang pipinya yang memerah itu. Ada
Kedua insan itu sedang fokus pada aktivitas mereka, sehingga tak menyadari kehadiran Arini. Belum sembuh luka tamparan dari Arman, sekarang Arini harus terluka lagi ketika melihat suaminya menc*mbu mesra Tuti pembantunya."Ya Allah ... ujian apa lagi ini?!" teriak Arini dalam hati. Karena, untuk bersuara pun Arini tak mampu.Dengan langkah berat, Arini menghampiri keduanya. Arini tak mau suaminya melakukan perbuatan dosa lebih jauh lagi. Masih jadi tugas Arini sebagai istri Arman untuk mengingatkan suaminya itu. Biarpun dia harus menahan luka, luka yang masih terbuka tapi sengaja disiram garam oleh Arman."Mas!" lirih Arini. Sontak keduanya pun kaget dan segera menghentikan aktivitasnya. Tuti membetulkan kancing bajunya yang dilepas oleh Arman. Sedangkan Arman gelagapan karena ketahuan oleh istrinya."Sudah cukup! Sebelum kalian melakukan yang lebih lagi. Ingat dosa, Mas! Mas Arman masih suamiku," ucap Arini. Tuti membuang muka saat Arini menatapnya. "Tahu apa kamu dengan dosa? Sedan
"Gak apa-apa Mbak Arini, saya tinggal hanya berdua dengan istri saya. Kebetulan masih ada kamar yang kosong. Jadi, Mbak Arini untuk malam ini menginap dulu di rumah saya. Tidak baik perempuan malam-malam masih berkeliaran seperti ini," ucap Pak Sobari panjang lebar.Akhirnya ... setelah berpikir agak lama, Arini menyetujui ajakan Pak Sobari. Malam yang semakin larut tak memungkinkan Arini masih berjalan seorang diri, apalagi dia seorang wanita. Takut akan ada hal-hal buruk yang tak diinginkan.Rumah Pak Sobari tidaklah jauh dari masjid, hanya butuh lima menit untuk sampai. Disepanjang perjalanan, Pak Sobari dan Arini tak saling bicara."Assalamualaikum, Bu!" Pak Sobari mengucap salam sambil membuka pintu rumah yang belum terkunci. Tak lama kemudian, istri Pak Sobari keluar."Wa'alaikumsalam, Pak!" balas Bu Fatimah istri Pak Sobari. Beliau tampak mengernyitkan keningnya karena melihat sosok Arini yang berdiri di belakang suaminya."Mari silahkan masuk Mbak Arini!" ajak Pak Sobari. Arin
Semakin hari, Arman dan Tuti semakin dekat. Sehari saja Arman tak melihat Tuti, pasti akan dia cari. Arini sudah tak Arman pedulikan. Kebencian sudah tertanam di hatinya. Mereka berdua akan mencuri waktu untuk bisa berduaan saja. Tak jarang saat di dapur, mereka bermesraan."Mas, Tuti punya rencana," ujar Tuti pada suatu hari ketika Arman libur kerja. Arman yang sedang menikmati teh hangat buatan Tuti seketika menatap Tuti lekat."Gak perlu gitu juga kali Mas ngelihatin Tutinya!" kata Tuti."Rencana apa maksudnya?" tanya Arman. "Jadi begini Mas ... Mas kan sudah gak cinta lagi sama Mbak Arini. Gimana kalau Mas Arman menikah dengan Mbak Sarah," jelas Tuti. Arman pun kaget dengan penuturan Tuti. Saat akan melanjutkan, Arman memotong perkataan Tuti."Gila kamu, Tut! Gak mau aku nikah sama Sarah!" ucap Arman tegas. "Kalau pun aku bercerai dengan Arini, yang akan aku nikahi itu kamu!" ucap Arman lagi."Duh, Mas Arman! Dengarkan Tuti dulu penjelasan Tuti!" ucap Tuti kesal."Jadi, Mas Arma