LOGIN"Ya," kata Vinka."Sudahlah. Rensia, ayo masuk. Jangan menghalangi orang yang mau pindah rumah. Ah bukan, pindah koper maksudku," kata Janice sambil melirik delapan koper besar yang menutupi koridor.Rensia menganggukkan kepala, lalu membuka pintu dan masuk ke kamar sambil tersenyum.Janice juga tidak memedulikan kakak beradik itu lagi, melainkan menggandeng Vega untuk masuk ke dalam kamar.Di luar pintu, ekspresi kakak beradik Keluarga Panduwinata itu terlihat muram.Begitu masuk ke kamar, Jesslyn menggigit bibirnya dan berkata, "Kak, lihat dia .... Seorang wanita tanpa status apa pun berani bicara begitu padamu."Vinka duduk di sofa. "Biarkan saja, kamu sendiri juga bilang dia nggak punya status apa pun.""Tapi, dia punya seorang putri. Kamu lihat Pak Jason juga memperlakukan anak itu dengan baik," kata Jesslyn dengan cemas."Kalau begitu, kenapa identitas anak itu nggak diumumkan? Kamu tahu apa artinya jadi anak kandungnya Pak Jason? Itu berarti, dia juga nggak begitu peduli. Yang h
Janice tahu jelas maksud dari Vinka, sehingga dia hanya menganggukkan kepalanya. Setelah berbalik, dia melirik Jason dan menggandeng tangan Vega. "Vega, ayo kita pergi."Dengan panduan dari petugas hotel, Janice tiba di depan kamar. Seperti yang sudah diduga, kamarnya tidak begitu bagus. Sepertinya ini adalah kamar promo yang khusus dibuka oleh pihak vila yang berada di sisi yang teduh, jendelanya kecil, dan sama sekali tidak ada pemandangan. Udara di dalam kamar itu bahkan mengeluarkan bau lembap.Janice menebak Vinka sedang menguji batasannya. Saat ini, dia hanya bisa memilih antara pasrah, ribut dengan pihak hotel, atau mengadu pada Jason. Dia mengernyitkan alisnya dan berniat untuk melihat kondisinya terlebih dahulu, tak disangka malah ada sosok lain di sampingnya. Dia pun terkejut. "Rensia? Kenapa kamu di sini? Bukannya kamu harusnya nggak tinggal di sini dengan levelmu?""Ada beberapa orang yang mengira menikah dengan orang Keluarga Karim berarti sudah menjadi pemilik Grup Karim,
Karena memang pakaian seperti itu terlihat sangat bagus."Demi dapat foto bagus, hebat juga ya," kata Janice."Kamu ini .... Wanita itu sepanjang jalan terus tanya, kenapa Jason belum naik mobil." Rensia mengingatkan.Janice tertegun, takut orang lain menyadari bahwa dia sedang memperhatikan wanita itu. Dia segera mengalihkan pandangan."Siapa dia?""Adiknya istri salah satu kerabat Keluarga Karim. Kamu nggak kenal?" Rensia balik bertanya."Keluarga Karim kalau tahun baru ramai kayak pasar malam, datangnya rombongan-rombongan. Yang bisa masuk ke rumah besar itu cuma sebagian, sisanya aku selama bertahun-tahun di Keluarga Karim juga belum pernah lihat. Mana mungkin aku kenal orang itu."Janice bahkan tidak tahu siapa istri kerabat yang dimaksud.Rensia tersenyum kecil. "Ya sudah, kamu hati-hati saja.""Baiklah." Janice tersenyum, tidak terlalu memikirkannya.Rensia heran. "Kamu nggak khawatir?"Janice meliriknya. "Kamu nggak khawatir Arya nggak memilihmu?"Beberapa detik kemudian, kedua
Arya masih belum membuat keputusan, tetapi Jason sudah meminta Norman menepikan mobil di pinggir jalan."Di sini lebih mudah cari taksi. Hati-hati di jalan," pesan Jason."Jason ...." Arya membuka mulut."Pergilah." Jason mengangguk sedikit.Arya menoleh melihat Janice, seolah-olah ingin mengatakan sesuatu, tetapi pada akhirnya tidak mengatakan apa pun dan langsung turun dari mobil.Janice sebenarnya berharap Arya bisa memilih Rensia. Bagaimanapun, Amelia di rumah sakit. Seharusnya tidak akan terjadi apa-apa padanya.Namun, akal sehatnya mengatakan bahwa pemikiran itu terlalu idealis dan juga salah.Nada bicara Amelia jelas tidak menyukai Rensia. Kalau Arya bersikeras, itu hanya akan membuat Amelia semakin membenci Rensia.Janice menoleh pada Jason. "Jason, kamu nggak ingin membuat Arya serbasalah, 'kan?""Ibu Arya menaruh semua harapannya pada Arya. Wajar kalau dia jadi begitu ketat. Kalau terjadi sesuatu, Arya akan menyesal seumur hidup dan Rensia juga nggak akan senang. Jarak di ant
[ Maksudku bukan begitu. Dia sesibuk itu. Sebenarnya nggak perlu melakukan hal seperti ini. ]Melihat pesan itu, Janice tertawa dalam hati. Rensia pada akhirnya luluh juga. Sampai bisa mencemaskan Arya.Janice tidak langsung memberi tahu Arya. Menurutnya, kata-kata seperti ini lebih baik diucapkan langsung saat mereka bertemu.Dia menoleh ke Arya dan berkata, "Yaya, kamu tidur saja dulu. Nanti sampai di sana masih ada kegiatan, jangan sampai kamu terlalu capek."Arya menguap. "Tadinya aku semangat banget, tapi sekarang memang agak capek. Aku tidur dulu ya."Baru selesai berbicara, Jason melemparkan bantal leher padanya.Arya tertawa kecil, memasangnya di leher, lalu bersandar dan langsung tertidur.Janice mendekati Jason, berbisik, "Pantas Arya bilang kalian kakak beradik mirip. Kalian berdua sama-sama keras kepala."Jason melirik Arya, memastikan dia sudah tidur, baru akhirnya berbicara, "Hidupnya juga nggak gampang. Ayahnya meninggalkan setumpuk masalah, ibunya lemah, dan adiknya sup
Arya menatap Rensia. "Bisa jadi siapa lagi? Nggak mungkin jadi ayahmu, 'kan?"Rensia, Norman, dan Louise sungguh kehabisan kata-kata. Pria ini tidak ada harapan lagi.Louise mengeluarkan sebuah kotak kecil dari tasnya dan menyerahkannya ke tangan Arya. "Kamu ini memang gawat."Kemudian, dia menyerahkan dua kotak kecil lainnya kepada Norman dan Rensia. "Terima kasih untuk hari ini.""Norman, kamu bisa antar aku sebentar?" Sambil berkata begitu, Louise memberi isyarat mata ke Norman.Norman mengangguk, lalu mereka berdua berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Arya dan Rensia yang saling menatap dengan bingung.Rensia berbalik menuju pintu mobil. "Kalau nggak ada apa-apa, aku pergi dulu."Arya menahan pintu. "Aku ikut." Dia seperti anak kecil."Mau jadi ayahku? Aku tanya ibuku dulu ya," goda Rensia."Pacar boleh nggak?" Arya meraih tangan Rensia.Rensia tidak langsung menjawab, malah bertanya balik, "Besok sudah berangkat, kamu sempat nggak beresin koper? Rumah sakit gimana?""Aku suda







