Meskipun merasa Jason tidak tahu malu, Janice tetap termangu melihat noda darah di tangan itu. Tiba-tiba, Jason menjatuhkan dirinya ke depan.Janice tanpa sadar menjulurkan tangan untuk memeluknya. Seketika, tercium bau alkohol yang kuat. "Paman, kamu sudah gila ya? Kamu terluka, tapi masih minum alkohol?""Ya, soalnya aku merasa nggak nyaman." Dagu Jason menempel dengan dahi Janice. Suaranya terdengar lelah.Janice bisa merasakan hawa panas pada tubuh Jason. Setelah ragu-ragu sejenak, dia akhirnya tetap bersimpati pada Jason. Dia menahan dada Jason dan berujar, "Kamu minum terlalu banyak. Aku bantu kamu telepon Pak Norman.""Norman sudah pergi.""Kalau begitu, aku telepon Vania saja. Dia pasti bisa merawatmu."Janice tidak ingin melihat Jason. Dia mundur sedikit untuk menjaga jarak. Jason langsung menghalanginya dan menatapnya dengan tatapan suram."Perhatian sekali kamu."Janice tahu pria ini menyindirnya. Dia menggigit bibirnya dan membalas, "Terima kasih atas pujianmu. Aku bantu ka
Hal ini membuat Jason teringat kembali pada ciuman tadi. Tatapannya menjadi makin suram.Janice tak kuasa merinding karena ditatap oleh Jason. Dia mendongak secara naluriah.Tatapan Jason menyapu wajah Janice, lalu akhirnya mendarat pada bibir ranumnya. Dia seolah-olah bisa merasakan masih ada kehangatan yang tersisa di sana. Dia tak kuasa menelan ludahnya."Mulutmu itu cuma bisa diam di situasi tertentu," ujar Jason.Napas hangat Jason mengenai wajah Janice. Janice tentu memahami maksudnya. Saat ini, Janice sontak terpikir pada sesuatu. Matanya dipenuhi amarah."Kamu bohong! Kamu nggak minum alkohol! Mulutmu nggak bau alkohol!""Pintar sekali, tapi ... sudah terlambat."Jason menunduk untuk menatap kaki mereka. Janice baru menyadari bahwa mereka telah masuk sejak tadi. Ketika dia menyadari hal ini, Jason sudah mengunci pintu dengan santai. Janice tidak mungkin bisa mengusirnya lagi."Berengsek!" Janice mengambil kunci pintu di atas lemari, lalu melemparkannya kepada Jason. Siapa sangk
Setiap tindakan Jason membuat Janice menegang. Entah sudah berapa kali dia menelan ludahnya saking gugupnya.Jason menyunggingkan bibirnya sambil melirik Janice dan bertanya, "Masih mau kuajari?"Begitu mendengarnya, Janice langsung tersadar dari lamunannya. Dia berpura-pura tenang sambil menyahut, "Nggak usah. Kamu sakit, aku seharusnya menjagamu.""Jangan bicara omong kosong." Jason memicingkan matanya.Janice menggigit bibirnya, lalu segera melepaskan kancing kemeja Jason. Terlihat otot yang kekar sekaligus proporsional, belum lagi sabuk Apollo yang membuatnya makin seksi.Janice menarik napas dalam-dalam dan mengalihkan pandangannya. Di sisi lain, Jason malah mendekatinya dan menggoda, "Cepat sekali kamu membuka kancing kemeja. Kamu pernah bantu siapa membuka kancing kemeja selain aku?"Tidak ada emosi apa pun pada ekspresi Jason, seolah-olah ini adalah sesuatu yang biasa. Namun, Janice malah makin gugup."Nggak ada," sahut Janice dengan suara rendah."Yoshua?" Jason seolah-olah ti
Kenapa Jason tidak pernah mengatakannya? Pikiran Janice menjadi kacau. Pertama perubahan Yoshua, sekarang rahasia Jason. Sebenarnya siapa yang tulus dan hanya berpura-pura?Janice memandang luka-luka itu, lalu menggigit bibirnya dan bertanya, "Paman, ayahmu sering menghukummu seperti ini?""Aku nggak bodoh," timpal Jason dengan tidak acuh."Kalau begitu, kapan saja kamu akan dihukum seperti ini?""Kalau ada yang nggak pakai otaknya waktu bertindak."Janice tahu Jason mengatakan dirinya. Jason yang begitu licik seharusnya tahu cara melindungi diri sendiri. Lantas, kenapa dia ....Ketika Janice masih merenung, Jason tiba-tiba menoleh dan memanggil, "Janice.""Hm?" "Sudah cukup pegangnya?"Begitu mendengarnya, Janice sontak tersadar dari lamunannya. Dia mendapati satu tangannya masih mengelus punggung Jason.Janice buru-buru menarik tangannya, lalu menunduk dan mencari obat di kotak P3K. "Eee ... kamu memang berdarah, tapi cuma robek sedikit. Aku oleskan obat. Tapi, aku bukan dokter prof
Janice terperangah. Namun, akal sehatnya segera menyadarkannya. Dia dan Jason? Itu tidak mungkin!Sekarang, tidak ada anak ataupun paksaan pernikahan di antara mereka. Yang ada hanya kebencian! Apalagi, Vania tidak membawa anaknya kabur.Sekujur tubuh Janice terasa dingin, seolah-olah jatuh ke lubang es. Dia menggigit bibirnya sebelum berkata, "Paman, kalimat seperti ini seharusnya diucapkan untuk pacarmu. Aku bantu kamu perban lukamu. Kalau ada waktu, pergi cari pacarmu."'Temui Axel, putra kesayanganmu untuk yang terakhir kalinya. Mungkin, dia sudah jadi gumpalan darah,' batin Janice.Ketika mengetahui Vania ingin menggugurkan kandungannya saat itu, Janice hanya terkejut tanpa bersimpati sedikit pun. Makanya, dia tidak berniat mengabari Jason. Tidak ada gunanya bagi Janice sekalipun Jason menghentikan Vania.Lagi pula, anak jahat itu memang seharusnya menjadi genangan darah yang masuk ke selokan. Anak itu sama jahatnya dengan ibunya. Karena kesehatan Janice kurang baik, dia terus men
Setelah mendengar pertanyaan Janice, para rekan kerja juga merasa penasaran."Ya. Kamu sakit apa? Kalau penyakit menular yang lagi viral itu, nggak mungkin sembuh secepat ini.""Selain itu, kamu nggak terlihat seperti orang sakit. Rona wajahmu sangat bagus."Vania buru-buru menunduk. Namun, dia segera menyunggingkan senyuman tenang. "Bukan penyakit parah, cuma demam biasa. Jason yang terlalu berlebihan. Dia khawatir aku kenapa-napa, makanya terus menjagaku.""Dia terus menjagamu?" Janice menatap Vania dengan tatapan ragu.Setelah mendengarnya, Vania sontak menjadi berminat. Dia bergegas datang ke hadapan Janice, lalu pura-pura tidak sengaja meraba kalungnya."Ya, dia sayang sekali padaku. Dia nggak bisa melihatku sakit. Kamu cemburu ya? Cepat cari pacar kalau begitu. Tapi, seharusnya nggak ada pria seperti Jason di dunia ini."Nada bicaranya terdengar lembut, tetapi tatapannya yang tertuju pada Janice dipenuhi ejekan, seolah-olah mengatakan bahwa kecemburuan Janice tidak ada gunanya ka
Setengah jam kemudian, staf kafe itu memasuki studio dengan membawa kantong kertas. Demi menjaga sopan santun, seorang rekan kerja memberikan kopi pertama kepada Vania. "Vania, kamu minum dulu. Rasanya benaran enak lho!"Vania menatap cangkir kopi di depannya dengan gugup. Dari sudut matanya, dia bisa melihat Janice sudah mengambil kopinya dan menyesap dengan ekspresi puas. "Hm ... enak sekali."Vania hanya bisa menyesap dengan perlahan. Setelah menahannya di dalam mulut untuk sesaat, dia baru menelannya. "Ya, memang enak."Seorang rekan kerja yang tidak menyukai Vania tiba-tiba menyindir, "Kenapa cuma minum sedikit? Kamu nggak suka kopi pilihan kami ya?"Vania selalu mempertahankan citra anggun dan ramah. Makanya, dia punya banyak penggemar di internet. Di kehidupan lampau, dia mengelabui orang-orang yang tidak tahu kebenarannya sehingga banyak yang berdiri di pihaknya.Namun, kini jika Vania berani menunjukkan kebenciannya sedikit saja, para rekan kerjanya akan langsung menyebarkan m
Menurut tebakan Janice, itu mungkin bukan anak Jason. Makanya, Janice mencari tahu tentang teman pria Vania. Sayangnya, belum ada perkembangan apa pun sampai sekarang. Namun, Janice makin yakin saat melihat Vania begitu takut.Selama empat hari selanjutnya, Vania selalu merias diri dengan cantik dan menghilang tiba-tiba. Sementara itu, Janice selalu membuntutinya dan mendengar rintihan kesakitan. Menurut dokter, sepertinya aborsi Vania gagal.Vania bertahan dua hari lagi sebelum akhirnya tidak tahan dan meminta izin mencari dokter. Ketika melihat ini, Janice pun ikut keluar dengan alasan harus mengantar barang.Vania mencari dokter yang meresepkannya obat sebelumnya. Supaya tidak ada yang melihat, dia memilih jam siang saat rumah sakit sedang sepi.Namun, sebelum memasuki ruangan, Vania tiba-tiba menerima panggilan. Dia sontak terperangah. "Apa katamu? Kamu yakin? Oke, aku sudah tahu."Vania menggertakkan giginya sambil mengakhiri panggilan. Ketika menurunkan tangannya, dia berbalik da
"Wanita apa? Panggil aku Wanita Ganas Pengayun Golok Tengah Malam," kata Louise yang berdiri di depan Janice dan melihat pria di depannya dengan tatapan ganas.Pria itu bertanya sambil mendesis, "Kamu penulis komik itu, 'kan?"Louise merapikan rambutnya, lalu berkata dengan suara yang menjadi manis, "Kamu ini penggemar fanatik, 'kan?""Aku bukan penggemar fanatik, aku adalah dewa," kata pria itu dengan kesal, lalu melempar sapunya dan menepuk debu di pakaiannya. Setelah itu, dia berjalan melewati Louise dan mendekati Janice.Melihat pria itu sudah mengejar sampai sini, Janice merasa tidak perlu bersembunyi lagi. Lagi pula, pria ini sudah melihatnya mengantar anak. Dia menepuk bahu Louise dan berkata dengan tak berdaya, "Aku kenal dia."Louise terkejut, lalu mulai menebak-nebak. "Jangan-jangan dia ini ... ayahnya Vega?""Jangan sembarang berbicara. Kalau ada yang mendengar, aku akan mati," kata pria itu dengan marah.Mendengar perkataan itu, Janice tersenyum dan menggelengkan kepala kar
Zion segera maju dan memapah Landon. Saat melihat luka Landon dari dekat, dia langsung mengernyitkan alis. "Pukulan Pak Jason terlalu keras."Landon mengambil handuk dan menyeka sudut bibirnya. "Sudahlah, anggap itu pelampiasan saja. Kalau dia sudah menemukan tempat ini, kita sepertinya nggak bisa menipunya dengan bilang hanya kebetulan saja. Lebih baik beri Janice sedikit waktu lagi.""Tuan Landon, kamu sebenarnya punya niat pribadi juga, 'kan? Kamu ingin lebih dulu menemukan Nona Rachel daripada Pak Jason, 'kan?" kata Zion.Landon sama sekali tidak membantah. Dia sering berpikir apakah semuanya akan berbeda jika dia yang bertemu dengan Janice terlebih dahulu. Oleh karena itu, kali ini dia juga ingin mengambil risiko. "Zion, terus selidiki jejak Janice. Harus lebih cepat dari Pak Jason.""Baik," jawab Zion.....Setelah kembali ke kamar, Jason mengambil handuk dan menyeka tangannya yang terluka dengan tatapan dingin dan ekspresi cuek.Norman baru saja ingin mendekat dan menenangkan, t
"Biar aku saja," kata Dipo."Nggak perlu. Kamu ini baru pulang seminggu sekali, cepat pergi lihat orang tuamu," kata Janice sambil tersenyum dan menggendong Vega, lalu berbalik dan masuk ke penginapan.Dipo terbata-bata sejenak, lalu akhirnya memutuskan untuk pergi.Louise mengikuti Janice dan berkata, "Dokter Dipo sepertinya tertarik padamu dan sangat baik dengan Vega juga. Kenapa kamu malah menolaknya?""Sekarang kehidupanku cukup baik, aku hanya butuh Vega saja," jawab Janice sambil memeluk Vega dengan erat. Dia berpikir orang tidak boleh terlalu serakah.Louise mengangkat bahunya dan bertanya dengan penasaran, "Jangan-jangan kamu masih memikirkan ayahnya Vega? Dia itu pria berengsek."Janice langsung menutup telinga Vega. "Jangan sampai anak kecil mendengarnya.""Baiklah. Oh ya. Tadi ada pria yang super tampan datang ke sini, penampilannya itu seperti model," kata Louise sambil terus menggerakkan tangannya.Janice hanya menganggukkan kepala dengan cuek, sama sekali tidak memedulika
Saat Janice dan Dipo sedang membicarakan beberapa hal, Louise pergi keluar sambil memegang lolipop. Namun, Vega ternyata tidak berada di sana, dia pun terkejut sampai berkeringat dingin. Dia segera menarik salah satu karyawan dan bertanya, "Mana Vega?"Karyawan itu menunjuk ke toko hadiah di sebelah dan berkata, "Dia ke sana untuk cari makan dan minum lagi."Tetangga serta orang-orang di sekitar sana sudah sangat akrab dan Vega juga anak kecil satu-satunya di jalan itu, sehingga semua orang sangat menyayanginya.Louise baru saja hendak menghela napas lega, tetapi tatapannya tiba-tiba tertuju ke seberang jalan. "Wah .... Pria super tampan!"Karyawan itu pun terkekeh-kekeh. "Mulutmu jangan terbuka begitu .... Memang tampan, tapi kenapa rasanya agak familier?""Kamu jangan bodoh begitu, lihat aku saja," kata Louise sambil merapikan rambutnya dan hendak berjalan ke arah pria itu.Namun, karyawan itu menghentikan Louise. "Kamu yakin mau pakai piama ke sana?"Mendengar perkataan itu, Louise
Karakter dalam komik itu fiktif dan gambar anak kecil itu juga hanya mirip dengan Vega sekitar 70% sampai 80% saja. Oleh karena itu, tidak bisa dibilang identik dan tidak termasuk dengan pelanggaran privasi juga. Namun, Louise sangat menyukai Vega, tentu saja tidak ingin mempersulit Janice. "Kalau begitu, nanti aku akan klarifikasi dan ubah penampilan bayi itu.""Baiklah," jawab Janice.Begitu percakapan keduanya selesai, televisi di dinding ruang tamu penginapan tiba-tiba menayangkan berita yang sedang viral. Berita itu berisi gambaran Jason yang memapah Rachel masuk ke dalam rumah sakit, sedangkan Rachel terlihat bergerak dengan sangat pelan. Reporter berspekulasi program kehamilan mereka sudah berhasil.Saat melihat gambaran di layar televisi, Janice langsung tercekat. Setelah dia pergi, Anwar selalu mencari kesempatan di berbagai acara untuk mengumumkan pasangan suami istri itu sedang berusaha memiliki anak. Belakangan ini, Rachel juga ikut mengiakan kabar itu. Dia berpikir seperti
Di Moonsea Bay.Janice baru saja menyerahkan kalung yang didesainnya untuk istri Hady si kurir itu.Hady tersenyum dan berkata, "Apa Vega sebentar lagi akan jadi seleb ya?"Janice yang kebingungan pun bertanya, "Apa maksudmu?""Istriku lihat gambar Vega saat sedang melihat-lihat video. Dia bilang sekarang banyak orang yang bilang dia mirip seseorang yang sangat terkenal ... namanya aku sudah lupa."Setelah mengatakan itu, perhatian Hady langsung tertuju pada kalung di dalam kotak. "Wah. Nona Janice, kamu benar-benar hebat. Aku nggak menyangka hanya dengan empat jutaan saja sudah bisa membeli kalung yang begitu bagus. Istriku pasti suka."Hady menutup kotaknya dengan hati-hati, lalu menyimpannya ke dalam saku di dalam jaketnya.Namun, Janice masih memikirkan perkataan Hady tadi. "Hady, gambar Vega apa yang tadi kamu maksud?""Itu komik yang digambar Nona Tukang Jerit di penginapanmu. Istriku bilang ceritanya sangat lucu dan karakter bayi yang baru muncul itu yang begitu mirip dengan Veg
Tanpa perlu dijelaskan, Norman tahu Arya pasti mengerti orang yang dimaksudnya adalah Janice. Dia meminta Arya melakukan itu karena merasa foto itu mungkin bisa membantu Jason di saat krusial.Saat terpikir Jason, Arya tersenyum pahit. Dia adalah orang yang paling mengerti kondisi Jason selama tiga tahun ini. Hanya saja, rencana seperti ini sering tiba-tiba berubah.Setelah mengajukan cuti dan hendak memesan tiket pesawat ke Kota Genggi, ponsel Arya tiba-tiba menerima pesan dari Zion.[ Aku menemani tuan mudaku dinas ke Kota Genggi. Bagaimana kalau aku terbang ke Kota Pakisa untuk bertemu denganmu? Tenang saja, aku nggak membawa anak. ]Arya langsung menyadari Zion juga sudah tahu dan merasa ada firasat buruk.Firasat buruk Arya memang benar. Pada detik berikutnya, Norman pun menerima perintah dari Jason. "Pak Jason sudah tahu Pak Landon pergi ke Kota Genggi. Dia suruh aku mengatur perjalanannya ke sana juga.""Habis sudah ...." Arya langsung merasa kesulitan.Keduanya pun akhirnya sep
Lima menit kemudian, Arya sudah terikat di kursi kantornya. Dia menatap Norman dan berkata sambil tersenyum, "Jangan main-main lagi, sebentar lagi aku harus keliling kamar pasien."Norman bersandar di meja dan berkata dengan ekspresi serius, "Minggu ini giliranmu jaga klinik, jadi kamu nggak perlu keliling kamar pasien. Jangan harap bisa menghindar. Cepat katakan, itu anak siapa?""Punya Zion," jawab Arya dengan sangat serius dan tegas.Sudut bibir Norman berkedut, lalu mengernyitkan alisnya dan berkata, "Kamu tahu maksudku."Arya mengalihkan pandangannya. "Hanya komik, kebetulan saja.""Kalau hanya kita bertiga yang mirip dengan karakter di komik itu, masih bisa dibilang kebetulan. Tapi, penampilan anak kecil itu hanya kamu, aku, dan Pak Jason saja yang tahu, siapa yang bisa gambar sampai begitu detail? Kecuali dia benar-benar ada. Perlu aku teruskan lagi?" jelas Norman."Bisakah kamu nggak seperti Pak Jason? Aku benar-benar nggak tahu," kata Arya sambil memalingkan wajahnya dengan gu
Saat Janice mengatakan itu, Louise merasa makin bersemangat. "Aku tiba-tiba dapat inspirasi, aku naik ke atas dulu."Melihat Louise berlari dengan cepat, Janice juga tidak terlalu memikirkannya karena kebetulan jam di dinding menunjukkan sudah waktunya untuk menjemput anak. Dia berjalan kaki menuju TK di kota. Pukul setengah empat, kelas penitipan anak pun pulang terlebih dahulu. Seorang anak kecil memakai topi kuning dan rambutnya dikepang dua berlari terhuyung-huyung ke arahnya."Mama, aku rindu kamu," kata Vega.Janice menggendong Vega, lalu mengeluarkan sebuah permen dari sakunya. "Guru bilang hari ini kamu paling baik, jadi ini hadiah untukmu.""Wah. Mama, terima kasih," kata Vega dengan sepasang mata yang terlihat bersinar, bahkan sempat mengecup pipi Janice.Setiap kali Vega mengecupnya seperti ini, Janice selalu merasa sangat bersyukur telah pergi dari kehidupan sebelumnya karena sekarang Vega akhirnya kembali lagi ke sisinya. Tanpa kehidupan yang mewah sekaligus menyesakkan se