Suster juga segera memberi suntikan dan memasang infus lagi pada Janice. Setelah selesai, Jason menatap Arya. "Kamu keluar dulu."Arya memegang perutnya, lalu mengelus lengan yang ditarik oleh Jason tadi. "Hitung saja sebagai cedera saat kerja!"Pintu bangsal perlahan ditutup, hanya tersisa Janice dan Jason di dalam. Janice sadar dan mencoba melepaskan diri dari pelukan pria itu.Namun, dia terkunci erat dari belakang. Dada hangat itu memeluknya dengan kuat. Suara Jason terdengar dalam dan dingin. "Kamu tahu dia akan mencarimu?""Nggak tahu, bukannya kamu bilang aku kurang pintar? Gimana aku bisa menebak pikiran orang lain?" sahut Janice dengan lirih."Kok masih ngotot?" Jason duduk di belakang Janice sehingga ekspresinya tidak terlihat. Selain itu, nada bicaranya juga datar tanpa emosi. Jason meraih selimut dan menutupi tubuh mereka berdua.Tubuh Jason sangat hangat, membuat selimut yang dingin langsung terasa nyaman. Janice merasa sedikit canggung, tetapi tidak bisa bergerak.Ruangan
Namun, sekarang Janice punya hal yang lebih penting untuk dilakukan. Jika benar-benar ingin melapor ke polisi, dia harus memeriksa cederanya dulu, memastikan laporan medisnya sudah lengkap.Begitu turun dari ranjang, Janice hendak berdiri. Kakinya langsung terasa lemas seperti berjalan di atas kapas. Dia menggertakkan giginya dan perlahan-lahan menuju ruang dokter.Ketika Janice masih setengah jalan, pintu kantor tiba-tiba dibuka dengan kasar. Arya keluar dengan tergesa-gesa sambil menerima telepon. "Kamu gila ya? Kamu sudah bosan hidup?"Karena terburu-buru, Arya melewati Janice tanpa menyadari kehadirannya. Janice memandang punggungnya, teringat pada orang yang kabur dari ruang ganti tadi. Rasanya mirip, tetapi juga tidak.Tadi masker Arya dihancurkan oleh Jason. Arya juga menabrak banyak lemari, kenapa sekarang dia tampak baik-baik saja? Selain itu, kenapa Jason yang tahu hubungan gelap Arya dengan Vania, tetap begitu memercayai Arya?Berbagai pertanyaan berkecamuk di pikiran Janice
Tangan pria itu putih dan ramping, meluncur perlahan di sepanjang pergelangan tangan Janice dan meremas jari-jarinya. Dengan sedikit kekuatan, dia menarik Janice ke pelukannya.Janice pun tertegun dan perlahan-lahan menatap ke atas. Wajah pria itu begitu dekat dengannya, bahkan menunduk dan menatapnya lekat-lekat. Siapa lagi kalau bukan Jason?Mata Jason gelap seperti langit malam, menakutkan tetapi menarik. Di bawah tatapannya, jantung Janice berdetak kencang. Di samping telinganya, terdengar suara lembut putrinya."Mama, kenapa aku dipanggil Vega?""Karena matamu indah seperti bintang di langit malam."Seperti ayahmu. Dalam keheningan yang panjang, pandangan Janice mulai kabur. Dia tidak ingin orang lain melihat kelemahannya sehingga buru-buru mengalihkan pandangan dari Jason dan menunduk.Seketika, sebuah jaket pria diletakkan di kepala Janice dan menutupi sebagian besar wajahnya. Aura Jason yang tenang menyelimuti dirinya, membuatnya merasa hangat.Sementara itu, mata Janice dipenu
"Halo, Bu Janice. Aku dari kepolisian. Kami sudah di bangsalmu. Kamu di mana?" Suara di ujung telepon terdengar rendah dan tidak sabar.Janice tahu sekarang sudah larut malam. Pasti polisi merasa kesal karena tidak bisa menemukan dirinya."Maaf, aku akan balik sekarang.""Cepat sedikit."Setelah mengakhiri panggilan, Janice mengambil kesempatan untuk mendorong Jason sekaligus mengembalikan jaketnya."Paman, aku pergi dulu." Janice tidak berani menatapnya, langsung berbalik dan berlari.Jason memandangnya pergi begitu saja. Ponselnya di saku bergetar. Dia melirik pesan itu dan matanya sedikit menggelap. Kemudian, dia juga meninggalkan tangga itu.....Janice membuka pintu, mengira akan melihat polisi yang menunggunya. Namun, selain polisi, dia melihat juga melihat Caitlin yang duduk di kursi roda dengan tangan dan kaki dibalut perban.Caitlin tampak terluka parah, tetapi wajahnya merah merona dan matanya tidak menunjukkan rasa sakit sedikit pun. Sebaliknya, dia terlihat puas.Janice ter
Janice melirik orang-orang di depannya dengan dingin. Pada akhirnya, matanya tertuju pada seorang polisi paruh baya di depannya. "Kamu pasti paman Caitlin, 'kan?""Aku sedang menjalankan tugas dengan adil dan benar. Kuharap kamu bisa mengerti." Polisi itu tidak langsung menjawab pertanyaan Janice. Dia berdiri tegak, seolah-olah menunjukkan sikap yang sangat tegas. Namun, tatapannya yang secara tidak sengaja melirik Caitlin telah membocorkan niatnya.Janice tertawa ringan. "Maaf, tapi aku nggak setuju dengan cara penegakan hukummu. Aku baru saja melaporkan kejadian ini, tapi Caitlin sudah mendapat seluruh laporan cedera, sementara laporanku masih ada dua yang belum keluar.""Caitlin sepertinya bisa meramal ya. Selain itu, polisi nggak pernah memintaku untuk memberi keterangan. Sejak kapan pelapor yang melapor malah menjadi dasar keterangan dari korban?""Mengenai laporan mental, aku selalu mengikuti pengobatan yang disarankan. Menurut kondisi medis dalam sistem kesehatan saat ini, aku s
Caitlin segera menutup mulutnya setelah berbicara.Polisi memelototinya, lalu berbalik dan tersenyum kepada Janice sambil menjulurkan tangan. "Bu Janice, kalau memang ada bukti, seharusnya kamu menunjukkan lebih awal. Biar kulihat."Janice menghindari tangan polisi itu. "Posisimu kurang tepat untuk menangani kasusku. Aku minta orang lain yang menangani. Kalau nggak, aku akan mengunggah bukti ini ke internet dan membiarkan para netizen menilai.""Kamu ...." Polisi itu menarik napas dalam-dalam dan akhirnya mundur selangkah. Kemudian, dia menunjuk seorang polisi muda. "Kamu yang tangani saja."Polisi muda itu segera maju. Janice meminta agar dia menyalakan alat perekam dan membuka ponselnya."Komputer dan ponselku terhubung. Begitu kode sandi dimasukkan, kamera di komputer otomatis aktif dan mengirimkan gambar ke ponselku."Sejak Vania mencuri desainnya, Janice sudah mencari banyak cara di internet. Ini adalah cara terbaik yang bisa dia pikirkan.Jadi, ketika Caitlin hampir menghancurkan
Arya menunduk dan memutar pemantik api di tangannya. Kemudian, dia menghela napas ringan dan berkata, "Bukan salah dia. Dia juga nggak nyangka bukti yang dianggap tak terbantahkan malah nggak ada apa-apanya bagi Keluarga Riyadi.""Kalaupun Caitlin ditangkap, Keluarga Riyadi nggak bakal goyah sedikit pun. Sebaliknya, balas dendam untuknya baru saja dimulai. Belum lagi, ayahmy yang nggak akan melepaskannya begitu saja."Jason mengisap rokoknya tanpa berkata apa-apa.Arya mengernyit dan meneruskan, "Kamu benaran mau membiarkannya begitu saja? Aku tahu kamu ingin memanfaatkan ayah Caitlin untuk menyelesaikan masalah tambang, tapi itu melibatkan nyawa manusia. Kolusi antara pejabat dan pebisnis benar-benar ...."Arya adalah seorang dokter, jadi tentu bisa merasa kasihan. Di satu sisi adalah sahabatnya. Di sisi lain adalah nyawa manusia yang hilang akibat kecelakaan. Dia merasa sangat tidak nyaman dengan situasi ini.Tambang milik Anwar sangat menguntungkan, tetapi kekuasaan sebenarnya tidak
Di belakangnya, terdengar tawa ringan Jason. Janice mengatupkan bibirnya dan terus memejamkan matanya.Jason memeluk Janice dari balik selimut dan membenamkan wajahnya di leher. Napas panas itu membuat Janice menarik selimut dengan erat."Tidur saja."Ketahuan. Namun, Janice tidak berani menunjukkan apa-apa dan hanya bisa terus berpura-pura. Dia benar-benar tidak tahu harus bagaimana menghadapi Jason jika membuka matanya.Tanpa disadari, Janice pun tertidur. Ketika terbangun, Ivy tampak masuk dengan membawa sarapan dan berseru, "Karma sudah bekerja!"Janice tidak terlalu peduli. Dia membuka kotak sarapan dan menyuap satu sendok bubur putih ke mulutnya karena dia memang sangat lapar.Setelah menelan bubur, Janice baru bertanya, "Siapa yang kena karma?"Pertanyaan itu langsung membuat Ivy bersemangat. Dia menunjuk video di ponselnya dan berkata, "Tadi pagi ada orang yang memposting video Caitlin memukuli satpam di bar. Sikapnya yang sombong itu sama sekali nggak menganggap satpam sebagai
"Wanita apa? Panggil aku Wanita Ganas Pengayun Golok Tengah Malam," kata Louise yang berdiri di depan Janice dan melihat pria di depannya dengan tatapan ganas.Pria itu bertanya sambil mendesis, "Kamu penulis komik itu, 'kan?"Louise merapikan rambutnya, lalu berkata dengan suara yang menjadi manis, "Kamu ini penggemar fanatik, 'kan?""Aku bukan penggemar fanatik, aku adalah dewa," kata pria itu dengan kesal, lalu melempar sapunya dan menepuk debu di pakaiannya. Setelah itu, dia berjalan melewati Louise dan mendekati Janice.Melihat pria itu sudah mengejar sampai sini, Janice merasa tidak perlu bersembunyi lagi. Lagi pula, pria ini sudah melihatnya mengantar anak. Dia menepuk bahu Louise dan berkata dengan tak berdaya, "Aku kenal dia."Louise terkejut, lalu mulai menebak-nebak. "Jangan-jangan dia ini ... ayahnya Vega?""Jangan sembarang berbicara. Kalau ada yang mendengar, aku akan mati," kata pria itu dengan marah.Mendengar perkataan itu, Janice tersenyum dan menggelengkan kepala kar
Zion segera maju dan memapah Landon. Saat melihat luka Landon dari dekat, dia langsung mengernyitkan alis. "Pukulan Pak Jason terlalu keras."Landon mengambil handuk dan menyeka sudut bibirnya. "Sudahlah, anggap itu pelampiasan saja. Kalau dia sudah menemukan tempat ini, kita sepertinya nggak bisa menipunya dengan bilang hanya kebetulan saja. Lebih baik beri Janice sedikit waktu lagi.""Tuan Landon, kamu sebenarnya punya niat pribadi juga, 'kan? Kamu ingin lebih dulu menemukan Nona Rachel daripada Pak Jason, 'kan?" kata Zion.Landon sama sekali tidak membantah. Dia sering berpikir apakah semuanya akan berbeda jika dia yang bertemu dengan Janice terlebih dahulu. Oleh karena itu, kali ini dia juga ingin mengambil risiko. "Zion, terus selidiki jejak Janice. Harus lebih cepat dari Pak Jason.""Baik," jawab Zion.....Setelah kembali ke kamar, Jason mengambil handuk dan menyeka tangannya yang terluka dengan tatapan dingin dan ekspresi cuek.Norman baru saja ingin mendekat dan menenangkan, t
"Biar aku saja," kata Dipo."Nggak perlu. Kamu ini baru pulang seminggu sekali, cepat pergi lihat orang tuamu," kata Janice sambil tersenyum dan menggendong Vega, lalu berbalik dan masuk ke penginapan.Dipo terbata-bata sejenak, lalu akhirnya memutuskan untuk pergi.Louise mengikuti Janice dan berkata, "Dokter Dipo sepertinya tertarik padamu dan sangat baik dengan Vega juga. Kenapa kamu malah menolaknya?""Sekarang kehidupanku cukup baik, aku hanya butuh Vega saja," jawab Janice sambil memeluk Vega dengan erat. Dia berpikir orang tidak boleh terlalu serakah.Louise mengangkat bahunya dan bertanya dengan penasaran, "Jangan-jangan kamu masih memikirkan ayahnya Vega? Dia itu pria berengsek."Janice langsung menutup telinga Vega. "Jangan sampai anak kecil mendengarnya.""Baiklah. Oh ya. Tadi ada pria yang super tampan datang ke sini, penampilannya itu seperti model," kata Louise sambil terus menggerakkan tangannya.Janice hanya menganggukkan kepala dengan cuek, sama sekali tidak memedulika
Saat Janice dan Dipo sedang membicarakan beberapa hal, Louise pergi keluar sambil memegang lolipop. Namun, Vega ternyata tidak berada di sana, dia pun terkejut sampai berkeringat dingin. Dia segera menarik salah satu karyawan dan bertanya, "Mana Vega?"Karyawan itu menunjuk ke toko hadiah di sebelah dan berkata, "Dia ke sana untuk cari makan dan minum lagi."Tetangga serta orang-orang di sekitar sana sudah sangat akrab dan Vega juga anak kecil satu-satunya di jalan itu, sehingga semua orang sangat menyayanginya.Louise baru saja hendak menghela napas lega, tetapi tatapannya tiba-tiba tertuju ke seberang jalan. "Wah .... Pria super tampan!"Karyawan itu pun terkekeh-kekeh. "Mulutmu jangan terbuka begitu .... Memang tampan, tapi kenapa rasanya agak familier?""Kamu jangan bodoh begitu, lihat aku saja," kata Louise sambil merapikan rambutnya dan hendak berjalan ke arah pria itu.Namun, karyawan itu menghentikan Louise. "Kamu yakin mau pakai piama ke sana?"Mendengar perkataan itu, Louise
Karakter dalam komik itu fiktif dan gambar anak kecil itu juga hanya mirip dengan Vega sekitar 70% sampai 80% saja. Oleh karena itu, tidak bisa dibilang identik dan tidak termasuk dengan pelanggaran privasi juga. Namun, Louise sangat menyukai Vega, tentu saja tidak ingin mempersulit Janice. "Kalau begitu, nanti aku akan klarifikasi dan ubah penampilan bayi itu.""Baiklah," jawab Janice.Begitu percakapan keduanya selesai, televisi di dinding ruang tamu penginapan tiba-tiba menayangkan berita yang sedang viral. Berita itu berisi gambaran Jason yang memapah Rachel masuk ke dalam rumah sakit, sedangkan Rachel terlihat bergerak dengan sangat pelan. Reporter berspekulasi program kehamilan mereka sudah berhasil.Saat melihat gambaran di layar televisi, Janice langsung tercekat. Setelah dia pergi, Anwar selalu mencari kesempatan di berbagai acara untuk mengumumkan pasangan suami istri itu sedang berusaha memiliki anak. Belakangan ini, Rachel juga ikut mengiakan kabar itu. Dia berpikir seperti
Di Moonsea Bay.Janice baru saja menyerahkan kalung yang didesainnya untuk istri Hady si kurir itu.Hady tersenyum dan berkata, "Apa Vega sebentar lagi akan jadi seleb ya?"Janice yang kebingungan pun bertanya, "Apa maksudmu?""Istriku lihat gambar Vega saat sedang melihat-lihat video. Dia bilang sekarang banyak orang yang bilang dia mirip seseorang yang sangat terkenal ... namanya aku sudah lupa."Setelah mengatakan itu, perhatian Hady langsung tertuju pada kalung di dalam kotak. "Wah. Nona Janice, kamu benar-benar hebat. Aku nggak menyangka hanya dengan empat jutaan saja sudah bisa membeli kalung yang begitu bagus. Istriku pasti suka."Hady menutup kotaknya dengan hati-hati, lalu menyimpannya ke dalam saku di dalam jaketnya.Namun, Janice masih memikirkan perkataan Hady tadi. "Hady, gambar Vega apa yang tadi kamu maksud?""Itu komik yang digambar Nona Tukang Jerit di penginapanmu. Istriku bilang ceritanya sangat lucu dan karakter bayi yang baru muncul itu yang begitu mirip dengan Veg
Tanpa perlu dijelaskan, Norman tahu Arya pasti mengerti orang yang dimaksudnya adalah Janice. Dia meminta Arya melakukan itu karena merasa foto itu mungkin bisa membantu Jason di saat krusial.Saat terpikir Jason, Arya tersenyum pahit. Dia adalah orang yang paling mengerti kondisi Jason selama tiga tahun ini. Hanya saja, rencana seperti ini sering tiba-tiba berubah.Setelah mengajukan cuti dan hendak memesan tiket pesawat ke Kota Genggi, ponsel Arya tiba-tiba menerima pesan dari Zion.[ Aku menemani tuan mudaku dinas ke Kota Genggi. Bagaimana kalau aku terbang ke Kota Pakisa untuk bertemu denganmu? Tenang saja, aku nggak membawa anak. ]Arya langsung menyadari Zion juga sudah tahu dan merasa ada firasat buruk.Firasat buruk Arya memang benar. Pada detik berikutnya, Norman pun menerima perintah dari Jason. "Pak Jason sudah tahu Pak Landon pergi ke Kota Genggi. Dia suruh aku mengatur perjalanannya ke sana juga.""Habis sudah ...." Arya langsung merasa kesulitan.Keduanya pun akhirnya sep
Lima menit kemudian, Arya sudah terikat di kursi kantornya. Dia menatap Norman dan berkata sambil tersenyum, "Jangan main-main lagi, sebentar lagi aku harus keliling kamar pasien."Norman bersandar di meja dan berkata dengan ekspresi serius, "Minggu ini giliranmu jaga klinik, jadi kamu nggak perlu keliling kamar pasien. Jangan harap bisa menghindar. Cepat katakan, itu anak siapa?""Punya Zion," jawab Arya dengan sangat serius dan tegas.Sudut bibir Norman berkedut, lalu mengernyitkan alisnya dan berkata, "Kamu tahu maksudku."Arya mengalihkan pandangannya. "Hanya komik, kebetulan saja.""Kalau hanya kita bertiga yang mirip dengan karakter di komik itu, masih bisa dibilang kebetulan. Tapi, penampilan anak kecil itu hanya kamu, aku, dan Pak Jason saja yang tahu, siapa yang bisa gambar sampai begitu detail? Kecuali dia benar-benar ada. Perlu aku teruskan lagi?" jelas Norman."Bisakah kamu nggak seperti Pak Jason? Aku benar-benar nggak tahu," kata Arya sambil memalingkan wajahnya dengan gu
Saat Janice mengatakan itu, Louise merasa makin bersemangat. "Aku tiba-tiba dapat inspirasi, aku naik ke atas dulu."Melihat Louise berlari dengan cepat, Janice juga tidak terlalu memikirkannya karena kebetulan jam di dinding menunjukkan sudah waktunya untuk menjemput anak. Dia berjalan kaki menuju TK di kota. Pukul setengah empat, kelas penitipan anak pun pulang terlebih dahulu. Seorang anak kecil memakai topi kuning dan rambutnya dikepang dua berlari terhuyung-huyung ke arahnya."Mama, aku rindu kamu," kata Vega.Janice menggendong Vega, lalu mengeluarkan sebuah permen dari sakunya. "Guru bilang hari ini kamu paling baik, jadi ini hadiah untukmu.""Wah. Mama, terima kasih," kata Vega dengan sepasang mata yang terlihat bersinar, bahkan sempat mengecup pipi Janice.Setiap kali Vega mengecupnya seperti ini, Janice selalu merasa sangat bersyukur telah pergi dari kehidupan sebelumnya karena sekarang Vega akhirnya kembali lagi ke sisinya. Tanpa kehidupan yang mewah sekaligus menyesakkan se