Itu dia. Arya!Janice mengenali pria itu dari lambang di jaket kulitnya. Pria itu berhenti sejenak, lalu bertanya dengan suara rendah, "Kamu mengenaliku?"Janice segera mengalihkan pandangannya, menggelengkan kepala dengan cepat sambil berkata dengan suara bergetar, "Aku benar-benar nggak tahu apa-apa. Kenapa Caitlin nggak percaya padaku?"Janice tidak bisa mengakui bahwa dia mengenalinya; mungkin masih ada harapan untuk bertahan hidup. Pria itu tertawa keras dengan nada mengejek. "Kalau begitu, pastikan kamu mencarinya di akhirat nanti."Dia mengayunkan pipa besi ke arah Janice.Janice refleks meringkuk untuk melindungi tubuhnya. Namun, tepat pada saat itu, pria di depannya terhempas ke deretan loker di belakangnya.Deretan loker itu roboh dengan suara keras dan membuka penutup kayu yang menghalangi jendela. Cahaya bulan masuk melalui jendela yang pecah, memperlihatkan sosok yang baru saja menyerang pria itu.Darah segar menetes dari tinjunya, membasahi cincin merah delima di jarinya.
Suster juga segera memberi suntikan dan memasang infus lagi pada Janice. Setelah selesai, Jason menatap Arya. "Kamu keluar dulu."Arya memegang perutnya, lalu mengelus lengan yang ditarik oleh Jason tadi. "Hitung saja sebagai cedera saat kerja!"Pintu bangsal perlahan ditutup, hanya tersisa Janice dan Jason di dalam. Janice sadar dan mencoba melepaskan diri dari pelukan pria itu.Namun, dia terkunci erat dari belakang. Dada hangat itu memeluknya dengan kuat. Suara Jason terdengar dalam dan dingin. "Kamu tahu dia akan mencarimu?""Nggak tahu, bukannya kamu bilang aku kurang pintar? Gimana aku bisa menebak pikiran orang lain?" sahut Janice dengan lirih."Kok masih ngotot?" Jason duduk di belakang Janice sehingga ekspresinya tidak terlihat. Selain itu, nada bicaranya juga datar tanpa emosi. Jason meraih selimut dan menutupi tubuh mereka berdua.Tubuh Jason sangat hangat, membuat selimut yang dingin langsung terasa nyaman. Janice merasa sedikit canggung, tetapi tidak bisa bergerak.Ruangan
Namun, sekarang Janice punya hal yang lebih penting untuk dilakukan. Jika benar-benar ingin melapor ke polisi, dia harus memeriksa cederanya dulu, memastikan laporan medisnya sudah lengkap.Begitu turun dari ranjang, Janice hendak berdiri. Kakinya langsung terasa lemas seperti berjalan di atas kapas. Dia menggertakkan giginya dan perlahan-lahan menuju ruang dokter.Ketika Janice masih setengah jalan, pintu kantor tiba-tiba dibuka dengan kasar. Arya keluar dengan tergesa-gesa sambil menerima telepon. "Kamu gila ya? Kamu sudah bosan hidup?"Karena terburu-buru, Arya melewati Janice tanpa menyadari kehadirannya. Janice memandang punggungnya, teringat pada orang yang kabur dari ruang ganti tadi. Rasanya mirip, tetapi juga tidak.Tadi masker Arya dihancurkan oleh Jason. Arya juga menabrak banyak lemari, kenapa sekarang dia tampak baik-baik saja? Selain itu, kenapa Jason yang tahu hubungan gelap Arya dengan Vania, tetap begitu memercayai Arya?Berbagai pertanyaan berkecamuk di pikiran Janice
Tangan pria itu putih dan ramping, meluncur perlahan di sepanjang pergelangan tangan Janice dan meremas jari-jarinya. Dengan sedikit kekuatan, dia menarik Janice ke pelukannya.Janice pun tertegun dan perlahan-lahan menatap ke atas. Wajah pria itu begitu dekat dengannya, bahkan menunduk dan menatapnya lekat-lekat. Siapa lagi kalau bukan Jason?Mata Jason gelap seperti langit malam, menakutkan tetapi menarik. Di bawah tatapannya, jantung Janice berdetak kencang. Di samping telinganya, terdengar suara lembut putrinya."Mama, kenapa aku dipanggil Vega?""Karena matamu indah seperti bintang di langit malam."Seperti ayahmu. Dalam keheningan yang panjang, pandangan Janice mulai kabur. Dia tidak ingin orang lain melihat kelemahannya sehingga buru-buru mengalihkan pandangan dari Jason dan menunduk.Seketika, sebuah jaket pria diletakkan di kepala Janice dan menutupi sebagian besar wajahnya. Aura Jason yang tenang menyelimuti dirinya, membuatnya merasa hangat.Sementara itu, mata Janice dipenu
"Halo, Bu Janice. Aku dari kepolisian. Kami sudah di bangsalmu. Kamu di mana?" Suara di ujung telepon terdengar rendah dan tidak sabar.Janice tahu sekarang sudah larut malam. Pasti polisi merasa kesal karena tidak bisa menemukan dirinya."Maaf, aku akan balik sekarang.""Cepat sedikit."Setelah mengakhiri panggilan, Janice mengambil kesempatan untuk mendorong Jason sekaligus mengembalikan jaketnya."Paman, aku pergi dulu." Janice tidak berani menatapnya, langsung berbalik dan berlari.Jason memandangnya pergi begitu saja. Ponselnya di saku bergetar. Dia melirik pesan itu dan matanya sedikit menggelap. Kemudian, dia juga meninggalkan tangga itu.....Janice membuka pintu, mengira akan melihat polisi yang menunggunya. Namun, selain polisi, dia melihat juga melihat Caitlin yang duduk di kursi roda dengan tangan dan kaki dibalut perban.Caitlin tampak terluka parah, tetapi wajahnya merah merona dan matanya tidak menunjukkan rasa sakit sedikit pun. Sebaliknya, dia terlihat puas.Janice ter
Janice melirik orang-orang di depannya dengan dingin. Pada akhirnya, matanya tertuju pada seorang polisi paruh baya di depannya. "Kamu pasti paman Caitlin, 'kan?""Aku sedang menjalankan tugas dengan adil dan benar. Kuharap kamu bisa mengerti." Polisi itu tidak langsung menjawab pertanyaan Janice. Dia berdiri tegak, seolah-olah menunjukkan sikap yang sangat tegas. Namun, tatapannya yang secara tidak sengaja melirik Caitlin telah membocorkan niatnya.Janice tertawa ringan. "Maaf, tapi aku nggak setuju dengan cara penegakan hukummu. Aku baru saja melaporkan kejadian ini, tapi Caitlin sudah mendapat seluruh laporan cedera, sementara laporanku masih ada dua yang belum keluar.""Caitlin sepertinya bisa meramal ya. Selain itu, polisi nggak pernah memintaku untuk memberi keterangan. Sejak kapan pelapor yang melapor malah menjadi dasar keterangan dari korban?""Mengenai laporan mental, aku selalu mengikuti pengobatan yang disarankan. Menurut kondisi medis dalam sistem kesehatan saat ini, aku s
Caitlin segera menutup mulutnya setelah berbicara.Polisi memelototinya, lalu berbalik dan tersenyum kepada Janice sambil menjulurkan tangan. "Bu Janice, kalau memang ada bukti, seharusnya kamu menunjukkan lebih awal. Biar kulihat."Janice menghindari tangan polisi itu. "Posisimu kurang tepat untuk menangani kasusku. Aku minta orang lain yang menangani. Kalau nggak, aku akan mengunggah bukti ini ke internet dan membiarkan para netizen menilai.""Kamu ...." Polisi itu menarik napas dalam-dalam dan akhirnya mundur selangkah. Kemudian, dia menunjuk seorang polisi muda. "Kamu yang tangani saja."Polisi muda itu segera maju. Janice meminta agar dia menyalakan alat perekam dan membuka ponselnya."Komputer dan ponselku terhubung. Begitu kode sandi dimasukkan, kamera di komputer otomatis aktif dan mengirimkan gambar ke ponselku."Sejak Vania mencuri desainnya, Janice sudah mencari banyak cara di internet. Ini adalah cara terbaik yang bisa dia pikirkan.Jadi, ketika Caitlin hampir menghancurkan
Arya menunduk dan memutar pemantik api di tangannya. Kemudian, dia menghela napas ringan dan berkata, "Bukan salah dia. Dia juga nggak nyangka bukti yang dianggap tak terbantahkan malah nggak ada apa-apanya bagi Keluarga Riyadi.""Kalaupun Caitlin ditangkap, Keluarga Riyadi nggak bakal goyah sedikit pun. Sebaliknya, balas dendam untuknya baru saja dimulai. Belum lagi, ayahmy yang nggak akan melepaskannya begitu saja."Jason mengisap rokoknya tanpa berkata apa-apa.Arya mengernyit dan meneruskan, "Kamu benaran mau membiarkannya begitu saja? Aku tahu kamu ingin memanfaatkan ayah Caitlin untuk menyelesaikan masalah tambang, tapi itu melibatkan nyawa manusia. Kolusi antara pejabat dan pebisnis benar-benar ...."Arya adalah seorang dokter, jadi tentu bisa merasa kasihan. Di satu sisi adalah sahabatnya. Di sisi lain adalah nyawa manusia yang hilang akibat kecelakaan. Dia merasa sangat tidak nyaman dengan situasi ini.Tambang milik Anwar sangat menguntungkan, tetapi kekuasaan sebenarnya tidak
Hanya dari perbandingan desain, Zion langsung tahu bahwa kalung itu adalah karya Janice. Dia memang ada di sini.Zion melanjutkan, "Aku menemukan kalung milik ibu hamil itu dipesan secara custom oleh suaminya di toko perhiasan daring bernama Vega Jewelry. Lokasinya juga ada di Moonsea Bay. Penulis komik itu juga tinggal di Moonsea Bay."Landon mengangguk. "Masih ingat waktu Rachel ngotot ingin punya anak? Aku ingat dia bilang sudah menyiapkan nama anaknya, namanya ....""Vega. Dia belum hamil, tapi dia sudah yakin banget kalau itu anak perempuan," ucap Zion.Landon menatap nama toko perhiasan itu, seakan-akan semakin yakin. "Sepertinya nama ini Rachel dengar langsung dari mulut Jason."Begitu kalimat itu selesai dilontarkan, ponsel Zion berbunyi."Pak, dia baru saja pulang dari rumah sakit. Jangan-jangan dia sudah tahu Bu Janice dan anaknya di Moonsea Bay? Setahuku di Moonsea Bay cuma punya satu TK, hari ini baru saja ada kejadian."Kening Landon berkerut. "Berarti semua omonganku wakt
Janice kembali menggendong Vega, lalu menurunkannya dan mulai berkemas lagi. Saat hendak pergi, dia teringat pada kecelakaan di taman kanak-kanak.Dia mengenal sebagian besar anak-anak di sana. Jadi, dia segera membuka ponsel dan mentransfer 100 juta kepada guru, dengan catatan untuk anak-anak yang terluka.Tak lama kemudian, guru mengembalikan uang itu dan mengirimkan sebuah pesan.[ Mama Vega, Pak Jason sudah menanggung seluruh biaya pengobatan anak-anak yang terluka. ]Kenapa Jason bisa ada di rumah sakit? Jangan-jangan dia memang datang untuk menyumbang?Saat sedang berpikir, guru mengirim pesan lagi.[ Kata Kepala Sekolah, Pak Jason memang sudah lama ada di grup donor darah. Tapi karena nggak bisa donor darah, dia cuma menyumbang. Ternyata masih banyak orang baik di dunia ini. Terima kasih, Mama Vega. Bagaimana kondisi Vega sekarang? ][ Baik. Oh ya, aku ingin mengajukan cuti seminggu untuk Vega. ][ Boleh. Mohon tetap perhatikan kondisi Vega ya. Kalau ada masalah, beri tahu kami
Jason menggigit bibirnya. "Bagaimana kalau kami nggak setuju?"Jason menjawab dengan tenang, "Aku akan membuatmu setuju."Namun, kalimat ini terdengar seperti ancaman bagi Janice. Dia menatap Jason dengan tajam, lalu memasukkan tangannya yang sudah diobati ke dalam sakunya. Saat Jason sedang mengobati luka di tangan lainnya, dia mengeluarkan tongkat listrik mini anti pemerkosa.Setelah disetrum, tubuh Jason langsung menjadi kaku. Dia menatap Janice dan bertanya dengan nada bicara yang biasanya dingin dan sombong menjadi serak, "Apa kamu begitu membenciku?""Benci! Aku benci kamu!" teriak Janice sambil memalingkan wajahnya.Jason langsung terjatuh ke tanah dengan kuat.Setelah mematikan tongkat listrik itu, Janice segera menggendong Vega dan berlari keluar.Beberapa detik kemudian, Jason membuka matanya. Setelah perlahan-lahan bangkit dan menepuk debu dari pakaiannya, dia menatap ke arah perginya Janice sambil menghela napas. Saat seorang perawat masuk, dia langsung melirik dan memperin
Teringat dengan putrinya, Janice akhirnya berhenti melangkah dan memberi isyarat pada putrinya untuk segera ke sampingnya. Namun, Vega yang sedang memegang susunya pun langsung menarik keluar kakinya dari dalam jaket Jason sebagai isyarat dia tidak memakai sepatu. Dia hanya bisa berjalan mendekat, lalu mengulurkan tangan dan berusaha untuk tetap tenang. "Pak Jason, ini bukan anakmu.""Apa aku sudah tanya?" kata Jason sambil menarik pakaiannya dan membungkus kaki Vega, lalu perlahan-lahan berdiri di depan Janice.Saat Jason menatapnya, Janice merasa punggungnya sudah penuh dengan keringat dingin. Tatapan Jason terlihat dominan dan obsesif, tetapi terasa ada sebuah perasaan yang berbeda saat mendekatinya sampai dia tidak bisa bergerak sedikit pun. Dia menggigit bibirnya karena menyadari Jason pasti sudah menyelidiki segalanya baru bisa muncul di sini.Namun, saat Janice ingin menghindar, tatapannya malah bertemu dengan tatapan Jason. Begitu keduanya saling memandang, waktu terasa berhent
Jason tersenyum. "Baiklah, aku akan menunggu."Saat Jason menerima Vega yang agak memberontak, Hady langsung tertegun saat menatap mereka. "Pantas saja aku merasa kamu begitu familier, kalian berdua ....""Keluarga pasien! Keluarga pasien!" teriak perawat."Aku segera ke sana," jawab Hady.Setelah Hady pergi, Vega mengangkat kepala dan menatap wajah Jason. Namun, dia tidak menangis ataupun marah.Meskipun anak itu ada di depan mata, Jason masih merasa semuanya tidak nyata. Dia memeluk Vega dengan lebih erat dan menarik Vega agar lebih dekat dengan hati-hati. Saat dia bisa mencium aroma khas tubuh Vega dan bahkan ada sedikit bau Janice yang samar-samar, dia baru berani yakin anak ini adalah Vega di mimpinya. Hanya saja, wajah anak ini lebih bulat daripada wajah Vega di mimpinya.Mulut Jason bergerak, seolah-olah ada banyak hal yang ingin ditanyanya. Namun, saat dia hendak membuka mulut, Vega yang berada dalam pelukannya bergerak beberapa kali dan menunjuk mesin penjual otomatis di loron
Saat pria itu hendak memakaikan kalung itu pada istrinya, Jason tiba-tiba menggenggam pergelangan tangan pria itu. "Kalung ini dari mana?"Nada bicara Jason yang dingin membuat pria itu terkejut dan menjawab, "Dari ... Vega Jewelry. Bosnya adalah orang dari desa kami. Dia menjual perhiasan, sangat hebat."Wanita yang baru saja melewati kontraksinya pun meninju suaminya. "Apanya yang penjual perhiasan? Ini namanya desainer perhiasan.""Ya, aku memang mudah lupa," kata pria itu.Jason menatap desain pita yang pita yang istimewa itu. Dari lekukan hingga ukiran yang kecil-kecil di atasnya, semuanya itu adalah gaya khas Janice. Tenggorokannya terasa kering dan bertanya dengan suara serak, "Siapa?""Ja .... Ah! Sakit sekali!" teriak wanita itu tiba-tiba sebelum selesai menjawab pertanyaan Jason, lalu mencengkeram suaminya dan Jason dengan erat.Begitu pintu lift terbuka, kebetulan ada seorang perawat yang melihat kejadian itu dan segera memanggil orang untuk membantu. Saat dokter bertanya te
Nama yang tertera di sepatu itu adalah Vega.Saat itu, seorang guru yang sedang menjaga ketertiban di lokasi itu segera berlari mendekat. "Mama Vega, Vega nggak ada di sini. Anak-anak yang terluka parah sudah segera dibawa ke rumah sakit kota.""Terluka parah?" tanya Janice dengan suara bergetar.Guru itu menggigit bibirnya, lalu berkata, "Kepala sekolah sudah pergi ke sana, kamu juga segera pergi ke sana saja."Janice baru saja hendak berbalik, tetapi tubuhnya langsung ambruk.Arya segera memapah Janice. "Aku antar kamu ke rumah sakit."Janice hanya bisa menahan air matanya dan menganggukkan kepala. Setelah berlari ke rumah sakit dan diberi petunjuk oleh perawat, dia pun menemukan lantai tempat para korban kecelakaan TK dirawat. Di tengah kerumunan, dia langsung menemukan gurunya Vega. "Guru, mana Vega? Dia baik-baik saja, 'kan?""Vega baik-baik saja. Saat aku membawanya untuk menghindar, aku terpaksa membawanya bersamaku ke rumah sakit karena aku harus buru-buru mengantar para korban
Begitu mendengar terjadi kecelakaan di TK, Janice tanpa ragu langsung berlari keluar. Arya dan Louise segera mengikuti dari belakang."Kenapa bisa terjadi kecelakaan mobil di TK?" tanya Arya."TK ini dibangun di lereng. Saat bus pariwisata turun dari bukit, sopirnya juga nggak tahu kenapa nggak menginjak rem dan langsung menerobos masuk ke TK. Saat itu banyak anak-anak yang sedang bermain .... Aduh, tunggu aku!" jelas Louise.Hanya mendengar penjelasan singkat dari Louise, naluri menyelamatkan sebagai seorang dokter membuat Arya langsung tahu kecelakaan ini sangat parah.Saat ini, sebuah bus besar terjepit di tembok TK. Bagian depan bus sudah menerobos masuk ke lapangan bermain sepenuhnya, sedangkan bagian belakangnya tergantung. Banyak orang di sekitar yang sedang membantu dan banyak anak yang diangkut keluar dengan menangis terisak-isak.Janice segera berlari mendekat dan menarik seorang anak yang sedang memegang lengannya. Anak itu adalah teman sekelas Vega. "Mana Vega?"Anak itu me
"Wanita apa? Panggil aku Wanita Ganas Pengayun Golok Tengah Malam," kata Louise yang berdiri di depan Janice dan melihat pria di depannya dengan tatapan ganas.Pria itu bertanya sambil mendesis, "Kamu penulis komik itu, 'kan?"Louise merapikan rambutnya, lalu berkata dengan suara yang menjadi manis, "Kamu ini penggemar fanatik, 'kan?""Aku bukan penggemar fanatik, aku adalah dewa," kata pria itu dengan kesal, lalu melempar sapunya dan menepuk debu di pakaiannya. Setelah itu, dia berjalan melewati Louise dan mendekati Janice.Melihat pria itu sudah mengejar sampai sini, Janice merasa tidak perlu bersembunyi lagi. Lagi pula, pria ini sudah melihatnya mengantar anak. Dia menepuk bahu Louise dan berkata dengan tak berdaya, "Aku kenal dia."Louise terkejut, lalu mulai menebak-nebak. "Jangan-jangan dia ini ... ayahnya Vega?""Jangan sembarang berbicara. Kalau ada yang mendengar, aku akan mati," kata pria itu dengan marah.Mendengar perkataan itu, Janice tersenyum dan menggelengkan kepala kar