Janice menatap pria di sebelahnya dengan mata terbelalak, lalu buru-buru berkata, "Dia pamanku. Kerabat jauh.""Kerabat jauh tetap keluarga, ya? Jadi, Pak Jason itu ... pamanmu?" Naura hampir menjatuhkan piring pangsit yang dipegangnya.Janice cepat-cepat mengambil piring dari tangannya. "Iya, dia kebetulan lewat. Sekarang dia akan pergi." Sambil berkata demikian, Janice menggunakan sikunya untuk mendorong Jason, memberi isyarat agar dia cepat pergi.Namun, Jason tetap berdiri dengan tenang. Matanya tertuju pada piring pangsit yang dipegang Janice.Naura yang cukup jeli, bertanya dengan hati-hati, "Pak Jason, Anda mau makan? Saya masih punya banyak."Janice langsung memotong, "Dia nggak mau! Dia sudah makan sama orang lain! Aku saja yang makan denganmu."Jason meliriknya dengan tatapan datar dan berkata, "Kamu nggak makan sama orang lain?"Seketika, udara di antara mereka terasa membeku.Naura menatap mereka berdua bergantian dan berpikir dalam hati, 'Ini paman dan keponakan, 'kan? Tap
"Dia nggak pernah makan cuka, biar aku saja," kata Janice buru-buru sambil mengulurkan tangan untuk mengambil piring kecil itu.Namun, sebelum tangannya menyentuh piring, Jason sudah lebih dulu mengambilnya. "Siapa bilang aku nggak makan cuka?"Janice tertegun menatap Jason yang mencelupkan pangsit ke dalam cuka dengan santai. 'Dia ini kenapa sih?' pikir Janice yang merasa tingkah Jason agak aneh.Namun, dia memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya. Janice menunduk dan memakan dua pangsit.Setelah Naura selesai makan, Janice berpikir untuk segera menyuruhnya pulang. Saat dia bangkit untuk membantu membersihkan meja, Naura yang baru saja diam beberapa menit kembali melontarkan sesuatu."Jadi, benar-benar sudah putus?" tanya Naura sambil mengelap meja."Ya," jawab Janice sambil mengangguk, lalu secara refleks melirik ke arah Jason. Bagaimanapun, mereka memang tidak pernah benar-benar "bersama".Mata Naura langsung berbinar dan dia berkata dengan nada mengejutkan, "Kalau begitu, biar
Jason sepertinya benar-benar marah. Janice hampir kehabisan napas. Setelah mereka berpisah, Janice yang marah pun berlari ke kamar dan membanting pintu.Jason menerima telepon. Ada urusan pekerjaan. Ketika hendak pergi, dia mengetuk pintu kamar. "Jauhi dia."Janice melemparkan bantal ke pintu. Jason mengernyit dan terdiam sejenak. Wanita ini semakin mudah marah saja.Saat ini, Norman mengetuk pintu. Jason berbalik dan membuka pintu, lalu Norman menyerahkan sebuah barang."Apa ini?" Jason menatap Norman dengan curiga."Aku sudah lalai pagi tadi. Ini kubelikan untukmu, kamu bisa memberikannya kepada Bu Janice." Norman menyerahkan kotak kecil yang imut dengan antusias.Jason melirik sesaat dengan ekspresi jijik. "Nggak usah lagi."Kelopak mata Norman berkedut. "Aku sudah bertanya pada para staf wanita. Mereka bilang ini adalah kotak hadiah yang sedang tren belakangan ini."Mendengar itu, Jason mengambil kotak itu dan meletakkannya di meja kecil. Kemudian, mereka berdua baru pergi.Janice
"Gimana kamu tahu gejala ibuku?" tanya Janice dengan curiga.Arya ragu-ragu sejenak, lalu bergegas berbalik. "Aku sudah buat janji untuk CT scan. Kita harus cepat."Janice segera mengambil alih kursi roda dari tangan sopir, lalu mendorong Ivy ke depan. Ivy menoleh sedikit dan berkata. "Jason pulang dan melihat aku kesakitan di aula leluhur. Dia mencari alasan agar aku bisa pergi duluan. Dokter Arya yang membantunya membuat janji. Kamu ini selalu marah-marah kalau dengar namanya.""Aku nggak marah kok," bantah Janice."Heh." Ivy meliriknya dengan ekspresi yang mengatakan Janice keras kepala.Sesampainya di luar ruang CT, Arya menulis sederet nomor pada sebuah kartu, lalu memberikannya kepada Janice."Aku nggak bisa ikut masuk. Ini nomor kalian. Kalian pasien berikutnya. Nanti langsung masuk saja dan tunjukkan kartu ini ke dokter.""Hm." Janice melirik kartu itu. Angkanya agak familier, tetapi dia tidak bisa langsung mengingatnya.Saat ini, pintu di depannya terbuka. Tanpa memeriksa lebi
Janice menunduk dan mengambil kertas yang jatuh di lantai itu. Tiba-tiba, dia termangu di tempat.Arya yang melihatnya pun bingung. "Kenapa tiba-tiba bengong?"Janice membuka kedua kertas yang ada di tangannya dan berkata, "Lihat ini."Arya awalnya tidak peduli, hanya melirik sekilas. Namun, saat berikutnya dia terdiam. "Nomor siapa ini? Kenapa tulisannya mirip dengan tulisanku?"Angka 9, 6, dan 1 di kertas itu memiliki ekor, seperti tanda tangan khas milik seseorang. Tidak heran Janice merasa familier melihat kertas yang diberikan oleh Naura kepadanya. Ternyata, dia pernah melihatnya di rekam medis Arya.Tiba-tiba, Janice teringat pada ucapan Naura yang mengatakan pria yang diperkenalkan kepadanya adalah seorang dokter.Janice sontak mendongak dan menatap Arya. "Kamu dijodohin ya? Nama wanitanya Naura, 'kan?"Arya terkejut sejenak. "Kok kamu tahu? Tapi, aku belum sempat bertemu wanita itu. Aku ...."Mereka saling memandang dan langsung memahami sesuatu.Arya berkata dengan agak marah,
Arya termangu. "Kenapa dibuang di sini? Kenapa nggak langsung memanggilku saja?""Ada yang mengawasinya."Dalam perjalanan, Jason sudah meninjau semua rekaman CCTV. Dalam rekaman itu, Janice terlihat menoleh ke kiri dan kanan, jelas menunjukkan bahwa dia sedang diawasi.Jason membuka kertas yang diremas. Ada dua lembar kertas di dalamnya, sama seperti yang tadi dilihat Arya.Arya seketika menyadari sesuatu. "Tadi dia terus menatap kertas itu dan tanya apa aku dijodohkan dengan wanita bernama Naura. Siapa itu?""Aku tahu siapa." Jason berdiri dan menoleh ke arah Norman. "Hubungi tetangga Janice."Norman mengangguk dan segera menelepon.Jason menggoyangkan kertas di tangannya di hadapan Arya. "Gimana menurutmu?"Wajah Arya langsung berubah serius, lalu berkata dengan nada kesal, "Itu Azka. Dia tahu ibuku sedang menjodohkanku. Dia meniru tulisan tanganku dan pura-pura menjadi aku untuk bertemu dengan wanita bernama Naura, yang juga merupakan tetangga Janice. Tapi, aku nggak mengerti, kena
Janice memalingkan wajahnya dengan paksa, menghindari tangan Yoshua.Tangan Yoshua terhenti di udara. Dia perlahan menurunkannya sambil tersenyum tipis. "Masih marah?"Nada suaranya seperti sedang menenangkan kekasih yang kesal.Namun, Janice merasa tubuhnya dibasahi keringat dingin. Dia meronta-ronta sambil bertanya, "Sebenarnya apa yang kamu inginkan?"Yoshua menatapnya beberapa detik. Dengan mengabaikan kemarahannya, dia bertanya dengan lembut, "Lapar, 'kan? Duduk dulu dan makan sesuatu."Yoshua duduk dengan tenang, lalu memberi isyarat kepada pramugari untuk melayani.Janice enggan duduk, tetapi pengawal di belakang menekan bahunya dengan kuat, membuatnya tidak punya pilihan selain duduk.Pramugari menuangkan sampanye untuk mereka, menyajikan steik yang baru saja dimasak.Yoshua mengangkat gelas ke arah Janice untuk bersulang. Namun, Janice mengepalkan tangannya dan tidak ingin bersulang."Janice, situasi sudah seperti ini. Melawanku nggak akan membawa keuntungan apa pun bagimu." M
"Aku tahu kamu sulit percaya sekarang. Nggak apa-apa, kita masih punya banyak waktu nanti. Janice, jangan benci aku. Aku juga nggak ingin menjadi seperti ini, tapi aku nggak punya pilihan."Janice mengerutkan alis, menyadari ada makna tersembunyi di balik kata-katanya. "Siapa yang memberimu pilihan?"Yoshua tidak menjawab, malah bangkit mendekatinya dan mengganti steik di depan dengan steik yang sudah dia potong."Makanlah, jangan keras kepala lagi. Paman Jason mungkin membiarkanmu bersikap keras kepala, tapi aku nggak. Apa yang kuinginkan, harus kudapatkan. Dan yang nggak bisa kudapatkan … akan kuhancurkan. Nggak akan kubiarkan jadi milik orang lain, terutama Paman Jason."Yoshua mengucapkannya dengan senyuman di wajah, tetapi nadanya begitu dingin tanpa perasaan. Ketika dia bilang dia menyukai Janice, itu benar, tetapi kebenciannya pada Jason juga benar adanya.Janice melirik tangan yang menekan bahunya. "Gimana aku bisa makan kalau begini? Aku sudah ada di sini, apa mungkin aku bisa
"Wanita apa? Panggil aku Wanita Ganas Pengayun Golok Tengah Malam," kata Louise yang berdiri di depan Janice dan melihat pria di depannya dengan tatapan ganas.Pria itu bertanya sambil mendesis, "Kamu penulis komik itu, 'kan?"Louise merapikan rambutnya, lalu berkata dengan suara yang menjadi manis, "Kamu ini penggemar fanatik, 'kan?""Aku bukan penggemar fanatik, aku adalah dewa," kata pria itu dengan kesal, lalu melempar sapunya dan menepuk debu di pakaiannya. Setelah itu, dia berjalan melewati Louise dan mendekati Janice.Melihat pria itu sudah mengejar sampai sini, Janice merasa tidak perlu bersembunyi lagi. Lagi pula, pria ini sudah melihatnya mengantar anak. Dia menepuk bahu Louise dan berkata dengan tak berdaya, "Aku kenal dia."Louise terkejut, lalu mulai menebak-nebak. "Jangan-jangan dia ini ... ayahnya Vega?""Jangan sembarang berbicara. Kalau ada yang mendengar, aku akan mati," kata pria itu dengan marah.Mendengar perkataan itu, Janice tersenyum dan menggelengkan kepala kar
Zion segera maju dan memapah Landon. Saat melihat luka Landon dari dekat, dia langsung mengernyitkan alis. "Pukulan Pak Jason terlalu keras."Landon mengambil handuk dan menyeka sudut bibirnya. "Sudahlah, anggap itu pelampiasan saja. Kalau dia sudah menemukan tempat ini, kita sepertinya nggak bisa menipunya dengan bilang hanya kebetulan saja. Lebih baik beri Janice sedikit waktu lagi.""Tuan Landon, kamu sebenarnya punya niat pribadi juga, 'kan? Kamu ingin lebih dulu menemukan Nona Rachel daripada Pak Jason, 'kan?" kata Zion.Landon sama sekali tidak membantah. Dia sering berpikir apakah semuanya akan berbeda jika dia yang bertemu dengan Janice terlebih dahulu. Oleh karena itu, kali ini dia juga ingin mengambil risiko. "Zion, terus selidiki jejak Janice. Harus lebih cepat dari Pak Jason.""Baik," jawab Zion.....Setelah kembali ke kamar, Jason mengambil handuk dan menyeka tangannya yang terluka dengan tatapan dingin dan ekspresi cuek.Norman baru saja ingin mendekat dan menenangkan, t
"Biar aku saja," kata Dipo."Nggak perlu. Kamu ini baru pulang seminggu sekali, cepat pergi lihat orang tuamu," kata Janice sambil tersenyum dan menggendong Vega, lalu berbalik dan masuk ke penginapan.Dipo terbata-bata sejenak, lalu akhirnya memutuskan untuk pergi.Louise mengikuti Janice dan berkata, "Dokter Dipo sepertinya tertarik padamu dan sangat baik dengan Vega juga. Kenapa kamu malah menolaknya?""Sekarang kehidupanku cukup baik, aku hanya butuh Vega saja," jawab Janice sambil memeluk Vega dengan erat. Dia berpikir orang tidak boleh terlalu serakah.Louise mengangkat bahunya dan bertanya dengan penasaran, "Jangan-jangan kamu masih memikirkan ayahnya Vega? Dia itu pria berengsek."Janice langsung menutup telinga Vega. "Jangan sampai anak kecil mendengarnya.""Baiklah. Oh ya. Tadi ada pria yang super tampan datang ke sini, penampilannya itu seperti model," kata Louise sambil terus menggerakkan tangannya.Janice hanya menganggukkan kepala dengan cuek, sama sekali tidak memedulika
Saat Janice dan Dipo sedang membicarakan beberapa hal, Louise pergi keluar sambil memegang lolipop. Namun, Vega ternyata tidak berada di sana, dia pun terkejut sampai berkeringat dingin. Dia segera menarik salah satu karyawan dan bertanya, "Mana Vega?"Karyawan itu menunjuk ke toko hadiah di sebelah dan berkata, "Dia ke sana untuk cari makan dan minum lagi."Tetangga serta orang-orang di sekitar sana sudah sangat akrab dan Vega juga anak kecil satu-satunya di jalan itu, sehingga semua orang sangat menyayanginya.Louise baru saja hendak menghela napas lega, tetapi tatapannya tiba-tiba tertuju ke seberang jalan. "Wah .... Pria super tampan!"Karyawan itu pun terkekeh-kekeh. "Mulutmu jangan terbuka begitu .... Memang tampan, tapi kenapa rasanya agak familier?""Kamu jangan bodoh begitu, lihat aku saja," kata Louise sambil merapikan rambutnya dan hendak berjalan ke arah pria itu.Namun, karyawan itu menghentikan Louise. "Kamu yakin mau pakai piama ke sana?"Mendengar perkataan itu, Louise
Karakter dalam komik itu fiktif dan gambar anak kecil itu juga hanya mirip dengan Vega sekitar 70% sampai 80% saja. Oleh karena itu, tidak bisa dibilang identik dan tidak termasuk dengan pelanggaran privasi juga. Namun, Louise sangat menyukai Vega, tentu saja tidak ingin mempersulit Janice. "Kalau begitu, nanti aku akan klarifikasi dan ubah penampilan bayi itu.""Baiklah," jawab Janice.Begitu percakapan keduanya selesai, televisi di dinding ruang tamu penginapan tiba-tiba menayangkan berita yang sedang viral. Berita itu berisi gambaran Jason yang memapah Rachel masuk ke dalam rumah sakit, sedangkan Rachel terlihat bergerak dengan sangat pelan. Reporter berspekulasi program kehamilan mereka sudah berhasil.Saat melihat gambaran di layar televisi, Janice langsung tercekat. Setelah dia pergi, Anwar selalu mencari kesempatan di berbagai acara untuk mengumumkan pasangan suami istri itu sedang berusaha memiliki anak. Belakangan ini, Rachel juga ikut mengiakan kabar itu. Dia berpikir seperti
Di Moonsea Bay.Janice baru saja menyerahkan kalung yang didesainnya untuk istri Hady si kurir itu.Hady tersenyum dan berkata, "Apa Vega sebentar lagi akan jadi seleb ya?"Janice yang kebingungan pun bertanya, "Apa maksudmu?""Istriku lihat gambar Vega saat sedang melihat-lihat video. Dia bilang sekarang banyak orang yang bilang dia mirip seseorang yang sangat terkenal ... namanya aku sudah lupa."Setelah mengatakan itu, perhatian Hady langsung tertuju pada kalung di dalam kotak. "Wah. Nona Janice, kamu benar-benar hebat. Aku nggak menyangka hanya dengan empat jutaan saja sudah bisa membeli kalung yang begitu bagus. Istriku pasti suka."Hady menutup kotaknya dengan hati-hati, lalu menyimpannya ke dalam saku di dalam jaketnya.Namun, Janice masih memikirkan perkataan Hady tadi. "Hady, gambar Vega apa yang tadi kamu maksud?""Itu komik yang digambar Nona Tukang Jerit di penginapanmu. Istriku bilang ceritanya sangat lucu dan karakter bayi yang baru muncul itu yang begitu mirip dengan Veg
Tanpa perlu dijelaskan, Norman tahu Arya pasti mengerti orang yang dimaksudnya adalah Janice. Dia meminta Arya melakukan itu karena merasa foto itu mungkin bisa membantu Jason di saat krusial.Saat terpikir Jason, Arya tersenyum pahit. Dia adalah orang yang paling mengerti kondisi Jason selama tiga tahun ini. Hanya saja, rencana seperti ini sering tiba-tiba berubah.Setelah mengajukan cuti dan hendak memesan tiket pesawat ke Kota Genggi, ponsel Arya tiba-tiba menerima pesan dari Zion.[ Aku menemani tuan mudaku dinas ke Kota Genggi. Bagaimana kalau aku terbang ke Kota Pakisa untuk bertemu denganmu? Tenang saja, aku nggak membawa anak. ]Arya langsung menyadari Zion juga sudah tahu dan merasa ada firasat buruk.Firasat buruk Arya memang benar. Pada detik berikutnya, Norman pun menerima perintah dari Jason. "Pak Jason sudah tahu Pak Landon pergi ke Kota Genggi. Dia suruh aku mengatur perjalanannya ke sana juga.""Habis sudah ...." Arya langsung merasa kesulitan.Keduanya pun akhirnya sep
Lima menit kemudian, Arya sudah terikat di kursi kantornya. Dia menatap Norman dan berkata sambil tersenyum, "Jangan main-main lagi, sebentar lagi aku harus keliling kamar pasien."Norman bersandar di meja dan berkata dengan ekspresi serius, "Minggu ini giliranmu jaga klinik, jadi kamu nggak perlu keliling kamar pasien. Jangan harap bisa menghindar. Cepat katakan, itu anak siapa?""Punya Zion," jawab Arya dengan sangat serius dan tegas.Sudut bibir Norman berkedut, lalu mengernyitkan alisnya dan berkata, "Kamu tahu maksudku."Arya mengalihkan pandangannya. "Hanya komik, kebetulan saja.""Kalau hanya kita bertiga yang mirip dengan karakter di komik itu, masih bisa dibilang kebetulan. Tapi, penampilan anak kecil itu hanya kamu, aku, dan Pak Jason saja yang tahu, siapa yang bisa gambar sampai begitu detail? Kecuali dia benar-benar ada. Perlu aku teruskan lagi?" jelas Norman."Bisakah kamu nggak seperti Pak Jason? Aku benar-benar nggak tahu," kata Arya sambil memalingkan wajahnya dengan gu
Saat Janice mengatakan itu, Louise merasa makin bersemangat. "Aku tiba-tiba dapat inspirasi, aku naik ke atas dulu."Melihat Louise berlari dengan cepat, Janice juga tidak terlalu memikirkannya karena kebetulan jam di dinding menunjukkan sudah waktunya untuk menjemput anak. Dia berjalan kaki menuju TK di kota. Pukul setengah empat, kelas penitipan anak pun pulang terlebih dahulu. Seorang anak kecil memakai topi kuning dan rambutnya dikepang dua berlari terhuyung-huyung ke arahnya."Mama, aku rindu kamu," kata Vega.Janice menggendong Vega, lalu mengeluarkan sebuah permen dari sakunya. "Guru bilang hari ini kamu paling baik, jadi ini hadiah untukmu.""Wah. Mama, terima kasih," kata Vega dengan sepasang mata yang terlihat bersinar, bahkan sempat mengecup pipi Janice.Setiap kali Vega mengecupnya seperti ini, Janice selalu merasa sangat bersyukur telah pergi dari kehidupan sebelumnya karena sekarang Vega akhirnya kembali lagi ke sisinya. Tanpa kehidupan yang mewah sekaligus menyesakkan se