Janice mengeluarkan ponselnya dan memotret seluruh tubuh Ivy dari berbagai sudut. Hanya bekas tamparan di wajahnya saja sudah dia ambil lebih dari sepuluh foto.Ivy mulai panik. "Janice, kamu mau apa?""Ibu, menghindar bukan solusi. Aku harus selesaikan masalah ini dari akarnya. Kamu tetap di rumah sakit dan jangan sekali pun mentransfer uang lagi ke pria itu.""Baik ...."Wajah Ivy sudah sepucat kertas, dia hanya bisa mengangguk.Setelah memastikan Ivy bisa beristirahat, Janice berbalik dan meninggalkan kamar perawatan. Saat berdiri di lorong rumah sakit, dia menarik napas dalam-dalam sebelum menelepon Elaine.Tiga nada sambung berlalu, lalu panggilan itu tersambung, seolah-olah Elaine sudah tahu bahwa dia akan menelepon."Siapa?"Nada bicaranya terdengar angkuh dan penuh superioritas. Dan memang, dia berhak untuk bersikap seperti itu.Janice mengepalkan tangannya erat-erat dan mencoba mempertahankan ketenangannya. "Bu Elaine, aku Janice. Kita bisa ketemu?""Oh? Untuk apa?" Elaine tid
Janice menahan amarahnya dengan susah payah. Kedua tangannya yang bersandar di lututnya dikepalkan dengan erat."Bu Elaine, aku bisa datang mencarimu, tentu bukan dengan tangan kosong." Gelas anggur di bibir Elaine terhenti seketika. Tatapannya langsung menjadi setajam pisau saat melirik ke arah Janice."Janice, jangan sembarangan ngomong."Janice tidak menghindari tatapan yang penuh peringatan itu. Dia justru perlahan-lahan mengalihkan pandangannya ke cincin di jari Elaine.Terlepas dari betapa rumitnya desain berlian penuh di bingkai cincin itu, cukup dengan teknik pemasangan terbalik yang sangat jarang digunakan saja sudah bisa dipastikan bahwa perhiasan ini unik dan tidak mudah ditiru.Terlebih lagi, potongan batu permatanya memiliki gaya khas yang berbeda.Sebagai seorang desainer perhiasan, Janice memiliki kebiasaan memperhatikan setiap perhiasan yang pernah dilihatnya.Menurut informasi di internet, cincin Elaine adalah pemberian ayahnya saat dia mengambil alih perusahaan keluar
Penglihatan Janice menjadi buram dan berputar, seolah-olah dia terperangkap dalam kabut tebal yang membuatnya tidak bisa melihat dengan jelas."Apa lagi yang dia bilang?"Elaine menatap ekspresinya dan menyeringai. "Dia bilang, asalkan kita mengancammu dengan ibumu, kamu pasti akan menurut. Jadi, Janice ... terimalah takdirmu.""Di lingkaran sosial ini, kamu cuma wanita cantik yang nggak punya kuasa ataupun pengaruh. Dengan kata lain, kamu cuma sumber daya yang bisa dipertukarkan.""Kamu juga nggak mau video ibumu tersebar ke publik, 'kan? Kalau itu terjadi, bukan cuma Keluarga Karim yang nggak akan menerimanya. Bahkan seluruh Kota Pakisa juga akan menolaknya."Janice mengangkat pandangannya menatap Elaine yang penuh dengan keangkuhan. Di matanya, hanya ada kesepian yang samar."Jadi, nggak peduli apa pun yang aku lakukan, kalian tetap nggak akan melepaskanku, ya?"Elaine tersenyum kecil. Dia tidak menyangkal, tetapi juga tidak membenarkan.Beberapa detik kemudian, Elaine mengangkat ge
"Jadi, benaran nggak usah diperiksa kebenarannya lagi, langsung tentukan seseorang bersalah atau nggak?"Jason menatap Janice dengan intens dan berkata dengan perlahan, "Nggak perlu."Janice melihat Jason yang memeluk Rachel dengan erat. Benar-benar pria teladan yang sayang istri. Karena mencintai seseorang, dia bahkan pilih kasih terhadap Elaine.Janice mendengus dingin. Baru saja dia hendak menyergah, Elaine berdiri di seberangnya sambil memutar cincinnya. Gerakannya ini seperti sedang memperingatkannya dan mengancamnya."Sepertinya Bu Janice begini karena pengaruh Nyonya Ivy. Gimana kalau suruh Nyonya Ivy ke sini untuk kasih penjelasan, supaya nggak semakin salah paham?"Elaine tahu betul bahwa Ivy tidak bisa dan tidak boleh datang.Janice merasakan kerongkongannya kering dan perih, tetapi akhirnya dia membuka mulut. "Bu Elaine, maafkan aku. Sekarang aku boleh pergi?"Dia berbalik untuk pergi."Berhenti! Siapa bilang kamu sudah boleh pergi? Bu Elaine adalah bibi Rachel dan tamu terh
Saat Jason mengayunkan cambuknya, salju turun di bawah langit malam. Suara melengking terdengar bersamaan dengan serpihan salju yang berputar liar di udara.Janice langsung terjatuh ke tanah. Darah segar merembes dari punggungnya, membasahi sweter yang dia kenakan hingga menjadi merah pekat.Rasa kebas sesaat seakan merenggut semua indranya, membuatnya bahkan tak mampu bernapas. Hanya saat rasa sesak di dada mencapai puncak, rasa sakit itu mulai menjalar ke seluruh tubuh.Kulit dan daging di punggungnya terasa seperti dikoyak secara paksa, nyerinya begitu menyiksa hingga dia hanya bisa merosot ke tanah dan mencengkeram segenggam salju dengan jari yang gemetar.Meskipun begitu, Janice tidak menangis, apalagi memohon ampun. Dia menggerakkan lengan perlahan-lahan, sedikit demi sedikit menopang tubuhnya yang lemah."Satu." Bibirnya bergetar saat dia menghitung. "Lanjutkan."Suaranya dipenuhi perlawanan dan keteguhan, membuat semua anggota Keluarga Karim yang biasanya paling meremehkannya k
Elaine seperti ditampar di depan umum dan kehilangan seluruh martabatnya. Dia menggertakkan giginya dengan kuat agar tetap mempertahankan citra anggunnya.Saat hendak pergi, Janice yang pucat mengangkat matanya menatap Jason dengan tatapan hampa. "Pak Jason, jangan lupa, mulai hari ini, aku nggak ada hubungannya lagi dengan Keluarga Karim. Karena kamu yang berkuasa sekarang, mari kita berjabat tangan sebagai sumpah."Setelah berkata demikian, tangan Janice yang gemetar perlahan terangkat. Mata Jason membelalak sesaat. Namun dalam hitungan detik, tatapannya kembali dingin dan tenang.Tanpa ragu, Jason mengangkat tangannya. Namun, selesai berjabat tangan, keduanya tidak langsung menurunkan tangan. Di antara telapak mereka, terasa udara yang dingin bercampur dengan butiran salju.Janice perlahan-lahan memejamkan matanya. Tubuhnya seperti tumbuhan yang telah layu, bergetar dalam embusan angin sebelum akhirnya jatuh.Tangannya meluncur turun dari genggaman Jason. Jason sedikit menggenggam j
Seperti yang dikatakan Arya, Elaine bisa mengalahkan para pria dan naik ke posisi ini bukan tanpa alasan.Jadi, saat Janice membawa bukti untuk menghadapinya, itu sama saja seperti menyerahkan diri ke mulut harimau. Faktanya, dia datang bukan untuk menyerang, tetapi untuk memancing.Semakin buruk keadaannya terlihat, semakin besar kemungkinan Elaine percaya bahwa Janice sudah kehabisan akal.Dari cara Elaine berbicara kepada Zachary, Janice bisa melihat bahwa wanita itu memiliki harga diri yang tinggi. Dia tidak sudi bersaing dengan Ivy, apalagi merendahkan diri untuk berdamai dengan Zachary.Elaine ingin orang lain datang padanya, memohon belas kasihan. Dia menikmati perasaan berdiri di atas, mempermainkan hidup seseorang.Hanya saja, Ivy adalah istri Zachary. Tidak peduli sehebat apa Elaine, memprovokasi Ivy dengan cara seperti ini sama saja dengan menantang seluruh Keluarga Karim.Elaine mungkin tidak berani, kecuali dia memiliki dukungan. Benar saja, jawabannya pun terungkap. Tak d
Janice menatap wajah Zachary. Tanpa sadar, pikirannya melayang ke pria misterius yang menikahi Elaine di kehidupan sebelumnya.Terlalu mirip. Namun, saat itu Zachary dan Ivy sudah meninggal. Janice sendiri yang mengurus segala keperluan untuk pemakaman. Karena kematian mereka, dia jatuh sakit selama setengah bulan.Janice tidak bisa tidur dengan punggung bersandar, jadi Zachary khawatir dia kedinginan. Dia lantas meminta asistennya untuk membelikan jaket bulu angsa yang ringan dan hangat."Cepat pakai. Kalau ibumu melihatmu seperti ini, dia pasti akan menangis diam-diam lagi." Setiap kalimat Zachary selalu berujung pada Ivy.Janice merasa terharu sekaligus berat untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi pada ibunya. Dia menggigit bibirnya, lalu bertanya, "Paman, apa yang dikatakan Bu Elaine tadi benar? Kamu rela diabaikan keluarga karena ibuku?"Tangan Zachary yang sedang membantu merapikan lengan bajunya sedikit terhenti. Dia tersenyum santai. "Apa yang kamu pikirkan? Aku memang
Jason tersenyum. "Baiklah, aku akan menunggu."Saat Jason menerima Vega yang agak memberontak, Hady langsung tertegun saat menatap mereka. "Pantas saja aku merasa kamu begitu familier, kalian berdua ....""Keluarga pasien! Keluarga pasien!" teriak perawat."Aku segera ke sana," jawab Hady.Setelah Hady pergi, Vega mengangkat kepala dan menatap wajah Jason. Namun, dia tidak menangis ataupun marah.Meskipun anak itu ada di depan mata, Jason masih merasa semuanya tidak nyata. Dia memeluk Vega dengan lebih erat dan menarik Vega agar lebih dekat dengan hati-hati. Saat dia bisa mencium aroma khas tubuh Vega dan bahkan ada sedikit bau Janice yang samar-samar, dia baru berani yakin anak ini adalah Vega di mimpinya. Hanya saja, wajah anak ini lebih bulat daripada wajah Vega di mimpinya.Mulut Jason bergerak, seolah-olah ada banyak hal yang ingin ditanyanya. Namun, saat dia hendak membuka mulut, Vega yang berada dalam pelukannya bergerak beberapa kali dan menunjuk mesin penjual otomatis di loron
Saat pria itu hendak memakaikan kalung itu pada istrinya, Jason tiba-tiba menggenggam pergelangan tangan pria itu. "Kalung ini dari mana?"Nada bicara Jason yang dingin membuat pria itu terkejut dan menjawab, "Dari ... Vega Jewelry. Bosnya adalah orang dari desa kami. Dia menjual perhiasan, sangat hebat."Wanita yang baru saja melewati kontraksinya pun meninju suaminya. "Apanya yang penjual perhiasan? Ini namanya desainer perhiasan.""Ya, aku memang mudah lupa," kata pria itu.Jason menatap desain pita yang pita yang istimewa itu. Dari lekukan hingga ukiran yang kecil-kecil di atasnya, semuanya itu adalah gaya khas Janice. Tenggorokannya terasa kering dan bertanya dengan suara serak, "Siapa?""Ja .... Ah! Sakit sekali!" teriak wanita itu tiba-tiba sebelum selesai menjawab pertanyaan Jason, lalu mencengkeram suaminya dan Jason dengan erat.Begitu pintu lift terbuka, kebetulan ada seorang perawat yang melihat kejadian itu dan segera memanggil orang untuk membantu. Saat dokter bertanya te
Nama yang tertera di sepatu itu adalah Vega.Saat itu, seorang guru yang sedang menjaga ketertiban di lokasi itu segera berlari mendekat. "Mama Vega, Vega nggak ada di sini. Anak-anak yang terluka parah sudah segera dibawa ke rumah sakit kota.""Terluka parah?" tanya Janice dengan suara bergetar.Guru itu menggigit bibirnya, lalu berkata, "Kepala sekolah sudah pergi ke sana, kamu juga segera pergi ke sana saja."Janice baru saja hendak berbalik, tetapi tubuhnya langsung ambruk.Arya segera memapah Janice. "Aku antar kamu ke rumah sakit."Janice hanya bisa menahan air matanya dan menganggukkan kepala. Setelah berlari ke rumah sakit dan diberi petunjuk oleh perawat, dia pun menemukan lantai tempat para korban kecelakaan TK dirawat. Di tengah kerumunan, dia langsung menemukan gurunya Vega. "Guru, mana Vega? Dia baik-baik saja, 'kan?""Vega baik-baik saja. Saat aku membawanya untuk menghindar, aku terpaksa membawanya bersamaku ke rumah sakit karena aku harus buru-buru mengantar para korban
Begitu mendengar terjadi kecelakaan di TK, Janice tanpa ragu langsung berlari keluar. Arya dan Louise segera mengikuti dari belakang."Kenapa bisa terjadi kecelakaan mobil di TK?" tanya Arya."TK ini dibangun di lereng. Saat bus pariwisata turun dari bukit, sopirnya juga nggak tahu kenapa nggak menginjak rem dan langsung menerobos masuk ke TK. Saat itu banyak anak-anak yang sedang bermain .... Aduh, tunggu aku!" jelas Louise.Hanya mendengar penjelasan singkat dari Louise, naluri menyelamatkan sebagai seorang dokter membuat Arya langsung tahu kecelakaan ini sangat parah.Saat ini, sebuah bus besar terjepit di tembok TK. Bagian depan bus sudah menerobos masuk ke lapangan bermain sepenuhnya, sedangkan bagian belakangnya tergantung. Banyak orang di sekitar yang sedang membantu dan banyak anak yang diangkut keluar dengan menangis terisak-isak.Janice segera berlari mendekat dan menarik seorang anak yang sedang memegang lengannya. Anak itu adalah teman sekelas Vega. "Mana Vega?"Anak itu me
"Wanita apa? Panggil aku Wanita Ganas Pengayun Golok Tengah Malam," kata Louise yang berdiri di depan Janice dan melihat pria di depannya dengan tatapan ganas.Pria itu bertanya sambil mendesis, "Kamu penulis komik itu, 'kan?"Louise merapikan rambutnya, lalu berkata dengan suara yang menjadi manis, "Kamu ini penggemar fanatik, 'kan?""Aku bukan penggemar fanatik, aku adalah dewa," kata pria itu dengan kesal, lalu melempar sapunya dan menepuk debu di pakaiannya. Setelah itu, dia berjalan melewati Louise dan mendekati Janice.Melihat pria itu sudah mengejar sampai sini, Janice merasa tidak perlu bersembunyi lagi. Lagi pula, pria ini sudah melihatnya mengantar anak. Dia menepuk bahu Louise dan berkata dengan tak berdaya, "Aku kenal dia."Louise terkejut, lalu mulai menebak-nebak. "Jangan-jangan dia ini ... ayahnya Vega?""Jangan sembarang berbicara. Kalau ada yang mendengar, aku akan mati," kata pria itu dengan marah.Mendengar perkataan itu, Janice tersenyum dan menggelengkan kepala kar
Zion segera maju dan memapah Landon. Saat melihat luka Landon dari dekat, dia langsung mengernyitkan alis. "Pukulan Pak Jason terlalu keras."Landon mengambil handuk dan menyeka sudut bibirnya. "Sudahlah, anggap itu pelampiasan saja. Kalau dia sudah menemukan tempat ini, kita sepertinya nggak bisa menipunya dengan bilang hanya kebetulan saja. Lebih baik beri Janice sedikit waktu lagi.""Tuan Landon, kamu sebenarnya punya niat pribadi juga, 'kan? Kamu ingin lebih dulu menemukan Nona Rachel daripada Pak Jason, 'kan?" kata Zion.Landon sama sekali tidak membantah. Dia sering berpikir apakah semuanya akan berbeda jika dia yang bertemu dengan Janice terlebih dahulu. Oleh karena itu, kali ini dia juga ingin mengambil risiko. "Zion, terus selidiki jejak Janice. Harus lebih cepat dari Pak Jason.""Baik," jawab Zion.....Setelah kembali ke kamar, Jason mengambil handuk dan menyeka tangannya yang terluka dengan tatapan dingin dan ekspresi cuek.Norman baru saja ingin mendekat dan menenangkan, t
"Biar aku saja," kata Dipo."Nggak perlu. Kamu ini baru pulang seminggu sekali, cepat pergi lihat orang tuamu," kata Janice sambil tersenyum dan menggendong Vega, lalu berbalik dan masuk ke penginapan.Dipo terbata-bata sejenak, lalu akhirnya memutuskan untuk pergi.Louise mengikuti Janice dan berkata, "Dokter Dipo sepertinya tertarik padamu dan sangat baik dengan Vega juga. Kenapa kamu malah menolaknya?""Sekarang kehidupanku cukup baik, aku hanya butuh Vega saja," jawab Janice sambil memeluk Vega dengan erat. Dia berpikir orang tidak boleh terlalu serakah.Louise mengangkat bahunya dan bertanya dengan penasaran, "Jangan-jangan kamu masih memikirkan ayahnya Vega? Dia itu pria berengsek."Janice langsung menutup telinga Vega. "Jangan sampai anak kecil mendengarnya.""Baiklah. Oh ya. Tadi ada pria yang super tampan datang ke sini, penampilannya itu seperti model," kata Louise sambil terus menggerakkan tangannya.Janice hanya menganggukkan kepala dengan cuek, sama sekali tidak memedulika
Saat Janice dan Dipo sedang membicarakan beberapa hal, Louise pergi keluar sambil memegang lolipop. Namun, Vega ternyata tidak berada di sana, dia pun terkejut sampai berkeringat dingin. Dia segera menarik salah satu karyawan dan bertanya, "Mana Vega?"Karyawan itu menunjuk ke toko hadiah di sebelah dan berkata, "Dia ke sana untuk cari makan dan minum lagi."Tetangga serta orang-orang di sekitar sana sudah sangat akrab dan Vega juga anak kecil satu-satunya di jalan itu, sehingga semua orang sangat menyayanginya.Louise baru saja hendak menghela napas lega, tetapi tatapannya tiba-tiba tertuju ke seberang jalan. "Wah .... Pria super tampan!"Karyawan itu pun terkekeh-kekeh. "Mulutmu jangan terbuka begitu .... Memang tampan, tapi kenapa rasanya agak familier?""Kamu jangan bodoh begitu, lihat aku saja," kata Louise sambil merapikan rambutnya dan hendak berjalan ke arah pria itu.Namun, karyawan itu menghentikan Louise. "Kamu yakin mau pakai piama ke sana?"Mendengar perkataan itu, Louise
Karakter dalam komik itu fiktif dan gambar anak kecil itu juga hanya mirip dengan Vega sekitar 70% sampai 80% saja. Oleh karena itu, tidak bisa dibilang identik dan tidak termasuk dengan pelanggaran privasi juga. Namun, Louise sangat menyukai Vega, tentu saja tidak ingin mempersulit Janice. "Kalau begitu, nanti aku akan klarifikasi dan ubah penampilan bayi itu.""Baiklah," jawab Janice.Begitu percakapan keduanya selesai, televisi di dinding ruang tamu penginapan tiba-tiba menayangkan berita yang sedang viral. Berita itu berisi gambaran Jason yang memapah Rachel masuk ke dalam rumah sakit, sedangkan Rachel terlihat bergerak dengan sangat pelan. Reporter berspekulasi program kehamilan mereka sudah berhasil.Saat melihat gambaran di layar televisi, Janice langsung tercekat. Setelah dia pergi, Anwar selalu mencari kesempatan di berbagai acara untuk mengumumkan pasangan suami istri itu sedang berusaha memiliki anak. Belakangan ini, Rachel juga ikut mengiakan kabar itu. Dia berpikir seperti