Janice duduk terpaku di kursinya.Berbagai adegan melintas di benaknya. Sejak dirinya terlahir kembali dan memutuskan menempuh jalur desain lagi, dia selalu menjadikan Amanda sebagai panutan.Dia masih ingat betul betapa bersemangatnya dirinya saat melihat Amanda di kompetisi desainer muda setelah lulus kuliah. Bahkan langkah kaki pertamanya saat masuk ke studio ini pun masih teringat jelas.Saat itu, dia merasa dirinya akhirnya telah menapaki mimpinya.Mereka pernah bekerja sama menjebak orang jahat, mabuk bersama di bar. Amanda juga seperti mentor senior yang mengajarkan cara bersikap dan bekerja. Bahkan Amanda pernah mencemaskan hubungannya dengan Jason.Orang yang dulunya seperti mentor sekaligus teman, ternyata bisa berubah juga. Saat ini, perasaan Janice sangat rumit. Sudah menjalani hidup dua kali, tetapi tetap sulit membedakan mana manusia dan mana serigala berbulu domba."Janice, kamu kenapa?" Suara lembut penuh perhatian terdengar di telinganya.Janice mengangkat kepala dan m
Jason menyodorkan berkas ke tangan Janice. "Kita pilih bareng."Janice menatapnya dengan curiga. "Nanti juga bisa pilih."Jason tetap bersikukuh. "Aku mau sekarang karena sudah penasaran.""Baiklah." Janice akhirnya membuka semua brosur dan mulai membandingkan."TK bilingual? Pendidikan elite? Sampai harus siapkan anak kuda? Berlebihan banget."Jason menjelaskan, "Bisa latih anak tumbuh bersama hewan, sekaligus belajar berkuda. Nanti berguna kalau sudah besar.""Kupikir kucing atau anjing. Anak kuda mau dipelihara di mana? Biaya perawatannya mahal, belum lagi tempatnya."Janice sampai kehabisan kata-kata. Biaya perawatan untuk anak kuda lebih mahal daripada biaya hidupnya sendiri.Jason menunjuk anak kuda di brosur. "Keluarga Karim punya peternakan kuda terbesar di Kota Pakisa. Vega tinggal pilih yang dia suka, nanti aku suruh orang kirim kudanya lewat udara.""Hehe, berlebihan."Janice sampai tidak tahu harus bagaimana merespons. Kemudian, dia melihat harga per semester. Tidak ada yan
Di ruang tamu.Janice meletakkan kameranya dan mulai mencari foto Jason di internet. Semua ekspresinya tampak sama, dingin dan datar seperti orang yang baru dipinjam uangnya.Bahkan satu-satunya foto mereka berdua pun tidak ada versi HD-nya. Akhirnya, Janice berdiri dan mulai berkeliling rumah, kecuali kamar utama. Ternyata, di seluruh rumah tidak ada satu pun foto Jason.Aneh. Namun, kalau dipikir-pikir lagi, Jason memang bukan tipe orang yang suka difoto.Setelah beberapa saat, Janice sadar Jason belum juga keluar dari kamar mandi. Jangan-jangan sakit perut?Janice mengetuk pintu kamar mandi. "Jason, kamu baik-baik saja?"Suara Jason terdengar rendah, seperti sedang menahan sesuatu. "Sakit perut. Kamu lanjut nonton saja.""Oke." Janice tidak terlalu memikirkannya.Tadi siang Jason memang seperti orang yang tak enak badan, makannya juga sedikit. Nanti malam, dia akan masak makanan yang lebih polos.Saat Vega hampir bangun, Janice buru-buru masuk ke dapur dan mulai menyiapkan iga untuk
Janice berjalan mendekat, melihat Jason sedang melamun sambil menatap foto dirinya dan Vega yang sedang membuat ekspresi lucu."Kenapa lihatin foto itu?" Janice mengangkat tangan mencoba menutupinya.Jason menarik tangannya perlahan. "Banyak foto yang bagus, tapi yang ini terasa paling nyata.""Kamu ini suka lihat aku jelek ya?" Janice mencoba merebut kamera untuk menghapus foto itu, tetapi langsung dipeluk erat oleh Jason."Nggak boleh dihapus," kata Jason dengan nada mendominasi."Ngapain disimpan? Jangan-jangan mau dijadiin wallpaper biar bisa ketawain aku setiap hari?" Janice bercanda.Jason mengangguk serius. "Ide bagus."Melihat Jason mengambil ponsel, Janice langsung menahan tangannya. "Jangan! Aku cuma bercanda! Kamu ini Pak Jason yang terhormat. Kalau buka ponsel terus tampilannya kayak begini, nanti diejek orang lho!""Aku nggak peduli.""Jangan." Janice menolak dengan tegas."Kalau begitu, kamu yang pilih satu." Jason membuka galeri kameranya.Janice terdiam sejenak. "Kamu .
Zion mengemudikan mobil mengikuti arah yang ditunjukkan Chelsea. Begitu turun dari mobil, dia langsung bengong."Aku cuma disuruh antar kamu ambil barang, tapi kamu malah bawa aku ke hotel murahan begini? Jangan main-main ya, aku nggak mau macam-macam." Zion bersandar di pintu mobil, alisnya terangkat.Chelsea menunjuk ke atas. "Aku tinggal di sini."Zion termangu sejenak. "Maksudnya apa?""Aku nggak punya rumah."Rumahnya punya tiga kamar. Kamar utama ditempati orang tuanya, satu kamar untuk adiknya, satu lagi adalah ruang kerja. Lantas, dia tidur di mana?Zion sempat mengira Chelsea bercanda. Sampai pintu kamar dibuka dan isinya penuh dengan jejak kehidupan sehari-hari, dia bertanya lagi, "Kamu benaran tinggal di sini?""Kalau bukan di sini, di mana lagi? Sewa bulanannya cuma 3 juta. Di Kota Pakisa, mana ada tempat sepraktis dan semurah ini?" Chelsea tak ingin banyak menjelaskan soal hidupnya. Pokoknya begitu deh.Zion berdiri di koridor sempit itu, jelas terlihat tidak percaya. "Che
Landon perlahan membuka suara, mengalihkan perhatian Chelsea. "Pikirkan apa yang kamu inginkan. Bagaimanapun, kamu terseret karena aku. Aku akan memberimu kompensasi."Chelsea yang kesakitan nyaris menangis. "Apa pun boleh diminta?""Hmm." Landon menjawab sambil menunduk, mencari titik yang pas untuk mengambil tindakan."Kalau begitu ....""Kecuali aku." Landon segera menambahkan.Chelsea hampir menggigit lidah sendiri.Sementara di samping mereka, Zion merasa lucu. Bosnya ini memang cerdas. Otak Chelsea isinya hanya hal-hal cabul.Detik berikutnya, saat Chelsea sedang melamun, Landon dengan cepat, tepat, dan lugas mencabut pecahan kaca dari kakinya.Chelsea menjerit kesakitan. Secara refleks, kakinya menegang dan stokingnya robek dari bawah hingga ke atas. Dia tak sempat menghentikannya, hanya bisa menyaksikan sobekannya menjalar ke bawah roknya."Jangan lihat! Jangan lihat!" teriak Chelsea dengan panik.Landon meraih bantal sofa dan menekannya di atas roknya.Wajah Chelsea memerah. D