"Sampah! Aku bahkan sempat berpikir untuk membantunya!" Elaine mengepalkan tangannya, tatapannya penuh dengan kebencian. "Zachary, aku pasti akan membuatmu menyesal!"Setelah berkata demikian, dia menyipitkan mata menatap asistennya. Asisten itu segera mendekat dan menunduk untuk mendengarkan perintahnya.....Keesokan paginya.Sinar matahari menembus tirai tipis, menyinari meja teh dekat jendela. Cahaya yang dipantulkan tampak berkilauan, menciptakan suasana yang indah.Sebuah buku terbalik diletakkan di atas meja, menambahkan suasana tenang di ruangan.Janice mengedipkan matanya dan terbangun. Saat itu, dia baru menyadari bahwa dirinya sedang berada di rumah Jason.Dia langsung terduduk, menyadari bahwa entah sejak kapan dirinya tidur di ranjang. Namun, Jason tidak ada di sana.Janice segera bangun. Setelah memastikan pakaiannya hanya sedikit kusut tanpa ada yang aneh, dia melihat ke arah tempat tidur. Selimutnya masih rapi. Sepertinya Jason membaringkannya di tempat tidur setelah di
Ke rumah sakit? Janice tersadar dari keterkejutannya. Dia buru-buru menarik tangan Jason dan menelan ludah dengan susah payah. "Nggak perlu ke rumah sakit. Aku cuma butuh minum air."Pergi ke rumah sakit terlalu memalukan.Jason tidak berkata apa-apa. Dia langsung menarik Janice ke minibar di samping, lalu menuangkan segelas air hangat dan menyodorkannya ke bibir Janice.Janice tertegun sejenak. "Aku bisa sendiri."Saat mengangkat tangannya, dia baru sadar bahwa Jason masih menggenggam tangannya. Dia pun mencoba menggerakkan tangannya, tetapi genggaman Jason justru semakin erat.Pria itu perlahan mengangkat kelopak matanya, menatapnya dalam-dalam. Tatapannya panas, menusuk, bahkan tampak obsesif.Namun, setelah gelombang emosi itu berlalu, Jason hanya menatap Janice lekat-lekat, sebelum akhirnya perlahan melepaskan tangannya. Bahkan, jari-jarinya tampak sedikit kaku karena terlalu menahan diri.Janice merasakan dadanya menegang sesaat. Dia memaksa dirinya untuk tetap tenang saat mengam
Dengan menghindari makanan yang tidak boleh dikonsumsi bersamaan dengan obat, Janice memilih beberapa bahan makanan, sekaligus menyetok untuk Jason.Saat melihat biaya pengiriman, dia langsung menarik napas dalam-dalam. Tinggal di kompleks mewah memang mahal.Bahkan, ongkos kirimnya dua kali lipat dari biasanya! Sudahlah, anggap saja membalas budi. Jika dipikir-pikir, sepertinya dia masih untung.Beberapa saat kemudian, bel pintu kamera yang terhubung ke lantai bawah berbunyi. Saat ini, Janice sedang mencuci piring yang tadi dibuang oleh Jason di dapur.Dia sempat mengecek harganya, lebih dari 2 juta per piring! Kalau Jason tidak mau, dia bisa membawanya pulang. Pakai piring semahal ini, makanan apa pun pasti terasa lebih enak, 'kan? Kecuali sandwich.Sambil membilas busa di piring, Janice berseru tanpa menoleh, "Jason, tolong buka pintu. Itu pasti kurir yang antar belanjaan.""Mm." Jason yang bersandar di ambang pintu dapur menatapnya cukup lama sebelum akhirnya berbalik untuk membuka
Suara yang tiba-tiba terdengar membuat Janice terkejut. Tangannya bergetar sehingga pisau langsung menggores jarinya.Darah menetes, seketika membasahi dan menodai sayuran menjadi merah. Dia refleks ingin membilas lukanya dengan air, tetapi pergelangan tangannya lebih dulu digenggam oleh Jason."Hati-hati infeksi." Jason menahan tangannya, lalu berbalik untuk mengambil perban dan mulai membersihkan lukanya."Terima kasih, aku bisa sendiri. Rachel sudah datang." Saat menyadari tatapan sedih Rachel yang berdiri di ambang pintu dapur, Janice buru-buru menarik diri dengan sopan, berusaha melepaskan tangannya.Namun, Jason justru menggenggamnya lebih erat. "Jangan bergerak."Janice terdiam sejenak. Apa pria ini tidak mendengarnya? Rachel sudah datang. Dulu, Jason tidak akan pernah mengabaikan Rachel seperti ini.Rachel pun menyadari perubahan sikap Jason. Wajahnya langsung pucat, tubuhnya gemetar. Dia bersandar di pintu sebelum akhirnya jatuh terduduk."Rachel!" Janice panik dan langsung be
Namun, jari Janice masih terluka. Tangan Anwar kebetulan mengenai lukanya sehingga rasa sakit seketika menjalar, seperti ada yang meremukkan jarinya secara paksa.Untuk sesaat, Janice bahkan tak sempat peduli pada rasa sakit di pipinya. Kepalanya menoleh ke samping, rambutnya berantakan. Luka di jarinya kembali mengeluarkan darah, diserap oleh tisu hingga menetes ke lantai.Anwar menuding tajam ke arahnya, suaranya penuh kemarahan. "Kalau bukan karena kamu, kenapa kamu bisa ada di rumah Jason? Kamu tahu nggak kalau Rachel hampir kehilangan nyawanya karena kamu? Dasar pembawa sial!"Janice tertegun. Dia tidak pernah menyangka kondisi Rachel separah itu. Dia mengabaikan rasa sakit di pipinya dan menatap Anwar. Namun, saat itu juga, dia melihat kepuasan pada tatapan Elaine yang berdiri di belakang Anwar.Janice langsung menyadari ada yang tidak beres. Sayangnya, Anwar tak memberi Janice kesempatan untuk bertanya. Pria tua itu mengangkat tangan lagi, bersiap menampar sekali lagi.Namun, ka
Arya melangkah mendekat, menatap sekeliling."Kondisi Rachel sudah aman." Setelah menjelaskan kondisi medis Rachel, Arya melanjutkan, "Tadi malam, bukan hanya Janice yang ada di rumah Jason, tapi juga aku. Jason menderita sakit pinggang, jadi aku meminta Janice untuk tinggal dan membantu. Aku baru pergi pagi ini.""Sedangkan alasan Jason bisa sakit pinggang, aku rasa ada seseorang yang tahu jawabannya." Arya tidak menyebutkan nama, tetapi pandangannya secara terang-terangan mengarah ke Elaine.Elaine berpura-pura tidak menyadarinya dan tetap tersenyum, meskipun urat di keningnya sedikit menegang.Namun, Arya tidak memberinya waktu untuk menenangkan diri. Suaranya dingin saat meneruskan, "Selain itu, tadi aku tanya pada Jason. Dia bilang semua obat yang selalu dibawa Rachel hilang."Ekspresi Landon langsung berubah serius. "Nggak mungkin. Rachel sudah mengonsumsi obat itu sejak lama. Dia nggak mungkin lupa membawanya.""Tergantung bagaimana kalian mau menangani masalah ini. Kalau perlu,
Arya bisa melihat tatapan Janice menjadi suram. Dia segera berjanji, "Aku akan membantumu mencari ahli terbaik. Kalau perlu, aku akan minta Jason mencarikan spesialis dari luar negeri ....""Jangan beri tahu dia." Janice memotong ucapan Arya. Dia menunduk dan berkata, "Kamu sendiri sudah melihat kondisi Rachel. Aku nggak ingin terlibat lebih jauh. Aku nggak sanggup menanggung nyawanya.""Semalam, aku sudah membantu sesuai permintaanmu. Jangan dibahas lagi. Aku akan bekerja sama dengan pengobatanmu.""Sebenarnya tadi aku bisa keluar secepat itu karena ....""Obati lukaku dulu." Wajah Janice tampak pucat pasi. Dia menahan air mata kepedihannya, lalu memalingkan wajah.Arya menghela napas, mengangguk, dan mulai membalut luka Janice. Setelah selesai, Janice bertumpu pada meja untuk berdiri."Rachel ada di kamar mana? Aku ingin menemuinya dan menjelaskan semuanya.""Aku akan menemanimu. Kebetulan ada laporan yang harus kuberikan padanya." Arya mengambil beberapa lembar kertas dari meja.Ket
Janice turun dengan linglung. Saat duduk di taman, dia menyadari bahwa kolam yang sebelumnya kering kini telah terisi penuh kembali. Rumput di sekitarnya tampak lebih hijau, seolah-olah segalanya dipenuhi kehidupan.Hanya dirinya yang terasa seperti makhluk asing yang tidak cocok dengan dunia ini. Wajahnya pucat pasi, dia terjebak dalam musim dingin yang membekukan.Janice ingin meluapkan emosinya, tetapi dia bahkan tidak tahu harus menyalahkan siapa. Padahal, dia yang terluka, dia yang tersakiti.Namun, dia sepertinya menjadi satu-satunya pendosa di dunia ini, sedangkan yang lainnya adalah manusia paling baik yang hanya khilaf.Dengan putus asa, Janice mengepalkan tangannya erat-erat, seolah-olah hanya rasa sakit yang bisa membuatnya tetap tenang.Tiba-tiba, sebuah sosok tinggi menghampirinya. Seseorang meraih tangannya. "Janice."Suara Landon terdengar sedikit terengah-engah, menandakan bahwa dia datang dengan terburu-buru.Janice tersadar, lalu memaksakan senyuman. "Ada apa?"Landon
Saat Janice mengatakan itu, Louise merasa makin bersemangat. "Aku tiba-tiba dapat inspirasi, aku naik ke atas dulu."Melihat Louise berlari dengan cepat, Janice juga tidak terlalu memikirkannya karena kebetulan jam di dinding menunjukkan sudah waktunya untuk menjemput anak. Dia berjalan kaki menuju TK di kota. Pukul setengah empat, kelas penitipan anak pun pulang terlebih dahulu. Seorang anak kecil memakai topi kuning dan rambutnya dikepang dua berlari terhuyung-huyung ke arahnya."Mama, aku rindu kamu," kata Vega.Janice menggendong Vega, lalu mengeluarkan sebuah permen dari sakunya. "Guru bilang hari ini kamu paling baik, jadi ini hadiah untukmu.""Wah. Mama, terima kasih," kata Vega dengan sepasang mata yang terlihat bersinar, bahkan sempat mengecup pipi Janice.Setiap kali Vega mengecupnya seperti ini, Janice selalu merasa sangat bersyukur telah pergi dari kehidupan sebelumnya karena sekarang Vega akhirnya kembali lagi ke sisinya. Tanpa kehidupan yang mewah sekaligus menyesakkan se
[ Hubungan kita cukup sampai di sini saja. ]Jason menatap tulisan itu cukup lama sebelum akhirnya kembali tersadar. Tenggorokannya kering, suaranya serak saat berkata, "Tega sekali ...."Seolah-olah sudah bisa menebak isi surat itu, wajahnya tetap datar tanpa ekspresi. Jason lantas meletakkan kedua surat itu berdampingan, mengambil dua gelang kapibara dari dalam lemari.Plak. Suara kecil terdengar saat gelang itu melingkar erat di pergelangan tangannya. Dia mengepalkan tangannya, menatap lekat-lekat dua kalimat yang menghantam hatinya.[ Kita jadian yuk. ][ Hubungan kita cukup sampai di sini saja. ]Seakan-akan baru saja mendapatkan sesuatu di detik sebelumnya, lalu langsung kehilangan di detik berikutnya.Wajah Jason perlahan memucat, matanya memerah. Dia menunduk sedikit untuk menyembunyikan kesedihannya."Janice, kembalilah."....Tiga tahun kemudian, di Moonsea Bay. Kurir bernama Hady sedang mengangkat paket-paket ke dalam mobil."Bu Janice, sepertinya tahun ini toko online-mu la
Kebetulan tangannya menyentuh kunci itu. Kira-kira, kunci yang satu lagi untuk apa?Jason mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, tetapi tidak melihat lemari yang terkunci. Dia pun berdiri dan melangkah ke kamar utama, ruangan yang paling tidak ingin dia buka. Meskipun sudah berlalu begitu lama, aroma Janice masih memenuhi setiap sudut ruangan.Pandangannya akhirnya tertuju pada satu-satunya lemari di sudut ruangan yang tidak ditutupi kain penutup debu, seolah-olah sedang menuntunnya.Jason membawa kunci itu mendekat dan membukanya dengan mudah. Yang terpampang di depan adalah semua hal yang berkaitan dengan dirinya dan Janice. Janice tidak membawa apa pun.Bahkan, gelang kapibara yang mereka menangkan bersama di pasar malam bertahun-tahun lalu pun masih ada di sana.Dua gelang itu tersimpan di dalam lemari, masing-masing menekan dua pucuk surat. Satu surat beramplop merah muda sudah tampak memudar warnanya, jelas sudah ada sejak bertahun-tahun yang lalu.Yang satu lagi hanya amplop
Jason sangat paham arti sebenarnya dari desakan Anwar soal anak. Selain untuk mengikatnya, itu juga cara agar Keluarga Karim dan Keluarga Luthan terikat erat satu sama lain.Jason tidak akan membiarkan Anwar mendapatkan apa yang dia inginkan. Karena itulah, dia sudah mempersiapkan segalanya sejak awal.Saat ini, seluruh ruang makan menjadi hening. Bahkan saat sendok di tangan Rachel jatuh ke lantai, tidak ada yang bereaksi.Semua orang tahu Ivy tidak bisa punya anak, sementara Zachary lebih memilih terus diserang daripada menceraikannya. Jadi, satu-satunya harapan garis keturunan Keluarga Karim ada pada Jason.Kini, Jason telah melakukan vasektomi. Itu artinya, dia benar-benar memutus harapan Anwar.Dada Anwar naik turun. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berbicara, "Jangan bercanda seperti itu. Aku cuma seorang ayah yang ingin melihat cucuku lahir dengan mataku sendiri.""Kamu sudah punya cucu. Namanya Yoshua. Lupa secepat itu?" timpal Jason dengan datar."Yang sudah berl
"Kenapa aku merasa Jason sekarang lebih pendiam dari sebelumnya?""Katanya tahun pertama pernikahan itu manis seperti madu, tapi lihat deh dia, apa kelihatan kayak pengantin baru?""Shh!"Seseorang menegur pelan.Dua orang yang sedang berbicara itu langsung diam saat melihat Rachel berjalan pelan di belakang Jason.Rachel mendengarnya, menggigit bibir sambil mempertahankan senyum di wajahnya.Saat makan siang, semua orang duduk sesuai dengan tempat duduk yang sudah ditentukan. Zachary dan Ivy memandangi ruangan, baru melihat nama mereka di pojok ruangan.Kebetulan saat itu Elaine masuk, menatap posisi duduk di barisan depan, lalu melihat ke arah mereka berdua dan mengejek dengan tawa sinis.Zachary menatap Ivy dengan pasrah. "Kalau kamu nggak enak badan, aku bisa minta orang antar kamu pulang dulu."Ivy tersenyum. "Nggak apa-apa. Dulu kita makan jajanan di pinggir jalan juga santai saja, 'kan? Di sini juga tenang. Kamu itu bagian dari Keluarga Karim, nggak usah bikin keadaan tambah can
Setelah bertemu dengan pemilik penginapan, Janice mengatakan bahwa dia ingin menginap dulu di penginapan tersebut.Pemiliknya tampak ketakutan karena insiden bunuh diri wanita sebelumnya. Melihat Janice datang sendirian, tatapannya pada Janice terlihat aneh. Bukan karena nafsu, melainkan karena takut Janice mati di penginapannya tanpa ada yang tahu.Pemilik penginapan pun berbaik hati mengajak Janice tinggal di properti lain miliknya yang tidak dekat dengan pantai.Saat memberikan kunci, dia bahkan menasihati, "Kamu masih muda dan cantik, harus bisa move on. Di dunia ini masih banyak pria."Janice sudah berkali-kali menjelaskan bahwa dia tidak ada niat bunuh diri, tetapi si pemilik tetap tak percaya.Keesokan harinya, setelah Janice menandatangani kontrak sewa, dia baru percaya bahwa Janice memang serius menyewa tempat itu. Dia bahkan bersikap sopan dan mengajak Janice sarapan bersama.Setelah sarapan, Janice mulai menjelajah layaknya seorang turis. Saat waktu di luar negeri sudah sama
Pada suatu liburan musim panas, Ivy tiba-tiba dipecat tanpa alasan yang jelas. Kebetulan saat itu Janice jatuh sakit parah. Pengobatannya menghabiskan banyak uang.Ivy menangis sepanjang malam. Sebelum fajar menyingsing, dia sudah menggandeng Janice berdiri di pinggir jalan tol menunggu kendaraan.Dia bahkan bersumpah tak akan membiarkan siapa pun menemukan mereka. Namun, setelah kabur seminggu, lokasi mereka terdeteksi karena tempat penginapan.Zachary pun menjemput mereka pulang. Kalau diingat sekarang, Janice ingin tertawa.Saat sedang tenggelam dalam kenangan, sebuah bus besar berhenti di depannya. Katanya ada pemeriksaan sebelum masuk tol, tetapi orang-orang di sekitar sudah naik dan memasukkan barang ke dalam bagasi.Janice sendiri tak punya tujuan tertentu. Yang penting bisa membawanya keluar dari Kota Pakisa.Dia menarik masker dan ikut naik ke dalam bus. Setelah membayar, dia memilih tempat duduk kosong secara acak.Tak disangka, penumpang dalam bus itu cukup ramai meskipun ha
Rachel mencengkeram baju Jason seolah-olah menggenggam cahaya terakhir dalam hidupnya. Sampai akhirnya, Jason perlahan menunduk dan mendekatinya.Air mata berlinang di wajah Rachel, seberkas harapan terpancar dari tatapannya. Rachel yakin, Jason tidak akan meninggalkannya begitu saja.Namun, detik berikutnya, hatinya seakan-akan tenggelam ke dalam danau es.Jason menggenggam tangannya, melepaskannya satu per satu. Suaranya datar, dingin seperti es. "Aku akan menemanimu sampai akhir. Hanya itu. Itu adalah utangku padamu."Rachel menatap tangannya yang terlepas perlahan. Air matanya jatuh makin deras. Dia tak sanggup menerima. Benar-benar tak sanggup.Karena tahu hidupnya tidak akan lama lagi, dia makin terobsesi pada apa yang benar-benar dia inginkan. Sekarang, satu-satunya yang dia pedulikan hanyalah Jason.Mau itu egois, mau itu obsesi, dia hanya ingin Jason tetap bersamanya. Dengan tidak rela, Rachel kembali menarik Jason dan akhirnya mengucapkan alasan sebenarnya kenapa Jason bersed
Sebelum dia sempat berbicara, lengannya sudah lebih dulu dicengkeram erat oleh pria itu. Dengan suara benturan keras, sepanci sup hangat yang baru saja matang langsung tumpah.Tatapan Jason tajam, jemarinya menegang, matanya merah, auranya penuh kemarahan dan niat membunuh. "Kenapa kamu harus mencarinya?"Rachel mendongak dengan kesakitan, menatap pria yang mengerikan itu dengan air mata mengalir. "Jarang sekali aku melihatmu sepanik ini. Kamu marah? Kalau marah, lampiaskan saja padaku!"Melihat air matanya, Jason seperti melihat kutukan yang memaksanya melepaskan cengkeramannya. Namun, Rachel malah menangis semakin keras. Dia melangkah pelan, ingin mendekatinya.Jason justru mundur dua langkah, menghindari sentuhannya. Mata hitam legamnya redup, seperti tenggelam dalam kabut yang hening, memandang Rachel seperti menatap laut tanpa gelombang.Rachel terisak-isak. "Kamu bahkan nggak mau marah padaku? Kenapa kamu rela melakukan apa saja demi dia?""Kakakku bantu Janice cari apartemen, la