Mendadak, Janice teringat tiga kata itu, bapak rumah tangga.Demi berterima kasih pada Jason, Janice pun memutuskan akan mengambilkan lebih banyak nasi untuk Jason nanti.Sepuluh menit kemudian, Janice batuk-batuk sambil berlari keluar dari dapur yang penuh asap. Louise dan Vega berdiri di ruang makan, menatap ke arah dapur dengan waspada."Kalian ini lagi main apa sih? Kalian kira kalian alkemis? Kok asapnya banyak sekali? Makanannya masih bisa dimakan nggak?"Janice berpikir sebentar. "Seharusnya bisa."Akhirnya, Jason membuang panci beserta sayur gosong di dalamnya, lalu masak ulang satu panci hotpot.Selesai makan, Louise mengajak Vega turun untuk jalan-jalan. Janice memandang mereka turun, lalu berbalik ke ruang makan, mendapati Jason sudah membereskan peralatan makan dan masuk dapur lagi.Dia berdiri di ambang pintu dapur, menatap punggung tegap pria itu yang sibuk bekerja. Di benaknya teringat ucapan Jason soal pernikahan tadi. Kalau memang begini, menikah juga kelihatannya tida
Sissy terlalu terburu-buru, tanpa sadar dia justru sedang mendorong diri sendiri ke jurang lain. Kalau itu memang pilihannya, orang lain pun hanya bisa menghormati. Hanya saja, mungkin tidak akan pernah ada Chelsea kedua yang mau menyelamatkannya lagi.Janice menghela napas, hatinya timbul rasa gelisah. Saat sedang melamun, Louise tiba-tiba membuka mulut. "Janice, kamu kemarin juga terlalu ganas."Janice langsung kaget. "Aku ... nggak bikin malu di depan umum, 'kan?""Untung saja yang bikin malu bukan cuma kamu seorang." Louise tergelak."Maksudmu apa?" Jantung Janice langsung berdebar."Ya itu, kamu minta Pak Jason jangan ganggu kamu di ranjang, minta Arya kasih obat kuat, suruh Chelsea tidur sama Pak Landon ....""Sudah, jangan diterusin." Janice benar-benar mau pingsan, rasanya ingin mati saja.Louise mengedip nakal. "Nggak apa-apa, aku 'kan belum bilang kalau kamu sama Pak Jason masuk kamar dan nggak keluar-keluar. Untungnya rumah ini besar. Kalau nggak, kami semua harus tutup teli
"Sudah ingat?"Janice terbata-bata, buru-buru menutup kepalanya, mulai pura-pura bodoh. "Ah, aduh .... Kepalaku sakit sekali, kenapa aku nggak ingat apa-apa?"Dia berusaha menghindar. Jason sudah menduganya sejak awal. Dia langsung menahan pinggang Janice, membalikkan tubuh untuk menindihnya, membuat badannya rapat dengan Janice, tetapi tidak menekan terlalu keras.Setiap inci kulit pria itu bergesekan dengan gaun tidurnya. Janice melirik sekilas ke bawah, lalu terbata-bata. "Kamu ... kamu nggak pakai lagi?""Mm, lagi." Jason menjawab dengan santai, "Tenagamu besar sekali waktu mabuk. Kamu nggak izinin aku pakai, malah mau pegang ... um ...."Janice buru-buru menutup mulut Jason, pipinya merah padam. "Aku mabuk, aku lupa, jadi nggak termasuk dalam hitungan.""Nggak termasuk dalam hitungan?" Jason perlahan menurunkan tubuhnya, sampai sesuatu bersentuhan. "Temanku yang di bawah sana nggak terima.""Kamu! Dasar nggak tahu malu! Pokoknya aku nggak ingat!" Rona merah menyebar ke seluruh tub
Sissy memutar lehernya dengan kaku. Begitu melihat jelas siapa yang datang, seluruh tubuhnya langsung meringkuk di ranjang.Dia memandang ke arah polisi di pintu, mulutnya bergerak-gerak, tetapi tak ada suara yang keluar.Verica sangat puas dengan reaksinya. Dia menunjuk ke arah polisi di pintu. "Kami sudah bicara sama polisi.""Ya." Leah maju selangkah. "Aku dan ibuku juga tahu kalau si kepala galeri menipu banyak orang dengan mengatasnamakan galeri seni. Kami juga merasa sangat bersalah. Tapi ...."Leah membelakangi polisi di pintu, lalu menampilkan senyuman jahat pada Sissy. Meskipun begitu, nada bicaranya tetap lembut. "Tetap saja kami harus berterima kasih padamu karena sudah memulihkan nama baik kami."Wajah Sissy pucat pasi. Dia tahu yang mereka maksud adalah bukti di komputer si kepala galeri. Sekarang semuanya sudah dihancurkan, tak ada lagi yang bisa menjebaknya.Sissy menggenggam erat selimut, menatap balik wajah Leah. "Aku nggak ngerti apa yang kalian bicarakan, kita bahkan
"Nggak sakit lagi. Demi keluarga ini, aku rela menderita sedikit." Verica menepuk tangan suaminya, memunculkan senyuman tipis.Bayu mengangguk, lalu memberi perintah, "Chelsea nggak boleh dibiarkan hidup. Segera suruh orang singkirkan dia.""Baik.""Lakukan dengan bersih, jangan sampai ada celah.""Mm." Verica terus tersenyum, tetapi senyuman itu tidak tulus. Sisa darah di sudut matanya justru membuatnya tampak mengerikan.....Di rumah sakit, Sissy menatap laporan berita di TV, hampir semuanya adalah pujian untuk Chelsea. Bahkan media resmi pun menyebut Chelsea sebagai pahlawan perempuan.Sissy menatap layar, wajahnya pucat pasi. Tiba-tiba, dari pintu terdengar suara langkah kaki yang berisik. Dia ketakutan, buru-buru bersembunyi di bawah selimut."Sissy, keluarlah dan katakan yang sebenarnya! Benarkah Chelsea yang menghapus bukti itu?""Sissy, kamu yang memberi kami harapan! Jangan sembunyi!""Anakku! Kembalikan anakku! Aku nggak akan pernah berhenti menuntut!"Mendengar itu, tubuh S
Di rumah Keluarga Azhara.Verica dan Leah berdiri dengan hati-hati di samping. Di wajah Verica masih tampak jelas bekas tamparan.Ketika Verica baru tersadar dari lamunannya, sebuah cangkir teh langsung dilemparkan ke arahnya dan menghantam keningnya. Seketika, darah segar mengucur deras.Namun, dia tidak berani berteriak kesakitan, hanya bisa diam-diam menahan amarah dari Bayu."Bukannya kamu bilang semuanya pasti aman? Aku sampai mengundang sekumpulan orang, tapi hasilnya malah rugi besar! Bukannya untung, malah buntung!""Kalau bukan karena si Kepala Galeri yang jadi kambing hitam, sekarang Keluarga Azhara sudah hancur total!"Bayu memaki sampai puas, lalu menunjuk Verica yang setengah wajahnya penuh darah. "Aku sudah bilang jangan sekali-kali cari gara-gara dengan Janice! Tapi kamu tetap saja mau pamer!""Maaf." Verica mengepalkan tangannya erat-erat, menunduk serendah mungkin. Tidak seperti seorang istri, lebih mirip bawahan.Mendengar kata "maaf", Bayu semakin kesal. "Apa gunanya