"Baiklah, aku percaya padamu." Kata terakhir itu diucapkan Jason sambil menempelkan bibirnya pada bibir Janice.Tanpa pertahanan apa pun, Janice langsung dibuat pusing oleh ciuman itu, bahkan hampir terjatuh karena tersangkut gaun yang dipakainya.Jason merasa sangat terganggu, tangannya pun terulur ingin menarik gaun itu. Janice segera menahan tangannya. "Ini gaun sewaan, harganya miliaran, aku nggak sanggup ganti. Semua uangku dipakai untuk pembangunan studio.""Aku ....""Jangan bilang kamu yang ganti! Kalau kamu punya uang, kasih saja ke aku!" sela Janice langsung.Jason hendak meneruskan, "Aku bisa bantu kamu ....""Jangan bilang bantu lepas gaun! Kamu mana pernah benar-benar bantu sampai selesai? Aku nggak mau besok gaun ini jadi kusut. Lagi pula, tadi aku keringatan. Aku mau mandi."Jason menatapnya dengan tatapan penuh makna. Janice pun merinding. "Kenapa lihat aku begitu?""Kamu ini makin memahamiku saja. Mau kenal aku lebih dalam lagi nggak?" tanya Jason dengan tak tahu malu.
"Janice." Louise melanjutkan, "Sekarang di internet semua orang menyerang kamu dan Chelsea, gimana ini? Aku ingin sekali punya banyak tangan biar bisa perang melawan para netizen.""Louise, jangan panik dulu. Aku hubungi Chelsea dulu buat tanya situasinya." Setelah menutup telepon, Janice segera menelepon Chelsea, tetapi kontaknya tidak bisa dihubungi.Jason melirik sekilas. "Sepertinya dia diganggu terus, makanya matikan ponsel. Aku coba hubungi Landon."Telepon tersambung. Setelah mereka berdua berbicara singkat, ponsel pun diserahkan ke Janice.Chelsea berucap dengan tak berdaya, "Janice, maaf, aku yang menyeretmu lagi dalam masalah."Janice penasaran. "Kamu benar-benar menampar Sissy?""Ya.""Bagus! Dari dulu aku sudah ingin menamparnya." Janice tersenyum."Memang lega sih, tapi sekarang semua berita jelek menimpa kita. Sissy sepertinya nggak akan berhenti sebelum menyeret kita jatuh bersamanya. Tadi perusahaan juga kirim pesan, bilang aku harus istirahat dulu dan semua pekerjaanku
Jason terkekeh-kekeh. "Pertama kali memang wajar, anggap saja mencari tahu dulu."Janice mengangguk, menarik napas panjang, dan kembali membidik. Kali ini, Jason mengangkat tangan menahan pundaknya, agar tubuhnya tidak berguncang dan tembakannya tidak meleset. Akhirnya, pelurunya mengenai papan, meskipun jatuh di luar lingkaran.Janice hanya bisa tersenyum canggung. Jason menghibur, "Kalau dalam situasi melindungi diri, asalkan bisa mengenai orang itu sudah cukup.""Melindungi diri?" Janice curiga, menoleh, menatap Jason lekat-lekat. Dia merasa Jason seperti sedang menyembunyikan sesuatu.Jason menjelaskan, "Aku tahu kamu ingin tanya apa. Yang bisa kukatakan, saat ini aku juga belum pasti. Seperti melihat bunga di kabut, seolah-olah sebentar lagi langit cerah bisa melihat matahari, tapi awannya buyar terlalu cepat."Bahkan Jason pun belum bisa memastikannya, berarti Keluarga Azhara masih menyimpan rencana tersembunyi.Janice mengangguk, bertekad tidak akan menjadi beban. "Ajari aku beb
Kuda jantan itu berhenti.Janice mendongak, menatap kilauan cahaya yang tiba-tiba muncul. Dia terpaku cukup lama sebelum mengenali tempat itu. Itu dulunya adalah lokasi vila. Namun, sekarang sudah dipenuhi berbagai fasilitas taman hiburan.Janice menoleh, menatap Jason dengan bingung. Jason menunduk sedikit. "Aku berniat membangun taman hiburan."Dalam mimpinya, Vega menghilang di perjalanan menuju taman hiburan. Sampai akhir hidupnya, dia tidak pernah sempat masuk ke taman hiburan.Janice tertegun beberapa saat, lalu menoleh menatap Jason. "Ini untuk Vega?""Untuk kalian berdua. Apa yang dimiliki Vega, kamu juga punya."Meskipun terkesan lebai, Janice sangat menyukainya. Siapa bilang Jason tidak paham romantis? Dia luar biasa romantis.Janice menekan bibir, berdeham pelan. "Tapi aku sudah dewasa, masih main beginian?"Alis Jason tiba-tiba terangkat sedikit, bulu matanya bergetar, tatapannya penuh gejolak. "Taman hiburan memang belum selesai dibangun dan nggak cocok untukmu. Jadi, kita
Sissy hanya bisa terdiam.Chelsea langsung menindih Sissy, mencengkeram segenggam rambutnya. "Lihat baik-baik! Ini yang disebut kondisi emosi nggak stabil! Dan ini akibatnya kalau berani mengusikku!""Ah! Tolong!"Dalam sehari, Sissy sudah dua kali ditarik rambutnya. Pertama oleh Janice, sekarang oleh Chelsea.Setelah itu, Chelsea bahkan menendangnya keluar dari ruang rawat.Chelsea menarik napas panjang. "Pantas saja orang bilang menahan diri itu bikin sakit, ternyata gila-gilaan seperti Janice begini rasanya enak juga."Landon tidak mengomentarinya, hanya menatap lengannya. "Ayo, waktunya pemeriksaan."Chelsea menoleh dengan penasaran. "Kamu ... kamu nggak punya komentar lain?""Nggak, yang dipukul juga bukan aku.""Kalau begitu, mau coba rasakan tinju kecilku?"Landon tak tahu harus berkata apa, langsung menariknya pergi untuk diperiksa.Setelah mereka pergi, Sissy mencengkeram gaunnya erat-erat, menatap penuh dendam. "Chelsea, kenapa kamu bisa tetap baik-baik saja?"Dia segera meng
Setelah keluar dari ruang rawat, lengan Chelsea terasa sakit tak tertahankan. Sebagai seorang dokter, Arya langsung menyadari dia sedang memaksakan diri."Aku akan mengatur pemeriksaan untukmu, jangan sampai cederamu semakin parah.""Terima kasih."Chelsea mengingat kembali semua yang terjadi, ketakutannya belum juga mereda. Saat berbalik kembali ke ruang rawat, tubuhnya terasa lemah. Baru saja ingin berpegangan pada dinding, tangannya sudah lebih dulu digenggam seseorang.Chelsea mendongak, menatap pria bertubuh tegap itu, lalu tersenyum tipis. "Terima kasih, sponsorku ....""Kata terakhir itu nggak perlu diucapkan," sela Landon segera.Chelsea menghela napas pelan. Pria ini memang keras kepala, tak bisa dibujuk dengan cara lembut maupun keras.Setelah kembali ke ruang rawat, Landon berbalik keluar untuk mencari perawat, menanyakan jadwal pemeriksaan.Tak lama kemudian, pintu terbuka. Chelsea mengira Landon sudah kembali. Sambil tersenyum, dia pun bangkit. Tak disangka, yang masuk jus