Di restoran, Janice menyadari bahwa semua hidangan yang disajikan pelayan adalah favoritnya. Dia berkata dengan nada terharu pada Yoshua, "Kak, nggak kusangka kamu masih ingat."Sambil memberikan Janice semangkuk sup iga, Yoshua tersenyum dan menyahut, "Ingat, dong. Aku tahu kalau kamu sebenarnya tukang makan, hanya saja kamu nggak berani makan banyak di rumah."Janice memandang sup iga yang masih panas itu dengan perasaan sentimental. Dia tidak bisa menahan diri untuk mendongak dan menatap sendu pria berhati lembut dan perhatian di depannya.Akhir cerita Yoshua terlalu tragis. Dia kehilangan segalanya dan diasingkan ke negeri yang jauh tanpa ada harapan untuk kembali. Bahkan Tracy pun ditolak saat ingin pulang kampung sebelum meninggal.Semua itu karena Jason. Betapa kejam dan tidak berperasaannya pria itu.Di kehidupan sebelumnya, Janice dikontrol dengan ketat oleh Jason. Jadi, dia tidak tahu banyak. Dia hanya tidak sengaja mendengar hal ini ketika melewati pintu ruang kerja Jason.L
Jason memanfaatkan kepolosan Janice sebagai tameng. Setelah satu malam panas di kehidupan sebelumnya, pria itu juga menggunakannya untuk menangkal rumor.Jason menggunakan kerja keras Janice untuk memuluskan jalan Vania. Sekarang dia kembali melakukan hal yang sama.Hilang sudah nafsu makan Janice. Dia menaruh ponselnya dengan lemah dan berbalik memandang ke luar jendela. Dadanya terasa sesak.Yoshua yang duduk di depannya mengernyit dan bertanya, "Kenapa? Kok wajahmu masam sekali?""Nggak ada apa-apa. Aku sudah kenyang," sahut Janice sambil minum untuk menenangkan emosinya. Masalah ini tidak berkaitan dengan Yoshua, dia tidak ingin melibatkannya.Yoshua menatap Janice dengan lembut, lalu mengulurkan tangannya ke arah gadis itu sambil berkata, "Sudah sebesar ini, makanmu masih berantakan.""Hah?" Sebelum Janice sempat menanyakan maksudnya, tangan Yoshua sudah menyeka sudut bibirnya dengan lembut. Dia terkejut dan refleks menghindar."Bi ... biar aku yang lap sendiri," ucap Janice."Sud
Begitu tiba di asrama, Janice melihat teman-teman sekamarnya sudah menyiapkan kue dan bunga untuknya."Selamat, Janice!""Terima kasih," ucap Janice penuh haru."Janice, waktu mendengar penjelasan desainmu di internet, nggak tahu kenapa aku jadi ingin menangis.""Apalagi waktu kamu mengonfrontasi Vania, itu keren banget!""Oh iya, nggak usah khawatir soal rumor di internet. Kami sudah mengunggah semua prestasimu selama ini. Kebanyakan netizen nggak bodoh, kok. Mereka akan tahu kalau kamu memang siswa nomor satu sejurusan! Vania pasti lagi menyesal karena sudah menyukainya unggahan nggak jelas itu."Janice sedikit terkejut. Dia pun segera memeriksa ponselnya. Meski reaksi netizen tidak terlalu heboh, kebanyakan orang sudah mengetahui kebenarannya.[ Ini prestasi yang disertifikasi kampus. Janice nggak mungkin tidur dengan semua dosen, 'kan? Lagi pula, ada banyak dosen wanita di antara mereka. ][ Nggak sengaja terpencet? Kurasa hanya orang dengan otak nggak berfungsi yang akan berbuat s
Mampir? Jason yang sibuk sekali itu mana mungkin hanya sekadar mampir? Jelas-jelas dia datang untuk menemani Vania.Vania sengaja berkata seperti ini untuk menunjukkan betapa harmonis hubungannya dengan Jason pada semua orang di sini. Dengan begitu, mereka akan menghormatinya. Sesuai harapan, orang-orang mulai berkomentar."Jason dan Vania lagi dimabuk asmara, nih!""Iya, mereka cocok banget. Bikin iri saja!"Bertepatan dengan itu, Janice membuka pintu dan melangkah masuk. Begitu dia muncul, beberapa alumni sukses yang diundang secara khusus oleh kampus segera memandang ke arahnya.Mereka mengamati wajah hingga tubuhnya berulang kali. Ada yang diam-diam meliriknya, ada juga yang terang-terangan.Janice tidak ingin menyinggung orang-orang berpengaruh ini. Jadi, dia hanya mengangguk sopan, lalu segera menghampiri Rudy, sang rektor."Pak Rudy," sapa Janice.Rudy tersenyum, lalu berkata, "Semua orang sudah tiba. Mari semuanya, duduk dulu. Jason, silakan duduk di sini."Jason mengiakan dan
Sayangnya, Jason adalah orang terakhir yang ingin dimintai tolong oleh Janice dalam hidup ini. Gadis itu membuang muka, lalu menatap anggur putih di depannya. Tak lama, dia langsung menenggak minuman itu.Cangkir teh yang dipegang Jason terhenti sejenak di depan bibirnya. Tubuhnya terus memancarkan aura dingin dan menyeramkan.Ketiga pria yang duduk di dekat Janice tidak menyadari atmosfer yang menegang. Sebaliknya, mereka tertawa begitu gembira."Ternyata Junior pandai minum juga. Ayo, ayo, minum lagi.""Setelah minum dari gelas mereka, kamu juga harus minum dari gelasku. Kalau nggak, aku akan merasa diremehkan!"Begitulah, Janice menenggak tiga gelas besar anggur yang disodorkan padanya berturut-turut. Tenggorokannya terasa terbakar hingga dia tidak mampu bicara. Tangannya bahkan terlalu lemah untuk mengepal.Pipi Janice merah padam, membuat wajah cantiknya kian menawan. Alhasil, para pria di sekitar makin terpikat padanya.Ketiga pria itu saling memandang dan tersenyum mesum. Sayang
Setelah cukup lama, Jason baru mengakhiri ciumannya. Janice bersandar lemas di dinding. Napasnya berpacu dan bibir merahnya membuka dan menutup, membuat pria itu hampir hilang kendali.Ketika Jason mendekatinya lagi, Janice langsung mengalihkan pipinya dan berkata, "Paman sebenarnya mau ngapain? Mau menghiburku setelah menyakitiku?""Apa maksudmu?" tanya Jason sambil menyeka darah di bibirnya. Gigitan Janice yang cukup kuat membuktikan bahwa gadis itu benar-benar marah.Mendengar nada cuek pria itu, Janice memelototinya dengan marah dan berucap, "Paman masih tanya? Apa perlu aku sebutkan semua yang sudah Paman lakukan demi Vania? Paman begitu mencintainya, terus kenapa bersikap seperti ini padaku? Apa aku serendah itu di matamu hingga bisa dimanfaatkan dan diinjak-injak seenaknya?""Tolong jangan libatkan aku dalam hubungan asmara kalian. Aku nggak tertarik! Terima kasih untuk obat mabuknya. Aku sudah nggak apa-apa," tambah Janice. Setelah itu, dia berjalan melewati Jason dan pergi tan
Janice melirik ke arah Vania yang sedang menunduk dan memegangi kepalanya. Dia merasa sedikit linglung.Berhubung Rudy dan yang lainnya sudah pergi, Janice akan menghabiskan segelas anggur terakhir ini. Kemudian, dia akan mencari alasan untuk pergi.Dengan begitu, Janice tidak akan terkesan tidak sopan. Lagi pula, dia sudah meminum obat mabuk. Minum segelas lagi seharusnya tidak akan menjadi masalah.Tepat ketika Janice hendak menenggak anggur itu, pintu di belakangnya tiba-tiba terbuka. Jason masuk dengan raut dingin. Melihat kehadirannya, ekspresi ketiga pria paruh baya itu menjadi lebih kalem.Salah satu dari mereka bertanya dengan penasaran, "Jason, bibirmu kenapa? Baik-baik saja, 'kan?"Jason menyentuh pelan bibirnya dan membalas, "Kena gigit."Mendengar itu, pipi Janice sontak merona. Ketiga pria itu mengira Jason tidak sengaja menggigitnya sendiri. Mereka pun tidak membahasnya lagi.Salah seorang dari mereka menunjuk Vania yang sedang duduk bertopang dagu dan berkata, "Jason, Va
"Gadis jalang!" maki salah satu pria cabul itu."Sebaiknya jaga bicaramu. Aku sudah mulai merekam saat kalian memaksaku minum. Video ini juga sudah kukirim ke teman sekamarku. Kalau aku nggak pulang tepat waktu ke asrama malam ini, besok video ini dipastikan akan jadi trending topic di internet. Kalian nggak mungkin rela hasil kerja keras kalian selama belasan tahun hancur karena aku, 'kan?" gertak Janice.Ketiga orang itu saling memandang. Namun, mereka tidak terlihat terlalu cemas.Salah satu dari mereka berucap dengan sinis, "Kami menghadiri perayaan ini untuk menghormati undangan Pak Rudy. Wajar saja kalau minum-minum dalam acara seperti ini. Lagi pula, kami bisa beralasan kalau kamulah yang merayu kami."Pria lainnya menimpali sambil tersenyum, "Lihat saja gaun yang kamu kenakan. Jelas sekali kalau kamu ingin merayu kami. Para netizen nggak suka dengar cerita wanita yang ditindas. Yang mereka suka dengar itu cerita wanita yang dapat karma dari ulahnya sendiri."Pria ketiga menamba
Saat Janice mengatakan itu, Louise merasa makin bersemangat. "Aku tiba-tiba dapat inspirasi, aku naik ke atas dulu."Melihat Louise berlari dengan cepat, Janice juga tidak terlalu memikirkannya karena kebetulan jam di dinding menunjukkan sudah waktunya untuk menjemput anak. Dia berjalan kaki menuju TK di kota. Pukul setengah empat, kelas penitipan anak pun pulang terlebih dahulu. Seorang anak kecil memakai topi kuning dan rambutnya dikepang dua berlari terhuyung-huyung ke arahnya."Mama, aku rindu kamu," kata Vega.Janice menggendong Vega, lalu mengeluarkan sebuah permen dari sakunya. "Guru bilang hari ini kamu paling baik, jadi ini hadiah untukmu.""Wah. Mama, terima kasih," kata Vega dengan sepasang mata yang terlihat bersinar, bahkan sempat mengecup pipi Janice.Setiap kali Vega mengecupnya seperti ini, Janice selalu merasa sangat bersyukur telah pergi dari kehidupan sebelumnya karena sekarang Vega akhirnya kembali lagi ke sisinya. Tanpa kehidupan yang mewah sekaligus menyesakkan se
[ Hubungan kita cukup sampai di sini saja. ]Jason menatap tulisan itu cukup lama sebelum akhirnya kembali tersadar. Tenggorokannya kering, suaranya serak saat berkata, "Tega sekali ...."Seolah-olah sudah bisa menebak isi surat itu, wajahnya tetap datar tanpa ekspresi. Jason lantas meletakkan kedua surat itu berdampingan, mengambil dua gelang kapibara dari dalam lemari.Plak. Suara kecil terdengar saat gelang itu melingkar erat di pergelangan tangannya. Dia mengepalkan tangannya, menatap lekat-lekat dua kalimat yang menghantam hatinya.[ Kita jadian yuk. ][ Hubungan kita cukup sampai di sini saja. ]Seakan-akan baru saja mendapatkan sesuatu di detik sebelumnya, lalu langsung kehilangan di detik berikutnya.Wajah Jason perlahan memucat, matanya memerah. Dia menunduk sedikit untuk menyembunyikan kesedihannya."Janice, kembalilah."....Tiga tahun kemudian, di Moonsea Bay. Kurir bernama Hady sedang mengangkat paket-paket ke dalam mobil."Bu Janice, sepertinya tahun ini toko online-mu la
Kebetulan tangannya menyentuh kunci itu. Kira-kira, kunci yang satu lagi untuk apa?Jason mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, tetapi tidak melihat lemari yang terkunci. Dia pun berdiri dan melangkah ke kamar utama, ruangan yang paling tidak ingin dia buka. Meskipun sudah berlalu begitu lama, aroma Janice masih memenuhi setiap sudut ruangan.Pandangannya akhirnya tertuju pada satu-satunya lemari di sudut ruangan yang tidak ditutupi kain penutup debu, seolah-olah sedang menuntunnya.Jason membawa kunci itu mendekat dan membukanya dengan mudah. Yang terpampang di depan adalah semua hal yang berkaitan dengan dirinya dan Janice. Janice tidak membawa apa pun.Bahkan, gelang kapibara yang mereka menangkan bersama di pasar malam bertahun-tahun lalu pun masih ada di sana.Dua gelang itu tersimpan di dalam lemari, masing-masing menekan dua pucuk surat. Satu surat beramplop merah muda sudah tampak memudar warnanya, jelas sudah ada sejak bertahun-tahun yang lalu.Yang satu lagi hanya amplop
Jason sangat paham arti sebenarnya dari desakan Anwar soal anak. Selain untuk mengikatnya, itu juga cara agar Keluarga Karim dan Keluarga Luthan terikat erat satu sama lain.Jason tidak akan membiarkan Anwar mendapatkan apa yang dia inginkan. Karena itulah, dia sudah mempersiapkan segalanya sejak awal.Saat ini, seluruh ruang makan menjadi hening. Bahkan saat sendok di tangan Rachel jatuh ke lantai, tidak ada yang bereaksi.Semua orang tahu Ivy tidak bisa punya anak, sementara Zachary lebih memilih terus diserang daripada menceraikannya. Jadi, satu-satunya harapan garis keturunan Keluarga Karim ada pada Jason.Kini, Jason telah melakukan vasektomi. Itu artinya, dia benar-benar memutus harapan Anwar.Dada Anwar naik turun. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berbicara, "Jangan bercanda seperti itu. Aku cuma seorang ayah yang ingin melihat cucuku lahir dengan mataku sendiri.""Kamu sudah punya cucu. Namanya Yoshua. Lupa secepat itu?" timpal Jason dengan datar."Yang sudah berl
"Kenapa aku merasa Jason sekarang lebih pendiam dari sebelumnya?""Katanya tahun pertama pernikahan itu manis seperti madu, tapi lihat deh dia, apa kelihatan kayak pengantin baru?""Shh!"Seseorang menegur pelan.Dua orang yang sedang berbicara itu langsung diam saat melihat Rachel berjalan pelan di belakang Jason.Rachel mendengarnya, menggigit bibir sambil mempertahankan senyum di wajahnya.Saat makan siang, semua orang duduk sesuai dengan tempat duduk yang sudah ditentukan. Zachary dan Ivy memandangi ruangan, baru melihat nama mereka di pojok ruangan.Kebetulan saat itu Elaine masuk, menatap posisi duduk di barisan depan, lalu melihat ke arah mereka berdua dan mengejek dengan tawa sinis.Zachary menatap Ivy dengan pasrah. "Kalau kamu nggak enak badan, aku bisa minta orang antar kamu pulang dulu."Ivy tersenyum. "Nggak apa-apa. Dulu kita makan jajanan di pinggir jalan juga santai saja, 'kan? Di sini juga tenang. Kamu itu bagian dari Keluarga Karim, nggak usah bikin keadaan tambah can
Setelah bertemu dengan pemilik penginapan, Janice mengatakan bahwa dia ingin menginap dulu di penginapan tersebut.Pemiliknya tampak ketakutan karena insiden bunuh diri wanita sebelumnya. Melihat Janice datang sendirian, tatapannya pada Janice terlihat aneh. Bukan karena nafsu, melainkan karena takut Janice mati di penginapannya tanpa ada yang tahu.Pemilik penginapan pun berbaik hati mengajak Janice tinggal di properti lain miliknya yang tidak dekat dengan pantai.Saat memberikan kunci, dia bahkan menasihati, "Kamu masih muda dan cantik, harus bisa move on. Di dunia ini masih banyak pria."Janice sudah berkali-kali menjelaskan bahwa dia tidak ada niat bunuh diri, tetapi si pemilik tetap tak percaya.Keesokan harinya, setelah Janice menandatangani kontrak sewa, dia baru percaya bahwa Janice memang serius menyewa tempat itu. Dia bahkan bersikap sopan dan mengajak Janice sarapan bersama.Setelah sarapan, Janice mulai menjelajah layaknya seorang turis. Saat waktu di luar negeri sudah sama
Pada suatu liburan musim panas, Ivy tiba-tiba dipecat tanpa alasan yang jelas. Kebetulan saat itu Janice jatuh sakit parah. Pengobatannya menghabiskan banyak uang.Ivy menangis sepanjang malam. Sebelum fajar menyingsing, dia sudah menggandeng Janice berdiri di pinggir jalan tol menunggu kendaraan.Dia bahkan bersumpah tak akan membiarkan siapa pun menemukan mereka. Namun, setelah kabur seminggu, lokasi mereka terdeteksi karena tempat penginapan.Zachary pun menjemput mereka pulang. Kalau diingat sekarang, Janice ingin tertawa.Saat sedang tenggelam dalam kenangan, sebuah bus besar berhenti di depannya. Katanya ada pemeriksaan sebelum masuk tol, tetapi orang-orang di sekitar sudah naik dan memasukkan barang ke dalam bagasi.Janice sendiri tak punya tujuan tertentu. Yang penting bisa membawanya keluar dari Kota Pakisa.Dia menarik masker dan ikut naik ke dalam bus. Setelah membayar, dia memilih tempat duduk kosong secara acak.Tak disangka, penumpang dalam bus itu cukup ramai meskipun ha
Rachel mencengkeram baju Jason seolah-olah menggenggam cahaya terakhir dalam hidupnya. Sampai akhirnya, Jason perlahan menunduk dan mendekatinya.Air mata berlinang di wajah Rachel, seberkas harapan terpancar dari tatapannya. Rachel yakin, Jason tidak akan meninggalkannya begitu saja.Namun, detik berikutnya, hatinya seakan-akan tenggelam ke dalam danau es.Jason menggenggam tangannya, melepaskannya satu per satu. Suaranya datar, dingin seperti es. "Aku akan menemanimu sampai akhir. Hanya itu. Itu adalah utangku padamu."Rachel menatap tangannya yang terlepas perlahan. Air matanya jatuh makin deras. Dia tak sanggup menerima. Benar-benar tak sanggup.Karena tahu hidupnya tidak akan lama lagi, dia makin terobsesi pada apa yang benar-benar dia inginkan. Sekarang, satu-satunya yang dia pedulikan hanyalah Jason.Mau itu egois, mau itu obsesi, dia hanya ingin Jason tetap bersamanya. Dengan tidak rela, Rachel kembali menarik Jason dan akhirnya mengucapkan alasan sebenarnya kenapa Jason bersed
Sebelum dia sempat berbicara, lengannya sudah lebih dulu dicengkeram erat oleh pria itu. Dengan suara benturan keras, sepanci sup hangat yang baru saja matang langsung tumpah.Tatapan Jason tajam, jemarinya menegang, matanya merah, auranya penuh kemarahan dan niat membunuh. "Kenapa kamu harus mencarinya?"Rachel mendongak dengan kesakitan, menatap pria yang mengerikan itu dengan air mata mengalir. "Jarang sekali aku melihatmu sepanik ini. Kamu marah? Kalau marah, lampiaskan saja padaku!"Melihat air matanya, Jason seperti melihat kutukan yang memaksanya melepaskan cengkeramannya. Namun, Rachel malah menangis semakin keras. Dia melangkah pelan, ingin mendekatinya.Jason justru mundur dua langkah, menghindari sentuhannya. Mata hitam legamnya redup, seperti tenggelam dalam kabut yang hening, memandang Rachel seperti menatap laut tanpa gelombang.Rachel terisak-isak. "Kamu bahkan nggak mau marah padaku? Kenapa kamu rela melakukan apa saja demi dia?""Kakakku bantu Janice cari apartemen, la