“Kok enggak ucapkan salam, Mas?” tanyaku saat Devan melintas begitu saja di ruang keluarga. Dia hanya menoleh ke arahku tanpa menjawab pertanyaan dariku.Aku memutarkan otomatis setrika sambil melihat jam yang menempel di dinding. Ternyata sudah jam sepuluh malam, tidak terasa sudah dua jam aku duduk dan menyetrika di sini. Aku mematikan televisi lalu menyusulnya ke belakang. Ternyata dia sedang duduk di meja makan dengan menopang dagu.“Mas,” panggilku lirih karena malam ini semua anakku sudah pada tidur. Dia hanya menatapku sesaat. Kali ini tatapannya sinis padaku.“Apa salahku?” tanyaku. Dia mendehem untuk memperlancar suaranya.Inilah Devan, kalau ada masalah selalu diam. Bukan nasehati atau apalah gitu. Malah semakin diam. Dia diam karena ada masalah kerjanya entah karena dia memikirkan dengan kelakuanku siang tadi.Padahal aku ingin sekali cerita padanya mengenai Mila. Tapi sekarang aku malah jadi takut. Sepinya malam ini membuat perasaanku semakin sepi lagi tanpa adanya suara
“Lihatlah sendiri itu di meja!” ucapku ketus tanpa memandangnya. Dia sudah duduk di kursi dengan gaya bak ratu sedang duduk di istana.“Kakak, lapar, belum makan,” ucapnya sambil membuka tudung sajiku. Aku hanya diam tidak menawarkannya untuk makan. Aku acuh tak acuh padanya, sok sibuk dengan pekerjaanku. Karena masih pagi, pekerjaan yang harus aku lakukan itu masih banyak dan menumpuk.Aku perlahan membereskan tempat tidur, karena di kasur masih ada putriku, aku pelan-pelan menarik selimut yang sedikit melilit di kakinya supaya dia tidak terbangun. Menumpuk beberapa bantal di sudut ranjang, lalu merapikan meja riasku yang kelihatan berantakan.“Ta! Kakak pulang, ya,” ucapnya padaku di pintu kamar. Suaranya mengisi ruangan akhirnya putriku pun terbangun.“Ma_ma_k,” ucapnya sambil menangis. “Kakak ini loh, tahu anakku masih tidur pun berkoar-koar,” ucapku ketus sambil merengut. Dia tertawa terbahak-bahak melihatnya.Dia tidak merasa bersalah, malah dia berlalu meninggalkan kamarku.
“Ya, jangan emosi gitu, Mbak!” Gelak tawanya terdengar keras. Memanglah, ya, baru bikin sakit hati orang, bukan ada rasa enggak enak hati. Malah tertawa lebar seperti itu.Bu Sarni berjalan tergopoh-gopoh dengan membawa dua keranjang di tangan kanan dan kirinya. Dengan mengenakan daster berwarna hijau tua yang dia kenakan sudah memudar warnanya, hijabnya sudah tidak kencang lagi alias molor.“Bu!” panggilku.Dia tersenyum mengarahku, Rahayu lewat begitu saja saat berpapasan dengan ibunya. Jangankan menyapa, menoleh pun tidak. Bu Sarni memutarkan kepala melihat tingkah anaknya sedang gila dengan gawainya.“Bu! Sayurnya apa?” tanyaku saat Bu Sarni sudah dekat.“Cuman dua macam, Ta!” jawabnya sambil meletakkan dua keranjang berisi dagangannya di teras rumahku.Dia membuka plastik berwarna hitam. Di dalamnya berisi sayuran masak yang sudah di bungkus dengan plastik kiloan. “Ini ada gulai nangka di campur telur, Ta. Ini yang satu gulai jengkol di campur ceker,” ucapnya. Dia meletakkan d
“Walah, enaknya itu orang, kapan berubahnya dia?” gumamku sambil nyelinguk dari dapur memandang ke arah luar, sekilas motornya melewati pintu rumahku.[Mbak, sini ke rumah mamak!] Sebuah pesan masuk di gawai milikku.Olivia—Adik bungsuku, baru saja pulang dari luar kota. Selama ini dia tinggal bersama, Paman, di kota Medan.Wajahku semringah membacanya, bersyukur adikku pulang dengan selamat setelah lama dia merantau di sana. Di mataku sudah terbayang oleh-oleh yangku pesan kemarin, Bika Ambon, makanan khas dari Medan. Berwarna kuning cerah dengan permukaan sedikit kecokelatan. Jika di gigit teksturnya sangat lembut. Rasa manisnya jangan di tanya lagi, persis semanis senyumku ini.Bergegas aku mengambil pakaian yang ada di jemuran sambil sedikit nyengir karena teriknya matahari, sekarang jam masih menunjukkan pukul dua siang. Biasanya di jam sekarang aku masih molor.“Mak, Tante sudah pulang,” ucap anakku sambil mengunyah. Dia baru masuk ke dalam rumah, kulihat di tangan kanannya me
“Loh, Oliv, di mana Bika Ambonnya?” tanya mamak dari pintu tengah. Olive memejamkan mata seolah dia tidak mau ikut campur dengan rencanaku tadi.Aku beranjak dari dudukku menoleh ke ruang tamu masih ada, Wulan, duduk di sana menunggu Bika Ambon.“Mak, Oliv cuman bawa 3, ‘kan? Nah ini dia,” aku mengeluarkan dua kotak Bika Ambon yang sudah di simpan di atas rak piring seperti yang telah kuinstruksikan pada, Oliv, tadi siang.“Yang satu untukku, satu untuk Era, pas, ‘kan?” ucapku menumpuk dua kotak Bika Ambon di atas meja. Mamak cengar-cengir menatapku.“Yang tadi mana, ya, masih loh di piring. Satu lagi sudah di potong-potong tadi,” ucap mamak sambil menggaruk-garuk kepala. Membuka tudung saji dan celingukan ke sana sini.Aku cekikikan karena, Oliv sudah menyimpannya di dalam kamar sebelum mamak sadar. Aku dan mamak ke ruang keluarga. Aku duduk tapi mamak masih saja berdiri, mamak masih penasaran ke mana larinya itu si Bika Ambon.“Ta, punya kamu saja, belah dua, ya?” ujar mamak memanda
“Iya, kesandung. Eh, malam tadi, Wulan enggak dapat loh, ini Bika Ambon,” gelak tawaku terdengar keras karena memang puas betul rasanya bisa bikin dia kecewa.“Kok bisa, Mbak?” Tanyanya sambil tertawa. Aku menceritakan kejadian malam tadi. Mila mendengarkan sambil terus cekikikan.Terlihat dari kejauhan, ada sebuah mobil Pajero sport berwarna hitam mengkilap akan melintas di depan rumahku.“Mila, mobilnya keren, itu tu mobil impianku,” ucapku tersenyum sambil menaikkan alis. Baru lihat saja mataku tak mau enyah, apalagi andai aku bisa beli, wah banget rasanya. Mataku mulai terbelalak saat mobil itu masuk ke halaman rumahku.“M-mbak, dia ke sini,” ucap Mila, mata kami tak enyah dari sana.Tin TinDia membunyikan klaksonnya.Mataku terpaku saat mesin mobil baru saja di matikan. Tak sabar rasanya ingin melihat siapa orang di dalamnya. Perasaan tidak ada saudara atau tetanggaku memiliki mobil impianku, Pajero sport.Pintu mobil telah terbuka, sepasang sepatu loreng turun dari sana, ya, h
Gaya jalan centilnya sang anak, membuatku teringat dengan putri kecilku. “Pasti ibunya cantik,” gumamku. Pandanganku beralih ke wanita paruh baya yang ada di hadapanku, melihat raut wajahnya semakin panik. “Bu, enggak usah panik, santai saja. Mas Arman, baik, ‘kan?” Aku meyakinkannya. Dia menganggukkan kepala. Dia memiliki empat orang anak. Tiga laki-laki dan satu perempuan, tapi anak perempuannya meninggal saat berusia tujuh belas tahun. Di mana dia sedang duduk di kelas dua menengah atas akibat dari sebuah kecelakaan yang menimpanya. Sejak itu suami Bu Endang sakit-sakitan karena putri semata wayangnya meninggal mendadak, di tambah lagi dia sudah mempunyai riwayat penyakit jantung. “Bu, Aku pulang dulu, ya,” ucapku pada wanita itu sambil berjalan ke arah rumah. “Tehnya enggak di minum dulu, Ya?” tanyanya. Aku menghentikan langkahku, menoleh ke belakang lalu berjalan masuk lagi ke dalam rumah. Kupegang satu gelas teh lalu kubawa ke teras. “Bu, kubawa pulang, ya, nanti kuantar
Dia tertawa lepas sambil memindah putriku di sebelahku.# # #“Milaaaa ...,” Aku merangkul Mila dari belakang. Mila kebingungan melihat tingkahku, tangan yang sudah memegang baju untuk di jemur, berhenti. Dia menoleh ke belakang memandangku dengan kening mengerut.“Mbak, ada apa? Eling, Mbak!” Ucapnya membalik badan melepaskan tanganku.Dengan riang aku tertawa sambil menutup mata menggunakan kedua telapak tanganku. Wajahku memerah, rasa ingin tersenyum selalu hadir dalam diriku.Pagi ini aku sengaja siapkan pekerjaan rumah dengan cepat. Karna kuingat hal kemarin, hari ini aku harus sukses membujuk Bu Endang untuk menjual rumahnya.“La, tadi malam, Mbak mimpi tau. Ih ...,” aku tersenyum tersipu malu kala mengingat mimpiku tadi malam.“Mbak, mimpi apa to?” Mila penasaran, dia memegang lenganku lalu membukanya.Aku menceritakan semua gerakan dan perasaan yang kurasakan tadi malam. Aku memperagakan adegan yang uh, membuatku mabuk kepayang.Tak tahan rasanya aku menahan diri, aku mundur t