"Ya, waktu itu Mas Harman pernah kerja bareng ayahku. Pas dilihat ayah, tenaganya kuat. Kerjanya rajin, tiba udah nikah, males, makin ke sini malah kaya' tahe," ucapnya kesal.Aku tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Mila. Aku pernah juga mendengar desas-desus nya dulu kalau Mila hamil duluan, tapi aku enggak pernah bertanya karena kau tidak mau mencari masalah yang bukan urusanku.* * *"Mas, gimana tadi kerjanya? Capek?" Tanyaku."Enggak, Dek. Apalah capeknya, cuman megang kunci terus di putar-putar," ucap Devan sambil menghela nafas.Nafasnya begitu berat, aku yakin pasti keadaan sedang tidak baik-baik saja.Aku memeluknya saat kami masih tiduran di ranjang. Anak-anak sudah pada tidur, tanganku melingkar merangkul bagian dada bidangnya."Mas, sebenarnya ada masalah apa?" Tanyaku memaksa Devan untuk menjawab."Enggak ada apa-apa loh, dek.""Gimana enggak ada? Aku istrimu, dan aku tahu bagaimana kamu," ucapku.Aku sangat mengenal suamiku sehingga dia tidak akan bisa menutupi masal
"Iya, loh dek," sahutnya dengan nada marah.Aku menatap Devan yang pergi ke arah dapur dan masuk ke dalam kamar mandi. Sudah beberapa bulan ini Devan kerja di bengkel tidak membuahkan hasil. Malah semua jadi kacau.Tabunganku merosot, padahal aku ikut serta mencari uang. Apa aku kasih tahu saja ya pekerjaan yang di tawarkan Dareen beberapa bulan lalu? Toh Dareen belum mendapatkan seorang sopir sampai saat ini.Aku berjalan ke arah luar rumah, di sana tampak Dareen sedang mengemudi mobilnya. Di sisi lain ada sang istri sedang melambaikan tangan ke arahnya.Tidak lama Devan berjalan ke arah luar, suamiku melewatiku begitu saja sambil mengeluarkan motor miliknya."Enggak sarapan dulu, Mas?" Tanyaku heran."Enggak. Nanti saja di luar," ucapnya tanpa memandangku. Matanya fokus dengan ban yang akan turun dari teras."Kamu ini, ya. Sudah tahu gaji kecil malah makan di luar. Enggak kasihan apa sama anak kamu yang makan seadanya gitu? Heran deh," ucapku kesal.Devan tidak menjawab pertanyaanku
Aku mengintai dari sudut ke sudut ternyata memang tidak ada suamiku di dalamnya. Hal seperti ini sudah beberapa kali terjadi, tapi aku tidak pernah aku cek kamar mandinya. Baru hari ini aku kepo tentang ketenangannya dia di dalam kamar mandi, tapi malah enggak ada orangnya.Aku berjalan ke depan untuk melihat sendal miliknya, tapi kenapa sendalnya masih ada di depan? Aku balik lagi berjalan ke belakang.Bruk!Aku dan Devan bertabrakan di pintu tengah yang di tutupi oleh kain gorden."Aduh! Kalau jalan itu lihat-lihat!" Ucapnya dengan nada tinggi.Astaga, dia kenapa? Apa yang salah dariku sampai-sampai dia ketus seperti ini? Niatku yang ingin bertanya padanya, aku urungkan. Aku lebih memilih masuk ke dalam kamar dan langsung merebahkan tubuhku di ranjang ketika dia sedang mencari sesuatu di lemari."Mana ini kolor nya!" Ucapnya tanpa memandangku.Aku hanya mendengarkan tanpa menjawab, kalau sudah dengan cara seperti itu jangan harap aku akan memedulikannya.Devan keluar masuk kamar, ak
Sepupu Celamitan “Dek, datang lagi,” ucap suamiku dengan nada berbisik juga datar sambil melirik ke sebuah motor vixion berwarna putih parkir di rumah kami. Aku hanya bisa menghela nafas panjang ketika mereka mengucap salam lalu masuk ke rumahku begitu saja tanpa menunggu izin dariku pun mereka menerobos masuk ke dapur. “Masak apa? Weh paslah ya banyak nasi, kami enggak masak. Mau numpang makan, “ celoteh istrinya setelah menggeledah tudung sajiku. Aku hanya bisa tersenyum getir melihat tingkahnya. Karena bukan hanya sekali atau dua kali saja dia seperti itu, tetapi hampir setiap hari. “Mas berangkat ya, Dek,” ucap suamiku sambil bermalas-malasan beranjak dari duduknya. “Mau ke mana, Devan?” tanya abang sepupuku. “Lihat mobil di bengkel,” jawab suamiku singkat dan berlalu. Tanpa memandang mereka, aku masuk ke dalam rumah lewat pintu dapur, mencari sumber suara anakku yang kedua, diasedang ribut bermain. “Latif, mandi!” ucapku pada anak sulungku dengan nada tinggi setelah aku m
“Loh, kok nasi tinggal sedikit? Malam ini teman mas itu mau datang, Dek, numpang makan katanya istrinya malas masak. Istrinya itu memang pemalas sih maka suaminya numpang makan sana sini, dan malam ini dia akan numpang di rumah kita,” penjelasan dari suamiku sungguh panjang lebar. “Ya sudah ajak saja, Mas, ke sini. Nanti Adek masak lagi,” ucapku tersenyum. “Ya ampun rajinnya istriku, terima kasih ya Allah, Engkau telah memberiku istri yang rajin, amin,” ucap suamiku sambil menengadahkan telapak tangan. “Lebai,” ucap Wulan sewot. Aku hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala. ‘Kena dirimu kali ini, Bu.’ batinku. “Ya sudah, kami pamitlah ya, sudah kenyang pulang kaya pacet,” Wulan sedikit tergopoh-gopoh karena terlalu lama duduk bersila. Badannya memang besar sih. Wulan membenahi hijab anaknya sambil sesekali bercanda dengan putri bungsuku. “Makan apa kita malam ini, Dek?” tanya suamiku saat kakak dan abang iparku tepat berdiri di pintu. “Nila, Nanti Adek panggang kan nila teru
Aku berusaha mencari jalan keluarnya, supaya bisa keluar dari masalah ini. Tidak mungkin semua ini di biarkan dalam jangka panjang.“Mungkin sarapannya terlalu pagi, jadi masih pagi udah lapar lagi,” jawab mamak sambil menggendong putriku.“Ya ampun mamaaaaaakk,” ucapku dengan mata berkaca-kaca.Berarti istrinya benaran enggak masak itu, pagi di sana, siang di situ, malam di sana. Hadeh.Aku menggerutu sendiri sambil menyapu, mencari cara supaya mereka kapok untuk makan di rumahku.Setelah seharian main di rumah mamak, akhirnya aku pulang setelah jam menunjukkan pukul empat sore. Aku tahu mereka tidak akan datang hari ini aku memasakkan telur dadar sambal kecap untuk malam ini. Enggak lupa juga aku membeli sesuatu untuk memberikan kejutan ke mereka.Malam ini rumah terasa damai, aku dan suami duduk bercerita sambil bersenda gurau bersama anak-anak. Setelah aku teringat mereka seketika aku diam.“Dek, kenapa?” tanya suamiku.Aku tidak menjawab, aku menulis sesuatu di status w******p set
“Latif, belikan top kopi, ya! Dua ribu kan harganya?” tanya abang sepupuku menatapku sambil menyodorkan uang lima ribu rupiah kepada Latif. Abang sepupuku mengeluarkan dompetnya dari dalam saku celana. Mengeluarkan selembar uang senilai lima ribu rupiah.“Iya,” jawabku. “Kembaliannya untukmu, ya,” ucap abang sepupuku kepada Latif. “Iya, Terima kasih, Pakde,” ucap Latif sambil mengambil uangnya. Saat Latif hendak berangkat ke warung, Wulan datang menghampiri Latif yang masih berada di dekat pintu.“Sini, Bude, ada uang dua ribuan ini,” ucap kakak sepupuku sambil mengambil uang yang sudah di tangan Latif lalu memberikan uang dua ribu rupiah. Aku hanya tersenyum menggelengkan kepala melihatnya. Mungkin hatiku sakit, tapi aku tidak harus memperlihatkannya karena kami bukan orang yang kekurangan. “Dek, makan yuk!” ucap suamiku. “Belum mandi lagi.” “Sudah enggak apa-apa, toh masih wangi kan?”“Masih, dong,” ucapku tersenyum manis menahan tawa. Aku berjalan menuju dapur di ikuti kaka
“Oh, ibu kira ada apa gitu yang di kerjakannya. Soalnya setiap hari loh, ya sudah,. Terimakasih, ya, Kak,” ucapnya setelah memberikan kembaliannya padaku. Jarak antara warung dengan rumahku tidak terlalu jauh, hanya selisih dua rumah saja. Maka dari itu mungkin beliau selalu melihat motor abang sepupuku sering parkir di halaman rumah. # # # # “Tuh, Mamakmu, sudah datang. Pakde, mau pulang,” ucap abang sepupuku seolah berbicara pada putriku. Aku hanya tersenyum saat mereka berpamitan pulang pada Mamak yang sedang di dapur, juga Nenek yang ada di kamar. Suara motor tidak lagi kedengaran. Aku pergi ke dapur menemui, Mamak. “Mak, tumben mereka enggak makan, ya? Mamak masak apa rupanya?” tanyaku. “Siapa bilang enggak makan, itu piring kotor siapa itu,” ucap mamak mendengus kesal. Beberapa piring kotor menumpuk di wastafel, aku mendengus sambil menggelengkan kepala. “Apa susahnya selesai makan itu di cuci piringnya, coba?” Mamak tersenyum memandangku, andai aku punya keberanian past