Share

Bab 8

Mamak menatapku dengan kening mengerut. Aku cekikikan lalu duduk di depannya. Hari ini hatiku puas betul rasanya.

“Kenapa, Ta?” tanya mamak padaku. Aku menggeleng sambil terus tersenyum.

Sore ini aku pulang tidak membawa putriku. Dia di minta mamak untuk tidur bersamanya malam ini. Aku melihat isi kulkas, hanya ada telur dan bunga kol saja.

Aku meracik semua bahan, lalu memasaknya dengan rasa semangat. Tidak mungkin dia akan datang karena kejadian siang tadi.

“Assalamualaikum...,” ucapan salam terdengar sampai dapur.

Aku terpaku setelah sadar itu adalah suara kakak sepupuku. Dia masuk sambil meletakkan gawainya di meja makan.

Dia masuk ke kamar mandi sambil membuka hijab lalu menyampirkannya di pintu. Memakai celana legging, hingga lekuk di bagian bokong hingga paha terlihat jelas.

“Masak, apa, Ta?” tanyanya saat keluar dari kamar mandi sambil membenahi baju bagian bawah.

“Ni!” sahutku memandang sayuran yang sedang kubolak-balikkan.

Dia duduk di meja makan sambil memegang gawainya. Memandang gawai sambil cengar-cengir dengan wajah memerah.

Aku mewadahi sayur, memindahkannya ke dalam mangkuk. Saat aku meletakkan mangkuk itu ke meja makan, sekilas aku melihat gawainya. Ternyata dia masih berbalas pesan dengan seseorang.

“Ta! Devan, mana?” tanya Abang sepupuku saat aku masih mencuci peralatan bekas masakku.

“Masih kerja, Bang” jawabku singkat. Dia duduk di meja makan, sambil memandang istrinya yang cengengesan sendiri.

Abangku menggaruk-garuk kepalanya, lalu menatap ke arah istrinya. Istrinya yang tidak punya perasaan itu, terus saja melanjutkan balasan pesan itu.

Aku menatap abangku dengan kening mengerut, seperti ada yang aneh. Aku berpura-pura lewat di belakangnya sambil melihat poto profil di sudut kiri atasnya.

‘seperti poto profil, Devan,' batinku.

Aku berpikir, apa iya, betul? Aku pura-pura ke kamar. Di kamar aku hanya berdiri saja karena memang tidak ada yang akan aku kerjakan di sana. Aku kembali lagi setelah beberapa saat.

“Itu, Devan, Kak?” tanyaku berdiri di belakangnya. Dia terperanjat lalu menoleh ke arahku. Aku menatapnya, kutemukan matanya jelalatan mencari alasan.

“Chattan sama, Devan?” timpal suami suaminya, Galih.

“Bukan, ah,” jawabnya dengan tangan bergerak di layar gawai. Lalu memberikan gawai itu pada suaminya.

Saat gawainya ada di tangan suaminya, aku mendekat, kulihat ada sebuah grup yang masih berjalan. Aku yakin, tadi bukan sebuah grup. Awas kamu, Devan, kalau kamu pulang nanti, habis kau.

Perasaanku kacau balau, pikiranku tak menentu. Dadaku terasa panas dan ingin meronta-ronta. Ingin sekali lagi aku memeriksa gawai itu tetapi aku tidak enak hati dengan, Galih.

Makan malam sudah kelar, ada capcai, tempe goreng, dan kerupuk. Semua sudah tersaji di atas piring, lalu aku pergi ke kamar mandi dengan membawa baju ganti karena kamarku tidak ada kamar mandinya.

“Ta! Mau ke mana?” tanya Galih. Dengan gaya duduknya dengan kaki satu naik ke kursi, di tumpangi tangan yang memegang sebatang rokok. Duh santainya.

“Ke rumah mamak, bang, mau main soalnya Adiva di sana,” ucapku sambil berdiri di pintu belakang rumah. Bersiap untuk menutup menunggu mereka keluar.

Wulan mengambil dan memakai hijabnya. Galih mengambil rokok di meja lu memasukkannya ke dalam saku celana. Ketika mereka keluar, aku langsung menutup pintu dan berlalu. Tidak kuhiraukan mereka yang masih ada di halaman rumahku.

Suara motor terdengar, saat suara itu sudah terdengar samar-samar, aku menoleh ke belakang. Aku menghentikan langkahku, dan saat aku menoleh lagi mereka tidak ada, aku langsung balik badan dan pulang ke rumahku lagi.

“Latif! Mandi!” ucapku dengan nada tinggi saat melihatnya baru pulang dari main. Dia langsung berlari ke kamar mandi.

“Mak! Kenapa mamak marah-marah?” tanyanya saat selesai mandi. Aku hanya menoleh sesaat, pandanganku kembali lagi pada layar televisi.

Aku melihat jam yang menempel di dinding, sudah menunjukkan pukul delapan malam. Tapi Devan belum juga pulang.

Padahal biasanya tidak pernah larut dia pulang, tapi malam ini ada apa dengannya?

Aku mengambil gawaiku di meja televisi, melihat aplikasi w******p lalu melihat kontaknya, online. Kukembalikan dari kontaknya, aku beralih ke kontak, Wulan, online.

“Mak! Bapak kok belum pulang?” tanya Fatir sambil membawa sepiring nasi lalu duduk di depan tipi. Aku hanya menaikkan bahu menandakan bahwa aku juga tidak tahu.

Terdengar samar-samar suara motornya, aku meletakkan gawai lalu merebahkan tubuhku. Memandang tipi seolah sedang asyik menonton. Padahal hatiku berkecamuk, ingin rasanya langsingku tendang dia dari rumah ini.

“Dek! Makan, yuk!” ucapnya saat berada di meja makan sambil melepaskan piring di meja.

“Oke,” ucapku dengan nada datar. Aku beranjak, berjalan menuju dapur. Mataku menyaksikan panggilan di akhiri dari gawainya. Tapi aku tidak sempat melihat siapa pemanggilnya.

Aku mengambil nasi sambil meliriknya, dia masih tetap tenang menyantap makanan malam ini.

“Mas, tadi Wulan ke sini lagi, loh,” ucapku di sela-sela kami sedang makan. Dia tidak merespon, hanya saja mengangguk-anggukkan kepala.

“Tapi kapoklah, enggak bisa makan.”

“Pas sudah selesai semua, aku langsung saja pura-pura mau ke rumah mamak, jadi, ya, mereka pulang,” ucapku sambil tersenyum. Memancing ucapan ataupun jawaban darinya.

“Ya, enggak boleh gitu, Dek, kan kasihan,” jawabnya dengan nada datar. Aku tercengang mendengarnya.

Aku terpaku memikirkan ucapan yang benar-benar tidak pernah aku bayangkan. Padahal baru malam kemarin dia memberi nasehat untukku supaya mengingatkannya. Tapi kenapa malam ini berubah?

Aku terus menyelidiki apa dari maksud semua ini.

Aku menunggu waktu yang tepat. Di mana anak-anakku sudah pada tidur baru aku bereaksi. Tunggu saja nanti.

Devan duduk di sampingku. Dengan rambut basah dan wangi, dia menatap arah gawainya. Dengan gaya-gaya foto selfi. Aku melirik, ternyata dia foto dari arah samping. Kenapa dia seperti itu? Aku tahu, kebanyakan kalau dari arah samping foto memang begitu sempurna.

“Sini!” aku merebut gawainya. Dia terkejut, hanya menatapku. Aku melihat seluruh isi pesan, tapi tidak ada pesan dari Wulan. Kuletakkan kembali ponsel di dekatnya.

“Ada apa, Dek?” tanyanya sok polos. Aku duduk, sambil membenahi rambut yang berserakan. Melirik ke tipi lalu memandang ke arahnya.

Untungnya malam ini Adiva tidak di rumah. Jadi aku bisa leluasa untuk menginterogasinya. Aku duduk dengan mata menatapnya, tangan menopang dagu, dan kaki bersila.

“Tadi ada chattan, sama, Wulan?” tanyaku menatap matanya. Pandanganku semakin sinis, raut wajahku semakin bengis.

“Enggak, kenapa?” aku tersenyum getir. Mengalihkan pandangan ke arah jendela. Dia memandang ke arahku sambil tangannya menari-nari di gawai.

Memang dia sudah lihai dengan masalah gawai, tapi dia salah sudah mencari masalah denganku.

“Enggak ada loh, Dek, coba lihat! Enggak ada apa-apa, kan?” tanyanya membujukku.

“Ada yang aneh di antara kalian, Mas!” ucapku dan berlalu ke kamar begitu saja.

Devan mematikan tipi lalu membuntutiku dari belakang. Aku menyibakkan tirai pintu dengan kuat saat aku melewatinya. Dia mengikuti sampai ke kamar, lalu menutup pintu kamar.

Aku memindah bantal sampai ke sudut ranjang, lalu merebahkan tubuhku dengan membelakanginya.

“Dek! Dek!” ucapnya sambil mencolek-colek pinggangku. Aku diam tanpa kata sambil memasang selimut.

“Dek, benerlah, enggak ada apa-apa,” ucapnya meyakinkanku. Dia pikir, aku diam begitu saja. Aku akan buktikan semuanya kalau mereka kini mulai bermain api. Benar-benar panas rasa di dadaku saat ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status