Mamak menatapku dengan kening mengerut. Aku cekikikan lalu duduk di depannya. Hari ini hatiku puas betul rasanya.
“Kenapa, Ta?” tanya mamak padaku. Aku menggeleng sambil terus tersenyum.Sore ini aku pulang tidak membawa putriku. Dia di minta mamak untuk tidur bersamanya malam ini. Aku melihat isi kulkas, hanya ada telur dan bunga kol saja.Aku meracik semua bahan, lalu memasaknya dengan rasa semangat. Tidak mungkin dia akan datang karena kejadian siang tadi.“Assalamualaikum...,” ucapan salam terdengar sampai dapur.Aku terpaku setelah sadar itu adalah suara kakak sepupuku. Dia masuk sambil meletakkan gawainya di meja makan.Dia masuk ke kamar mandi sambil membuka hijab lalu menyampirkannya di pintu. Memakai celana legging, hingga lekuk di bagian bokong hingga paha terlihat jelas.“Masak, apa, Ta?” tanyanya saat keluar dari kamar mandi sambil membenahi baju bagian bawah.“Ni!” sahutku memandang sayuran yang sedang kubolak-balikkan.Dia duduk di meja makan sambil memegang gawainya. Memandang gawai sambil cengar-cengir dengan wajah memerah.Aku mewadahi sayur, memindahkannya ke dalam mangkuk. Saat aku meletakkan mangkuk itu ke meja makan, sekilas aku melihat gawainya. Ternyata dia masih berbalas pesan dengan seseorang.“Ta! Devan, mana?” tanya Abang sepupuku saat aku masih mencuci peralatan bekas masakku.“Masih kerja, Bang” jawabku singkat. Dia duduk di meja makan, sambil memandang istrinya yang cengengesan sendiri.Abangku menggaruk-garuk kepalanya, lalu menatap ke arah istrinya. Istrinya yang tidak punya perasaan itu, terus saja melanjutkan balasan pesan itu.Aku menatap abangku dengan kening mengerut, seperti ada yang aneh. Aku berpura-pura lewat di belakangnya sambil melihat poto profil di sudut kiri atasnya.‘seperti poto profil, Devan,' batinku.Aku berpikir, apa iya, betul? Aku pura-pura ke kamar. Di kamar aku hanya berdiri saja karena memang tidak ada yang akan aku kerjakan di sana. Aku kembali lagi setelah beberapa saat.“Itu, Devan, Kak?” tanyaku berdiri di belakangnya. Dia terperanjat lalu menoleh ke arahku. Aku menatapnya, kutemukan matanya jelalatan mencari alasan.“Chattan sama, Devan?” timpal suami suaminya, Galih.“Bukan, ah,” jawabnya dengan tangan bergerak di layar gawai. Lalu memberikan gawai itu pada suaminya.Saat gawainya ada di tangan suaminya, aku mendekat, kulihat ada sebuah grup yang masih berjalan. Aku yakin, tadi bukan sebuah grup. Awas kamu, Devan, kalau kamu pulang nanti, habis kau.Perasaanku kacau balau, pikiranku tak menentu. Dadaku terasa panas dan ingin meronta-ronta. Ingin sekali lagi aku memeriksa gawai itu tetapi aku tidak enak hati dengan, Galih.Makan malam sudah kelar, ada capcai, tempe goreng, dan kerupuk. Semua sudah tersaji di atas piring, lalu aku pergi ke kamar mandi dengan membawa baju ganti karena kamarku tidak ada kamar mandinya.“Ta! Mau ke mana?” tanya Galih. Dengan gaya duduknya dengan kaki satu naik ke kursi, di tumpangi tangan yang memegang sebatang rokok. Duh santainya.“Ke rumah mamak, bang, mau main soalnya Adiva di sana,” ucapku sambil berdiri di pintu belakang rumah. Bersiap untuk menutup menunggu mereka keluar.Wulan mengambil dan memakai hijabnya. Galih mengambil rokok di meja lu memasukkannya ke dalam saku celana. Ketika mereka keluar, aku langsung menutup pintu dan berlalu. Tidak kuhiraukan mereka yang masih ada di halaman rumahku.Suara motor terdengar, saat suara itu sudah terdengar samar-samar, aku menoleh ke belakang. Aku menghentikan langkahku, dan saat aku menoleh lagi mereka tidak ada, aku langsung balik badan dan pulang ke rumahku lagi.“Latif! Mandi!” ucapku dengan nada tinggi saat melihatnya baru pulang dari main. Dia langsung berlari ke kamar mandi.“Mak! Kenapa mamak marah-marah?” tanyanya saat selesai mandi. Aku hanya menoleh sesaat, pandanganku kembali lagi pada layar televisi.Aku melihat jam yang menempel di dinding, sudah menunjukkan pukul delapan malam. Tapi Devan belum juga pulang.Padahal biasanya tidak pernah larut dia pulang, tapi malam ini ada apa dengannya?Aku mengambil gawaiku di meja televisi, melihat aplikasi w******p lalu melihat kontaknya, online. Kukembalikan dari kontaknya, aku beralih ke kontak, Wulan, online.“Mak! Bapak kok belum pulang?” tanya Fatir sambil membawa sepiring nasi lalu duduk di depan tipi. Aku hanya menaikkan bahu menandakan bahwa aku juga tidak tahu.Terdengar samar-samar suara motornya, aku meletakkan gawai lalu merebahkan tubuhku. Memandang tipi seolah sedang asyik menonton. Padahal hatiku berkecamuk, ingin rasanya langsingku tendang dia dari rumah ini.“Dek! Makan, yuk!” ucapnya saat berada di meja makan sambil melepaskan piring di meja.“Oke,” ucapku dengan nada datar. Aku beranjak, berjalan menuju dapur. Mataku menyaksikan panggilan di akhiri dari gawainya. Tapi aku tidak sempat melihat siapa pemanggilnya.Aku mengambil nasi sambil meliriknya, dia masih tetap tenang menyantap makanan malam ini.“Mas, tadi Wulan ke sini lagi, loh,” ucapku di sela-sela kami sedang makan. Dia tidak merespon, hanya saja mengangguk-anggukkan kepala.“Tapi kapoklah, enggak bisa makan.”“Pas sudah selesai semua, aku langsung saja pura-pura mau ke rumah mamak, jadi, ya, mereka pulang,” ucapku sambil tersenyum. Memancing ucapan ataupun jawaban darinya.“Ya, enggak boleh gitu, Dek, kan kasihan,” jawabnya dengan nada datar. Aku tercengang mendengarnya.Aku terpaku memikirkan ucapan yang benar-benar tidak pernah aku bayangkan. Padahal baru malam kemarin dia memberi nasehat untukku supaya mengingatkannya. Tapi kenapa malam ini berubah?Aku terus menyelidiki apa dari maksud semua ini.Aku menunggu waktu yang tepat. Di mana anak-anakku sudah pada tidur baru aku bereaksi. Tunggu saja nanti.Devan duduk di sampingku. Dengan rambut basah dan wangi, dia menatap arah gawainya. Dengan gaya-gaya foto selfi. Aku melirik, ternyata dia foto dari arah samping. Kenapa dia seperti itu? Aku tahu, kebanyakan kalau dari arah samping foto memang begitu sempurna.“Sini!” aku merebut gawainya. Dia terkejut, hanya menatapku. Aku melihat seluruh isi pesan, tapi tidak ada pesan dari Wulan. Kuletakkan kembali ponsel di dekatnya.“Ada apa, Dek?” tanyanya sok polos. Aku duduk, sambil membenahi rambut yang berserakan. Melirik ke tipi lalu memandang ke arahnya.Untungnya malam ini Adiva tidak di rumah. Jadi aku bisa leluasa untuk menginterogasinya. Aku duduk dengan mata menatapnya, tangan menopang dagu, dan kaki bersila.“Tadi ada chattan, sama, Wulan?” tanyaku menatap matanya. Pandanganku semakin sinis, raut wajahku semakin bengis.“Enggak, kenapa?” aku tersenyum getir. Mengalihkan pandangan ke arah jendela. Dia memandang ke arahku sambil tangannya menari-nari di gawai.Memang dia sudah lihai dengan masalah gawai, tapi dia salah sudah mencari masalah denganku.“Enggak ada loh, Dek, coba lihat! Enggak ada apa-apa, kan?” tanyanya membujukku.“Ada yang aneh di antara kalian, Mas!” ucapku dan berlalu ke kamar begitu saja.Devan mematikan tipi lalu membuntutiku dari belakang. Aku menyibakkan tirai pintu dengan kuat saat aku melewatinya. Dia mengikuti sampai ke kamar, lalu menutup pintu kamar.Aku memindah bantal sampai ke sudut ranjang, lalu merebahkan tubuhku dengan membelakanginya.“Dek! Dek!” ucapnya sambil mencolek-colek pinggangku. Aku diam tanpa kata sambil memasang selimut.“Dek, benerlah, enggak ada apa-apa,” ucapnya meyakinkanku. Dia pikir, aku diam begitu saja. Aku akan buktikan semuanya kalau mereka kini mulai bermain api. Benar-benar panas rasa di dadaku saat ini.Aku mengintai dari sudut ke sudut ternyata memang tidak ada suamiku di dalamnya. Hal seperti ini sudah beberapa kali terjadi, tapi aku tidak pernah aku cek kamar mandinya. Baru hari ini aku kepo tentang ketenangannya dia di dalam kamar mandi, tapi malah enggak ada orangnya.Aku berjalan ke depan untuk melihat sendal miliknya, tapi kenapa sendalnya masih ada di depan? Aku balik lagi berjalan ke belakang.Bruk!Aku dan Devan bertabrakan di pintu tengah yang di tutupi oleh kain gorden."Aduh! Kalau jalan itu lihat-lihat!" Ucapnya dengan nada tinggi.Astaga, dia kenapa? Apa yang salah dariku sampai-sampai dia ketus seperti ini? Niatku yang ingin bertanya padanya, aku urungkan. Aku lebih memilih masuk ke dalam kamar dan langsung merebahkan tubuhku di ranjang ketika dia sedang mencari sesuatu di lemari."Mana ini kolor nya!" Ucapnya tanpa memandangku.Aku hanya mendengarkan tanpa menjawab, kalau sudah dengan cara seperti itu jangan harap aku akan memedulikannya.Devan keluar masuk kamar, ak
"Iya, loh dek," sahutnya dengan nada marah.Aku menatap Devan yang pergi ke arah dapur dan masuk ke dalam kamar mandi. Sudah beberapa bulan ini Devan kerja di bengkel tidak membuahkan hasil. Malah semua jadi kacau.Tabunganku merosot, padahal aku ikut serta mencari uang. Apa aku kasih tahu saja ya pekerjaan yang di tawarkan Dareen beberapa bulan lalu? Toh Dareen belum mendapatkan seorang sopir sampai saat ini.Aku berjalan ke arah luar rumah, di sana tampak Dareen sedang mengemudi mobilnya. Di sisi lain ada sang istri sedang melambaikan tangan ke arahnya.Tidak lama Devan berjalan ke arah luar, suamiku melewatiku begitu saja sambil mengeluarkan motor miliknya."Enggak sarapan dulu, Mas?" Tanyaku heran."Enggak. Nanti saja di luar," ucapnya tanpa memandangku. Matanya fokus dengan ban yang akan turun dari teras."Kamu ini, ya. Sudah tahu gaji kecil malah makan di luar. Enggak kasihan apa sama anak kamu yang makan seadanya gitu? Heran deh," ucapku kesal.Devan tidak menjawab pertanyaanku
"Ya, waktu itu Mas Harman pernah kerja bareng ayahku. Pas dilihat ayah, tenaganya kuat. Kerjanya rajin, tiba udah nikah, males, makin ke sini malah kaya' tahe," ucapnya kesal.Aku tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Mila. Aku pernah juga mendengar desas-desus nya dulu kalau Mila hamil duluan, tapi aku enggak pernah bertanya karena kau tidak mau mencari masalah yang bukan urusanku.* * *"Mas, gimana tadi kerjanya? Capek?" Tanyaku."Enggak, Dek. Apalah capeknya, cuman megang kunci terus di putar-putar," ucap Devan sambil menghela nafas.Nafasnya begitu berat, aku yakin pasti keadaan sedang tidak baik-baik saja.Aku memeluknya saat kami masih tiduran di ranjang. Anak-anak sudah pada tidur, tanganku melingkar merangkul bagian dada bidangnya."Mas, sebenarnya ada masalah apa?" Tanyaku memaksa Devan untuk menjawab."Enggak ada apa-apa loh, dek.""Gimana enggak ada? Aku istrimu, dan aku tahu bagaimana kamu," ucapku.Aku sangat mengenal suamiku sehingga dia tidak akan bisa menutupi masal
"Makan—? Hmmm, Aku belum masak, Mas," ucapku lirih."Kok bisa sih dek? Seharian di rumah, ngapain?" Tanya Devan dengan nada datar.Aku menceritakan semua kejadian tadi, namun, aku belum bicara soal Dareen yang memberikannya pekerjaan sebagai sopir.Aku belum siap untuk di tinggal malam-malam oleh Devan karena masih trauma dengan kejadian beberapa malam yang lalu."Ya, sudah, beli mie instan aja dek, laper," ucapnya sambil merebahkan tubuhnya di depan TV."Bentar, ya, mas," ucapku sambil mengambil uang dari dalam dompet.Aku berjalan menuju rumah Bu Endah, rumah itu terlihat sangat sepi, sampai aku berada di depan pintunya. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya."Buuu, Bu Endah," panggilku dengan suara sedikit agak keras. Bu Endah keluar dari arah belakang, "Ada apa, Ta? Tanyanya."Bu, mie instan, dua," ucapku sambil menunjuk sebuah kotak mie kesukaan suamiku yang terbungkus oleh plastik berwarna hijau.Dengan sigap, Bu Endah memasukkan dua bungkus mie instan ke dalam plastik be
"Ini tas saya, jadi hak saya dong boleh di periksa atau tidak?" Ucap Bu Henna menahan."Bu, katanya tadi mau di selesaikan dengan cara baik-baik. Kalau tidak ada apa-apa di sana, ya, sudah jangan takut," timpalku.Bu Henna perlahan melepaskan tali tote bage dari lengannya. Namun, Echa mencoba menahan. "Bu, jangan! Ini kan punya ibu," ujar Echa mencoba ikut menahan.Aku tersenyum sinis menatap keduanya. Hari menjelang sore, terik matahari masih ikut serta menambah hawa panas keadaan.Bu Henna memberikan tote bage miliknya kepada Dareen. Perlahan Dareen menarik resleting untuk membukanya. Setelah terbuka, mata Dareen membelalak lebar melihat isi dalamnya lalu menatap Bu Henna dengan rasa penuh curiga.Tidak sungkan-sungkan, Dareen menumpahkan semua isi dalam tas Bu Henna dengan menungging kan. Sontak mata kami semua membelalak melihat setumpuk uang dan dua buah kotak perhiasan. Aku terperangah menatap uang yang masih tersusun rapi di ikat dengan sebuah karet gelang."Ya Allah, Bu, ter
"Kok tanya saya, memangnya saya tukang emas?" Ucapnya ketus sambil mendengus, matanya memandangku dengan kesal. "Loh, kan saya tanya, Bu, siapa tahu ibu tau harganya," ucapku dengan nada santai.Mila masih cengengesan sambil melirik-lirik ke arahku. Wanita itu enggan ikut campur, aku pun tidak menyarankan Mila untuk ikut turun tangan mengenai hal ini.Henna—ibu mertua Mila yang sangat judes dan bengis. Semua yang di lakukan Mila pasti salah, mungkin memang karena faktor status menantu.Echa memberikan kunci motor padaku sambil menyelipkan rambut poni panjangnya ke belakang telinga."Nih, Mbak, kuncinya," ucap Echa."Aku hanya menengadah satu tangan, lalu kumasukkan ke dalam saku celana."Terima kasih, gitu loh, Cha! Wong sudah di pinjami kok enggak berterimakasih," sungut Mila kesal. Matanya melirik ke atas untuk menatap wajah Echa.Gadis itu tak menjawab apa pun, malah pergi meninggalkan kami di sana, tangannya membawa tiga tote bage berwarna coklat.Bu Henna masih berdiri sambil me