Share

Bab 7

Zaky mengejar ayahnya sampai ke dalam rumah. Aku membiarkan begitu saja karena kalau aku ikut mengejarnya nanti ada pula yang salah paham.

“Eh, itu mobil, pak RT!” ucapku memandang ke arah sebuah mobil yang akan masuk ke halaman rumah, Mila.

Tanpa basa-basi Wulan langsung saja jalan ke sana, menemui Mila. Sedangkan aku masuk dulu ke rumah mengambil putriku yang masih bermain di dalam.

Sambil berjalan aku membenahi baju anakku di bagian leher yang terlihat kendor akibat dari gilingan mesin cuci.

“Iya, enggak apa-apa, kok. Cuman luka sedikit aja,” ucap Mbak Mila saat aku baru sampai di sana.

“Walah, jadi berapalah habis untuk obatnya itu?” tanya Wulan memandang kening yang di perban. Aku duduk di samping Wulan, mbak Mila menatapku.

“Eh, Mbak Thalia,” sapanya padaku. Aku nyengir dan menganggukkan kepala lalu ikut nimbrung apa yang sedang mereka bahas.

Mas Harman pergi lagi keluar. Saat Mila mendengar suara motornya, Mila diam sambil menundukkan kepala. Ingin rasanya aku membantu masalahnya ini, tapi aku bukan siapa-siapa di sini.

Karena suaminya sudah tidak wajar. Yang salah siapa, yang harus minta maaf siapa. Sementang yang punya rumah ini almarhum ayah dari mas Harman, jadi dia sok berkuasa gitu.

“Yang bayarkan tadi, pak RT, enggak tahu berapa,” jawab Mila melanjutkan pembicaraan tadi bersama Wulan.

“Wih, enaklah, di bayari.”

“Ya, udah kalau enak kakak jedotkan itu kepala sampai bocor, nah nanti biar di bayarkan, pak RT, pengobatannya,” timpalku kesal mendengar ucapannya. Orang lagi kena musibah, di bilangnya pula enak.

Satu persatu tetangga berdatangan, mereka sambil membawa bingkisan plastik berwarna hitam. Dengan isi, aku pun tak tahu apa isinya.

Aku membantu membawakan beberapa plastik itu ke dapur. Karena kondisi dan situasi. Kamar sepetak kecil, di kerumuni beberapa orang jadi terlihat penuh.

“Mila, masak apa?” tanya Wulan. Sekilas aku menatapnya lalu melepaskan Adiva dari gendonganku.

“Pagi tadi aku masak lodeh, Kak, makanlah!” ucapnya basa-basi. Jantungku berdegup, kalau saja dia makan, malulah aku.

Tidakku sangka, Wulan beranjak dari duduknya dan berjalan ke dapur. Beberapa orang di sana melihatnya. Aku menundukkan kepala sambil memegang kening.

Memang manusia tidak punya malu, di mana bokongnya lengket, di situ dia makan. Sudahlah.

“Ta, kakakmu apa enggak masak, ya, di rumah?” tanya Bu Eli mencolek pinggangku.

“Enggak tau, Wak, soalnya dia memang suka gitu, sih,” jawabku sambil membukakan bungkusan jajan milik putri kecilku yang baru saja di kasih temannya.

Beberapa orang di sebelah sana juga membicarakan soal dia. Aku yang tidak melakukan, aku pula yang malu.

“Dia juga hampir setiap hari loh makan di rumah, Thalia, ya, ‘kan?” Bu Endah memandangku. Aku menganggukkan kepala menyatakan bahwa memang itu kebenarannya.

“Malas masak itu,” sahut tetangga yang lain.

Hiruk pikuk, ocehan mereka membuat telingaku panas. Darahku mendidih, rasa geram yang ada di diriku ingin meronta-ronta. Tapi aku masih bisa menahannya.

Melihat dia membawa sepiring nasi lalu duduk di antara kami, aku hanya bisa menghela nafas. Tetangga lain bisik sana sini, bahkan ada yang menceletuk dengan ucapan.

“Lan! Lakimu apa enggak ngasih uang belanja? Kok kamu enggak masak?” tanya salah seorang tetangga.

“Ngasih, Bu. Tadi aku juga masak, tapi masak sawi. Enggak enak,” jawabnya ringan dengan mulut yang penuh nasi.

“Tau enggak enak kok di masak,” jawab salah seorang di sana. Semua mereka menertawakan, dengan tidak punya rasa malu, dia pun tertawa.

Aku mengalah nafas sambil menggelengkan kepala. ‘terbuat dari apa ini pikiran sama hatinya,' batinku.

Aku memilih pulang dari pada mendengar cerita mereka yang aku sendiri malu mendengarkannya.

Aku berpamitan pada Mila dan para ibu-ibu yang ada di sana.

“Ta! Parah, ya, lukanya, Mila?” tanya Bu Narsih yang baru saja datang.

“Ya, lumayan, Bu,” jawabku sambil memakai sendal.

“La kok pulang? Tapi temannya masih banyak di sini,” tanya Bu Narsih saat aku berjalan ke arah rumah.

“Ada yang harus di kerjakan di rumah, Bu,” jawabku sambil berjalan.

Aku tidak tahan dengan kelakuan Wulan. Benar-benar memalukan! Aku kira dia berani seperti itu hanya di rumah keluarga kami saja. Ternyata di rumah orang juga seperti itu.

Aku pulang hanya mengambil pempers untuk anakku, aku langsung pergi lagi ke rumah mamak.

Di jalan aku bertemu dengan mamak, ternyata mamak juga mau ke rumah Mila.

“Kok sudah pulang, Ya?” tanya mamak padaku sambil mencium putriku.

“Mak, enggak usah ke sana dululah. Wulan bikin malu,” jawabku mendengus kesal.

“Lah, kenapa?” tanya mamak. Aku menceritakan kelakuan, Wulan saat kami di jalan pulang.

Ini memang sudah tidak bisa di biarkan. Mulai hari ini aku harus belajar menyikapi orang seperti itu.

“Ta! Itu rumah di sebelahmu ada apa? Kok rame?” tanya Bu Hema, orang tua dari Abang sepupuku.

“Sakit, Bude,” jawabku sambil menatapnya yang masih ada di atas motor.

Dia baru saja datang naik sepeda motor miliknya. Aku langsung duduk di belakangnya.

“Yok, Bude! Kita ke sana,” ajakku padanya.

“Mak, pegangkan dulu, Adiva, ya,” ujarku pada mamak yang sedang memegang cucunya.

Mamak menganggukkan kepala. Dalam hatiku berdoa semoga Wulan belum selesai makannya, biar mertuanya tau kalau dia makan di rumah orang yang bukan siapa-siapanya.

Sesampainya di sana, masih ada beberapa orang lagi. Tapi aku tidak lagi melihat motor Wulan di depan rumahku.

“Wulan, baru saja pulang, Mbak,” ucap Bu Endah saat kami masuk ke dalam rumah.

“Iya, baru siap makan, langsung pulang,” ceplos Bu Narsih yang memang suka ceplas-ceplos.

Bude Hema, memandang Bu Narsih dengan kening mengerut.

“Tadi dia di sini makan?” tanya Bude Hema sekali lagi saat dia duduk di samping Bu Narsih.

“Iya, siap makan, pulang!” sahutnya lalu tertawa terbahak-bahak.

Raut wajah Bude Hema kini merengut. Geram dengan tingkah Wulan yang tidak tahu malu itu.

Mampus kamu Wulan, kena kamu sekarang. Aku bakal menyaksikan apa yang akan terjadi samamu besok. Masih maukah kamu makan di rumahku?

“Orangnya masih sakit kok makan, yang iyanya itu dia yang masakkan,” celetuk Bu Narsih lagi. Bu Narsih dan orang yang ada di sana tertawa terbahak-bahak. Bude Hema tersenyum getir. Aku hanya bisa menundukkan kepala sambil memegang kening, agak menutup wajahku yang memerah karena malu.

“Pulang, yuk, Ta!” ajak Bude Hema beranjak dari duduknya. Aku mengikutinya bersalaman dengan Mila di belakangnya.

“Dasar! Menantu tidak punya malu!” ucapnya saat memakai sendal.

Aku naik di belakang Bude sambil berpegangan pinggang yang sedikit besar itu. Dia selalu menggerutu saat jalan pulang ke rumah mamakku.

“Loh, enggak singgah dulu, Mbak?” tanya mamakku.

“Enggaklah, aku ada kerjaan di rumah,” jawab Bude sambil menjalankan motornya.

Mamak kebingungan melihat mimik wajah Bude yang merengut itu. Aku hanya bisa cekikikan di depan mamak.

“Apa yang bakal terjadi di rumah, Wulan, ini, ya, Mak?” tanyaku pada mamak. Mamak masih tidak mengerti apa maksudku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status