Zaky mengejar ayahnya sampai ke dalam rumah. Aku membiarkan begitu saja karena kalau aku ikut mengejarnya nanti ada pula yang salah paham.
“Eh, itu mobil, pak RT!” ucapku memandang ke arah sebuah mobil yang akan masuk ke halaman rumah, Mila.Tanpa basa-basi Wulan langsung saja jalan ke sana, menemui Mila. Sedangkan aku masuk dulu ke rumah mengambil putriku yang masih bermain di dalam.Sambil berjalan aku membenahi baju anakku di bagian leher yang terlihat kendor akibat dari gilingan mesin cuci.“Iya, enggak apa-apa, kok. Cuman luka sedikit aja,” ucap Mbak Mila saat aku baru sampai di sana.“Walah, jadi berapalah habis untuk obatnya itu?” tanya Wulan memandang kening yang di perban. Aku duduk di samping Wulan, mbak Mila menatapku.“Eh, Mbak Thalia,” sapanya padaku. Aku nyengir dan menganggukkan kepala lalu ikut nimbrung apa yang sedang mereka bahas.Mas Harman pergi lagi keluar. Saat Mila mendengar suara motornya, Mila diam sambil menundukkan kepala. Ingin rasanya aku membantu masalahnya ini, tapi aku bukan siapa-siapa di sini.Karena suaminya sudah tidak wajar. Yang salah siapa, yang harus minta maaf siapa. Sementang yang punya rumah ini almarhum ayah dari mas Harman, jadi dia sok berkuasa gitu.“Yang bayarkan tadi, pak RT, enggak tahu berapa,” jawab Mila melanjutkan pembicaraan tadi bersama Wulan.“Wih, enaklah, di bayari.”“Ya, udah kalau enak kakak jedotkan itu kepala sampai bocor, nah nanti biar di bayarkan, pak RT, pengobatannya,” timpalku kesal mendengar ucapannya. Orang lagi kena musibah, di bilangnya pula enak.Satu persatu tetangga berdatangan, mereka sambil membawa bingkisan plastik berwarna hitam. Dengan isi, aku pun tak tahu apa isinya.Aku membantu membawakan beberapa plastik itu ke dapur. Karena kondisi dan situasi. Kamar sepetak kecil, di kerumuni beberapa orang jadi terlihat penuh.“Mila, masak apa?” tanya Wulan. Sekilas aku menatapnya lalu melepaskan Adiva dari gendonganku.“Pagi tadi aku masak lodeh, Kak, makanlah!” ucapnya basa-basi. Jantungku berdegup, kalau saja dia makan, malulah aku.Tidakku sangka, Wulan beranjak dari duduknya dan berjalan ke dapur. Beberapa orang di sana melihatnya. Aku menundukkan kepala sambil memegang kening.Memang manusia tidak punya malu, di mana bokongnya lengket, di situ dia makan. Sudahlah.“Ta, kakakmu apa enggak masak, ya, di rumah?” tanya Bu Eli mencolek pinggangku.“Enggak tau, Wak, soalnya dia memang suka gitu, sih,” jawabku sambil membukakan bungkusan jajan milik putri kecilku yang baru saja di kasih temannya.Beberapa orang di sebelah sana juga membicarakan soal dia. Aku yang tidak melakukan, aku pula yang malu.“Dia juga hampir setiap hari loh makan di rumah, Thalia, ya, ‘kan?” Bu Endah memandangku. Aku menganggukkan kepala menyatakan bahwa memang itu kebenarannya.“Malas masak itu,” sahut tetangga yang lain.Hiruk pikuk, ocehan mereka membuat telingaku panas. Darahku mendidih, rasa geram yang ada di diriku ingin meronta-ronta. Tapi aku masih bisa menahannya.Melihat dia membawa sepiring nasi lalu duduk di antara kami, aku hanya bisa menghela nafas. Tetangga lain bisik sana sini, bahkan ada yang menceletuk dengan ucapan.“Lan! Lakimu apa enggak ngasih uang belanja? Kok kamu enggak masak?” tanya salah seorang tetangga.“Ngasih, Bu. Tadi aku juga masak, tapi masak sawi. Enggak enak,” jawabnya ringan dengan mulut yang penuh nasi.“Tau enggak enak kok di masak,” jawab salah seorang di sana. Semua mereka menertawakan, dengan tidak punya rasa malu, dia pun tertawa.Aku mengalah nafas sambil menggelengkan kepala. ‘terbuat dari apa ini pikiran sama hatinya,' batinku.Aku memilih pulang dari pada mendengar cerita mereka yang aku sendiri malu mendengarkannya.Aku berpamitan pada Mila dan para ibu-ibu yang ada di sana.“Ta! Parah, ya, lukanya, Mila?” tanya Bu Narsih yang baru saja datang.“Ya, lumayan, Bu,” jawabku sambil memakai sendal.“La kok pulang? Tapi temannya masih banyak di sini,” tanya Bu Narsih saat aku berjalan ke arah rumah.“Ada yang harus di kerjakan di rumah, Bu,” jawabku sambil berjalan.Aku tidak tahan dengan kelakuan Wulan. Benar-benar memalukan! Aku kira dia berani seperti itu hanya di rumah keluarga kami saja. Ternyata di rumah orang juga seperti itu.Aku pulang hanya mengambil pempers untuk anakku, aku langsung pergi lagi ke rumah mamak.Di jalan aku bertemu dengan mamak, ternyata mamak juga mau ke rumah Mila.“Kok sudah pulang, Ya?” tanya mamak padaku sambil mencium putriku.“Mak, enggak usah ke sana dululah. Wulan bikin malu,” jawabku mendengus kesal.“Lah, kenapa?” tanya mamak. Aku menceritakan kelakuan, Wulan saat kami di jalan pulang.Ini memang sudah tidak bisa di biarkan. Mulai hari ini aku harus belajar menyikapi orang seperti itu.“Ta! Itu rumah di sebelahmu ada apa? Kok rame?” tanya Bu Hema, orang tua dari Abang sepupuku.“Sakit, Bude,” jawabku sambil menatapnya yang masih ada di atas motor.Dia baru saja datang naik sepeda motor miliknya. Aku langsung duduk di belakangnya.“Yok, Bude! Kita ke sana,” ajakku padanya.“Mak, pegangkan dulu, Adiva, ya,” ujarku pada mamak yang sedang memegang cucunya.Mamak menganggukkan kepala. Dalam hatiku berdoa semoga Wulan belum selesai makannya, biar mertuanya tau kalau dia makan di rumah orang yang bukan siapa-siapanya.Sesampainya di sana, masih ada beberapa orang lagi. Tapi aku tidak lagi melihat motor Wulan di depan rumahku.“Wulan, baru saja pulang, Mbak,” ucap Bu Endah saat kami masuk ke dalam rumah.“Iya, baru siap makan, langsung pulang,” ceplos Bu Narsih yang memang suka ceplas-ceplos.Bude Hema, memandang Bu Narsih dengan kening mengerut.“Tadi dia di sini makan?” tanya Bude Hema sekali lagi saat dia duduk di samping Bu Narsih.“Iya, siap makan, pulang!” sahutnya lalu tertawa terbahak-bahak.Raut wajah Bude Hema kini merengut. Geram dengan tingkah Wulan yang tidak tahu malu itu.Mampus kamu Wulan, kena kamu sekarang. Aku bakal menyaksikan apa yang akan terjadi samamu besok. Masih maukah kamu makan di rumahku?“Orangnya masih sakit kok makan, yang iyanya itu dia yang masakkan,” celetuk Bu Narsih lagi. Bu Narsih dan orang yang ada di sana tertawa terbahak-bahak. Bude Hema tersenyum getir. Aku hanya bisa menundukkan kepala sambil memegang kening, agak menutup wajahku yang memerah karena malu.“Pulang, yuk, Ta!” ajak Bude Hema beranjak dari duduknya. Aku mengikutinya bersalaman dengan Mila di belakangnya.“Dasar! Menantu tidak punya malu!” ucapnya saat memakai sendal.Aku naik di belakang Bude sambil berpegangan pinggang yang sedikit besar itu. Dia selalu menggerutu saat jalan pulang ke rumah mamakku.“Loh, enggak singgah dulu, Mbak?” tanya mamakku.“Enggaklah, aku ada kerjaan di rumah,” jawab Bude sambil menjalankan motornya.Mamak kebingungan melihat mimik wajah Bude yang merengut itu. Aku hanya bisa cekikikan di depan mamak.“Apa yang bakal terjadi di rumah, Wulan, ini, ya, Mak?” tanyaku pada mamak. Mamak masih tidak mengerti apa maksudku.Mamak menatapku dengan kening mengerut. Aku cekikikan lalu duduk di depannya. Hari ini hatiku puas betul rasanya.“Kenapa, Ta?” tanya mamak padaku. Aku menggeleng sambil terus tersenyum.Sore ini aku pulang tidak membawa putriku. Dia di minta mamak untuk tidur bersamanya malam ini. Aku melihat isi kulkas, hanya ada telur dan bunga kol saja.Aku meracik semua bahan, lalu memasaknya dengan rasa semangat. Tidak mungkin dia akan datang karena kejadian siang tadi.“Assalamualaikum...,” ucapan salam terdengar sampai dapur.Aku terpaku setelah sadar itu adalah suara kakak sepupuku. Dia masuk sambil meletakkan gawainya di meja makan.Dia masuk ke kamar mandi sambil membuka hijab lalu menyampirkannya di pintu. Memakai celana legging, hingga lekuk di bagian bokong hingga paha terlihat jelas. “Masak, apa, Ta?” tanyanya saat keluar dari kamar mandi sambil membenahi baju bagian bawah.“Ni!” sahutku memandang sayuran yang sedang kubolak-balikkan. Dia duduk di meja makan sambil memegang gawainya.
“Sekarang kutanya, Mas! Kemarin kamu suruh aku untuk bilang ke dia supaya enggak makan lagi di rumah ini. Terus kenapa tadi kamu bilang kasihan? Apa coba maksudmu itu?” tanyaku sambil merengut. Aku membuka hijab lalu mencampakkannya begitu saja di meja rias. Dia memandangku sambil tetap memegang gawainya.“Mas sudah enggak mau ikut campur lagi, Dek, itu terserah kamu saja sekarang. Soalnya kalau di ributkan bikin malu juga, sih,” jawabnya. Dia meletakkan gawai di meja riasku yang ada di dekat ranjang, membenahi hijabku yang menimpa beberapa kosmetik lalu merayap ke tempat di mana dia biasa tidur.Berarti aku sendiri yang harus mencari cara bagaimana untuk ke depannya. Enggak mungkin aku melarang kalau tidak ada pendukung.Aku berpura-pura tidur lelap sampai kubunyikan suara dengkuran di saat tidur. Aku menunggu waktu untuk bisa memegang gawainya supaya lebih leluasa untuk aku memeriksanya.Aku mendengar suara dengkurannya sangat keras, ternyata dia sudah masuk dalam perangkap. Perlaha
Aku tersenyum melirik ke arah, Mila. Begitu juga dengan Mila yang melirik ke arahku.Wulan masuk ke dalam kamarnya, beberapa saat kemudian dia keluar dengan membawa sebuah ponsel miliknya. Dia duduk menghadapku sambil memegang ponsel.“Oh, ya, enaklah. Datang tinggal makan, uda kenyang, pulang!” sahutku sambil tertawa lepas. Aku dan Mila tertawa sambil saling pandang. Dia tertawa getir.Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya saat ini. Yang penting aku bisa makan di rumahnya, bukan itu yang aku tuju. Aku bisa buat dia harus masak lagi untuk malam nanti. Hiks.Setelah aku selesai makan, kuletakkan begitu saja piring kotor bekasku makan di meja makan. Kuambil satu gelas air putih lalu meneguknya hingga habis. Gelas kotor itu kuletakkan di sebelah piring.“Jangan! Pakai ini saja!” ujarku pada Mila yang akan mengambil gelas bekasku minum tadi. Aku mengambilkan dua gelas bersih kuberi padanya dan anaknya.“Kak, piringnya sudah bersih semua, loh,” ucap Mila melihat ke sekeliling dapur yan
“Kok enggak ucapkan salam, Mas?” tanyaku saat Devan melintas begitu saja di ruang keluarga. Dia hanya menoleh ke arahku tanpa menjawab pertanyaan dariku.Aku memutarkan otomatis setrika sambil melihat jam yang menempel di dinding. Ternyata sudah jam sepuluh malam, tidak terasa sudah dua jam aku duduk dan menyetrika di sini. Aku mematikan televisi lalu menyusulnya ke belakang. Ternyata dia sedang duduk di meja makan dengan menopang dagu.“Mas,” panggilku lirih karena malam ini semua anakku sudah pada tidur. Dia hanya menatapku sesaat. Kali ini tatapannya sinis padaku.“Apa salahku?” tanyaku. Dia mendehem untuk memperlancar suaranya.Inilah Devan, kalau ada masalah selalu diam. Bukan nasehati atau apalah gitu. Malah semakin diam. Dia diam karena ada masalah kerjanya entah karena dia memikirkan dengan kelakuanku siang tadi.Padahal aku ingin sekali cerita padanya mengenai Mila. Tapi sekarang aku malah jadi takut. Sepinya malam ini membuat perasaanku semakin sepi lagi tanpa adanya suara
“Lihatlah sendiri itu di meja!” ucapku ketus tanpa memandangnya. Dia sudah duduk di kursi dengan gaya bak ratu sedang duduk di istana.“Kakak, lapar, belum makan,” ucapnya sambil membuka tudung sajiku. Aku hanya diam tidak menawarkannya untuk makan. Aku acuh tak acuh padanya, sok sibuk dengan pekerjaanku. Karena masih pagi, pekerjaan yang harus aku lakukan itu masih banyak dan menumpuk.Aku perlahan membereskan tempat tidur, karena di kasur masih ada putriku, aku pelan-pelan menarik selimut yang sedikit melilit di kakinya supaya dia tidak terbangun. Menumpuk beberapa bantal di sudut ranjang, lalu merapikan meja riasku yang kelihatan berantakan.“Ta! Kakak pulang, ya,” ucapnya padaku di pintu kamar. Suaranya mengisi ruangan akhirnya putriku pun terbangun.“Ma_ma_k,” ucapnya sambil menangis. “Kakak ini loh, tahu anakku masih tidur pun berkoar-koar,” ucapku ketus sambil merengut. Dia tertawa terbahak-bahak melihatnya.Dia tidak merasa bersalah, malah dia berlalu meninggalkan kamarku.
“Ya, jangan emosi gitu, Mbak!” Gelak tawanya terdengar keras. Memanglah, ya, baru bikin sakit hati orang, bukan ada rasa enggak enak hati. Malah tertawa lebar seperti itu.Bu Sarni berjalan tergopoh-gopoh dengan membawa dua keranjang di tangan kanan dan kirinya. Dengan mengenakan daster berwarna hijau tua yang dia kenakan sudah memudar warnanya, hijabnya sudah tidak kencang lagi alias molor.“Bu!” panggilku.Dia tersenyum mengarahku, Rahayu lewat begitu saja saat berpapasan dengan ibunya. Jangankan menyapa, menoleh pun tidak. Bu Sarni memutarkan kepala melihat tingkah anaknya sedang gila dengan gawainya.“Bu! Sayurnya apa?” tanyaku saat Bu Sarni sudah dekat.“Cuman dua macam, Ta!” jawabnya sambil meletakkan dua keranjang berisi dagangannya di teras rumahku.Dia membuka plastik berwarna hitam. Di dalamnya berisi sayuran masak yang sudah di bungkus dengan plastik kiloan. “Ini ada gulai nangka di campur telur, Ta. Ini yang satu gulai jengkol di campur ceker,” ucapnya. Dia meletakkan d
“Walah, enaknya itu orang, kapan berubahnya dia?” gumamku sambil nyelinguk dari dapur memandang ke arah luar, sekilas motornya melewati pintu rumahku.[Mbak, sini ke rumah mamak!] Sebuah pesan masuk di gawai milikku.Olivia—Adik bungsuku, baru saja pulang dari luar kota. Selama ini dia tinggal bersama, Paman, di kota Medan.Wajahku semringah membacanya, bersyukur adikku pulang dengan selamat setelah lama dia merantau di sana. Di mataku sudah terbayang oleh-oleh yangku pesan kemarin, Bika Ambon, makanan khas dari Medan. Berwarna kuning cerah dengan permukaan sedikit kecokelatan. Jika di gigit teksturnya sangat lembut. Rasa manisnya jangan di tanya lagi, persis semanis senyumku ini.Bergegas aku mengambil pakaian yang ada di jemuran sambil sedikit nyengir karena teriknya matahari, sekarang jam masih menunjukkan pukul dua siang. Biasanya di jam sekarang aku masih molor.“Mak, Tante sudah pulang,” ucap anakku sambil mengunyah. Dia baru masuk ke dalam rumah, kulihat di tangan kanannya me
“Loh, Oliv, di mana Bika Ambonnya?” tanya mamak dari pintu tengah. Olive memejamkan mata seolah dia tidak mau ikut campur dengan rencanaku tadi.Aku beranjak dari dudukku menoleh ke ruang tamu masih ada, Wulan, duduk di sana menunggu Bika Ambon.“Mak, Oliv cuman bawa 3, ‘kan? Nah ini dia,” aku mengeluarkan dua kotak Bika Ambon yang sudah di simpan di atas rak piring seperti yang telah kuinstruksikan pada, Oliv, tadi siang.“Yang satu untukku, satu untuk Era, pas, ‘kan?” ucapku menumpuk dua kotak Bika Ambon di atas meja. Mamak cengar-cengir menatapku.“Yang tadi mana, ya, masih loh di piring. Satu lagi sudah di potong-potong tadi,” ucap mamak sambil menggaruk-garuk kepala. Membuka tudung saji dan celingukan ke sana sini.Aku cekikikan karena, Oliv sudah menyimpannya di dalam kamar sebelum mamak sadar. Aku dan mamak ke ruang keluarga. Aku duduk tapi mamak masih saja berdiri, mamak masih penasaran ke mana larinya itu si Bika Ambon.“Ta, punya kamu saja, belah dua, ya?” ujar mamak memanda